Chapter 11 – I Like You
—
Waktu yang ditunggu-tunggu pun kini telah tiba. Michael dan timnya sudah bersiap di pinggir lapangan, dan sebaliknya pun begitu. Alvin pun sudah siap dengan timnya.
Bel pulang sekolah yang seharusnya semua siswa-siswi pulang meninggalkan area sekolah, kini memilih untuk menetap, untuk menyaksikan pertandingan dadakan yang akan dilaksanakan di lapangan sekolah. Bahkan beberapa guru pun memilih untuk tinggal menyaksikan sejenak anak-anak didik mereka mengisi waktu luang.
Di pinggir lapangan Michael sudah berdiri dengan gugupnya, laki-laki itu kini tengah tertunduk mengamati tangan kanannya. Sudah hampir tiga tahun lebih ia tidak menyentuh bola basket, bahkan guru pembimbing olahraganya pun sudah hapal dengan Michael, ketika praktik olahraga yang membahas tentang basket Michael akan selalu meminta izin dan memilih menawarkan diri menjawab soal-soal yang akan diberikan oleh guru pembimbingnya.
Tidak ada lagi alasan Michael untuk memainkan olahraga itu, apalagi harus mengenal dunia basket. Dulu memang ia begitu dekat dengan basket tapi sekarang ingatan tentang dunia itu sudah ia lupakan.
Tepukan di bahu, membuat Michael berhenti mengamati tangannya.
Rayn tersenyum tipis kepada Michael.
Michael pun membalasnya.
“Lo bisa, Mic. Dulu lo adalah kapten kita, walaupun cuma gue dan Roby yang ngerasainnya sekarang. Tapi gue yakin anak-anak yang lain juga bakal ngerasainnya nanti di lapangan.” Rayn menyemangati Michael dengan memuji Michael sebagai kapten yang terbaik.
Michael menggeleng pelan dan berdecak. “Gue bukan kapten lagi, Rayn.”
“Secara umum, lo nggak pernah ngomong sama kita bahwa lo mengundurkan diri dari tim. Jadi sampai sekarang lo masih kapten bagi gue dan Roby.” Rayn menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum jahil kepada Michael.
Melihat hal itu Michael pun tertawa pelan, lalu Rayn pun melakukan hal yang sama.
Rafi tiba-tiba datang menginterupsi keduanya.
“Kayaknya mereka udah siap.” Kata Rafi menoleh ke arah Alvin dan timnya yang sudah memasuki lapangan.
Lalu ketiganya pun bersiap untuk memulai pertandingan.
Gue bakal menangin lo, ran. Tenang aja, gue udah janji sama diri gue sendiri, kalau apa yang udah gue pilih bakal gue lakuin dengan serius. Dan pilihan gue udah bulat, gue mau ngenal lo lebih dekat lagi dan pingin selalu melindungi lo setiap saat.
**
Rani yang tadinya ingin berniat pulang, terhentikan oleh keramaian orang-orang yang tengah menghalangi jalannya.
“Kenapa pada belum pulang? Tumben.” Herannya berhenti di depan kelas.
“Lo nggak denger kabar, kalau Alvin nantang anak IPS main basket di lapangan.” Kata Ulan menunjuk Alvin yang sudah berada di lapangan.
Rani mengerut dahi bingung, “Anak IPS? Siapa?”
“Nggak tau,” Ulan memotong ucapannya, lalu menunjuk salah satu laki-laki di lapangan, “kayaknya sih, itu orangnya. Gue nggak tau siapa namanya.” Melihat arah telunjuk Ulan berakhir pada Michael, sontak mata Rani membulat lebar.
“What?” tanpa pikir panjang. Rani langsung berlari di dalam kerumunan siswa-siswa kelas IPS3 yang memiliki postur tubuh besar-besar.
Di kepalanya saat ini terbayang saat Alvin memukuli Michael bertubi-tubi. Yang ia khawatirkan sekarang, bisa saja Alvin akan melakukan hal yang sama kepada Michael. Rani tidak tau mengapa ia bisa memikirkan hal itu, tapi sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa ia harus memisahkan kedua laki-laki itu, sebelum kejadian waktu itu terulang kembali.
Napas Rani terengah-engah setibanya ia di pinggir lapangan, dengan cepat Rani menghentikan Rafi yang berdiri tidak jauh darinya.
“Raf, apaan lagi nih?” tanya Rani cepat dan kembali menghirup napas dalam-dalam.
Untungnya Rafi saat ini berada di posisi cadangan, jadi ia bisa menjelaskan dengan Rani kronologi kedua laki-laki itu bertanding. Namun Rafi tidak menjelaskan dengan detail, soal tawaran yang Alvin berikan kepada Michael. Bahwa keduanya tengah memperebutkan Rani. Rafi hanya mengatakan bahwa keduanya tengah saling menunjukkan jati diri mereka masing-masing.
“Urusan anak cowok, Ran. Biasa, kalau udah sekali ditantang, ya gengsi kalau nolak.” Tutur Rafi, asal. Seraya meyakinkan Rani dengan ekspresi wajahnya.
Rani menggelengkan kepalanya, “Gue nggak ngerti sama kalian. Ya udah kalau gitu. Silakan bersaing dengan cara sehat.” Setelah itu Rani menjauh dari pinggir lapangan, langkah perempuan itu kini tertuju ke ruang kelas IPS5.
Ketiga sahabatnya sudah bergabung dengan yang lainnya untuk menyaksikan aksi yang akan terjadi di lapangan.
“Si, nggak balik nih?” tanya Rani duduk di kursi semen pinggir kelas.
“Entar, Ran. Nonton bentar.” Jawab Sisi.
“Yulinar mana?”
“Pulang, udah dijemput.”
Rani mengangguk saja. Lalu dengan sedikit rasa khawatir terhadap Michael, Rani pun ikut menyaksikan pertunjukan yang akan berlangsung di lapangan. Sambil berharap-harap semoga tidak ada yang akan melayangkan tinju ke satu sama lainnya.
**
Pertandingan yang dinanti pun sudah dimulai. Alvin bersama tim basket Karya Bangsa dan Michael bersama tim basket Taruna. Tak ada di antara kedua kubu yang menginginkan kalah. Terutama tim basket Karya Bangsa, setiap kali lomba yang mereka ikuti pada akhirnya akan selalu bertemu dengan tim basket Taruna, dan hasilnya mereka akan selalu berada di juara kedua.
Alvin sebagai kapten sudah berusaha semaksimal mungkin ingin membawa timnya memenangkan juara melawan tim basket Taruna, dan kali ini walaupun bukan lomba seperti pada umumnya. Alvin akan membuktikan kepada semuanya bahwa mereka akan menang melawan tim basket Taruna dan tak ketinggalan memenangkan taruhannya dan Michael.
Berbeda dengan Alvin yang begitu menggebu-gebu dengan pertandingan ini. Michael merasakan kekhawatirannya sendiri dengan bakat yang ia punya di basket. Michael mengkhawatirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Bahkan sekarang kepalanya sudah dipenuhi dengan kenangan sang Papa, yang selalu mengharapkannya berada di olahraga ini. Rasa sesal dan sedih itu bercampur menjadi satu, yang bisa Michael lakukan saat ini adalah menunjukkan kepada dirinya sendiri bahwa ia akan berjuang sebisanya dan jika pun ia di tanya apa harapan yang saat ini ia impikan, ia akan mengatakan ‘Michael harap Papa melihat pilihan yang sudah Michael pilih saat ini. Basket bukan bidang Michael, tapi Michael akan melakukan apapun untuk memenangkan sesuatu yang sudah Michael pilih.’
Pertandingan saat ini berjalan dengan sewajarnya. Alvin begitu agresif dalam gerakkannya. Roby menahan Alvin, setiap kali laki-laki itu bergerak ke sana kemari.
Roby yang juga sudah mengenal cara bermain Alvin pun terlihat begitu santai menghadapinya. Beberapa kali Roby mendengar umpatan kasar Alvin di sampingnya, Roby hanya tersenyum saja mendengar hal itu.
Skor pertama pun berhasil tercetak untuk tim Michael, atas permainan oper yang dimainkan oleh Rayn dan Bagas begitu handal, tim mereka mendapat 3 poin sekaligus.
Sorak-soraian penonton pun bermacam-macam, ada yang berteriak senang dan ada pula berteriak sebaliknya. Mereka tidak tau apa tujuan dari pertandingan ini berlangsung, yang mereka pikirkan saat ini hanya menyaksikan hiburan yang sudah jarang terjadi di sekolah mereka.
Permainan pun dilanjutkan oleh lemparan melambung dari Andre ke arah Alvin, setelah berhasil menangkap bola, Alvin segera mencari cela dari Roby yang sejak tadi menghadangnya. Kemana pun ia berlari, Roby akan terus mengejarnya. Ketika saat ia akan melemparkan bola tinggi ke arah ring, Roby pun langsung menepis bola itu menjauh dan bola pun keluar dari garis lapangan. Dengan kesal Alvin menabrak bahu Roby kasar. Roby hanya diam tanpa berniat membalas perlakuan Alvin kepadanya.
Sepuluh menit kemudian, permainan pun mulai memanas, Rayn yang tak henti-hentinya mencetak skor membuat Alvin bermain kasar. Michael yang berada di posisi bertahan menjadi korban dari aksi Alvin.
“Aaa!” jeritan itu berasal dari Michael. Ini sudah kesekian kalinya ia menahan semua permainan kasar yang Alvin lakukan terhadapnya. Kali ini lengan kanannya menjadi korban aksi kekerasan tersebut.
Serentak semua pemain terutama tim Michael menghentikan permainan mereka dan menghampiri Michael yang berlutut memegangi pergelangan tangannya.
“Lo nggak pa-pa, Mic?” Rayn segera mendekati Michael.
“Gue nggak pa-pa.”
“Pergelangan tangan lo terkilir, Mic. Mendingan lo istirahat sebentar.” Rafi memeriksa pergelangan tangan Michael.
Michael segera menggeleng kepala, “Kita lanjut,” Lalu berdiri dan memulai kembali pertandingan.
Di pinggir lapangan, Rani yang tadinya tidak terlalu memfokuskan pandangannya ke arah lapangan, setelah mendengar rintih kesakitan dari Michael langsung sepenuhnya menoleh ke arah sumber suara. Dari sana ia dapat melihat Michael berlutut memegangi tangannya.
Rani sudah menimbang-nimbang apa yang akan terjadi di lapangan, mengingat kejadian terakhir antara Michael dan Alvin tidak begitu baik. Sebuah keajaiban jika saja salah satu di antara mereka bermain sehat.
“Alvin kasar banget,” kata Wulan yang berada di depan Rani, “Gue tadi liat dia sengaja nabrak cowok itu.”
Rani mendengarnya langsung mengangguk setuju. Ia yakin yang melakukan kekerasan terhadap Michael adalah Alvin. Dan ia harap semoga Michael memenangkan pertandingan itu.
***
Suara peluit tanda permainan berakhir berbunyi begitu nyaring dari salah seorang siswa yang menjadi seorang wasit dalam permainan itu. Senyum kepuasan pun tampak dari mereka yang memenangkan pertandingan.
Michael memberikan pelukan hangat kepada satu-persatu anggota timnya. Kali ini harapan yang Michael buat terwujud dengan kerja kerasnya. Senyum cerah tampak dari wajahnya yang letih.
“Selamat, Mic!” Rafi datang dari pinggir lapangan dan menghambur ke dalam pelukan Michael, “Terharu gue liat perjuangan lo.” Lirih Rafi.
Michael terkekeh mendengar Rafi yang begitu drama.
“Udah kali, Raf.” Michael melepas pelukannya.
Tanpa disadari oleh siapa pun. Alvin datang menerobos Rafi dan langsung mencengkeram baju Michael kuat.
“Ini belum berakhir, Mic. Lo hanya lagi beruntung aja, karena bantuan dari orang-orang suruhan lo.” Belum sempat Alvin melanjutkan perkataannya, Michael sudah menjatuhkan Alvin keras ke lantai lapangan.
“Jangan pernah merendahkan orang-orang di sekitar gue, kalau lo nggak tau yang namanya ketulusan,” Posisi Michael saat ini menduduki tubuh Alvin yang berada di bawahnya, “dan satu lagi, ucapan lo barusan gue anggep sebagai kata nyerah. Sekarang, lo udah nggak perlu deketin Rani lagi.”
Michael melepaskan cengkeraman tangannya dengan keras lalu berdiri mendekati Rayn dan yang lainnya.
Alvin di belakang hanya terdiam dan pergi meninggalkan lapangan dengan kemarahannya.
“Ah, akhirnya selesai juga urusan lo sama Alvin.” Seru Rafi.
Michael mengangguk setuju.
“Gue seneng lo bisa menang dari Alvin.” Seru Rayn memasang jaketnya.
“Thanks banget buat bantuan dari kalian.” Tutur Michael menyalami satu-persatu anggota timnya.
“Udah sewajarnya gue dan Rayn bantuin lo, Mic. Santai.” Ucap Roby.
Michael tidak tau bagaimana jika teman-temannya ini tidak ada saat ini, untuk menolonginya. Mungkin ia sudah kalah jauh dari Alvin.
Setelah itu Rayn dan lainnya pamit untuk pulang. Michael dan Rafi mengantarkan mereka ke gerbang sekolah, hingga mobil-mobil itu hilang di balik bangunan.
Saat Michael dan Rafi hendak berbalik, keramaian lantas membuat keduanya menepi. Tak di sengaja pandangan Michael tertuju kepada seorang perempuan yang berada di dalam keramaian itu. Dengan cepat Michael menarik tangan perempuan itu ke luar dari keramaian.
“Mau pulang, ran?” tanya Michael cepat.
Ternyata perempuan yang ditarik Michael adalah Rani.
Rani awalnya kaget saat seseorang menariknya menjauh dari Sisi, namun saat melihat Michael orangnya, ia langsung merasa aman.
“Iya, udah sore juga.” Jawab Rani sambil melirik jam tangannya.
Michael mundur dan berbisik ke telinga Rafi yang berada di belakangnya. Rafi memasang wajah muramnya saat Michael membisikkan sesuatu di telinganya. Akhirnya laki-laki itu hanya mengangguk dan berlalu meninggalkan keduanya.
“Duluan ya, Ran.” Katanya Rafi terakhir kali.
“Yuk, pulang.” Kata Michael seraya menarik tangan Rani.
“Eh, bukannya lo bawa motor?” Rani mengerutkan dahi dalam.
“Tangan gue lagi sakit,” Ujar Michael menunjukkan pergelangan tangannya yang tadi diperban oleh Rafi.
Mendengar hal itu, wajah Rani langsung terlihat khawatir dan melihat pergelangan tangan Michael, “Lo nggak pa-pa?” tanya perempuan itu.
Michael terkekeh mendengar kekhawatiran Rani padanya. Jarang-jarang seorang perempuan mengkhawatirkannya, apalagi perempuan itu yang ia sukai.
“Nggak pa-pa, cuma terkilir aja.”
“Kalau sakit bilang.” Balas Rani cuek.
Lalu keduanya berjalan menuju halte bus, menunggu bus jurusan keduanya datang.
Michael mempersilakan Rani untuk duduk di kursi halte yang kosong, sedangkan ia berdiri di sampingnya.
Obrolan ringan terjadi antara keduanya, sesekali keduanya tertawa dan sesekali keduanya terlihat serius. Hingga bus yang mereka hendak tumpangi datang. Hal yang sama juga kembali dilakukan Michael, laki-laki itu mempersilakan Rani untuk menempati kursi kosong.
Suasana bus itu tidak terlalu ramai, hanya beberapa pelajar saja yang terlihat berdiri setelah memberikan kursi mereka kepada orang yang lebih tua.
“Jadi, ceritanya lo menang dari Alvin?” pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari mulut Rani.
Michael terkejut mendengarnya.
“Biasa aja kali. Walaupun gue nggak tau motif kalian tanding di lapangan tadi, setidaknya kalian nggak saling melayangkan pukulan ke satu sama lainnya.” terang Rani santai.
“Dia nggak kayak yang lo pikirin.” Michael berujar membuat Rani mendongak menatapnya dalam.
“Siapa? Alvin?” tanya Rani bingung.
Michael mengangguk kepala, “Dia punya kelebihan yang nggak pernah gue miliki.”
Seorang pelajar di samping Rani berdiri dan berjalan turun dari bus, lalu Michael dengan cepat menempatkan dirinya di kursi itu.
“Dia punya keberanian besar buat deketin cewek yang dia suka. Dia juga punya ambisi yang besar buat dapetin cewek itu.”
Rani menggelengkan kepalanya, tidak mengerti maksud yang Michael katakan kepadanya, “Maksud lo apaan sih, Mic?”
“Gue hanya bisa liat orang yang gue suka dari jauh, sambil nungguin dia berbalik dan lihat ke arah gue,” Michael menarik napas dalam, lalu melanjutkan kata-katanya. “Gue suka sama lo, Ran.”
***
Maaf kalau ada Typo…
Yang punya wattpad bisa mampir sebentar ke profil aku @hertinarani, ada ceritaku yang lain di sana.
Terima Kasih.
Vote dulu ya hihi
Wah, rani ditembak juga sama Michael