Inside
Written by
‘M’
Keheningan itu menyeruak begitu saja, di tengah ruangan termaram yang hanya berisikan dua orang tanpa percakapan. Sekilas angin lembut menyapa keduannya , berasal dari dari tirai abu-abu yang perlahan tersing-singkan oleh angin malam.
Dua mug dipegang pada tangan masing-masing, masih belum ada yang berbicara, kehangatan dari benda padat berisi benda cair itu menular ketelapak tangan , mengimbangi tatapan dingin tanpa makna yang saling dilemparkan keduanya.
Perlahan dari arah dalam rumah , menuju mereka yang duduk didekat jendela ,seorang pria tampak membawa mug gelas yang lain , pria berhoddie abu-abu senada tirai itu membenahi kacamata puluhan jutanya dengan sebelah tangan, satu dari mereka memandang pada pria itu dengan sorot mata jengah.
“sorry, lama ya ?” pria itu meringis kemudian menarik kursi dengan sebuah laptop menyala di sebelah tangannya.
“jadi langsung aja , Kinan saya ingin lihat draft kamu” pria itu menatap kepada wanita yang kemudian meletakkan mug gelasnya pada sisi meja , menggosok kedua tangannya sekedar untuk menetralkan udara dingin yang tiba-tiba menyerang, kemudian ia mengeluarkan sebuah benda kecil dari sakunya, meletakkan benda kecil itu yang rupanya sebuah flashdisk pabrikan jepang yang diproduksi di thailand kehadapan pria berkacamata itu kemudian, tak ada suara kecuali dengungan kecil dari laptop ketika flashdisk mulai dinavigasikan.
“bagaimana menurut anda?” pria berkacamata itu menghadapkan laptopnya kepada pria yang lain yang turut memperhatikan layar dengan seksama.
“dua januari , saya yakin bisa naik cetak kalau begini sir.” Masih Pria berkacamata berbicara tentang draftnya meyakinkan , sementara wanita disampingnya sudah mulai jengah.
Negosiasi, politik.
Semua hal berhubungan dengan uang , dan yang berhubungan dengan uang pasti berhubungan dengan politik , dan ia jengah setengah mati , kalau saja seorang penulis sepertinya tidak butuh uang, maka ia tidak akan perlu repot-repot berhadapan dengan adegan ini.
Sebegitu bencinya ia dengan politik , walau pada dasarnya dunia tidak akan pernah lepas dari kata itu.
Menyadari ketidaknyamanan penulis disisi meja yang lain , pria tanpa kacamata yang Nampak menegaskan aura pimpinan diatara mereka dan yang coba diyakinkan itu , mengangguk dan menyudahi negosiasi.
“desember awal saya harap sudah ada draft lengkapnya dimeja saya” ujar pria tanpa kacamata itu , kali ini pandangannya bersinggungan langsung dengan lensa biru milik wanita dihadapannya, yang memilih memandang keluar jendela.
Pria berkacamata memandang wanita itu meminta kata setuju
“baiklah” wanita itu menjawab ringan.
Senyum merekah pada wajah pria berkacamata dan kemudian salaman tanda setuju sebelum pria berkacamata itu menghilang kembali kedalam rumah.
Meninggalkan dua orang yang lain untuk terjebak dalam percakapan.
..
Pria itu, dari gesturnya kelihatan akan memulai pembicaraan lebih dahulu, menelisik pandangannya kepada buku bersampul biru yang tersuguh di atas meja, pandangan pria itu dalam sekali seperti menyelami palung samudera.
“saya suka ketika James bertindak menghindar dari Julia” pria tanpa kacamata itu pada akhirnya buka suara, menyinggung kelakuan tokoh dalam karyanya, matanya masih terarah kepada buku , sementara wanita itu, sang penullis, berdehem sebelum menanggapi.
“kenapa ?” tanyanya langsung, well, kebanyakan pembaca bukunya menyangsikan hal itu , mereka menganggap James menjengkelkan.
“dia bertindak sebagaimana seharusnya seorang lelaki, at the some point, wanita memang harus sedikit diberi jarak untuk meyakinkan perasaan mereka”pria itu kemudian member jeda sejenak masih berniat melanjutkan bicara
-“Julia memang pada akhirnya menyadari kalau dia menyukai- ah tidak, dia mencintai james dengan sangat bahkan ketika empat tahun berlalu, dan faktanya selama masa itu James sudah berganti pacar lebih dari hitungan jari, itu sedikit banyak memeberi pesan pada pembaca, ‘if you fallin, say that youre fallin , or you’ll fallin without a reason, deep, deep fallin’. Kamu akan terjatuh dan itu sangat sakit.” Pria itu menghentikan kalimatnya dengan hentakan kata bermakna mengulas karyanya.
Berdehem sebentar dan menelisik pendapat ‘orang lain’ yang bisa jadi adalah salah satu pembaca freak bukunya, wanita itu bersiap memberikan opini lain yang dia miliki, barangkali bisa menyanggah dan menarik pria itu dari prespektif rasional ala lelaki menuju yang bisa lebih dipahami oleh pembaca sentimentil berkaum wanita.
“pembaca saya kebanyakan tidak menangkap makna itu, mereka hanya menangkap sisi desperate Julia tanpa menangkap pesan dibaliknya , mereka menganggap wanita semacam Julia itu konyol karena menyia-nyiakan diri untuk satu pria.” wanita itu, sang penulis, berujar dengan yakin akan pendapatnya.
“tetapi anda tau pointnya mereka tetap membeli buku saya, bahkan jika mereka berkata itu kisah yang konyol ?” ia meneruskan kalimat selanjutnya, menyuguhkan kalimat Tanya yang membuat lawan bicaranya tertarik dan penasaran.
“katakan kenapa” pria itu langsung menanggapi tanpa jeda, merasa lawan bicaranya cukup tertarik ,sang penulis memberikan jawaban;
“karena mereka kemudian mengalaminya. Karena pada dasarnya Julia sebelumnya menganggap perasaanya kepada James adalah hal konyol sebelum dia menyadari kalau kejadian James bukanlah hal konyol, tidak konyol samasekali, bahkan bisa membuatnya menangis ditengah malam”
Pria itu tidak berkata-kata , diam, mencerna kalimat jawaban yang sedetik lalu baru disuguhkan sang penulis kepadanya.
“tidak ada solusi untuk Julia kalau begitu”
pria itu memilih mengangkat kembali mugnya dari meja, membawanya untuk menghirup aroma kopi tanpa gula, kemudian meneguknya pelan, mencoba menetralkan suasana , ia berniat membawa percakapan berat mengenai isi sebuah buku best seller bersampul biru ini menuju kearah yang lebih santai.
“at the book , that’s no needed, ada sebenarnya, dan solusi itu ada dalam diri Julia sendiri, se-mainstream-nya kata ‘Move on’, tetapi memang itu jurus ampuhnya” wanita itu menimpali, masih dengan penuh percaya diri.
“pindah kelain hati ?”
Wanita itu mengangguk.
“Ya. Mencari seseorang yang akan memberinya sepotong hati yang baru” wanita itu melanjutkan.
“tere liye” pria itu bergumam mengingat salah satu penulis yang karyanya sempat ia terbitkan,dan judulnya diikut serta dalam kalimat wanita itu.
“tidak perlu niat melupakan, hanya lupakan saja” wanita itu berkata sembari menangkat bahunya ringan, mengesankan kalau hal itu adalah perkara yang mudah.
“sama artinya dengan hilang , perasaan yang hilang, karena hilang itu berati; pergi tanpa niatan.” Pria itu kali ini berkomentar mengimbangi, sama-sama menularkan sisi tanpa rasa, memperkarakan hati selayaknya sampah yang mudah dibuang ,throw it, away.
“yes. gone.”
“saya harap pembaca tidak kehilangan makna dari karya anda kali ini” berganti topic pria itu memulai lebih dulu.
“untuk kali ini lepas dari bermakna atau tidak , yang penting buku saya laku” wanita itu turut beranjak dari topic permaknaan menuju isu ekonomi.
Tersinggung pria itu berdehem,“saya menerbitkan buku , -kalau anda tidak percaya, saya hanya menerbitkan buku yang sebelumnya sudah saya baca, terlepas dari pendapat pembaca, yang penting buku itu bermakna, setidaknya untuk diri saya ” pria itu berujar lugas.
“I knew it, anda begitu mengerti apa yang anda jual” wanita itu nampaknya belum ingin beranjak dari motif ekonomi.
“berhenti gunakan kata jual bisa ? it sounds like I just sell the book”
“that’s the reality right ? youre sell it, anda tidak hanya menumpuk buku saya digudangkan ?, well, menjual itu lebih bermakna daripadanya”
Kata-kata wanita itu membekas, dan lebih pahit daripada kopi tanpa gula yang semenit lalu dicecapnya.
Berbicara dengan seorang penulis memang berbeda, seperti bermain sepakbola dengan hanya dirimu sendiri melawan kesebelasan lengkap, salah langkah kebobolan.
“okay, okay. I’ll take my word, saya memang menjualnya” menyerah dengan kedua tangan diangkat.
Kemudian keheningan yang cukup untuk memberi jeda kepada topic yang lain, selain masalah penjualan.
“why, kenapa anda menjadi seorang penerbit ? well, ditinjau latar belakang anda , menjalankan bisnis keluarga dan membagi diri menjadi seseorang yang berkecimpung di dunia publishing, anda katakan sebelumnya kalau anda meresapi bacaan sebelum diedarkan ke masyarakat, it sound like not in the same way” pertanyaan panjang yang dilontarkan wanita itu dan bermuara pada satu titik;
kenapa anda jadi penerbit ?
“kau terdengar seperti wartawan sekarang , ketimbang seorang penulis” pria itu terkekeh sebelum menjawab pertanyaan klise itu.
Dan wanita itu masih menunggu dalam diam , menunggu kata jawaban.
“karena seseorang menulis dan saya merasa harus menjadi yang mempublishnya kepada dunia”
“kenapa harus anda ?” wanita itu masih mengejar
“Setidaknya saya harus membertahukan apa yang bermakna untuk saya saat ini, menutupi fakta kalau saya pernah menyembunyikan , bahkan menampik sesuatu yang bermakna untuk saya, dan saya menyesal dari saat itu hingga kini.” berkata menerawang perasaanya sendiri pria itu berbicara lurus tanpa nada emosi, datar. Dia berdehem untuk kemudian melanjutkan perkataanya;
“Perasaan James hanya akan selalu jadi rahasia, apakah Julia begitu bermakna untuknya ?, apakah hanya Julia yang diberi makna dengan kejadian James ?, atau justru sebaliknya ?, sesuatu yang pantas didiskusikan akan saya terbitkan.” lanjut pria itu, kini menarik sisi pribadi dari perasaanya menuju ranah umum.
..
“jadi bagaimana perasaan mu James ?” wanita itu menyerang lebih dulu, berusaha meruntuhkan apa yang menjadi dinding pembatas diantara mereka.
“James begitu ada dalam Julia, sama halnya dengan Julia untuk James, dia ada, pernah ada dalam jangkauan hatinya, pernah ia coba raih, meski wanita itu kentara menyia-nyiakannya dan pada akhirnya menyia-nyiakan dirinya sendiri dengan perasaannya yang kelihatan tak berbalas” kata pria itu menatap pada matanya
“Apakah Julia pernah ada didalam James, dalam pikirannya, pernah menyentuh hatinya barangkali satu menit ?” wanita itu giliran bertanya.
“sementara James selalu ada didalam Julia, dalam pikirannya, pernah menyentuh hatinya, dan selalu menyentuh hatinya, barangkali seumur hidup” masih pada wanita itu.
“Julia..”
.
“Julia, ia menyambung kata hatinya dalam rangkaian kata, dan aku, James, yang akan meyiarkannya kepada dunia, supaya aku, tidaklah lagi menyesal akan sia-sia terhadap yang bermakna” pengakuan pria itu merebakan plupuk air mata disudut mata bening milik wanita itu.
“supaya hanya sesalmu hilangkah ?” tanpa repot menyeka tetesan bening itu, wanita itu, Julia , merangkum notebooknya dan memasukkannya kedalam tas, berniat bangkit dari percakapan.
“Hilang, kukatakan sebelumnya kalau ‘hilang ‘ adalah melupakan tanpa niatan. Dan kau tidak hilang, karena aku tidak melupakanmu dengan atau tanpa niatan. Sesalku itu, membawaku kepadamu” James berujar lantang menghentikan kegiatan apapun yang Julia lakukan untuk kembali menatap manic milik pria itu.
“apa yang coba kau katakan ?” Julia menuntut, kata terakhir, untuk dia menyudahi percakapan malam ini.
“kau selalu ada dalam diriku,
saat ini, sampai nanti”
…
Dan, untuk James-ku, dari Kinaresa Juliana, sebelum ‘para pembaca’ menyudahi bacaan mereka, aku akan katakan;
“Aku mencintaimu, Julia akan selalu ada didalam James. Untuk menyentuh dan mengenggam hatinya.”
…
Written by
‘M’
:inlovebabe
:tepuk2tangan :YUHUIII
:YUHUIII :YUHUIII
Aihhh so sweet
Sukaaaa
Ditunggu kelanjutanny
Semangat
oia ka, ditmbh dikit dibagian atas tulisan dikau, tmbhin kata [ratings] spy nnt muncul lope lope bwt kita2 klik untuk mengapresiasi karya ny dikau
-Pake kurung [ ] tanpa spasi
-Pake huruf r
-Pake huruf s dibelakangny
Yuks dicba ka
Semangat
farah , ku tak paham , hmm krn mungkin aku penulis baru ya disini hehehe
Ka, yg ini dah ada vote ny, tinggal yg laen yg blom ada
Yuks diedit ka hehe
Semangat
Ini blm ada tanda vote nya ya, tambahkan dulu yuk
Oalah, udh ada ternyata tanda vote nya, letaknya agak dibawah jd hampir aja kelewat vote nya :LARIDEMIHIDUP
whoaaaa, ini bagus, jadi novelnya itu memang kisah nyata penulis dan penerbitnya gitu ya? :wowkerensekali