Vitamins Blog

Being His Girlfriend : Enam

Bookmark
Please login to bookmark Close
39 votes, average: 1.00 out of 1 (39 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Nb : duhhh kaget ternyata ada yg suka ama cerita gaje ini:( makasihhhh guysss. Sori agak lama emm… Lama bgt malah deng. Wkwkwk

Aku lg ada acara jd ga sempet posting. Hiks

 

******************

“Jen, ada cowok lo tuh!” Gita menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Wajahnya tersenyum menggoda menatap Jen, “Asik banget yang diapelin hari minggu.”

Jen, memberhentikan drama yang sedang ditontonnya. Jantungnya langsung berdegup tidak karuan. Aji… kesini? Kok dia nggak ada bilang sama sekali ke Jen?

Tangan Jen langsung bergerak mencabut ponsel yang di chargenya, keningnya mengerut ketika ia tidak mendapati Aji mengiriminya text. Terakhir saat tadi pagi, itu juga on the phone bukannya texting.

Dan… Bagaimana juga Gita tahu kalau Aji itu pacarnya Jen. Aji kan belum pernah main ke kosan Jen, dia hanya sebatas mengantar Jen sampai didepan gerbang kost atau menjemputnya juga didepan gerbang kost.

“Lo serius itu cowok gue? Yang mana…” Jen langsung buru-buru menambahkan kala melihat Gita menaikkan alisnya tinggi-tinggi, “Ngg… Maksud gue, emang lo tau cowok gue, Git? Seinget gue dia belom pernah masuk sini deh.”

Gita mengangguk, “Ih, ya sering kali.”

“Tunggu, maksud lo bukan si Nic kan?”

“Bukan lah! Dia sih gue kenal. Si jazz silver itu.” ungkap Gita. Jen langsung tahu siapa yang dimaksud teman satu kost nya ini.

“Erik?”

“Nah, iya.” Gita menjentikkan jarinya. Kemudian matanya menelusuri Jen dengan pandangan heran, “Dan lo belum mandi. Yaampun, Jennifer…”

Jen mendengus, “Lo kacaan deh, lo juga belum mandi kaleee.”

“Tapi gue kan LDRan, Jadi nggak masalah, kalo lagi video call ya tinggal pake lipstick aja. Lah elu, yaampun! Gue kalo mau diapelin laki gue pasti well prepare deh, Jen, dari pagi buta.” tukas Gita sambil terkikik. Cewek itu langsung membayangkan bagaimana ketika kekasihnya mengatakan akan menemuinya.

“Erik bukan cowok gue kali, jadi gue nggak perlu prepare dari pagi buta kayak mau nikahan aja.” Balas Jen sambil meniru nada suara Gita saat mengatakan kata ‘pagi buta’.

Gita mengernyit, “Hah? Jadi tu cowok bukan pacar lo? Tapi, Gue liat lo beda sama dia.”

Jen memerah. Sebegitu kentara nya kah?

“Ngarang! Nggak, Dia cuma temen, ya kayak Nicholas.”

“Yah… sayang banget cowok ganteng kayak gitu cuma dijadiin temen, Jen.” Gita terkekeh. Tiba-tiba ponsel Jen bergetar dan nama Erik menari disana. Gita kembali berbicara, “Yaudah, lo kedepan gih, gerbang kayaknya masih di kunci deh.”

***

“Lo tumben pagi-pagi gini kesini. Nggak pake bilang, pula.” Ucap Jen ketika membukakan pintu gerbang kost nya. Tangannya memasukkan kunci kedalam gembok berwarna silver berukuran sedang itu, lalu ketika bunyi ‘klik!’ ia melepaskan gembok itu dari kaitan.

Erik tidak menjawab. Matanya menatap Jen dengan pandangan lurus-lurus, yang membuat gadis yang ditatap itu bingung.

“Lo kena–” deg! Jen mendadak kaget, saat cowok didepannya itu merengkuhnya dengan gerakan impulsif. Tangannya melingkar dibahu Jennifer.

“Rik, lo kenapa deh? Lo berantem ama gebetan lo? Atau, gebetan lo tau kalo lo duain dia?” Jen menyuarakan suaranya ketika keterkejutannya telah menghilang. Tangannya mencoba menguraikan pelukan Erik untuk melihat wajah cowok itu.

“Lo kenapa sik?” Tanya Jen lagi. Matanya bertabrakan langsung dengan manik mata coklat milik Erik. Mencoba memahami apa yang terjadi pada sang pemilik manik itu.

“Lo punya pacar, Jen?” Erik bersuara. Dengan nada yang sedikit aneh, menurut Jen. Disana seperti ada kekecewaan dan kekesalan yang menjadi satu dalam vibra.

Manik mata Erik menatap dengan seksama, mempelajari ekspresi apa yang akan dikeluarkan oleh Jen. Namun, hatinya mencelos saat mendapati wajah gadis dihadapannya memerah. Erik langsung menarik kesimpulan apa yang dikatakan teman-temannya semalam itu benar.

Sialan!

Dari sekian banyak lelaki, kenapa harus dia yang menjadi kekasih Jen?

Dari sekian banyak waktu, kenapa dirinya kembali didahului oleh lelaki itu?

Dan, dari sekian banyak kesempatan, kenapa ia baru menyadari kalau ternyata Jennifer banyak yang menyukai? Kenapa Erik terus saja bersembunyi dibalik topeng persahabatan dengan gadis itu?

“Lo… Tau dari siapa?”

Suara Jennifer membuatnya kembali sadar. Ditatapnya Jen baik-baik.

Kondisi Erik sungguh bukan dia banget. Dengan kantung mata hitam dibagian bawah matanya yang tadi berhasil ia tutupi dengan lensa hitam miliknya. Erik tidak tidur semalaman akibat ucapan Fajar semalam yang mengatakan kalau teman huntingnya–Aji– mengajak Jennifer, yang diketahui Fajar sebagai teman dekatnya Erik saat klub photografinya mengadakan greeting.

“Fajar.”

“Oh…” katanya pelan. Jen langsung teringat saat Aji mengajaknya ke rumah teman cowok itu sebelum mengantarnya pulang. Aji bilang kalau ia mau mengambil something. Dan disana, Jen bertemu dengan Fajar, sahabat Erik.

“Jadi, yang dibilang Fajar benar?” Erik mencoba peruntungannya. Tapi lagi-lagi hatinya mencelos ketika respon yang diberikan Jen tidak sesuai dengan harapannya. Cewek itu mengangguk dengan pipi memerah malu.

“Kenapa lo nggak cerita sama gue?” Erik menghela napas.

“Bukannya nggak mau, cuman gue belum nemu waktu aja, Rik. Soalnya ini mendadak… Gitu deh” ujar Jen. Erik mengernyit, “Mendadak?”

Jen mengangguk. “Ya, gitu deh…”

“Kapan?” Erik bertanya lagi.

Kemudian satu cerita meluncur dari mulut Jennifer, tetapi gadis itu menskip bagian dimana Aji yang sedikit ‘memaksa’ Jen. Ntah kenapa untuk saat ini Jennifer merasa kalau kata ‘memaksa’ bukanlah kata yang tepat karena pada kenyataannya Jen bahkan menjalani masa ‘pacaran’ dengan Aji tidak dengan terpaksa.

Erik menahan napas. Kesepuluh jemarinya saling mencengkram dengan kuat saat penuturan dari sahabatnya itu.

Erik menghela napas, dipaksanya senyuman terukir diwajahnya, “Oke.” Ujarnya, “Karena lo membuat gue satu-satunya orang yang nggak lo ceritain tentang status baru lo. Gue mau lo nemenin gue makan di tempat biasa, gimana?”

Jen mengernyit heran. “Lo aneh deh, Rik…”

“Why? Bukannya biasa ya gue ngajakin lo makan bareng?”

“Ya, iya sik. Tapi, ini kayak seolah-olah gue jahat gitu…” Jen cemberut.

Erik terkekeh, “Makanya untuk membersihkan nama baik lo, lo temenin gue makan. Oke?”

Jen mengangguk, tapi pada saat gadis itu hendak mengeluarkan suara. Ponsel nya berbunyi, mengeluarkan bunyi ringtone tanda bahwa ada panggilan yang masuk.

Dan pada saat Jen menyebutkan nama si penelpon. Erik sepenuhnya terbakar.

“Ya, Ji?”

***

Suasana cafe itu begitu ramai padahal jam sudah menunjukan pukul sebelas malam. Gemuruh tawa bergema disudut sebelah kiri, di sofa yang dibentuk melingkari satu meja berukuran sedang ditengahnya. Seorang cowok dengan kaos berkerah bewarna coklat berkepala plontos berbicara dengan aksen sunda yang khas,

“Ji, kamu teh udah jadian sama Aurel?” Cowok berkepala plontos itu langsung melirik kearah gadis yang duduk di sebelah Aji. Yang membuat Aurel langsung menatap bingung, namun senyuman tertahan di bibirnya. Otaknya langsung membayangkan yang tidak-tidak, apakah Aji mengatakan ke teman-temen mereka kalau cowok itu akan menembaknya?

Aji mendongak dari ponselnya, menatap si kepala plontos dengan pandangan bingung. Kini, setiap pasang mata yang ada disana sibuk memerhatikan kedua orang yang duduk bersebelahan itu.

“Kalian jadian? Akhirnya penantian Aurel berbuah hasil!” Celetuk cowok yang duduk bersebrangan dengan Aji. Perkataan cowok itu sukses membuatnya mendapatkan lemparan kacang dari Aurel. “Diki!” Ucap Aurel kesal, namun wajahnya merona.

“Tunggu… Lo dapet gossip darimana? Gila! Gue sama Aurel nggak jadian. Iyakan, Rel?” Aji menoleh kearah Aurel. Membuat gadis itu menahan napasnya selama beberapa detik. Ia tidak menyangka kalau Aji akan berbicara seperti itu. “Iya, kami belum jadian kok.” Kata Aurel sambil menekankan kata ‘belum’. Seolah gadis itu memberi sinyal mungkin sekarang belum, tapi hal itu akan terjadi secepatnya.

Cowok berkepala plontos mengerutkan keningnya, kemudian menoleh kearah Radit, “Dit, kamu bilang Aji punya pacar baru? Geulis pisan kayak girlband korea. Kamu boongin abdi ya?”

“Ngapain juga gue boong. Tanya aja deh sama orangnya.” Ucapan Radit sukses membuat Aurel membeku. Dan membuat gadis itu tanpa sadar melontarkan kalimat penasarannya. “Bener Ji?”

Aji melemparkan kacang kulit kearah Radit dengan pandangan kesal. Mulut Radit memang semakin lama menjadi lebih mirip dengan Nic. Benar-benar tidak bisa menjaga rahasia.

“Aji? Lo ada cewek baru?” Suara Aurel kembali mendesaknya. Membuat Aji bertemu dengan kedua manik yang menggelap.

Dan satu anggukan dari Aji sukses membuat Aurel terlempar ke jurang. Gadis itu tidak menyangka kalau Aji akan memiliki kekasih. Lantas, kenapa Aji bertingkah seperti sedang mendekatinya? Selalu menerima ajakan Aurel dan selalu menemani gadis itu kemanapun.

“Bro, lo kejam nih sama Aurel. Kasian tu anak tadi bener-bener kelihatan nahan nangis.” Diki berujar. Setelah Aurel pamit untuk pulang dengan alasan yang tidak masuk akal.

“Iya, benar kata Diki.” Saut cowok berkepala plontos.

Aji menggerutu, “Kok jadi gue? Gue kan nggak ngeduain dia.”

“Semua orang juga tahu kalau lo lagi pedekate sama Aurel kali. Eh, malah jadian sama cewek lain.”

Aji mendesah. Sudah beberapa kali ia mendengarkan ucapan itu dari teman-temannya. Tapi, sekali lagi Aji tegaskan kalau ia sama sekali tidak berniat menjadikan Aurel sebagai pacar. Hanya teman, tidak lebih.

Oke, Mungkin, dulu, iya. Tetapi hati bisa berubah, bukan?

 

***

Jen mencoba fokus terhadap tugasnya, namun ia sama sekali gagal. Matanya melirik Aji yang berada di hadapannya melalui bulu mata. Aji bertumpu dagu dengan pandangan mengarah kepada Jen. Tidak mengedip, dan sukses membuat degup jantung Jen berdebar. Siapa juga yang tidak berdebar ditatap seperti itu oleh cowok tampan seperti Aji?

Jen mendesah, menjalankan bola matanya ke cowok didepannya itu, “Aji, lo nggak ada kelas apa?”

Aji menggeleng, “Nggak.”

“Lo cari kesibukan gih, baca apa ntah, apa gitu.” Jen mengerucutkan bibirnya. Membuat Aji tersenyum miring, “Kenapa emang?”

“Lo ganggu konsentrasi gue, tau!”

Senyuman Aji merekah, alisnya terangkat. Membuat Jen langsung membenarkan kalimatnya barusan, “Nggak… Maksud gue…”

“Jalan yuk, Jen?”

Jen menatap Aji dengan mata terbelalak, “Hah?”

“Gue nemu review film bagus nih. Film horror sih, nggak tau lo suka atau nggak. Gimana, mau?”

Jen deg-degan luar biasa. Tidak ada dalam bayangannya sekalipun bakal diajak menonton film oleh seorang cowok. Tentu saja selain Nic dan Erik.

“Jen?” Suara Aji membuyarkan apapun yang sedang mengelayut dipikiran gadis itu.

Jen mengedip dua kali, “Tapi ntar siang gue masih ada jam, Ji.” Ucap Jen.

“Nggak masalah. Kita sorean aja nontonnya, jam malam kosan lo sampe jam berapa?” Aji berkata dengan santai. Kesepuluh jemarinya kini saling bertaut.

“Jam sepuluh sik. Tapi…”

“Sip. Lo chat aja ya kalo ntar udah keluar kelas. Gue nunggu di sekret. Oke?” Aji menatap gadis itu. Disamping sikap tenangnya, sebenarnya cowok itu sedikit was-was juga kalau Jen akan beralasan. Cowok itu mengajak Jen jalan bahkan tanpa rencana sebelumnya. Tiba-tiba kepikiran begitu saja.

Jen menatap Aji sesaat sebelum anggukan kepalanya yang langsung menimbulkan respon melalui seringaian lebar di bibir cowok di hadapannya itu.

***

“Lo pake liptint?” Tyas menyipitkan kedua matanya. Menatap Jen dengan seksama.

Pasalnya, ini sudah jam tiga dan mereka akan pulang. Biasanya juga temannya itu paling malas touch up, tapi ini…

Tyas menyelidik, “Lo mau kemana sama Aji?”

Pupil Jen melebar, “Nggak kok. Gue mau balik lah, Yas.”

“Lo pikir gue percaya, Jenny?” Tyas berdecih. Tangannya terlipat didepan dada menatap Jen dengan pandangan menyelidik. “Lo mau kemana?” Ulangnya.

Jen menghela napas. Baginya, orang yang paling tau kalau Jen sedang berbohong atau apapun selain Mama nya, yaitu Tyas. “Aji ngajakin nonton.”

“Ih, gue ngiri!” Tyas heboh. Kemudian wajahnya cemberut sambil menatap Jen, “Bentar lagi lo bakalan sibuk sama pacar lo dan lo bakal lupain gue. Gue bakal merana sendiri di kampus ini karena cuma ditemenin sama Nic doang. Gue bakalan…”

“Apaan sih, Yas.” Jen menggerutu. Tabiat Tyas yang suka mendramatisir apapun ini yang kadang membuat Jen snewen. Jen menatap sahabatnya itu, “Lo itu drama banget deh. Gue akan selalu sama lo dan Nic di kampus ini.”

Tyas semringah mendengarnya. Tangannya memeluk sahabatnya itu dengan cepat, “Yuk lah gue anterin lo ke Aji. Sekalian gue mau liat-liat siapa tau jodoh gue ada diantara temen-temennya Aji.”

***

6 Komentar

  1. menjelanghilang menulis:

    :PATAHHATI :LARIDEMIHIDUP

  2. Yeeyyy akhirnya apdet hahaha, ceritanya beneran sweet banget ihhh. Bikin gregetan dan pengen jadi jenny ?? btw boleh nanya gaa? Username di dunia orange nya apa nih?

    1. Udh di deact. Kalo udh kelar ini, bru nulis aktifin lg.. lagian di dunia orange cerita ku FF ?

  3. wah… erik sakit hati dah maka nya klo cinta mending gomong jadi nya kan ga di rbut orang wkwkwkwk…..

  4. fitriartemisia menulis:

    omo omo!!! baru inget kalo Aji kayaknya musuhnya Erik!
    jangan sampeee Jenny cuma dijadiin alat sama Aji buat bikin masalah sama Erik !
    duh!!! :AKUGAKTERIMA :AKUGAKTERIMA :AKUGAKTERIMA

  5. bisa aja si tyas