Vitamins Blog

Cause I’m (not) Fine at All – Chapter 4

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

13 votes, average: 1.00 out of 1 (13 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Chapter 4 – Selfish

Pagi itu, bendera perselisihan mulai terbentang di antara Kintan dan Intan yang berada di bangku yang sama. Entah apa yang membuat keduanya bersinggungan di pagi itu. Berawal dari Intan yang seolah bersikap jutek, membuat Kintan yang memiliki sifat yang sensitif merasa ditantang untuk melakukan hal yang sama.

Kejadian itu membuat Rani dan Masayu duduk di belakang keduanya sedikit takut akan ada perdebatan besar antar keduanya.

Rani terus mewanti-wanti Kintan untuk tidak emosi menghadapi Intan. Ia sudah mengerti dengan sikap Kintan yang suka tiba-tiba langsung datang dan menghakimi orang yang berselisih paham dengannya. Dan ia tidak ingin hal itu terjadi.

Rani memiliki sifat yang tidak ingin menjadi pusat perhatian. Ia sangat tidak menyukai hal yang berbau terang-terangan di saat bendera permusuhan dikibarkan. Bisa di bilang ia seorang pecundang atau pengecut, yang tidak berani menyelesaikan masalah dengan cepat. Tapi dibalik itu semua Rani memiliki pertimbangan yang jelas, ia memikirkan perasaannya dan orang itu.

Rani paham dengan jelas hubungannya dan Intan tidak akan lagi sama. Ketika suatu saat nanti mereka berbaikan lagi. Kadang ia memudahkan semua masalah dengan cara melupakan masalah yang pernah terjadi seolah hal yang menyakitkan itu tidak pernah terjadi di kenyataan. Sewaktu-waktu cara itu pun berhasil. Namun, sepertinya kali ini tidak.

Rani sudah membaca sifat Intan yang keras kepala. Dan orang seperti itu adalah kelemahannya. Selama hidupnya ia mengalah dengan orang-orang yang bertempramen tinggi atau semacam egois.

Ketika sebuah perasaan peduli mendominan di dalam diri, tiba-tiba setitik rasa ego yang tinggi datang. Semuanya menghilang hanya tinggal pergi melangkah menuju sebuah sikap mengalah.

Kata itulah yang membuatnya selalu mengalah dari siapa pun, tidak peduli orang itu dekat dengannya atau pun hanya sebatas kenal.

***

“Mic, dipanggil Bu Sundari tuh di kantor,” panggil salah satu siswi kelas itu.

Michael yang menyandarkan kepalanya di meja langsung mendongak dan berdiri. “Kenapa?” suaranya serak.

“Nggak tau,” Balas siswi itu singkat.

Dengan malas Michael berjalan menuju kantor melewati lapangan sekolah. Terik mentari membuatnya menyipitkan matanya yang tadinya terpejam oleh tidur. Setelah melewati bakaran sinar mentari, ia pun menemukan wali kelasnya tengah duduk menunggunya.

Langkahnya cepat setelah bertemu dengan Bu Sundari. Ia berniat untuk kembali ke kelasnya dan menyambung tidurnya. Namun, sebuah panggilan menghalanginya.

“Michael!”

Mata Michael yang masih sedikit sayu membulat, mengingat-ingat suara siapa yang memanggilnya.

Rani, batin Michael.

Ia pun langsung berbalik dan menemukan perempuan itu tengah duduk sendiri di samping kantor guru sama seperti waktu ia menemukan Rani dibalik hujan saat pulang sekolah.

“Rani.” Panggilnya juga.

Langkahnya pun mendekat, dan duduk di samping Rani.

“Habis ngapain?” tanya Rani. Ia tidak tau mengapa bisa-bisanya ia menanyakan hal yang bukan urusannya.

Michael sedikit bingung tapi langsung mengerti setelah itu. “Ah, itu tadi dipanggil sama Bu Sundari.” Mengembangkan senyumnya.

Rani mengangguk kepala sebagai jawaban.

“Lo ngapain disini? Sendirian lagi?” pandangan Michael menyisir ke segala arah mencari teman-teman Rani, yah, walaupun ia tidak mengenal orang-orang itu tapi ia mengenal gambaran wajah-wajahnya.

“Mereka lagi sibuk,” Rani menunjuk kelas paling atas di salah satu gedung di depan mereka, yang di mana terdapat siswa-siswi kelas IPS5 tengah berada.

“Ngapain mereka di sana?” Seru Michael mendongak melihat ke arah telunjuk Rani berarah.

“Simulasi TIK.”

“Oh, terus lo-nya ngapain disini?”

“Nungguin temen.”

“Siapa?” Michael tak henti-hentinya membombardir Rani dengan pertanyaan.

Rani tersenyum geli mendengar seluruh pertanyaan Michael.

“Kok ketawa sih?” dahi Michael mengerut. “orang nanya yang bener.”

“Iya, maaf,” Rani membenarkan posisi duduknya. “nungguin Kintan, lagi dipanggil oleh Bu Dewi.”

“Nah, itu baru jawaban yang bener,” Balas Michael sambil tersenyum puas.

Rani pun ikut tersenyum.

Tiba-tiba seorang siswa datang dari belakang Michael.

“Eh ini dia orangnya. Gue cari juga dari tadi!” Suara Rafi keras membuat orang-orang di dekatnya menoleh.

Sebenarnya Rafi tidak tengah mencari Michael, sebelumnya ia berada di koperasi dan tidak sengaja melihat Michael tengah berbincang dengan Rani. Dengan niat jahilnya ia mencoba mengganggu perbincangan keduanya.

Michael terkejut lalu menoleh menemukan temannya itu tengah tersenyum jahil ke arahnya.

“Eh, siapa nih?” Seru Rafi lalu berdiri di depan Rani, “Hai, gue Rafi temen kelas Michael.” Kenalnya spontan sambil mengulurkan tangannya.

Rani yang melihat itu langsung mengangkat tangannya untuk menjabat tangan Rafi. Namun, tangannya langsung ditahan oleh Michael.

“Rani namanya,” Kata Michael sambil melotot ke arah Rafi diam-diam. “hm, Ran. Gue ke kelas dulu yah. Ada yang mau di bilangin sama anak kelas.” Michael berdiri seraya melepas tangan Rani dari pegangannya.

“Oh, iya. Silakan,” Ujar Rani.

“Duluan, ya,” Seru Rafi yang sudah ditarik oleh Michael menjauh.

Mereka berjalan menyebrangi lapangan sekolah.

“Apaan sih, Mic! Orang lagi mau kenalan sama gebetan.” Sewot Rafi pura-pura marah kepada Michael.

Sebuah jitakan pelan melayang di kepala Rafi.

“Aw!” jeritnya.

“Lo itu yang apaan? Mau acara jabat tangan pula,” Sentak Michael.

“Yey. Kan, mau kenalan,” Balas Rafi, “Lo juga tadi apaan coba pegang-pegang tangan Rani segala, orang dia mau balas jabatan gue.”

Michael memutar mata berusaha menghindar.

“Tuh, kan. Lo juga gatel pingin pegang tangan dia.”

Michael meringis, “Gue cuma mau hindarin dia dari makhluk ke PD-an kayak lo.”

Rafi mendelik sebal. “Apa?”

“Emang bener, ‘kan?” tantang Michael berhenti di tengah lapangan.

Rafi menunjukkan deretan giginya. “Bisa jadi.”

Michael mendengus sebal kepada Rafi. Lalu ia berjalan cepat meninggalkan temannya itu.

***

Kadang hidup ini tidak adil. Ketika salah satu di antara sebuah kejadian yang semestinya dinilai benar, dunia seolah menghakimi beserta orang-orangnya. Sedangkan sebaliknya, ketika sebuah kejadian yang seharusnya dinilai salah, dunia seolah tidak peduli akan hal itu.

“Bukan berarti orang mengalah itu akan terus berada di tahap kekalahannya untuk terus bertahan, ingat tidak ada manusia di bumi ini yang sempurna. Akan ada saatnya ia berhenti di tempat dan mengeluarkan semua yang ia lepaskan dulu, dalam waktu singkat dan mengubah pemikiran dunia tentang apa yang selama ini telah dilewatkan.”

Rani meletakkan penanya di samping tulisan itu. Tulisan itu berisi perasaannya saat ini. Benaknya sudah terlalu lama untuk terus bertahan untuk mengalah dari orang banyak. Mungkin bisa diibaratkan, manusia memiliki dua tempat kosong di diri mereka masing-masing, yang di mana masing-masingnya adalah keegoisan dan kekalahan/mengalah.

Dan tempat kekalahan/mengalah Rani sudah begitu penuh untuk diisi terus menerus sedangkan tempat keegoisan, bisa di bilang masih memiliki tempat yang banyak untuk di penuhi atau mungkin tidak akan pernah terpenuhi. Karena ia terlalu mudah untuk mengalah dari orang-orang sampai ia harus melupakan ego-nya sendiri untuk orang lain.

“Dek, sudah makan?” ketukan pintu menghentikan lamunan Rani.

“Belum.” Jawabnya singkat.

“Gih, makan. Hampir jam sembilan belum makan.” Seru Ibunya lalu kembali menutup pintu.

“Iya.”

Saat langkahnya ingin keluar, suara pria beranjak dewasa terdengar dari luar. Rani mengenal suara itu. Kakak laki-lakinya.

Rani tidak pernah dekat dengan saudara laki-lakinya itu. Bahkan bisa di bilang mereka tidak pernah berbincang sedikit pun. Tidak seperti kakak dan adik selayaknya membagi cerita yang telah mereka lewati dengan begitu intim.

Rani tidak pernah menyukai kehadiran kakaknya itu di rumah dan yang paling ia tidak sukai adalah saat di mana laki-laki itu meminta uang kepada Ibunya setiap saat atau pun harinya.

Kakaknya itu sudah memasuki umur dua puluh tahunan dan sampai sekarang kakaknya itu tidak memiliki pekerjaan yang mantap. Setiap kali ditawarkan sebuah pekerjaan, ada saja alasannya untuk menolak. Dan sampai sekarang yang bisa laki-laki itu lakukan hanyalah meminta uang dan uang kepada kedua orang tuanya seolah orang tuanya adalah mesin atm yang setiap waktu bisa ditarik atau pun diminta kapan saja.

Dengan kelakuan kakaknya itu pun Rani kembali mengalah dalam segi keuangan, ia tidak pernah meminta lebih uang jajan pada orang tuanya. Ia mengerti dan mencoba untuk tidak memboros dalam keuangan. Keluarganya hanyalah golongan sederhana dengan berisi sepasang suami istri beserta tiga anak di dalamnya dan Rani adalah anak terakhir.

Dan satu lagi saudari perempuannya. Dari kakak perempuannya inilah Rani belajar untuk mengalah dan bertahan menghadapi keras kepalanya orang di luar sana karena ia sudah paham dan mengerti sikap itu dari kakak perempuannya itu sendiri. Dan lagi ia harus mengalah dari keras kepala atau keegoisan saudaranya sendiri.

Rani melangkah keluar dari kamarnya dan mencoba untuk tidak perduli dengan kehadiran kakak laki-lakinya itu. Memasuki dapur ia pun langsung berniat makan dalam keheningan.

Terlalu lelah ia ingin menghiraukan kakaknya itu. Sudah cukup masalahnya dan temannya di sekolah saja saat ini. Sekarang ia tidak ingin membuat ribut lagi pada siapa pun.

***

3 Komentar

  1. KhairaAlfia menulis:

    Michael cemburu ya Rafi mau pegang” Rani??
    :dragonhihihi :dragonhihihi

  2. fitriartemisia menulis:

    hmm Rani orangnya suka mengalah yaa

  3. Wkwkwkwk Rani??