Vitamins Blog

CHAO XING (朝兴) – Bab. 9 Pertemuan yang Direncanakan

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

47 votes, average: 1.00 out of 1 (47 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Author playlist : Xing Yue Shen Hua – OST The Myth 2010

***

Where will you be in a thousand years time?
What would the scenery look like around you?
Our story does not count as beautiful
Yet it is unforgettable

Despite breathing in air from the same sky
I am not able to embrace you
If time, identity and name were changed
I hope I will still remember your eyes  

***

Enjoy!

.

.

.

Dalam ruangan berpenerangan cahaya lilin itu Jian Guo memandang wajah putrinya yang terbaring di atas ranjang. Ia bernapas sepelan mungkin, memastikan jika suara napasnya tidak mengganggu tidur putrinya yang lelap. Ah… walau dalam keadaan minim cahaya sekalipun, Chao Xing terlihat begitu pucat, hingga membuat Jian Guo merasa cemas.

“Yang Mulia…?!” panggil Kasim Ren dengan suara serendah mungkin. “Ampun, Yang Mulia, sudah saatnya Anda kembali ke Istana Emas,” ujarnya mengingatkan dengan nada hormat dan bijak. Sudah tugas Ren untuk mengingatkan rajanya untuk mematuhi protokol kerajaan. Istana Emas merupakan tempat peristirahatan raja, juga tempat dimana ruang kerja pribadinya berada.

“Apa aku tidak bisa tinggal di sini untuk malam ini saja?” Jian Guo balik bertanya, tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Chao Xing. “Aku ingin memastikan jika dia baik-baik saja,” lanjutnya membuat Kasim Ren mengangguk paham.

“Hamba mengerti,” sahut kasim masih dengan nada hormat dan bijak yang sama. Ren bahkan tersenyum tipis saat mengatakannya. Ada kebahagiaan yang menyelinap ke dalam hatinya saat mengetahui jika rajanya mulai menerima Chao Xing sebagai putrinya. Ah, tidak, ralat Kasim Ren cepat. Raja sudah mengakui Sang Putri jauh sebelum ini, batinnya. “Namun Anda tidak bisa melanggar protokol kerajaan,” tambahnya tenang. “Para selir, pejabat serta bangsawan pasti akan bertanya-tanya mengapa Putri Chao Xing diperlakukan sangat istimewa?” jelasnya pelan.

Ren terdiam sejenak, memberi waktu Jian Guo untuk meresapi ucapannya. “Yang hamba khawatirkan—perhatian istimewa yang Anda tunjukkan pada Putri Chao Xing akan membuat putri kerepotan di masa yang akan datang.”

Sekejap kedua mata Jian Guo melebar terlihat marah walau pada akhirnya ia hanya melepas napas panjang tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Chao Xing. Ia mengamatinya dengan seksama, seolah-olah memastikan jika putrinya itu masih bernapas dengan teratur.

Dengan gerakan pelan ia pun berdiri, mencondongkan tubuhnya lalu mengulurkan tangan untuk kemudian diletakkannya di atas dahi Chao Xing yang kini sudah bersuhu tubuh normal. “Dia akan baik-baik saja bukan?” tanyanya, terselip nada bersalah dalam suara beratnya saat mengatakannya.

Kasim Ren mengangguk. “Tuan Putri akan segera sembuh,” sahutnya sangat yakin. “Putri akan segera sembuh dan mengganggu saudara-saudaranya yang lain,” tambahnya dengan sebuah senyum yang terukir pada wajah keriputnya yang dimakan oleh usia.

***

Chao Xing melirik lewat bahunya, memastikan jika rencananya kali ini tidak diketahui oleh Dayang Ju maupun hamba sahayanya yang lain. Sekuat tenaga ia mengabaikan rasa sakit yang sesekali masih berdenyut pada kedua betisnya. Yang ada di dalam pikirannya saat ini hanya satu—mencuri lihat para sarjana yang tengah melaksanakan ujian nasional untuk memilih sarjana-sarjana berkualitas untuk menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan.

Bedebah itu pasti mengikuti ujian lagi untuk kenaikan jabatan, batin Chao Xing yang terus memaksa kedua kakinya berjalan menuju halaman istana yang kini disulap menjadi area tempat ujian nasional dilaksanakan.

Persetan dengan rasa sakit yang kini terus berdenyut dengan hebat, bagaimanapun juga rencana balas dendamnya jauh lebih penting saat ini.

Ia tertawa di dalam hati. Dua tahun lamanya ia sudah menunggu, dan akhirnya hari ini tiba juga. Chao Xing tidak tahu darimana keyakinannya itu berasal, namun satu hal yang pasti—pria brengsek itu tengah ada di dekatnya.

Chao Xing menghela napas berat, sedikit meragu saat berdiri, menatap sebuah pohon yang menjulang tinggi di hadapannya. Ia tidak memiliki cara lain selain naik ke atas pohon itu untuk mendapat pemandangan terbaik. “Apa aku bisa naik dengan kondisi seperti ini?” tanyanya lirih, tidak yakin pada dirinya sendiri.

Setelah melepas napas berat Chao Xing pun membulatkan tekad. Perlahan ia mulai naik dengan hati-hati hingga mencapai dahan tertinggi pada pohon itu. “Si brengsek itu benar-benar mengikuti ujian tahun ini rupanya,” bisiknya dengan seringai puas saat mata tajamnya menemukan apa yang dicarinya—di sana, di barisan kedua—Lee Qiang duduk, terlihat begitu serius mengerjakan soal yang diberikan oleh istana untuk ujian tahun ini.

“Dan aku sangat yakin jika nenek sihir itu pasti tengah menunggumu di depan pintu gerbang istana,” lanjutnya yang diakhiri oleh kekehan panjang.

Chao Xing menyempitkan mata, masih menatap tajam seratus orang sarjana yang tengah mengikuti ujian nasional di halaman istana tanpa menyadari jika tiga orang pria tengah menatapnya dengan ekspresi berbeda-beda.

“Apa yang kau lakukan di atas sana?”

Pertanyaan yang dilontarkan dengan nada marah itu mengejutkan Chao Xing, ia bahkan nyaris terjatuh karenanya. “Kakak Pertama, kau mengagetkanku!” balasnya galak membuat Jian Gui memijat keningnya yang mendadak berdenyut sakit. “Kakak mau melihatku mati karena kaget?” tanyanya lagi, masih dengan nada yang sama.

“Jangan membuatku marah, Chao Xing,” ujar Jian Gui dengan gigi gemeretak. “Sekarang turun dan jelaskan apa yang kau lakukan di sana!” perintahnya mutlak, namun Chao Xing bergeming. Remaja wanita itu terlalu keras kepala untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh kakak sulungnya itu.

Chao Xing menatapnya lekat-lekat. “Aku tidak mau turun!”

Ucapan Chao Xing nyaris membuat kesabaran Jian Gui yang sudah menipis itu hilang seutuhnya, namun ucapan Chao Xing selanjutnya membuatnya merasa bersalah.

“Kau pasti akan melaporkanku lagi pada Yang Mulia, iya, kan?” cicit Chao Xing dengan mata berkaca-kaca. “Aku tidak mau dipukul lagi,” tambahnya membuat rasa bersalah dalam diri Jian Gui semakin menumpuk. “Rasanya sangat sakit,” ringisnya dengan ekspresi berlebihan. Chao Xing tahu betul kelemahan Jian Gui, dan saat ini ia akan menggunakannya dengan sangat baik agar apa yang dilakukannya saat ini tidak sampai ke telinga raja. “Apa kakak tega melihatku dipukul lagi?”

Jian Gui menghela napas panjang. “Turunlah!” pintanya dengan nada lembut. “Aku tidak akan melaporkan masalah ini pada Ayahanda,” janjinya, sementara Chao Xing menggigit bibir bawahnya, memasang pose berpikir. “Aku hanya tidak mau kau jatuh dan terluka,” tambahnya dengan nada cemas.

Chao Xing bergeming, tidak langsung menjawab sebelum akhirnya ia mengangguk setuju. “Kau sudah berjanji untuk tidak melaporkanku,” ujarnya saat kedua kakinya sudah kembali menginjak bumi.

Jian Gui mengangguk pelan, sementara kedua orang pria yang berdiri di belakang Jian Gui hanya bisa berdiri, tanpa mengatakan apa pun. Keduanya seolah terhipnotis oleh apa yang terjadi di depan mereka. Baik Bao Lin maupun Guang Li sama sekali tidak menyangka jika seorang Putera Mahkota yang terkenal sedingin es bisa bersikap begitu lembut. Keduanya bahkan heran karena Jian Gui terlihat sama sekali tidak keberatan dengan sikap tidak sopan yang diperlihatkan oleh Chao Xing terhadapnya.

“Jadi, apa yang kau lakukan di atas sana?”

“Jadi, apa yang Kakak Pertama lakukan di tempat ini?” balas Chao Xing.

“Jangan balas pertanyaan dengan pertanyaan lain!”

Chao Xing menggerutu, terlihat kesal namun di satu sisi ia tidak bisa mengabaikan pertanyaan yang dilontarkan oleh Jian Gui.

Hening.

Jian Gui menyempitkan mata, melipat kedua tangannya di depan dada. “Kau mengintip sekelompok pria?” tanyanya dengan seringai jail.

“Maksud kakak apa?” balas Chao Xing sembari mengerjapkan mata bingung. “Aku tidak bermaksud mengintip mereka. Aku… aku hanya ingin tahu bagaimana ujian nasional berlangsung,” kilahnya cepat.

“Benarkah?” Jian Gui kembali bertanya dengan satu alis diangkat.

“Tentu saja benar, kenapa aku harus berbohong?”

Jian Gui mengangkat bahu. “Entahlah,” ujarnya membuat Chao Xing menyempitkan mata. Entah kenapa ia merasa tidak akan menyukai apa yang akan dikatakan oleh Jian Gui selanjutnya. “Umurmu sudah pas untuk menikah. Jadi tidak ada salahnya jika kau mulai memilih calon pendamping yang tepat.”

“Aku tidak akan menikah,” balas Chao Xing serius membuat Jian Gui sangat terkejut. Chao Xing tersenyum, tangan kanannya bergerak untuk menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya. “Aku memutuskan untuk jadi pendeta. Hidup di dalam kuil dan menjadi pelayan dewa,” terangnya tenang.

“Jangan bercanda!” Jian Gui mengacak pelan rambut Chao Xing penuh sayang. “Kau masih terlihat pucat. Kenapa kau berkeliaran seorang diri?”

“Aku bosan,” keluh Chao Xing tanpa menatap wajah kakak sulungnya. Ia menunduk, menatap jalan setapak yang diinjaknya saat ini. Sebuah helaan napas kembali terdengar dari wanita itu. “Dayang Ju melarangku untuk banyak bergerak. Dia bilang lukaku bisa terbuka, dan semua dayang-dayangku serta kasim-kasim di kediamanku, mereka semua berkomplot mendukung keputusan Dayang Ju,” adunya membuat Jian Gui menyunggingkan sebuah senyum tipis.

“Lalu kenapa kau bisa berada di sini?”

“Aku membius mereka semua untuk kabur,” terang Chao Xing membuat Jian Gui, Bao Lin dan Guang Li terbelalak. “Demi dewa… aku hanya bercanda,” ujar Chao Xing. Ia terkikik geli saat melihat ekspresi kakak sulungnya. “Dayang Ju pasti tengah mencariku sekarang. Sebaiknya aku segera pulang dan menikmati hari-hari suramku kembali,” tambahnya dengan nada putus asa yang dibuat-buat.

“Kau mau main keluar istana?”

Chao Xing mengerjapkan mata. “Apa boleh?” ia balik bertanya dengan antusias. Chao Xing menarik-narik pelan tangan Jian Gui, memiringkan kepala ke kanan dan ke kiri hingga membuat senyum Jian Gui yang amat sangat jarang terlihat, kembali nampak di wajah tampannya. “Jadi aku boleh main keluar istana?” pekik Chao Xing saat Jian Gui mengangguk pelan. “Aku sayang Kakak Pertama!” serunya sembari memeluk tubuh Jian Gui erat. “Apa kau tahu jika kau sangat tampan?” tanyanya berusaha untuk mengambil hati kakak sulungnya.

Jian Gui terkekeh, lalu berdeham pelan dan kembali memasang ekspresi serius saat berkata. “Kau tidak akan pergi sendiri,” ujarnya membuat senyum di wajah Chao Xing hilang, berganti oleh ekspresi tidak mengerti. “Panglima Liu akan menjadi pengawalmu saat kau pergi keluar istana,” jelasnya membuat Chao Xing dan Guang Li sama-sama terkejutnya.

Chao Xing mengerjapkan mata, ia menatap dua orang pria lain yang berdiri penuh hormat di belakang punggung kakak sulungnya. “Ah, kau!!!” pekiknya saat melihat Guang Li. “Kau kepala prajurit pengadilan yang mesu—”

“Hamba Liu Guang Li memberi salam pada Putri Chao Xing!” potong Guang Li cepat. Dadanya bergemuruh dengan cepat. Pria itu tahu betul apa yang akan dikatakan oleh Chao Xing, dan memutuskan untuk memotong ucapan putri tengil itu. Jabatannya, dirinya serta keluarganya akan berada dalam posisi berbahaya jika Jian Gui mengetahui apa yang terjadi saat Chao Xing dibawa ke kantor pengadilan.

Tidak bisa, pikirnya. Putri tengil itu harus menutup mulutnya dengan rapat, dan ia akan memastikan Chao Xing itu melakukannya walau ia harus melakukan pertukaran untuk hal itu.

Seolah bisa membaca isi pikiran Guang Li, Chao Xing tersenyum penuh arti. Ia memeluk tangan Jian Gui dan berkata dengan nada manis, “Jika bukan karena Panglima Li, aku pasti sudah babak belur,” lapornya membuat air muka Jian Gui berubah geram, saat mengingat bagaimana Chao Xing terluka karena perbuatan penjahat-penjahat itu. “Menempatkanku di bawah perlindungan Panglima Liu merupakan keputusan yang tepat, Kakak Pertama,” tambahnya membuat keringat dingin membasahi punggung Guang Li.

“Tentu saja tepat!” seru Jian Gui seraya membelai rambut Chao Xing penuh sayang. “Jian Guang akan marah besar jika tahu kau terluka,” ujarnya membuat Chao Xing merasa bersalah. “Kakak Keduamu menitipkanmu padaku. Jadi kau harus membantuku, jangan bertindak gegabah atau aku akan memohon pada Ayahanda untuk mengurungmu di rumah. Apa kau mengerti?”

Chao Xing mengangguk pelan.

“Bagus,” ujar Jian Gui puas. Ia terdiam sejenak. “Jadi, kau mau keluar istana kapan?” tanyanya kemudian.

“Siang ini,” jawab Chao Xing antusias.

***

“Woah… takdir memang benar-benar tidak terduga, bukan begitu, Panglima Liu?” Chao Xing bertanya dengan nada mengejek. Keduanya berjalan-jalan santai di jalanan ibu kota siang ini. “Sudah hampir dua minggu aku terkurung di dalam istana dan rasanya rasa sakit di kedua kakiku menghilang begitu saja saat aku keluar dari sangkar emas itu,” tambahnya pelan, sementara Guang Li menutup mulutnya rapat, terlalu malas untuk mebalas ucapan gadis manja yang berjalan di sampingnya.

“Kau jangan khawatir,” lanjut Chao Xing tenang. “Aku tidak akan membocorkan masalah ketidaksopananmu terhadapku beberapa waktu yang lalu,” lanjutnya penuh penekanan. “Tapi ada syaratnya!”

Guang Li menelan kering, bersiap-siap untuk hal terburuk yang akan didengarnya dari mulut Chao Xing.

“Kau harus memproklamirkan kesetianmu padaku!”

Guang Li tidak menjawab, membuat Chao Xing mengibaskan tangan kanannya di udara. “Tenang saja, aku tidak akan memintamu untuk mengkhianati negara,” lanjutnya tenang. Chao Xing terdiam sejenak, memandang Guang Li lurus. “Jadi, bagaimana?”

“Hamba Liu Guang Li bersumpah untuk setia pada Putri Jian Chao Xing. Langit dan bumi menjadi saksi. Dewa Langit akan menghukum hamba dengan petirnya jika hamba melanggar sumpah yang telah hamba ucapkan!”

Chao Xing tersenyum puas. “Bagus. Aku menerima sumpahmu dengan seluruh kerendahan hatiku,” jawabnya riang. Ia kembali berjalan, mengamati sekelilingnya hingga akhirnya ia menemukan apa yang tengah dicarinya. “Sudah kuduga jika penyihir itu ada di tempat ini!” ujarnya setengah berbisik, membuat Guang Li mengernyit lalu mengikuti arah pandangan Chao Xing.

Sialan! Putri dari keluarga bangsawan Liang, batin Guang Li geram. Pria itu bisa dikatakan alergi terhadap Mei Hwa. Guang Li tidak menyukai wanita yang dinobatkan sebagai wanita paling cantik di ibukota.

Sikap manis Mei Hwa dirasanya seperti dibuat-buat, dan Guang Li yakin jika wanita itu memang sengaja melakukannya untuk menebarkan pesona demi mendapatkan pasangan dari kalangan bangsawan dan jika memungkinkan dari keluarga istana.

“Tuan Putri, bisakah kita pergi ke tempat lain?” tanya Guang Li saat Chao Xing berjalan ke arah Mei Hwa dan Lee Qiang berdiri. “Bukankah Pangeran Pertama akan menjemput anda dua jam lagi di Rumah Makan Huo Guo? Sebaiknya kita segera menuju ke tempat itu,” lanjutnya dengan nada membujuk namun Chao Xing bergeming. Dengan langkah mantap dan dagu terangkat wanita itu terus berjalan menuju Mei Hwa dan Lee Qiang berdiri. “Tuan Putri, apa Anda tidak lapar? Rumah makan itu sangat terkenal, Anda harus mencicipi arak dan menu terbaik yang mereka tawar—”

“Ah, maaf aku tidak sengaja menabrakmu!” ujar Chao Xing membuat kalimat yang sudah berada di ujung lidah Guang Li terputus.

Pria itu menghela napas lelah, mengumpat dalam hati karena Chao Xing sengaja menabrakkan tubuhnya pada Mei Hwa. Guang Li menekuk keningnya. Apa Chao Xing dan Mei Hwa saling mengenal? Tanyanya di dalam hati.

“Apa kau tidak punya ma—” Mei Hwa terbelalak. Mulutnya terbuka lebar saat ia mengenali sosok wanita yang baru saja menabraknya. “Chao Xing?!” serunya dengan ekspresi kaget, membuat Lee Qiang terbelalak, memandang Chao Xing dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Kau Chao Xing, kan?” tanyanya lagi untuk memastikan.

Chao Xing memiringkan kepala ke satu sisi, pura-pura tidak mengenal dua orang yang kini menatapnya takjub. “Apa aku mengenalmu?” ia balik bertanya dengan anggun. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanyanya lagi membuat kedua mata Mei Hwa semakin melebar.

“Aku Mei Hwa, putri dari Pejabat Liang,” ujar Mei Hwa semangat. “Wah, kau terlihat berbeda,” lanjutnya dengan nada iri yang sama sekali tidak disembunyikannya. “Kau masih mengingatnya, kan Sarjana Lee?” tanyanya pada pria yang berdiri di sampingnya.

Lee Qiang mengangguk, namun tidak mengatakan apa pun.

“Kau memakai sutra terbaik dan perhiasan,” ujar Mei Hwa. “Kau terlihat cantik,” pujinya dengan senyum dipaksakan.

“Seorang wanita hanya memerlukan pakaian yang pas untuk terlihat menawan,” sahut Chao Xing tenang. “Namun yang lebih penting adalah apa yang dimilikinya di sini.” Chao Xing meletakkan tangannya di depan dada. “Seorang wanita tidak sempurna hanya dengan kecantikan fisik yang dimilikinya, ia juga harus memiliki kecantikan hati,” ejeknya membuat Mei Hwa mengepalkan kedua tangannya, kesal.

Mei Hwa mendengus. “Bagaimana bisa seorang wanita muda sepertimu berkeliaran seorang diri tanpa pendamping. Hal itu tidak bisa ditolerir.”

“Aku tidak sendiri,” balas Chao Xing membuat senyum mengejek Mei Hwa hilang. “Aku ditemani oleh seseorang,” terangnya membuat Mei Hwa melirik ke belakang Chao Xing, kedua matanya terbelalak saat mengenali siapa yang menemani Chao Xing saat ini.

“Lama tidak berjumpa, Nona Liang!” Guang Li menyapa sopan, menahan diri untuk tidak menyeret Chao Xing dari tempat ini. Sungguh, ia sama sekali tidak mengira jika Chao Xing dan Mei Hwa saling mengenal, walau sepertinya Mei Hwa belum tahu siapa Chao Xing sebenarnya. “Apa kabar, Sarjana Lee?” tanyanya pada Qiang yang mengangguk hormat.

“Kalian saling mengenal?” Chao Xing mengangkat sebelah alisnya.

“Siapa yang tidak mengenal Tuan Muda dari keluarga bangsawan Liu?” jawab Mei Hwa dengan suara lembut dibuat-buat. “Yang aku heran, bagaimana bisa kau mengenalnya?” tanyanya tajam.

“Kakak pertamaku mengenal Tuan Bo Lin dengan baik, karenanya Tuan Bo Lin meminta Tuan Guang Li untuk mengantarku berkeliling kota,” terangnya membuat mulut Mei Hwa kembali terbuka lebar. Chao Xing mengelus perutnya, lalu melirik ke arah Guang Li, “Aku lapar,” ujarnya dengan bibir mengerucut lucu.

“Aku tahu tempat makan enak di sini,” seru Lee Qiang. “Bagaimana kalau kita makan di Huo Guo?” tawarnya dengan senyum penuh arti. “Aku yang akan membayar tagihannya sebagai pesta pertemuan kita kembali,” tambahnya tanpa melepaskan tatapannya dari wajah cantik Chao Xing.

Chao Xing terkesiap, pura-pura antusias. “Bukankah Kakak Pertama akan menjemputku di sana?” tanyanya pada Guang Li yang terlihat kaget karena Chao Xing memeluk tangannya. “Boleh aku menerima tawarannya, Kak Li?”

“Kak Li?” pekik Mei Hwa terperangah.

“Kenapa?” Chao Xing memiringkan kepala ke satu sisi. “Dia jauh lebih tua dariku, apa aku tidak boleh memanggilnya kakak?” tanyanya pura-pura polos.

“Tuan Guang Li berasal dari keluarga bangsawan terpandang, bagaimana bisa kau memanggilnya ‘kakak’ dengan mudahnya? Kau benar-benar tidak sopan!” ejek Mei Hwa kesal. “Dan asal kau tahu, Tuang Guang Li sudah memiliki tunangan.”

Chao Xing mendongak, menatap Guang Li lurus. “Selama ini aku selalu memanggilmu ‘kakak’, apa kau keberatan?” tanyanya membuat Guang Li tertawa di dalam hati mendengar pertanyaan yang dipenuhi oleh kebohongan itu. “Aku memang bukan berasal dari keluarga bangsawan terpandang sepertimu, apa kau keberatan karena itu.”

“Tentu saja hamb—” Guang Li berdeham, mengingatkan dirinya sendiri untuk mengikuti sandiwara Chao Xing. “Aku tidak keberatan. Apa selama ini aku pernah mengutarakan keberatanku?” ia balik bertanya dengan tenang, membuat Chao Xing tersenyum puas.

“Sekarang kau puas?”

Mei Hwa gemeretak, bertambah kesal saat melihat Chao Xing tersenyum mengejek padanya, sementara di sampingnya—Lee Qiang terlihat begitu terpukau oleh kecantikan Chao Xing.

“Bisakah kita pergi sekarang? Aku sudah sangat lapar,” rengek Chao Xing pada Guang Li, membuat Mei Hwa semakin bertambah kesal.

***

Siang ini Restoran Huo Guo sangat ramai, jauh melebihi hari-hari biasanya, mungkin dikarenakan hari ini adalah hari dimana ujian nasional kerajaan berlangsung, hingga banyak sekali pengunjung dari seluruh penjuru negeri datang untuk menemani sanak-saudara mereka untuk mengikuti ujian nasional tahun ini.

“Apa kakakmu ikut ujian tahun ini?” Lee Qiang bertanya dengan senyum ramah yang nyaris membuat Chao Xing mual. Pria itu mengernyit, “Tapi aku tidak pernah tahu jika kau memiliki kakak laki-lakiu,” lanjutnya penuh tanya.

Chao Xing mengendikkan bahu, “Banyak hal yang tidak kau ketahui tentangku,” jawabnya santai. “Dan tidak, kakakku tidak mengikuti ujian nasional,” tambahnya tenang. Chao Xing kembali menyuapkan potongan daging bebek panggang ke dalam mulutnya lalu menuangkan arak ke dalam cawan milik Guang Li.

“Dari pakaian dan perhiasanmu, kau terlihat berasal dari keluarga bangsawan.” Mei Hwa menimpali. “Kukira kau yatim piatu,” tambahnya membuat Guang Li geram, nyaris marah oleh ketidaksopanan Mei Hwa, namun dengan cepat Chao Xing menepuk-nepuk pergelangan tangan pria itu, seolah-olah mengatakan jika ia bisa mengatasinya. “Apa keluargamu menang judi hingga perekonomianmu makmur?”

Guang Li gemeretak, kesabarannya semakin menipis namun Chao Xing hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan kurang ajar Mei Hwa. “Hati-hati dengan ucapanmu, Nona Mei Hwa! Kau tidak tahu dengan siapa kau sedang berbicara!”

Mei Hwa terbelalak, terkejut mendengar nada ancaman dari Guang Li. Mau tidak mau ia kembali bertanya-tanya, siapa Chao Xing sebenarnya? Jika gadis remaja itu merupakan putri dari bangsawan ternama, lalu mengapa ia tumbuh besar di kaki bukit terpencil bersama bibinya?

“Jadi, sudah berapa lama kau tinggal di ibu kota?” Qiang kembali angkat bicara, berusaha memutus ketegangan yang mengganggu. “Atau kau hanya datang berkunjung?” tanyanya lagi masih dengan senyum memikatnya.

Chao Xing harus mengakui jika Lee Qiang sangat tampan, namun sayangnya pria itu tidak memiliki hati yang setampan wajahnya, dan karenanya Chao Xing merasa muak. “Aku menetap tinggal bersama keluarga besarku sejak dua tahun yang lalu,” terangnya pendek.

“Dari keluarga mana kau berasal?” tanya Mei Hwa menyelidik.

“Apa itu penting?”

Mei Hwa memutar kedua bola matanya. “Tentu saja itu penting,” jawabnya sebal. “Ah, ngomong-ngomong, Tuan Liu, apa keluarga Anda diundang datang ke pesta ulang tahun Yang Mulia?” Mei Hwa menutup mulutnya, dengan cepat ia kembali bicara dengan nada bersalah yang terdengar lembut, “Ah, tentu saja keluarga bangsawan Liu diundang. Maaf untuk ketidaksopananku,” ujarnya membuat Chao Xing mendengus kecil. “Lalu bagaimana dengan keluargamu?” Ia mengalihkan pandangannya pada Chao Xing. “Apa keluargamu turut diundang?” tanyanya tajam, meremehkan.

Chao Xing baru saja akan menjawab saat suara berat yang begitu dikenalnya memanggil namanya. “Chao Xing?!”

Ia menoleh lewat bahunya, menatap sosok kakak pertamanya dengan tatapan bangga.

“Apa dia menyulitkanmu?” tanya Jian Gui pada Guang Li yang kini berdiri dengan sikap penuh hormat.

“Sama sekali tidak,” jawabnya dengan kesopanan yang membuat Mei Hwa dan Lee Qiang kembali dibuat bertanya-tanya akan jati diri Chao Xing sebenarnya, terlebih saat mereka melihat keagungan yang terpancar dari sosok yang memperkenalkan diri sebagai kakak Chao Xing ini.

Jian Gui menoleh ke arah Chao Xing, mengernyit dan dengan cepat ia membuka jubah berwarna hitamnya lalu dipakaikannya pada gadis remaja itu. “Dandananmu terlalu menarik perhatian,” ujarnya membuat Chao Xing merengut lucu. “Aku sudah menyulitkanmu, Guang Li. Adikku pasti sangat merepotkan.”

“Aku sama sekali tidak merepotkan!” kilah Chao Xing cemberut membuat Jian Gui mengacak rambutnya gemas. “Apa kita akan pulang sekarang?” tanyanya seraya merapikan rambutnya.

“Apa kau masih mau bermain?” Jian Gui bertanya lembut, sementara Chao Xing mengangguk dengan semangat. “Tapi kita harus segera kembali. Ibunda pasti sangat cemas, lagipula kau belum pulih betul. Kau mau aku dihukum oleh ayahanda karena mengizinkanmu pergi bermain saat kesehatanmu belum pulih betul?”

Chao Xing menggelengkan kepala kuat.

“Kalau begitu tunggu apalagi? Kita pulang sekarang!” perintah Jian Gui tegas. Pria itu begitu terfokus pada Chao Xing hingga mengabaikan Mei Hwa dan Lee Qiang yang menatapnya penuh tanya. “Ucapkan terima kasih karena Guang Li karena bersedia menemanimu hari ini!”

“Terima kasih sudah bersedia menemaniku,” ucap Chao Xing dengan senyum hangat, hingga Guang Li untuk sekejap dibuat salah tingkah.

“Sudah menjadi tugas hamba, Nona Muda,” balasnya sedikit gugup.

“Kau harus menjamunya saat dia datang berkunjung!” Jian Gui mengingatknan, seraya memakaikan tudung jubahnya di kepala Chao Xing. “Kita pulang, Bao Lin!” serunya pada Bao Lin yang sejak tadi tidak mengatakan apa pun. Ketiganya berjalan pergi meninggalkan tiga orang yang menatap kepergian ketiganya dengan ekspresi berbeda-beda.

“Tuan Muda Liu, jika boleh saya tahu, sebenarnya Chao Xing berasal dari keluarga mana? Kenapa Tuan Muda Pertama terlihat begitu menaruh hormat pada kakak Chao Xing?” tanya Mei Hwa penasaran.

Guang Li merogoh hanfu-nya lalu meletakkan beberapa tael emas di atas meja. “Hari ini izinkan aku yang membayar tagihan makanannya,” ujarnya. “Dan mengenai pertanyaan anda, Nona Mei Hwa, yang saya bisa katakan—jangan memandang remeh seseorang, karena anda bisa sangat terkejut jika mengetahui kebenaran yang tidak anda ketahui,” lanjutnya sebelum pamit dan berbalik pergi meninggalkan Mei Hwa dan Lee Qiang dalam kebingungan.

.

.

.

TBC

1. Liu Guang Li

 Liu Guang Li

2. Liu Bo Lin

 Liu Bo Lin

3. Liang Mei Hwa

 Liang Mei Hwa

4. Lee Qiang

Source pics : Pinterest

Source pics : Pinterest

Picture belongs to rightful owner.

11 Komentar

  1. AriyaYumyum menulis:

    Gambar nya mempesona semua :YUHUIII

  2. Waowwwww waooow :NGEBETT
    Pict nyaaaa bikin ilerannn :owljatuhcinta

  3. :YUHUIII :tepuk2tangan

  4. Hmmm ko yg jadi liu guang li kaya si jendral d cerita shen king yaaaaa ??? Ato perasaan ku aja hmmm
    Akhirnya updet lagi udah lama loooh aku nunggu2 wkwkwkwk

  5. KhairaAlfia menulis:

    Chao Xing pedes juga ya mulutnya,,

  6. Eh, ternyata nemu cerita ini disini

  7. Baca ulang lagi, walaupun udah baca di watty, hihi

  8. fitriartemisia menulis:

    whoaaaa, mei hwa nanti kena batunya nih hihihi

  9. :tepuk2tangan

  10. Kereen semua pictnya???

  11. Ditunggu kelanjutannyaa