Vitamins Blog

Laceration 4 ( Big Bang )

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

16 votes, average: 1.00 out of 1 (16 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Vaya membenarkan letak ranselnya begitu turun dari mobil Glen. Sebenarnya dia benar-benar tidak mempunyai gairah untuk sekolah. Setiap mengingat sosok yang mulai sekarang akan selalu dia lihat di kelasnya, rasanya Vaya tidak ingin lagi menginjakkan kakinya di sekolahnya ini. Semalam Vaya berharap bahwa apa yang terjadi kemarin hanyalah mimpi. Berharap, kedatangan laki-laki itu di sekolahnya hanya mimpi buruk yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Tapi, seberapa keras pun dia menyangkal. Semuanya adalah nyata.

Vaya berdiam diri sebentar. Menarik napas dalam-dalam untuk menguatkan hatinya. Dia sudah memutuskan untuk bersikap biasa saja kemarin. Jadi, dia hanya perlu mengabaikan kehadiran laki-laki itu.

“Ini masih terlalu pagi untuk kamu melamun Vay,”

Vaya terlonjak dan mendapati Glen yang sudah berada di sampingnya. Dia mendengus, lantas langsung berjalan masuk ke dalam gedung sekolahnya tanpa memperdulikan teguran Glen. Bukan dia tidak tahu terimakasih dan bukan juga dia bermaksud untuk tidak sopan. Glen adalah sosok yang bisa dikatakan berarti untuknya. Sosok yang sudah dia anggap seperti kakaknya sendiri. Hanya saja, mood nya sedang benar-benar buruk sekarang.

Vaya tersentak ketika merasakan tarikan Glen pada tangannya. Membuatnya berhenti melangkah.

“Sebenarnya ada apa sih Vay?” Glen bertanya. Memandang Vaya penuh selidik. Tidak tahan dengan kediaman gadis itu.

Vaya memang bukanlah gadis yang sering berkata-kata. Dia memang pendiam. Tapi, diamnya Vaya kali ini terasa janggal bagi Glen. Seakan-akan ada beban yang begitu berat tengah di tanggung gadis itu.

“Kamu tahu aku bisa diandalkan, kan?” Lanjut Glen.

Bukannya Vaya tak percaya pada Glen. Tapi untuk sekarang dia hanya ingin menyimpan masalahnya sendiri dulu.

“Aku nggak apa-apa ka, cuma kecapean aja kok,”

Glen mendengus pelan. “Kita kenal nggak sehari dua hari Vay, udah dua tahun kita bareng, dan aku tau bagaimana kamu saat ada masalah. Kamu bisa berbagi sama aku Vay. Jika nantinya aku nggak bisa kasih solusi, seenggaknya hati kamu pasti lebih tenang,”

Vaya sangat-sangat tidak menyukai situasi ini. Glen terlalu mengenalnya. Sulit bagi Vaya untuk berbohong padanya. Seperti saat ini.

“Ka,” Vaya menghela napas pelan. “Aku cuma…”

“Jangan bilang kamu cuma kecapean karena aku tahu betul itu bukan alasan sebenarnya,” potong Glen.

Vaya terdiam. Mencoba mencari penyangkalan yang tepat untuk Glen. Namun otaknya seakan buntu.

“Vaya,”

Panggilan itu lantas membuat Vaya menoleh. Begitupun dengan Glen. Diamana mereka mendapati Febi yang baru saja memarkirkan motor maticnya tengah berjalan tergesa menuju mereka berdua. Dan mau tak mau itu membuat Vaya menghembuskan napas lega.

“Pagi ka Glen,” Febi menyapa di barengi dengan cengiran lebarnya seperti biasa.

“Pagi,” Glen balas menyapa. Tersenyum tipis lantas kembali menatap Vaya.

“Kalo gitu kakak duluan Vay, nanti pulang kaka tunggu,”

Vaya mengangguk ragu. Dia tentu saja mengerti apa maksud Glen. Laki-laki itu akan kembali mengintrogasinya nanti.

“Duluan Feb,” pamit Glen sebelum benar-benar melangkah dari sana.

“Yuk Vay,” Febi menarik lengan Vaya. Dan akhirnya mereka pun berjalan bersisian dengan Febi yang terus berceloteh tentang keberhasilannya meyakinkan pak Budi dan bu Dina, pembina OSIS di sekolah mereka tenang kemping yang dia ajukan.

—-

“Aku memang tidak bisa memutar waktu dan mengubah apa yang sudah terjadi. Tapi, aku hanya berharap bisa memperbaiki apa yang aku hancurkan,”

Vaya terus menatap kertas note yang dia temukan tadi pagi di loker mejanya. Dengan setangkai mawar putih. Bunga kesukaannya. Meski tanpa identitas, dia tahu pasti siapa yang mengirimnya.

“Jadi, siapa pengirimnya?” Febi kembali bertanya.

Dia adalah orang yang bereaksi paling heboh saat mengetahui Vaya mendapat note dan setangkai bunga di loker mejanya.

Vaya menoleh. Mengangkat bahu acuh. “Hanya orang tidak punya kerjaan,” dengan santai Vaya membuang bunga dan kertas itu ke tong sampah di kelas bagian belakang. Setelah sebelumnya menyobek-nyobek kertas note itu.

Febi menganga. Menatap Vaya tak percaya. Setelah tadi pagi dia terkaget-kaget melihat Vaya mendapati setangkai bunga dan sebuah note di loker mejanya. Sekarang, Vaya kembali membuatnya kaget dengan apa yang dia lakukan pada dua benda itu. Membuangnya ke tong sampah.

“Yang benar saja,” pikir Febi kesal.

“Itu bunga dari pengagum rahasia kamu loh Vay, ko di buang sih?”

“Please Feb, aku bukan kamu yang menyukai hal-hal menggelikan semacam ini. Bagiku ini tidak lebih dari sekedar sampah,” Vaya menjawab santai.

“Tapi itukan sweet banget Vaya,”

“Udah ah, nggak usah ributin hal nggak penting itu, mending kita ke kantin sekarang. Laper,” Vaya lantas melenggang pergi.

“Ih Vaya tunggu,” Febi berteriak. Berlari mengejar Vaya.

Tanpa mereka sadari. Ada dua pasang mata yang melihat apa yang mereka lakukan.

Dengan langkah pelan Ardi berjalan mendekati tong sampah dimana Vaya membuang apa yang dia taruh di meja gadis itu tadi pagi. Dia berjongkok, mengambil bunga mawar putih itu.

“Semuanya sia-sia,”

Rein menghela napas pelan. Bingung harus melakukan apa. Pada akhirnya dia hanya bisa menepuk bahu sepupunya itu pelan. Mencoba memberi kekuatan.

“Ini baru awal, kan? Masih banya waktu dan cara buat lo nebus kesalahan lo,”

“Gue emang nggak pantes di maafin Rein,” gumam Ardi putus asa.

Rein hanya diam. Tidak membantah ataupun membenarkan. Sebenarnya, jika boleh jujur. Dia juga pasti akan bertindak seperti Vaya. Jika apa yang dilakukan Ardi pada Vaya juga dilakukan padanya.

—-

“Nah itu dia Rein,”

Glen menoleh ke arah yang di tunjuk Fadil. Dan mendapati Rein yang tengah berjalan ke arah mereka dengan seorang laki-laki yang tidak dia ketahui siapa. Tapi terasa tidak asing untuknya.

“Sepupu lo?” Fadil bertanya begitu Rein sampai di depan mereka.

Glen hanya diam memperhatikan sosok yang ada di samping Rein dengan seksama. Mengingat-ngingat dimana dia pernah melihat sosok itu.

Rein mengangguk. “Iya, yang gue ceritain, dia baru dateng kemarin, kenalin nih, Ardi,”

“Fadil,” Fadil menjulurkan tangannya.

Ardi tersenyum kecil dan menerima uluran tangan Fadil. “Ardi,”

Setelah itu dia menatap Glen dan mengulurkan tangannya. “Ardi,”

“Glen,” menjabat tangan Ardi sebentar. Glen langsung menarik tangannya.

“Wih, kelompok kita kayaknya bisa makin makmur nih, anak dari keluarga Utomo ada di sini sih,” Canda Fadil lengkap dengan cengiran khasnya.

Sedetik setelah Fadil berkata. Glen tertegun. Mematung mendengar nama keluarga yang disebutkan Fadil.

“Laga lo Dil, nggak cukup apa lo morotin gue, lo juga mau morotin sepupu gue,”

“Yah Rein, namanya juga jarang-jarang dapet temen kong lo melarat, mesti di manfaatin, ya nggak Glen?”

Glen berdeham lantas mengangguk. “Iya,” jawabnya singkat.

Ardi terkekeh. “Boleh deh, karena kalian udah nerima gue di kelompok kalian, gue traktir kalian di kantin sepuasnya.”

“Eh gue kayaknya nggak bisa ikut deh, ada perlu, duluan yah,”

Dan Glen langsung melenggang pergi.

“Kenapa tuh anak?” Tanya Rein.

“Lo kaya nggak tau aja, kalo istirahatkan dia sibuk sama princesnya,” jawab Fadil.

“Siapa?” Kali ini Ardi yang bertanya.

“Vaya, adik kelas kami, satu angkatan sama lo ko Ar,” jawab Fadil.

Ardi tertegun. Dia terus menatap sosok Glen yang mulai menjauh.

—-

Glen berjalan dengan tergesa-gesa. Sepanjang perjalanan dia terus merutuk. Dia harus menanyakan hal ini pada Vaya. Memastikan apakah dugaannya benar atau salah. Dan ketika dia melihat sosok Vaya yang tengah memakan entah apa bersama Febi di kantin, tanpa pikir panjang dia langsung menghampiri gadis itu.

“Kakak mau bicara Vay,”

Vaya mengangkat kepalanya. Menatap Glen bingung. “Kenapa kak?”

“Ayo ikut kakak,”

Glen menarik lengan Vaya lembut. Membawanya pergi dari kantin. Tidak memperdulikan teriakan Febi yang merengek karena di tinggal sendirian. Glen menghentikan langkahnya begitu mereka sampai di taman belakang sekolah.

Glen berbalik. Memegang kedua bahu Vaya dan menatapnya dalam.

“Kenapa kamu nggak bilang?” Glen bertanya.

Vaya mengernyit. “Maksud ka Glen a…”

“Gerald,” potong Glen cepat.

“Kenapa kamu nggak bilang kalo ada siswa baru dan dia adalah laki-laki yang dulu nyakitin kamu?”

Vaya tertegun. Kaget dengan ucapan Glen. “Ka..”

“Jawab Vaya, apa ini jawaban dari pertanyaan aku tadi pagi?”

“A-aku..dia… ka..” Vaya menjawab dengan terbata-bata. Air matanya jatuh.

Oh tuhan. Vaya berusaha sekuat tenaga agar tidak menjadi gadis cengeng. Tapi lihatlah, entah sudah keberapa kalinya dia menangis sejak kemarin. Dan itu untuk alasan yang sama. Entah itu dulu ataupun sekarang. Penyebab kesedihannya hanya satu. Yaitu, seorang Ardian Geraldi Utomo.

“Aku ga…gal ka, a-aku gagal tepatin janji aku ke ma…mah,” Vaya bergumam lirih.

Tanpa berkata apapun. Glen langsung menarik Vaya dalam pelukannya. Membiarkan gadis itu menangis. Mengusap lembut rambut Vaya dengan tangannya.

Flashback

“The Big Bang adalah Teori yang menyatakan bahwa adanya suatu massa yang sangat besar dan mempunyai berat jenis yang besar pula. Karena ada reaksi inti, maka massa tersebut meledak dengan hebatnya (big bang). Bagian yang berserakan dengan cepat menjauhi pusat ledakan. Setelah berjuta-juta tahun, bagian-bagian yang berserakan tersebut membentuk kelompok-kelompok dengan berat jenis yang lebih rendah. Kelompok-kelompok tersbut yang menjadi galaksi sekarang ini,” wanita itu bercerita sambil menatap gadis di depannya.

“mamah berkata seperti ini karena ingin kamu jadi seperti itu Asta, akan ada masa dimana kamu merasa hidupmu begitu sempurna, dan inti dari kesempurnaan hidupmu akan menghancurkan semuanya. Meledak dan membuatmu hancur. Jadi mamah ingin kamu bertahan dari sisa-sisa ledakan itu menyatukan kembali bagian-bagian yang hancur, memang butuh waktu tapi kamu akan membentuk kesempurnaan yang lain,”

Dan tangis gadis bernama Asta itu pecah. Dia berhambur memeluk mamahnya. Mengeluarkan semua rasa sakit yang ada di hatinya.

“Asta janji mah, Asta akan bangkit dan akan membuat mamah bahagia, biar mamah nggak sedih lagi, kita akan selalu bahagia, berdua, selamanya,” sebuah janji sederhana terucap dari gadis berumur empat belas tahun. Gadis yang telah kehilangan kata bahagia dalam hidupnya dan bermimpi untuk bahagia.

—-

Hai hai hai???

Aku balik lagi sama Ardi-Vaya. ???

Aduh nggak nyangka bisa cepet update lagi. Mudah”an aja nggak mengecewakan ??????

Btw, jangan lupa Votement yah, ???

Salam hangat,

Dilah Nafisah

3 Komentar

  1. farahzamani5 menulis:

    Jdi Glen tau siapa Ardi sebenarnya, sampe kaget gtu pas tau nama keluargany Ardi dan kita2 disini yg blom tau huhu
    Bnr2 dah penasaran, apa sbnrnya yg dilakuin Ardi dahulu kala ke Vaya
    Janji apa Vaya ke mamahny, janji spy bsa bangkit lgi, bangkit dri apa
    Ditunggu part selanjutny
    Semangat trs yak

    1. dilahnafisah menulis:

      Tau sama kenal itu beda nggk sih? Bedakan. :D

      Di prolog udah ada bocorannya kok say, ;)

      Bangkit dari kubur :D :D :D

  2. fitriartemisia menulis:

    oooowww, Glen udah tau ceritanya si Ardi sama Vaya tapi belum kenal muka yaaa, hmmmm