Vitamins Blog

Gifts Of Love Bab 2 : Aku Bukan…

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

17 votes, average: 1.00 out of 1 (17 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

-o0o-

Tujuan pertama Valerie saat pergi dari rumah yang ia tinggali bersama Zian adalah rumah orang tuanya. Mobil Valerie memasuki pekarangan rumah dan berhenti di garasi yang biasanya diisi dengan mobil ayahnya. Valerie keluar dari mobil dan membuka bagasi, ia meregangkan ototnya sebelum mengangkat satu koper miliknya yang sangat berat. “Semangat Lerie!” Valerie berseru untuk menyemangati dirinya sendiri.

Kaki Valerie melangkah, masuk ke dalam rumah. Kedatangannya disambut oleh keheningan, tidak ada siapa pun di rumah yang ia masuki. Jika saja ayahnya masih hidup, Valerie pasti akan disambut dengan pelukan hangat sang ayah saat ini.

Bukankah kehidupan Valerie sangat menyedihkan? Kehilangan anak, kehilangan suami, dan ia tidak mempunyai orang tua yang bisa dijadikan tempat bercerita dan bergantung di saat seperti ini.

Tanpa Valerie sadari, ia menghabiskan waktu bermenit-menit untuk merenung. Saat kesadarannya kembali, ia kembali berjalan sambil menyeret koper ke dalam kamar. Valerie masuk ke dalam kamarnya dulu. Ketika memasuki kamar, hal pertama yang ditangkap mata Valerie adalah puluhan foto yang menempel rapi di dinding kamar. Itu foto Zian yang dulu Valerie ambil diam-diam. Foto-foto itu membuat bibir Valerie tertarik membentuk senyuman.

Tangan kanan Valerie bergerak, mengusap wajah Zian di foto yang menempel di dinding kamarnya. Dan saat itu ingatan Valerie melayang saat ia dan Zian SMP.

“Kamu kenapa, Rie?” suara lembut penuh perhatian mengejutkan Valerie yang sedang menangis di belakang kelas 2 C, kelas paling pojok.

Valerie yang dalam posisi duduk, mendongak dan matanya yang dipenuhi air mata menatap langsung ke mata Zian. Tatapan mata Valerie seakan mengatakan jika ia membutuhkan Zian. Satu tangan Valerie terulur ke arah Zian, dan uluran tangan itu disambut cepat oleh Zian. Zian pun menarik Valerie sehingga gadis itu berdiri tepat di depannya. Ia mengusap air mata yang masih mengalir di pipi Valerie.

“Siapa yang mengganggumu?” tanya Zian.

“Tidak ada yang menggangguku, Mas,” jawab Valerie, yang tentu saja Zian tidak percaya akan jawaban Valerie itu.

“Tatap mata Mas, Rie. Kau tidak akan menangis jika tidak ada yang mengganggumu.” Iya, yang diucapkan Zian sangat benar. Valerie menangis karena diganggu teman-teman sekelasnya. “Siapa yang mengganggumu, hmm?” Valerie tidak bisa mengelak lagi ketika Zian bertanya dengan nada seperti itu, Valerie selalu luluh saat Zian mulai berbicara sangat lembut padanya.

“Semua anak laki-laki di kelasku,” jawab Valerie lirih.

“Apa yang mereka lakukan?!” Suara Zian meninggi. Dia selalu bereaksi sama jika ada yang mengganggu Valerie.

“Ulat.” Suara Valerie semakin mengecil saat menyebutkan hewan kecil yang sangat membuatnya takut itu. “Mereka menakut-nakutiku dengan ulat.” Rahang Zian mengeras saat tahu apa yang menyebabkan Valerie menangis. Zian menarik Valerie ke dalam kelas, dan tentu saja Valerie mencoba menolaknya, gadis itu masih sangat takut, membayangkan ulat di mana-mana itu sangat mengerikan.

“Jangan takut, ada Mas.” Tangan Zian mengusap kepala Valerie.

Kelas sepi saat Zian dan Valerie masuk, hanya ada beberapa anak yang tidur di dalam kelas. Valerie menatap takut-takut ke arah kursinya, karena di situlah teman-temannya sering meletakkan hewan kecil yang membunuh, bagi Valerie ulat bisa membunuhnya. Valerie bertahan di tempatnya berdiri dan menolak ketika Zian ingin membawa Valerie ke tempat duduk gadis itu. Zian pun menghembuskan napasnya kasar, sebelum berjalan sendiri ke tempat duduk Valerie, memeriksa kursi, meja dan laci. Ia pun mengangguk pada Valerie setelah melihat semuanya aman.

Jangan menangis lagi, nanti mereka semakin senang mengganggumu jika kau terus menangis.” Air mata Valerie kembali ingin menetes saat mendengar nasihat Zian. Valerie sangat ingin seperti itu, tapi nyatanya itu sangat sulit untuk gadis itu lakukan. Ketakutan Valerie pada monster kecil itu menghilangkan semua akal sehatnya.

“Aku tidak bisa untuk tidak menangis, Mas. Monster kecil itu sangat menakutkan.” Suara Valerie serak saat menjawab nasihat Zian.

“Iya, Mas tahu. Tapi, sekarang jangan menangis lagiya.” Tangan Zian yang selalu menjadi favorite Valerie bergerak dan menggenggam telapak tangan Valerie. “Sekarang mas tinggal, ya? Sebentar lagi jam istirahat berakhir.” Tanpa menunggu jawaban Valerie, Zian langsung berbalik dan pergi keluar kelas Valerie.

Hanya selang beberapa menit saja sejak Zian keluar kelas. Anak-anak yang sangat senang mengganggu Valerie, masuk ke dalam kelas. Mereka melihat Valerie dan menunjukkan senyuman geli mereka. Valerie memucat saat melihat tangan Deri -salah satu anak yang sering mengganggu Valerie- masuk ke dalam kantong celananya. “Jangan lagi, aku mohon jangan lagi.” Mulut Valerie terus bergumam takut.

“Valerie, aku ada sesuatu untukmu.” Dengan sigap Valerie berdiri dan mundur saat Deri mulai mendekat ke arahnya.

“Jangan, Der!” Valerie tidak bisa menahan jeritannya.

“Loh, kenapa kau mundur, Val? Sini, aku punya mainan lucu.” Detik itu juga seokor ulat berwarna hitam dan berbulu, Deri lempar ke arah Valerie. Jeritan Valerie langsung memenuhi ruang kelas 1 B. Sebelum gadis itu pingsan karena terlalu takut.

-o0o-

“Rie… bangun, Rie.” Seorang anak laki-laki dengan seragam rapinya, sedang mencoba membangunkan Valerie. Valerie sebenarnya mendengar suara anak laki-laki itu, tapi ia tetap memejamkan matanya, Valerie ingin berpura-pura masih pingsan, karena ia berpikir yang membangunkannya adalah anak-anak yang tadi mengganggunya. Perasaan takut itu masih menyelimuti Valerie. “Buka matamu, Rie, ini Mas.” Saat sadar yang memanggilnya sejak tadi adalah Zian, Valerie membuka matanya cepat, lalu menangis dengan sangat kencang. Ia menangis bukan karena takut lagi, tapi karena ia menyadari jika dirinya aman sekarang.

“Aku takut.” Valerie mengadu pada Zian, suaranya sangat pelan dan menyedihkan.

“Ssstt, sudah jangan nangis lagi, kau aman sekarang.” Valerie kembali mendengar suara lembut Zian. Suara menenangkan yang menjadi favorite Valerie.

Mata Valerie bergerak, melihat ke segala arah, dan Valerie menyadari jika saat ini ia berada di UKS. Mata Valerie pun tidak sengaja melihat jam dinding yang ada di depannya. Jarum jam menunjukkan pukul 11.25 dan artinya sekarang sedang jam masuk. “Mas tidak masuk kelas?” tanya Valerie.

“Aku menunggumu sadar,” jawab Zian, masih dengan nada lembut. “Sekarang ayo kita masuk kelas.” Seketika Valerie menegang saat Zian mengajaknya masuk ke kelas. “Tidak, aku tidak ingin masuk ke kelas, itu sangat menakutkan!” Jerit Valerie di dalam hati.

“Badanku masih lemas, Mas. Mas saja yang masuk kelas, aku istirahat dulu di sini.” Valerie menjawab ajakan Zian sambil menarik sudut bibirnya membentuk senyuman tipis.

Mata Zian menyipit, seakan menilai keadaan Valerie. “Tidak apa-apa Mas tinggal?” Ada keraguan dari suara Zian. Valerie langsung mengangguk untuk meyakinkan Zian jika ia baik-baik saja sekarang. Ya, sebenarnya Valerie memang baik-baik saja jika tetap tinggal di sini, namun lain hal jika gadis itu masuk ke kelas sekarang.

“Iya, Mas. Aku tidak apa-apa,” jawab Valerie.

Meski sedikit ragu, Zian akhirnya tetap pergi untuk masuk ke kelas.

-o0o-

Valerie menggelengkan kepalanya saat kesadarannya kembali. Ia tidak ingin terus menerus mengingat masa lalu, mengingat kenangan indahnya bersama Zian, karena ia takut bayangan masa lalu mereka bisa membuat keegoisannya kembali. “Jangan menapak jalan yang akan membawa orang lain ke neraka, Valerie!” Valerie menepuk kepalanya pelan sambil berbicara, memperingatkan dirinya sendiri.

Mata Valerie yang sejak tadi begitu fokus melihat foto-foto Zian, tidak sengaja melihat koper besar yang tadi ia bawa. Seketika itu juga Valerie sadar jika masih ada dua koper lagi di dalam mobil. Hembusan napas kasar keluar dari celah bibir Valerie. “Ini akan sangat melelahkan,” gumamnya. Valerie pun berjalan keluar, untuk mengambil koper-koper yang masih ada di dalam mobil.

Selain urusan tiga koper besar, Valerie masih ada pekerjaan lain yang pasti akan menguras tenaganya. Valerie harus membersihkan rumah orang tuanya yang cukup besar ini sendirian. “Inilah mengapa banyak wanita memilih menjadi wanita karir, setidaknya mereka tidak akan terlalu bergantung pada suaminya, terutama masalah keuangan,” gumam Valerie. Tapi, yang baru saja diucapkan Valerie memang benar, jika saja sejak awal ia tidak terlalu bergantung pada Zian, saat ini ia mungkin bisa membayar orang untuk membantu kepindahannya, karena jika ia bekerja ia akan mempunyai uang sendiri. Namun nyatanya Valerie memang wanita yang terlalu bergantung pada suami. Uang yang ia bawa tidak terlalu banyak untuk menyewa jasa seseorang. Uang yang tidak seberapa itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan Valerie beberapa minggu saja.

Akhirnya tiga koper besar yang Valerie bawa tadi, sudah berdiri manis di dalam kamar, saat ini Valerie mulai menyusun pakaiannya ke dalam lemari. Dalam hati, Valerie merasa bersyukur karena ia sudah membersihkan kamar ini sebelumnya. Berkali-kali Valerie menguap saat menyusun pakaian-pakaiannya ke dalam lemari. Baru satu koper yang kosong, namun Valerie mulai menyerah akan rasa kantuk yang menyerangnya. Hari masih sangat pagi, tapi ia sangat mengantuk. Valerie sangat tahu tidur di pagi hari tidak baik untuk kesehatan, tapi ia benar-benar kalah oleh rasa kantuknya. Valerie pun merangkak naik ke atas tempat tidur dan memejamkan matanya.

“Mama, kapan papa pulang?”

“Ma, kenapa Papa tidak pernah jemput Aila? Papa teman Aila selalu jemputnya di sekolah.”

“Ma, kenapa papa tidak datang ke pesta ulang tahunku?”

“Sakit, Ma.”

“Aila ingin tidur, Ma. Tapi Aila mau dipeluk papa dulu.”

Valerie terlonjak, secepat kilat ia bangun dari rebahannya. Keringat mengalir di dahi dan tengkuknya. Valerie merasa jika ia baru tidur beberapa menit dan ia harus terbangun karena memimpikan beberapa ucapan Aila. Valerie mengangkat lengan kirinya untuk melihat jam yang melingkar di sana. Matanya membulat saat melihat jarum jam, ternyata ia bukan tidur beberapa menit, tapi ia sudah tidur selama 3 jam. “Pantas saja perutku terasa perih, aku belum makan dari tadi pagi.” Valerie mengusap perutnya.

Valerie turun dari ranjang dan berniat pergi belanja. Agar terlihat lebih segar, Valerie membasuh wajahnya. Lalu ia mengganti baju dan memoles make up tipis di wajahnya. Ia melihat cermin dan langsung mengambil dompet dan kunci mobil ketika merasa cukup dengan dandanannya yang sederhana seperti biasa.

Mobil Valerie bergerak menuju Giant Mall. Ia bisa mencari makan di sana, sekaligus bisa membeli kebutuhan dapur. “Apa saja ya yang harus aku beli nanti?” Valerie mengingat-ingat beberapa barang perlu ia beli nanti. Seharusnya ia membuat catatan tadi sebelum berangkat, namun sayang hal itu tidak terpikirkan olehnya.

Valerie pun sampai di Giant Mall. Tujuan pertamanya adalah mencari restoran dan makan, cacing di perutnya benar-benar sudah protes karena belum juga mendapatkan jatah makan. Saat ini Valerie berada di lantai 3 dan matanya langsung tertuju pada restoran ayam bakar taliwang khas lombok, tanpa banyak berpikir Valerie masuk ke dalam restoran itu. Saat melihat menu, ia memutuskan memesan ayam penyet komplit.

“Maaf, Mbak, apa saya boleh minta kertas dan pinjam penanya?” Sejujurnya Valerie malu harus meminta kertas dan meminjam pena pada pelayan yang tadi menanyakan pesanannya. Tapi ia harus menahan rasa malu itu jika tidak ingin ketinggalan membeli sesuatu. Sebenarnya ia bisa saja mencatat di ponselnya. Tetapi, Valerie sengaja mematikan ponselnya dan belum berniat untuk menghidupkannya kembali.

“Ini, Mbak.” Valerie tersenyum dan menggumamkan terima kasih saat pelayan tadi memberikan kertas dan pena padanya.

Sambil menunggu ayam penyet pesanannya, Valerie dengan serius menulis barang-barang apa saja yang penting dan harus ia beli hari ini. “Selesai.” Valerie tersenyum dan memasukkan kertas catatannya ke dalam dompet.

“Maaf menunggu lama, Mbak.” Pelayan yang sama dengan yang menanyakan pesanan Valerie tadi, datang dan mengantarkan pesanan Valerie.

“Tidak apa-apa, Mbak,” jawab Valerie sambil tersenyum. “Oya, ini penanya tadi, Mbak. Terima kasih.” Ucapan Valerie hanya dijawab oleh senyuman sopan sang pelayan. Dan Valerie pun segera menyantap makan siangnya, setelah pelayan tadi pergi.

“Sayang.” Valerie terbatuk karena tersedak saat ada seseorang yang tiba-tiba saja mengusap pencak kepalanya dan memanggilnya ‘sayang’. “Hei, pelan-pelan.” Tidak peduli dengan siapa sebenarnya pria asing yang sembarangan mengusap kepalanya, Valerie tetap menerima gelas berisi air putih yang diulurkan pria asing itu. “Sudah lebih baik?” Valerie pun akhirnya mendongak dan melihat wajah si pria asing.

Dalam keadaan bingung, Valerie manganggukkan kepalanya. “Kau siapa?” Si pria asing langsung mengernyitkan dahinya saat mendengar pertanyaan Valerie.

“Apa kau sakit?” Bukan menjawab pertanyaan Valerie, si pria asing justru balik bertanya. Jelas pertanyaan itu membuat Valerie mengernyitkan dahinya. “Kau baru saja menanyakan aku siapa, kan? Karena itulah aku bertanya apa kau sakit, bagaimana mungkin kau melupakan suamimu sendiri.” Mata Valerie membulat saat mendengar ucapan si pria asing.

“Maaf, apa kau baru saja mengatakan jika kau suamiku?” Karena setengah tidak yakin dengan pendengarannya, Valerie memutuskan untuk bertanya.

“Ada apa denganmu, hmm?” Valerie yang dalam kondisi tidak untuk diajak bercanda, ingin menjerit dan mengusir pria asing yang sangat aneh ini.

“Maaf Mas yang aku tidak tahu siapa namanya, aku sedang tidak dalam keadaan yang baik. Jadi, jika kau ingin bercanda atau mungkin kau membawa kamera tersembunyi, harap pergi secepatnya.” Suara Valerie pelan dan tegas, saat mengusir si pria asing.

Bukannya mengindahkan ucapan Valerie, si pria asing justru menunjukkan wajah terlukanya. “Kau masih marah?” Suara pria itu terdengar pelan, bahkan sangat pelan.

Valerie memutuskan untuk mengabaikan pria asing itu. Ia kembali fokus pada ayam penyetnya. Sesuap demi sesuap nasi beserta ayam dan sambal masuk ke dalam mulut Valerie. Sudut mata Valerie dapat melihat jika si pria asing duduk di kursi yang ada tepat di sampingnya. Valerie pun berusaha untuk mengabaikannya, namun pada menit kelima, ia gagal untuk mengabaikan si pria asing itu.

“Apa yang kau lakukan?!” Valerie membentak si pria asing yang tiba-tiba saja menggenggam tangannya. “Jangan sembarangan menggenggam tangan orang!” Suara Valerie masih terdengar tinggi dan penuh amarah.

“Aku salah, aku minta maaf.”

“Kalau begitu pergilah, jangan menggangguku. Aku sedang tidak ingin bercanda saat ini.”

Si pria asing tidak sedikitpun beranjak dari kursi yang ia duduki. Kata maaf yang diucapkan oleh pria asing itu sebenarnya bukan untuk apa yang ia lakukan pada Valerie tadi. Tapi, ia minta maaf untuk hal yang berbeda.

“Habiskan makananmu.” Mata si pria asing yang memancarkan luka itu, menatap dalam ke mata Valerie.

Merasa kenyamanannya sudah terganggu, Valerie memutuskan beranjak dan meninggalkan makanannya. Ia pergi membayar makanan yang ia pesan tadi, lalu pergi dari restoran tanpa sedikitpun menoleh pada si pria asing. Dengan menahan dongkol, Valerie berjalan menuju tempat kebutuhan rumah tangga.

“Kenapa kau belanja banyak sekali?” Seketika Valerie menahan napas saat si pria asing yang tadi ia tinggalkan, tiba-tiba muncul dan mengambil keranjang yang berisi belanjaan yang ia bawa.

“Kau lagi?!” Jerit Valerie. “Kau mau apa sebenarnya?” Kedua tangan Valerie mengusap wajahnya frustrasi.

“Ingin menemani istriku belanja.” Si pria asing menjawab dengan santai.

“Sekarang kau jujur saja, kau dari acara apa sebenarnya agar aku tidak terlihat bodoh. Aku bisa berpura-pura,” bisik Valerie.

Valerie menyadari jika ia terus marah-marah pada pria asing, si pria itu asing justru akan semakin mengganggunya. Jadi, Valerie memutuskan untuk mengikuti permainan si pria asing.

“Kau ini bicara apa? Sudah, ayo lanjutkan belanjanya,” jawab pria asing, lalu pria asing itu berjalan sambil membawa keranjang yang tadi ia rebut dari tangan Valerie.

“Aku bukan mau ke sana, aku ingin membeli sayur!” teriak Valerie.

“Oh salah, ya?” Si pria asing menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Lalu, berjalan di belakang Valerie.

“Sebenarnya siapa namamu?” sambil melihat ke kiri dan ke kanan, Valerie menanyakan nama si pria asing dengan suara pelannya.

“Kau benar-benar lupa nama suamimu sendiri?” tanya si pria asing. “Nama suamimu ini Rafka Guntra.”

Mulut Valerie membulat, membentuk huruf O saat tahu nama si pria asing, kepalanya pun mengangguk-angguk pelan. “Oh jadi, namamu Rafka, aku akan memanggilmu Mas Afka, karena kau terlihat lebih tua dariku.” ucap Valerie. Setelah itu ia berjalan meninggalkan Rafka, tidak melihat ekspresi terluka dari pria itu.

“Kau benar-benar marah padaku ternyata, bahkan untuk sekadar mengingat namaku pun kau tidak sudi,” gumam Rafka.

Rafka berulang kali menghirup napas dalam, setelah tenang ia kembali mengekor di belakang Valerie. “Kau melewatkan ini, Sayang.” Rafka mengambil seikat kangkung lalu memperlihatkannya pada Valerie.

“Mengapa kau memberiku ini?” dahi Valerie mengernyit, namun tangannya tetap bergerak mengambil seikat kangkung di tangan Rafka, lalu meletakkannya di keranjang yang Rafka bawa.

“Karena itu sayur kesukaanmu,” jawab Rafka sambil mengambil lagi dua ikat kangkung dan memasukkannya ke keranjang.

Acara belanja Valerie yang di temani oleh pria asing bernama Rafka, berlangsung cukup lama. Yang awalnya hanya memakai keranjang jinjing, sekarang satu keranjang dorong sudah penuh dengan belanjaan Valerie. Saat ini Valerie dan Rafka sedang mengantri untuk membayar belanjaan Valerie.

“Kau tidak perlu ikut mengantri, Mas Afka.” Rafka tidak mendengarkan ucapan Valerie, ia tetap berdiri di belakang Valerie. Hingga kasir menyebutkan jumlah yang harus Valerie bayar pun, Rafka masih berdiri di belakang Valerie.

“Ini.” Rafka mendahului Valerie, ia memberikan kartu kreditnya pada kasir.

“Kau tidak perlu melakukan ini, Mas Afka.” Valerie langsung menolak. Ia tidak ingin belanjaannya yang tidak sedikit dibayar oleh orang asing.

“Tidak apa-apa, aku baru ingat jika uang bulananmu belum aku transfer,” jawab Rafka.

Dalam hati Valerie berjanji pada dirinya sendiri, untuk mengembalikan uang Rafka saat mereka keluar nanti. “Sekarang kita ke mana?” Tanya Rafka.

“Pulang,” jawab Valerie, lalu berjalan menuju tempat parkir.

Sebelah alis Valerie terangkat saat melihat Rafka membawa barang-barang miliknya ke arah yang berlawanan dengan tempat mobilnya terparkir. “Mobilku di sebelah sana,” ucap Valerie. Dan Rafka pun akhirnya memutar arah.

Semua belanjaan Valerie sudah dimasukkan ke dalam bagasi. “Mas Afka, ini uang untuk mengganti uang Mas Afka tadi.” Valerie memberikan sebelas lembar uang seratus ribuan pada Rafka.

“Mana kunci mobilnya?” Seakan ucapan Valerie tadi tidak masuk ke telinga Rafka. Pria itu justru meminta kunci mobil pada Valerie. Uang yang Valerie berikan pun Rafka abaikan.

Mau tidak mau, Valerie pun memberikan kunci mobilnya pada Rafka. “Masuklah,” perintah Rafka lembut. Rafka baru masuk dan mengendarai mobil Valerie setelah memastikan Valerie duduk dengan nyaman dan memakai sabuk pengaman.

Terlalu lama merenung karena bingung dengan situasi yang sedang dihadapinya, membuat Valerie lupa memberitahu alamat rumahnya pada Rafka. Tahu-tahu mobil Valerie yang dikendarai Rafka sudah berhenti di depan rumah minimalis dan indah dengan banyaknya bunga di depan rumah itu.

“Rumah siapa ini?” tanya Valerie saat kesadarannya kembali.

“Rumah kita,” sahut Rafka sambil mengambil kantong-kantong yang berisi belanjaan Valerie tadi. “Ayo, masuk.” Meskipun masih merasa bingung, Valerie tetap mengekor di belakang Rafka.

“Assalammualaikum.” Rafka mengucap salam saat membuka pintu dan segera mendapat sahutan dari dalam.

“Waalaikumsalam.” Seorang wanita setengah baya keluar dan matanya langsung terpaku pada Valerie. “Ini siapa, Nak?” Wanita setengah baya itu bertanya pada Rafka.

“Kalian sama-sama aneh hari ini, tadi Meta yang menanyakan aku siapa dan sekarang mama yang lupa nama menantu sendiri.” Rafka menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sayang, aku meletakkan belanjaannya ke dapur dulu, kamu mandi duluan saja.” Mulut Valerie dan ibu Rafka, sama-sama terbuka.

“Maaf, Bu. Saya sangat bingung dengan situasi ini. Tiba-tiba saja anak Ibu mendatangi saya dan bertingkah seakan saya istrinya. Apa saya sangat mirip dengan menantu Ibu?” Valerie tidak tahan untuk tidak bertanya.

Sambil mengembuskan napas kasar, ibu Rafka mengajak Valerie ke ruang tamu. “Masuk dulu, Nak. Saya akan menjelaskannya.”

Dengan sopan, Valerie mengekor di belakang ibu Rafka. Ia duduk tepat di depan ibu Rafka. “Sebelumnya saya minta maaf, Nak…,” ucapan ibu Rafka menggantung karena ia tidak tahu nama Valerie.

“Valerie, nama saya Valerie, Bu.” Valerie menjawab cepat.

“Ah … iya, Nak Valerie. Saya ingin minta maaf sekaligus minta bantuan, Nak Valerie.” Ibu Rafka menunjukkan senyuman sungkannya.

“Maaf untuk apa, Bu? Dan jika saya bisa membantu, akan saya bantu, Bu,” jawab Valerie.

“Saya minta maaf atas apa yang dilakukan anak saya. Sebelumnya, saya mau menceritakan sedikit tentang anak saya.” Ibu Rafka menghelah napas kasar. “Sebenarnya ini bukan kali pertama, sudah beberapa kali Rafka menganggap wanita lain sebagai istrinya. Meta, istri Rafka meninggal tahun lalu dan Rafka tidak bisa menerima kenyataan itu, karena itulah dia sering menganggap wanita yang mempunyai rambut seperti rambut, Nak Valerie, sebagai Meta. Rambut kalian sama, panjang, hitam dan bergelombang.” Valerie terdiam ketika mendengar kisah Rafka.

“Lalu, Ibu ingin minta tolong apa?” tanya Valerie, setelah beberapa menit terdiam.

“Itu, bisakah, Nak Valerie berpura-pura menjadi Meta? Setidaknya sampai Rafka sadar kalau Nak Valerie itu bukan Meta.” Mata Valerie membulat.

“Berpura-pura menjadi istri orang yang baru aku kenal beberapa jam, apa masuk akal?” tanya Valerie pelan.

“Saya sadar ini tidak masuk akal, Nak. Tapi saya benar-benar sedih melihat keadaan Rafka yang seperti ini.” Mata Ibu Rafka mulai berkaca-kaca, suaranya pun terdengar serak.

“Lalu bagaimana jika Mas Afka ingin … ibu tahu maksud saya, yang biasa dilakukan suami istri. Saya tidak mungkin menyanggupinya, Bu.” Valerie menjawab tegas.

“Jika Nak Valerie ingin berpura-pura menjadi Meta, saya akan membantu agar Rafka tidak melakukan hal itu pada Nak Valerie.” Ibu Rafka begitu yakin akan ucapannya. Dan hal itu membuat Valerie terdiam sesaat.

“Ibu yakin bisa melakukannya?” Tanya Valerie.

“Iya, sangat yakin, Nak.”

Valerie menunduk dan kembali bungkam. Mungkin akan menyenangkan jika aku bersama dengan orang yang memiliki luka yang sama denganku. Ah tidak… tidak. Tidak seharusnya aku berpura-pura menjadi istri orang lain. Bagaimana pun juga, itu tidak masuk akal. Raut wajah Valerie berubah-ubah karena pergolakan batinnya. Kedua sisi hatinya saling mendorong sama kuat, antara ingin membantu dan menolak permintaan wanita setengah baya yang berdiri berhadapan dengannya.

“Saya sangat mengharapkan bantuanmu, Nak. Mungkin dengan dirimu berada di sisi Rafka dan berpura-pura menjadi Meta, Rafka yang dulu bisa kembali. Wanita tua ini sangat ingin melihat anak semata wayangnya kembali ceria dan bersemangat. Tolonglah wanita tua ini, Nak.” Genggaman erat di telapak tangannya, serta pandangan memohon  dengan bola mata yang berair dari Bu Anis -ibu Rafka- membuat Valerie tergagap. Beberapa kali mulutnya terbuka dan tertutup kembali tanpa mengeluarkan satu kata pun. Dan akhirnya, sisi hati yang mendorong Valerie untuk membantulah yang menang. Air mata yang mengalir di wajah Bu Anis membuat Valerie ibah.

“Baiklah, Bu. Saya akan mencoba untuk berpura-pura menjadi menantu Ibu. Walaupun saya tidak terlalu yakin itu akan bisa mengembalikan Rafka seperti dulu atau justru sebaliknya.” Ada senyuman tipis di bibir Valerie. Dan itu menular pada Bu Anis. Wanita setengah baya itu mengembuskan napas lega sembari mengusap punggung tangan Valerie yang ada dalam genggamannya.

Bersambung

13 Komentar

  1. Whaaattt jadi istri pura-pura nya Rafka?! Wah gimana sama Zian, huhuhu ditunggu nextnya yaaa

    1. Makasih udah baca cerita abal-abalku ini, saya. Hehe
      Next chapter gak bakal lama kok??

    2. Duh elah, pakai typo pula say maksudnya bukan saya??

  2. farahzamani5 menulis:

    Nnt Val jdi suka beneran loh ama mas afka
    Udah dah Val ama mas afka ajahh, biar zian ke laut ajahhh
    Aq sebel bngt dah ama zian ka, ihhh gregetan haha
    Aq mentok di part 5 ka, lanjut pelan2 ya ka aq bca ny hihi
    Semangat ka

    1. Hehe, makasih udah baca tulisan abal-abalku ini palah???

    2. farahzamani5 menulis:

      Sma2 ka
      Bgs kok ini ka, lahhh aq nulis judul aja bingung haha

    3. farahzamani5 menulis:

      Ka, aq msh stuck di part 5 ini, blom nmbh2 ni, udah kebayang Hanan aja ini, gmn dongs ehh haha

  3. Berharap Mas Rafka jd suami beneran Valerie
    Zian dilupakan aja dah
    Ditunggu kelanjutannya

  4. Ahhh Valerie ketemu mas Rafka….walaupun harus jadi istri pura-pura, ntah kenapa aku berharap Valeri berakhir dengan Mas Afka sajaaaaa >_<
    Ziannya abaikan sajaaa, kasih kucing aja aku sebel sama dia =_=

    1. Wkwkwk, aku juga setuju

  5. Udh sama Rafka aja, si Zian biarvke laut aja, wkwkwk

    1. Aduh typoo, biar ke laut aja

  6. fitriartemisia menulis:

    sama Rafka ajaaaa #teamRafka haha