Vitamins Blog

Miss Adviser (Part 1)

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

14 votes, average: 1.00 out of 1 (14 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Note : Ini adalah side story Alby dari cerita Mr. Red Wristlet-watch. Jadi ini bercerita dari sudut pandang Alby. Akan aku bagi jadi dua bagian. Ini part 1 dulu. Part 2-nya… ntah kapan :D *duh*

Kalau gitu selamat membaca :)

=============================================================

Sabtu siang, saat di mana para siswa dan siswi bersorak gembira karena jam pelajaran telah usai. Semuanya berhambur keluar dari ruang kelas. Kecuali seorang siswa kelas XII Ipa 2 itu.

Namanya Alby Luthfy Adinata. Ia adalah siswa semester lima di sekolah itu. Ia merupakan siswa terpandai seangkatannya, memperoleh nilai yang selalu memuaskan di setiap mata pelajaran, membuat setiap guru bangga terhadapnya. Ia juga merupakan mantan ketua klub sepak bola di sekolah. Satu piala emas pernah diraih klub sekolahnya setahun lalu, saat ia masih menjabat sebagai ketua klub, dan itu membuatnya digandrungi banyak siswi di sekolah.

Semua orang membanggakannya, kecuali ayahnya. Ia tidak pernah tahu apa isi otak ayahnya itu. Ia sudah menjadi juara satu, tapi ayahnya itu tidak pernah menunjukkan kalau dia bangga pada anaknya. Sesuatu yang membuatnya iri. Ketika para orang tua memuji anaknya saat anaknya menjadi juara kelas, ayahnya tidak pernah melakukan itu. Dia malah menekan Alby terus-menerus, menyuruhnya untuk selalu belajar.

“Hah….” Helaan napas itu keluar begitu saja dari mulut Alby. Pria itu menelungkupkan kepalanya ke atas meja. Lelah, itu yang ia rasakan. Setelah lebih dari seperempat hari berkutat dengan berbagai mata pelajaran yang membuatnya pusing setiap harinya, kini saatnya lelah itu datang.

Alby memejamkan matanya. Tidur sebelum pulang sepertinya lebih baik.

***

Satu jam kemudian Alby bangun dari tidurnya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan merenggangkan badannya untuk beberapa saat. Ia memeriksa jam tangannya. Tepat pukul tiga. Ia harus pulang sekarang.

Mengingat pulang membuat kepalanya kembali sakit. Pulang dan rumah, bukanlah kata-kata yang bagus untu dia ucapkan. Rumahnya bagaikan neraka untuknya. Kembali ke rumah berarti masuk ke dalam neraka. Terdengar berlebihan memang. Tapi itulah yang ia rasakan.

Alby bangkit dari kursinya dengan tasnya yang ia selempangkan di pundak. Dan ia pun berlalu meninggalkan kelas.

Ia berhenti di depan kelasnya, mengedarkan pandangan dan berujung menggerutu. ‘Aisshh… Kenapa sepi sekali? Ke mana orang-orang?’ batinnya. Ia merogoh saku celananya mengambil handphone-nya, bermaksud menghubungi temannya, Anan, saat tiba-tiba ada seseorang yang menabrak punggungnya.

“Ah, maaf. Aku tidak lihat,” ujar seseorang di belakangnya. Pastilah orang itu yang menabraknya. Ia membalikkan badan dan akhirnya melihat orang itu.

Seorang gadis. Dan dia tidak sendiri. Dia bersama temannya. Alby terus menatap gadis itu hingga gadis itu mendongakkan kepalanya dan akhirnya ia bisa melihat dengan jelas wajah itu. Dahinya mengkerut. Wajah itu sepertinya tidak asing baginya. Tapi, kapan dan di mana tepatnya dia pernah melihat gadis itu?

Ia berlalu dari hadapan kedua gadis itu sambil mengingat-ingat lagi. Tapi nihil. Ia tidak mengingat apapun.

Al, kau payah! Mengingat pelajaran kau bisa. Tapi mengingat wajah satu gadis saja kau tidak bisa? Pantas saja kau jadi jomblo sampai sekarang!

***

“Hallo, Al?” jawab orang di seberang. Alby—yang sedang sendirian di parkiran—mendengus kesal.

“Kau ada di mana sekarang? Kau bilang kau mau pulang denganku. Masa aku tinggal tidur sebentar saja kau sudah menghilang?” Orang di seberang telepon mendelik tidak terima. Sebentar katanya?

“Hei Al, kau tidak sadar kau tidur seperti babi? Satu jam kau anggap sebentar? Aku tinggal makan di kantin, sampai aku kembali ke kelas saja kau belum bangun juga dan kau bilang itu sebentar?” dengus orang itu. Alby terkekeh kecil mendengar ocehan orang di seberang.

“Hahaha… Maaf saja Nan, dalam kamusku kan sebentar sama dengan satu jam,” gurau Alby. Orang di seberang telepon yang dipanggilnya ‘Nan’—Anan—itu mendengus lagi. Namun tidak dihiraukannya sama sekali. Ia kembali melanjutkan, “Kau tahu sendiri, akhir-akhir ini aku kurang tidur. Papa menyuruhku untuk belajar, sampai larut malam sekalipun, hanya gara-gara aku mendapat nilai 95 di kuis matematika minggu kemarin,” terang Alby mencoba menjelaskan.

Di seberang, Anan menghela napasnya. Ia kasihan pada Alby. Temannya itu sangat pintar, dan selalu menjadi nomor satu di sekolah. Tapi herannya ayah temannya itu tidak pernah puas akan semua prestasi yang telah susah payah didapatkan Alby. Kalau ia menjadi Alby mungkin ia akan memilih bunuh diri sangkin stresnya.

“Ya, ya. Aku tahu,” balas Anan singkat.

“Terus kau ada di mana sekarang?” tanya Alby sembari mengedarkan pandangannya ke segala arah, berharap menemukan Anan agar ia bisa segera menyeret temannya itu untuk pulang bersama.

“Tidak usah mencariku. Aku sedang berkeliling. Dan, ah…sepertinya aku tidak bisa pulang denganmu. Aku ada urusan mendadak. Kau pulang saja dulu. Atau kau bisa ke tempat futsal biasa. Teman-teman yang lain sedang bertanding futsal di sana. Kau ke sana saja,” cerocos Anan, yang hanya ditanggapi dengan dengusan oleh Alby.

“Ke parkiran sekarang atau…” ucapan Alby terpotong saat sambungan telepon terputus begitu saja. Anan sialan!

Hah… Jadi, mana yang harus kupilih? Segera kembali ke neraka, atau mampir ke surga terlebih dahulu?

Alby, kau bodoh! Tentu saja kau harus memilih surgamu!

***

Dan di sinilah dia sekarang. Bermain futsal bersama teman-temannya dengan penuh kegembiraan. Inilah saat-saat di mana ia tidak perlu memusingkan nilai-nilainya. Ia hanya perlu bermain sepuas mungkin, mencetak gol sebanyak mungkin.

“Goooooll!!!” Sorak sorai yang entah sudah ke-berapa-kalinya itu terdengar sangat riuh saat Alby berhasil membobol gawang lawannya lagi. Ia tersenyum senang. Inilah surganya. Surga bagi seorang Alby.

Ia mengatur napasnya sesaat sambil mengecek jam tangannya. Pukul lima sore. Dan seketika itu juga ia mengumpat.

“Oh, shit!” Dengan tergesa Alby berlari ke pinggir lapangan dan menyambar tasnya.

“Kau mau ke mana Al?” tanya salah satu temannya saat ia sudah hampir mencapai pintu keluar. Ia berhenti dan menjawab pertanyaan temannya itu.

“Aku harus pulang,” jawabnya singkat. Setelah itu ia bergegas keluar dari tempat futsal itu.

Alby berhasil sampai di parkiran beberapa saat kemudian. Ia menetralkan napasnya sejenak setelah berlari, dan mulai merogoh tasnya untuk mencari kunci motornya.

“Sial! Di mana kunci motorku?” tanyanya pada diri sendiri. Ia mendengus kesal karena tak kunjung menemukan kunci motornya. Ia berhenti mencari dan menghela napas sesaat sambil mengedarkan pandangan, menenangkan diri sejenak. Mungkin ia terlalu tergesa-gesa sehingga tidak bisa menemukan kunci motornya.

Alby memincingkan matanya saat menemukan satu pemandangan yang menarik mata di seberang jalan sana. Dan seketika itu juga ia ingat akan wajah gadis itu.

Gadis itu, gadis yang tadi menabrak punggungnya, adalah gadis yang sama dengan gadis yang kini sedang dilihatnya. Ternyata benar ia pernah melihatnya.

Ah, bukan pernah lagi. Tapi sering. Ia sering melihat gadis itu.

Setiap kali ia hendak pulang dari tempat futsal itu, ia selalu melihat gadis itu sedang menyiram bunga, seperti yang sedang dilakukan gadis itu sekarang.

Dan rasa penasarannya mulai muncul. Siapa nama gadis itu? Sepertinya dia tertarik.

***

‘Aku benci hari Senin dan aku benci upacara bendera!’ gerutu Alby dalam hatinya. ‘Apa pula mereka menunjukku sebagai pemimpin upacara hari ini? Ah, sial sekali!’

Alby terus saja menggerutu. Ini semua gara-gara ketua OSIS yang menjadi pemimpin upacara hari ini tidak bisa hadir karena sedang sakit, dan kepala bagian kesiswaan langsung menunjuknya begitu saja sebagai pemimpin upacara dadakan karena menurutnya hanya Alby-lah yang bisa menjadi pemimpin upacara dengan baik walau tanpa latihan sekalipun, membuat Alby mengeluarkan sumpah serapahnya dalam hati. Terkutuklah kau wahai bapak kepala bagian kesiswaan!

Namun sumpah serapahnya terhenti ketika ia melihat gadis itu—gadis yang dilihatnya hari Sabtu kemarin—berdiri di barisan paling depan. Ia juga bisa melihat papan kelas yang ditancapkan tepat di depan gadis itu.

‘XI IPS 2,’ ejanya dalam hati. Senyum Alby mengembang.

Jadi itu kelasmu, eh?

***

Jam istirahat kedua, pukul 12.00.

Jam istirahat tiba. Semua orang berhamburan keluar dari ruang kelasnya masing-masing. Tujuan mereka beragam. Ada yang pergi ke kantin untuk makan siang, ada yang ke kamar mandi, ada yang pergi ke perpustakaan, ataupun keluar hanya untuk duduk di depan kelas dan membuka obrolan ringan dengan teman sebaya sekedar untuk menjernihkan pikiran setelah beberapa jam berada di dalam ruang kelas yang seperti neraka itu.

Alby dan Anan pun sama. Mereka keluar dari ruang kelas mereka. Kedua pria tampan yang digilai banyak gadis itu pergi menuju kantin. Mereka sudah sangat kelaparan sejak satu jam yang lalu karena saat jam istirahat pertama mereka tidak makan apapun gara-gara si guru killer—Bu Hanifa—tidak memberikan waktu untuk mereka istirahat.

Benar-benar killer.

Anan menepuk-nepuk perutnya. “Sabar ya perut, aku akan segera mengisimu,” ucapnya pada dirinya sendiri. Alby yang berjalan di sampingnya hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan teman satu kelasnya itu. Lapar benar-benar bisa membuat orang jadi gila ya?

Alby melirik Anan untuk melihat ‘kondisi’ temannya itu. Namun sesuatu di tangan Anan menarik perhatiannya.

“Buku? Untuk apa kau membawa buku ke kantin?” tanya Alby dengan mata terfokus pada buku yang Anan bawa.

“Oh ini?” Anan memperlihatkan bukunya. “Ini komik. Milik temanku, Asha. Aku meminjamnya minggu lalu,” terang pria itu yang hanya dibalas dengan anggukan oleh Alby.

Mereka masih terus berjalan ketika tiba-tiba saja Anan berseru memanggil nama seseorang. Nama pemilik buku komik yang Anan bawa. Alby mendongak, mencari-cari seseorang yang dipanggil Anan Asha itu. Dan seketika ia merasa kalau takdir selalu memihak padanya.

Jadi namanya Asha?

***

Gadis itu—Asha—berdiri di sana, di ujung koridor. Berdiri mematung dengan mata yang terfokus pada Alby, bukan pada Anan yang memanggilnya. Ia terpaku pada sosok tampan itu—walaupun Anan juga tampan—dan juga jam tangan merahnya, hingga ia tidak sadar kalau kini Anan sudah ada tepat di depannya dan melambai-lambaikan tangan sambil memanggil-manggil namanya di depan wajahnya, meminta fokusnya beralih ke pria itu.

“Oh, kau Nan,” ujar Asha sedikit linglung. Anan mengernyit, bingung melihat tingkah laku temannya ini. Ada apa dengannya? Dan apa yang dilihat Asha tadi?

Anan menengok ke belakang, arah yang ditatap Asha untuk beberapa saat tadi, dan hanya menemukan Alby yang sedang berdiri di ujung koridor satunya sambil mengecek jam tangannya. Apa Asha memperhatikan Alby dan tertarik padanya? Mungkin saja. Tapi…

Ah, sudahlah. Itu tidak penting sekarang. Lebih baik ia menyerahkan buku itu dan pergi ke kantin secepat mungkin agar ia bisa cepat mengisi perutnya yang sudah berbunyi sejak tadi.

***

Hari Sabtu, pukul 14.03.

Bel pulang sekolah berdering tiga menit yang lalu, dan Alby dengan langkah terburu-buru segera meninggalkan kelasnya. Anan yang melihatnya hanya mengerutkan dahi bingung. Tidak biasanya Alby pulang cepat di hari Sabtu. Pasti ada sesuatu yang terjadi.

Alby sampai di parkiran beberapa saat kemudian. Pria itu buru-buru memakai helm dan menghidupkan motornya. Sejurus kemudian ia telah melesat keluar dari gerbang utama sekolah. Pikirannya melayang ke beberapa menit yang lalu, saat ayahnya mengiriminya pesan agar ia datang ke tempat futsal secepatnya.

Dan, sial! Apa yang direncanakan ayahnya sekarang?

-bersambung-

9 Komentar

  1. Kasian Alby masa ditekan gitu sih hrs jd pintar sepintarnya
    Ayahnya kejam bngt yah msa gak ngertiin anaknya
    Untng bkn orangtuaku

  2. Di tunggu kaa kelanjuttannyaa

  3. farahzamani5 menulis:

    Bntr bntr
    Aq lupa nih udah bca apa blom cerita yg sblm nya huaaa

  4. Miris Alby :PATAHHATI

  5. Wih cerita baru nih
    Vote dulu

  6. Aduh kasian bener si alby
    Tega nian ayahnya :PATAHHATI

  7. farahzamani5 menulis:

    Bru bca alby di part sblm ny
    Cuzz bca cerita ini hehe

  8. farahzamani5 menulis:

    Oalah ternyata alby jg suka ya ama Asha dri awal hihi
    Ayahny knp bersikap bgtu, mau anakny jdi manusia sempurna kah, lahhh alby ny ngerasa tertekan gtu kan jdi pengen meluk alby buat nenangin gtu deh ehhh hihi
    Ditunggu kelanjutanny
    Semangat trs ya

  9. fitriartemisia menulis:

    hmmm, Ayahnya Alby grrrrrrrrrrr!