Vitamins Blog

LUNA – Chapter 3

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

28 votes, average: 1.00 out of 1 (28 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

“PAPA, membunuh itu apa si?”

“Membunuh itu membuat seseorang meninggal dunia, Kev.”

“Jadi kenapa tadi saat Luna duduk di dalam sana, ia ditanyain tentang membunuh Lily? Memangnya Luna yang membuat mama meninggal dunia?” Tanya Kevin dengan suara polos. Menyatakan kalau bocah tembam itu memang benar-benar bingung mengenai hal-hal seputar aku, kantor polisi, membunuh, dan Lily.

Dave terdiam. Mungkin memilih untuk tidak menjawab, atau mungkin ia sedang memikirkan kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan anaknya itu. Entahlah, aku tidak bisa menerka dengan pasti karena posisiku yang berada dalam radar aman –dengan artian aku  duduk jauh di belakang Dave. Aku jadi tidak bisa menyimpulkan terlalu jauh Dave ingin merspon apa.

Berdoa saja dia tidak turut meracuni pikiran Kevin yang masih polos.

Mengatakan bahwa tantenya yang keren ini memang pembunuh ibundanya tercinta. Hah! Lebih baik aku mati masuk jurang daripada Kevin ikut menatapku dengan pandangan jijik bercampur keji seperti apa yang dilakukan semua anggota keluargaku dan keluarga Dave.

Dave berdeham. Kupingku melebar menanti jawabannya. “Tidak Kev, Luna hanya ditanyai karena dia adik dari ibumu. Bukan karena dia yang membunuh ibumu.”

Kevin bergumam oh sambil menganggukkan kepalanya, dan itu HAMPIR SAJA membuatku melakukan sujud sukur jika otakku tidak cepat-cepat memberi alarm peringatan kalau ini di kantor polisi.

“Lalu, apa orang yang sudah meninggal itu tidak bisa kembali lagi, Pa?”

“Kita sudah membahas ini, Kev.”

Kevin menunduk. Tangannya terlihat bergerak-gerak dari tempatku memandangnya. Mungkin ia sedang memainkan jari-jarinya. Tapi beberapa saat kemudian kepalanya terangkat lagi, menatap ayahnya dengan bingung. “Jadi aku tidak bisa bertemu Mama lagi?”

Aku meringis. Dadaku ikut terasa sesak ketika mendengar Kevin berkata seperti itu. Seharusnya aku memang pantas bersyukur karena walaupun ibuku sama sekali tidak menyukaiku, setidaknya ia masih ada di dunia ini. Sedangkan Kevin? Sudah kehilangan ibunya, seorang ibu yang baik hati pula.

Iya tidak?

Well, kalau kufikir ulang, sebenarnya itu perbandingan yang tidak pas sih. Bukannya lebih baik kau ditinggal mati ibumu yang paling baik sedunia kan? Daripada harus hidup bersama ibu yang tidak menginginkanmu sama sekali?

Bahu Dave bergerak naik turun. Buru-buru kutepis pemikiran tentang ibu jahat tapi hidup vs ibu baik tapi mati. “Papa bilang kita tidak akan membicarakan ini lagi kan?” Ujar Dave pada Kevin.

“Tapi aku ingin bertemu Mama. Aku ingin dia membuat sarapan lagi, mengantarku ke sekolah tiap hari. Membacakan dongeng saat aku tidur.”

“Papa bisa melakukannya untukmu.”

“Tapi masakan papa tidak enak. Papa juga sibuk untuk mengantarku ke sekolah. Papa juga tidak jago membacangan dongeng tidur. Papa kan bukan mama, papa tidak bis-”

“KEVIN!”

Aku terkesiap kaget. Dave membentak Kevin! Ya Tuhan, Dave benar-benar membentak anaknya sendiri. Kau tau, ini sama saja dengan Amerika berganti nama jadi Luna!

Sangat mustahil!

Aku bahkan hampir terjengkang ke belakang, jika saja aku tidak langsung meloncat berdiri dan menahan kursi yang hampir jatuh menyentuh lantai. Dave benar-benar berubah sejak insiden Lily. Ia jadi sangat pemarah dan sulit mengontrol emosi. Aku juga terkena imbasnya kan. Ingat kejadian di gudang rumah sakit beberapa tempo hari lalu? Satu tonjokkan di pipi kiri dan perut?

Dan sekarang. Ia membentak anaknya sendiri hingga menangis tersedu-sedu seperti itu. Dasar pemarah. Pantas saja mukanya seperti bapak-bapak tua penjaga kampusku.

“Dave…” Panggilku setenang mungkin. Dave menoleh ke arahku yang ada di belakangnya, sementara aku menaruh kursi-hampir-jatuh tadi ke posisi semula. Aku menghela nafas sebelum akhirnya memutuskan untuk mendekat pada mereka.

“Kau seharusnya tidak perlu sampai membentak-bentak Kevin seperti itu.”

“Tidak ada urusannya denganmu.” Jawab Dave datar.

Aku hanya mengedikkan bahu sambil lalu. “Terlepas dari masalahku denganmu, Kevin tetap saja keponakanku kan? Apalagi aku sudah berjanji pada Lily kalau akan menjaga Kevin. Jadi, disinilah aku.”

Dave diam.

“Lalu sekarang, apa menurutmu aku masih dalam kategori orang yang pantas mendapatkan jawaban tidak ada urusannya denganmu?”

Dave masih saja diam.

Kuabaikan dia dan berjalan memutari kursi-kursi, sehingga bisa berada di depan Kevin. Ia masih menunduk sambil menangis. Aku menepuk pelan tangannya yang terkepal di atas paha. “Hei, kau tidak keren jika menangis seperti ini.”

“Be-nar-kah?” Aku tertawa kecil mendengar suaranya yang tersendat-sendat karena menangis.

“Yup. Kau payah sekali ketika menangis. Tidak cool.”

Kevin berusaha menghentikan tangisnya seketika itu juga. Dia memang paling tidak terima kalau dirinya dibilang tidak keren. Kau tau, ketika bertemu denganku ia dengan semangatnya selalu berkata kalau ‘kau sama sekali tidak cool, rambutmu terlalu panjang dan warnanya aneh. Coba lihat aku, rambutku pendek dan bisa dinaikkan ke atas seperti rambut Naruto.’

Yeah, hell that. Dia cinta mati dengan Naruto. Anime yang aku benci karena episodenya sangat banyak dan membuatku bingung mengerti kisahnya. Belum lagi konfliknya yang tidak turut terselesaikan. Aku sampai muak mendownloadnya terus-menerus hingga disk komputerku penuh.

Nah, kenapa jadi membahas Naruto dan episodenya?

Kevin mengangkat kepalanya. “Memangnya kalau kau menangis kau masih cool?”

Bibirku bawahku mencebik. “Urm… setidaknya lebih cool daripada saat kau menangis.” Ya, dengan air mata yang menetes-netes tanpa henti hingga eyeshadow dan eyeliner hitam di sekitar mataku meleber membuat seluruh aliran air mata di pipi hitam. Itu bisa dikatakan lebih cool daripada cara menangisnya Kevin kan? Haha.

“Aku tau kau berbohong. Menangismu pasti lebih payah daripada aku.” Kevin menyeringai lebar, ia merentangkan kedua tangannya yang kusambut dengan pelukan. Kuhirup wangi tubuhnya yang wangi khas produk mandi anak-anak. Menyimpannya dalam memoriku agar bisa aku ingat selalu. Dialah yang tersisa dari Lily. Jadi aku rasa, memeluk Kevin seperti ini sama rasanya dengan memeluk Lily sewaktu kami kecil dulu.

“Miss Luna?”

Aku menengadahkan wajahku dan mendapati sosok polisi yang berdiri tepat di samping Dave dengan tatapan –I will kill you right now-nya yang kuabaikan. “Yes sir?”

“Ada telefon untukmu.”

Polisi itu memberikan ponselnya padaku yang kusambut dengan pengambilan super duper ragu. Memangnya siapa yang menelfonku lewat ponsel pak polisi itu?

“Hallo?”

“Luna! Kau ini masuk jurang atau tenggelam di laut mana sih? Astaga… aku hampir mengelilingi kampus tiga kali untuk mencarimu!”

“Max? Ini kau?”

“Kau fikir siapa lagi huh? Hantu taman sebelah rumah? Tukang kebun? Om-om tukang pasang papan reklame di persimpangan jalan? Oh yang benar saja Lun!”

Aku tertawa. “Well-well sorry, apa kau lupa? Aku kan ada di kantor polisi. Memangnya ada apa kau mencariku?”

“Astaga aku lupa!!! Well Lun, aku menellfonmu karena ini kode darurat. Bahkan mungkin tanda kegelapan sudah disihir di atas langit.” Max menghela nafasnya sebentar dan melanjutkan. “Mr. Snape mengadakan ujian mendadak yang akan diadakan kurang lebih… sepuluh menit lagi Lun!”

Mulutku menganga lebar. “Kau bercanda ya? Astaga astaga astaga, sepertinya you-know-who, kau-tau-siapa akan kembali berkuasa. Okay-okay, aku usahakan tiba di kampus dalam 10 menit. Well, sepertinya mustahil, mungkin sekitar 15 menit. Buat hal apapun yang bisa mengulur waktu Mr. Snape sampai di kelas, okay? Kupercayakan dia padamu. Bye Max.”

Ku tekan tombol merah pada ponsel itu sebelum Max sempat berkomentar, lalu kukembalikan pada pak polisi. “Terimakasih pak. Apakah saya sudah diperbolehkan pulang? Saya ada ujian mendadak di kampus.”

Pak polisi mengangguk. “Saya rasa keterangan darimu sudah cukup Miss Luna. Terimakasih atas kerjasamanya.”

Aku mengangguk dan menjabat uluran tangannya. Lalu aku kembali berlutut untuk memeluk Kevin yang tampak bingung. “Aku pergi dulu ya. Kau ingat, jangan menangis lagi. Itu sangat-sangat tidak keren.”

Kevin mengangguk. “Thanks Luw. I love you.”

“Love you more, Kev.”

*****

Aku tiba di kampus dengan memakan waktu sekitar kurang lebih 14 menit lebih 23 detik, setelah menghabiskan sepuluh menit sendiri untuk perjalanan ke kampus dengan mengayuh sepeda Max. Nah, sedangkan menit-menit selanjutnya kugunakan untuk berlarian pontang panting menerobos kerumunan mahasiswa yang demi Tuhan, kenapa mereka suka sekali memblokir koridor kampus sih?

Bahkan berkat mereka, aku hanya mendapat selisih 37 detik dengan Mr. Snape yang baru masuk kelas pada pukul 1 lebih 5 menit dan langsung memulai ujian sialannya itu. But, thanks to Max Molloy, kau melakukan kerja dengan sangat baik dude!

“Jadi sekarang kau sudah tidak marah lagi denganku kan?”

“Mau bagaimana lagi? Salahkan Mr. Snape yang membuatku kalang kabut sampai lupa kalau aku sedang marah padamu.”

Aku tertawa. Menyelonjorkan kaki di atas sofa milik Max sambil menyesap ice tea, aku menatap Max dengan mengiba. “Oh ayolah Max… aku kan sudah minta maaf. Apa maafku masih kurang? Baiklah, besok kutraktir makan di Brunno. Bagaimana?”

“Baiklah jika kau memaksa.” Jawab Max enteng.

Mulutku terbuka dan ice tea yang masih ada di rongga mulutku kembali mengalir ke gelas. Untung saja gelasnya masih ada di bawah mulut. Aku menatap Max dengan alis mengerut. Lah siapa pula yang memaksanya?

“Jadi bagaimana kisahmu di kantor polisi tadi? Apa kau bertemu polisi tampan? Yang cocok untuk dijadikan pendamping seorang trouble maker sepertimu.”

Aku mendengus. “Kalau aku trouble maker, lalu kau apa? Nenek moyangnya?”

Max tertawa. “Baiklah-baiklah. Aku serius, jadi bagaimana tadi?”

“Kau mau tau?” Max mengangguk. Kupindahkan kedua kakiku sehingga berada di atas lutut Max yang sedang duduk di satu sofa kecil di dekat kakiku. “Baiklah, aku bercerita dan kau memijat kakiku.” Apa? Kalian fikir bersepeda dari kantor polisi ke kampus, ditambah lari sepanjang koridor dan mengerjakan soal essai 10 nomor dengan jawaban panjang tiada kira, tidak melelahkan?

Max mengangguk samar. Ia menyeret kakiku dengan sadis agar lebih mudah di pegang olehnya.

Dan Max pun memulai kembali pekerjaan lamanya yaitu jadi tukang pijat profesional.

Aku terkekeh pelan dan kembali meminum ice tea milikku. This is a bossy time. “Aku hanya ditanyai tentang ini itu. Lalu aku disuruh menceritakan urutan kegiatanku dari bangun tidur hingga sampai ke rumah sakit hari itu. Dan sudah, hanya seperti itu saja. Tidak ada yang menegangkan.”

“Kau tenang sekali sih?” Tanya Max masih terus memijat-mijat kakiku.

“Untuk apa takut? Toh aku tidak bersalah. Kau tau aku Max, apa mungkin aku membunuh Lily?”

Max menggeleng.

“Jadi, kau tidak perlu takut untuk menghadapi suatu kesalahan yang tidak kau perbuat. Ketakutan hanya akan membuat kau semakin dihakimi. Benar begitu kan?”

Max tersenyum, dan aku balas tersenyum padanya. Hah.. inilah yang disebut damai. Ketika sahabat tercintamu sudah memaafkan kesalahan yang kau perbuat. Tapi tunggu, cerita belum happy ending sampai di sini. Masih ada bagian di mana tiba-tiba pintu flat Max terbuka dengan sangat keras.

Seorang wanita berambut merah menyala berdiri di ambang pintu. Matanya melebar menatap ke arahku dan Max yang kebetulan berada lurus di depannya.

“MAX KAU SELINGKUH?????????????!!!!!!!!!!!!!!!!!”

*****

9 Komentar

  1. Btw Kevin lucu banget yaaaa :CUBITPIPI :inlovebabe

    1. kevin unchhh banget ya. Tapi sebenernya aku ga sadar ada nama nama yang sama di cerita ini sama di across the railway Kevin sama Max. Aduh nanti pada bingung lagi ya??

    2. farahzamani5 menulis:

      Ga apa2 ka, beda karakter kok hehe

    3. Gapapa kak. Yang penting kita mah have fun sama ceritanya hehehe. Semangat terus kakkk

  2. farahzamani5 menulis:

    Wow wow wow
    Ada Mr. Snape, seremmmmm
    :LARIDEMIHIDUP :LARIDEMIHIDUP :LARIDEMIHIDUP, kebayang Mr.Snape di Harry Potter hehe
    Aduhh bca part ini adem bngt dah, ga sedih kyk part2 kmrn hehe
    Ditunggu kelanjutanny
    Semangat trs ya

    1. okay just wait and see yak :MAWARR

    2. farahzamani5 menulis:

      Siappp ka

  3. Nah siapa tu yg datang??? :LARIDEMIHIDUP

  4. fitriartemisia menulis:

    eaaaaaaaaaa ada lagi yang dateng, luna berada ditempat yg salah di waktu yang tidak tepat :CURIGAH