Vitamins Blog

Marrie Yan – 01. My Friend, My Love

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

20 votes, average: 1.00 out of 1 (20 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Di pagi yang cerah, seorang gadis cantik sedang memakai dasinya sambil berkaca. Ia sedang bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Nama gadis itu Meridian Dwi Saputri, atau kerap dipanggil Marrie. Ia merupakan siswa Sekolah Menengah Atas Taruna Bakti yang baru menginjak tahun kedua di sekolah itu.

Cantik, manis dan pintar. Banyak siswa laki-laki yang diam-diam menyukainya. Namun mereka memilih mengamati gadis itu dari jauh, tidak berani mendekat. Alasannya hanya satu. Karena gadis itu pernah berkata bahwa niatnya bersekolah adalah untuk menuntut ilmu, bukan untuk bersenang-senang. Jadi mereka memilih memandang gadis itu dari jauh sepuas hati mereka. Terlebih, ada seseorang teman laki-laki gadis itu yang selalu berada di sisinya, membuat anak laki-laki manapun tidak berani mendekat.

“Oh no! Mana buku matematika gue?” seru seorang gadis lainnya di kamar kos-kosan itu.

“Apaan sih Lis? Buku matematika yang mana?” tanya Marrie jengah. Lisa, teman satu kamarnya di kos-kosan itu sangat ceroboh dan pelupa. Sering sekali ia kehilangan buku, pensil, kotak pensil, ataupun barang-barang yang lainnya karena kecerobohannya dan sifat pelupanya yang tak kunjung hilang itu. Bahkan Lisa pernah kehilangan laptop pink kesayangannya. Dan kalau sudah seperti itu, Marrie lah yang bertindak membantu temannya yang ceroboh dan pelupa itu untuk mencarikan barang-barang Lisa yang hilang. “Perasaan kita baru masuk tahun ajaran baru. Dan buku matematika lo pasti masih kosong. Buat apa dicari?”

Lisa menepuk jidatnya. “Oh iya ya, gue lupa,” katanya sambil nyengir kuda. Marrie menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Sifat pelupa temannya ini sepertinya makin bertambah parah.

***

Marrie dan Lisa berjalan beriringan menuju sekolah mereka. Sekolah itu tidak jauh dari tempat kos mereka berdua. Hanya dua menit waktu yang dibutuhkan untuk berjalan kaki dari kos-kosan tempat mereka tinggal sampai ke sekolah. Kedua gadis itu telah sampai di depan gerbang sekolah ketika ada seseorang yang memanggil nama mereka.

“Marrie! Lisa!” seru seseorang dari arah belakang, membuat kedua gadis itu berbalik dan menemukan seorang siswa laki-laki tampan berperawakan tinggi layaknya atlet basket yang sedang tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya ke arah Marrie dan Lisa dari seberang jalan. Dialah Rian. Siswa laki-laki yang sangat dekat dengan Marrie, yang membuat siswa laki-laki lain tidak berani menyakatan perasaannya kepada Marrie. Bahkan tidak sedikit siswa yang mengira kalau Marrie dan Rian berpacaran, sangkin dekatnya mereka.

“Hai!” sapa Rian setelah ia sampai di depan Marrie dan Lisa. Sapaan itu lebih ditujukan kepada Marrie melihat mata laki-laki itu tertuju padanya. Memandang intens gadis itu. Seolah-olah memancarkan perasaan….. rindu, mungkin?

Marrie tersenyum simpul dan menyapa balik Rian, “Hai!”

“Hmmm, gini nih kalau dunia serasa milik berdua. Gue berasa jadi obat nyamuk di sini. Ya udah deh gue pergi duluan ya,” ujar Lisa sedikit kesal dan ada rasa ingin menggoda kedua temannya itu. Ia tidak habis pikir, selama setahun kedua temannya ini menjalin hubungan pertemanan yang amat sangat erat. Sampai-sampai mereka terlihat seperti pasangan kekasih jika sedang berjalan bersama. Tapi, apa mereka berdua tidak merasakan ada getaran-getaran cinta di hati mereka? Oke ini berlebihan.

“Yah, mau kemana? Kita ke kelasnya bareng aja,” ujar Marrie, mencekal tangan Lisa ketika dilihatnya gadis itu hendak kabur meninggalkan mereka berdua. Ia tidak suka jika hanya ditinggal berdua dengan Rian. Membuatnya sedikit risih karena tatapan pria itu yang…. entahlah, selalu bisa membuat jantungnya berdetak di luar kendali.

“Apa sih Mer? Gue mau ke kelas. Lagian gue sama lo udah nggak satu kelas lagi. Gue di kelas XI IPA 3, sedangkan lo berdua di XI IPA 1,” ujar Lisa beralasan. “Jadi mending gue pergi duluan. Ah, tuh ada Dani. Dani!” seru Lisa memanggil Dani, teman sekelasnya, yang kebetulan lewat di depan mereka. Ia melepaskan tangannya dari cekalan Marrie, berusaha secepatnya kabur dari gadis itu.

“Eh, Lis! Lo mau kemana?”

“Gue ke kelas duluan ya!” teriak Lisa yang sudah berjalan menjauhi Marrie bersama Dani di sebelahnya. Aissh, kalau sudah begini mau bagaimana lagi, gerutu Marrie dalam hati.

“Ayo kita ke kelas!” ajak Rian membuat Marrie menatap Rian. Dan tindakannya itu disesalinya sedetik kemuadian. Ah, kenapa laki-laki di depannya ini mudah sekali membuatnya terpana?

***

“Mer, aku duduk sama kamu ya? Soalnya tempat duduk yang lain udah penuh. Boleh kan?” tanya Rian meminta izin kepada Marrie untuk bisa duduk di sebelah gadis itu.

Marrie mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Memang benar apa yang dikatakan Rian, semua tempat duduk sudah ada pemiliknya masing-masing. Yang tersisa hanyalah tempat duduk di sebelahnya. Pihak sekolah sudah megatur jumlah tempat duduk untuk disamakan dengan jumlah siswa, jadi hanya tempat duduk di sebelah Marrie saja yang masih kosong karena Rian belum mendudukinya.

Marrie menatap Rian. Pria itu menantikan jawabannya dengan kening berkerut, harap-harap cemas dengan apa yang akan dikatakan gadis itu sebagai jawabannya. Ia melakukan semua itu karena ia menghormati Marrie. Kalau Marrie tidak nyaman dia duduk di sebelahnya, maka ia akan mengusahakan segala cara untuk tidak duduk di sebelah gadis itu.

Beberapa saat yang terasa lama itu, Marrie menganggukkan kepalanya. Membuat Rian tersenyum senang dan langsung menjatuhkan tubuhnya di atas tempat duduk di sebelah Marrie. Teman-teman mereka yang ternyata menonton mereka berdua sejak tadi, mulai bersorak riuh menggoda mereka.

Namun keadaan kelas yang riuh itu tidak bertahan lama, karena guru mapel pertama hari ini sudah masuk ke kelas mereka. Guru mapel kimia. Kalau tidak salah namanya bu Musafrida, dan biasa dipanggil bu Ida. Guru itu menyandang gelar guru ter-killer di sekolah itu, membuat semua siswa takut ketika diajar olehnya.

Bu Ida maju ke depan kelas, melihat ke seluruh penjuru kelas, lalu tatapannya berhenti saat melihat Marrie dan Rian yang mendapatkan tempat duduk di depan, tepat di hadapan bu Ida yang saat ini sedang berdiri. Dan dengan “sedikit” gebrakan di meja, bu Ida menanyai Marrie dan Rian.

“Kenapa hanya kalian yang duduk dengan lawan jenis?” tanya bu Ida dengan mata menyipit. Membuat Marrie sedikit takut.

Rian melirik ke arah Marrie, lalu berkata, “Nggak ada tempat duduk lain yang kosong, Bu. Jadi saya terpaksa duduk di sini,” ujar Rian menjelaskan.

“Kalau begitu, kenapa yang lain tidak mengikuti kalian berdua? Duduk satu meja dengan lawan jenis?” pertanyaan bu Ida itu membuat seluruh siswa di kelas itu melongo. Guru mereka ini sedang tidak waras atau apa?

***

“Hei Mer!” sapa Lisa dari belakang Marrie dengan menepuk pundak gadis itu, menyadarkan Marrie dari lamunannya tentang guru kimia tadi yang setelah mengatur tempat duduk agar semuanya duduk dengan lawan jenis, guru itu memperkenalkan diri sebagai wali kelasnya, membuat semua siswa di kelasnya tadi menghela napas panjang. Semuanya menjadi lesu. Siapa yang mau memiliki wali kelas yang notabene-nya guru ter-killer sesekolahan?

Lisa duduk di sebelah Marrie, saat ini mereka sedang berada di kantin langganan mereka berdua, atau bahkan bertiga? Biasanya Rian juga ikut bergabung dengan kedua gadis ini untuk makan bersama saat istirahat tiba.

“Eh Mer, Rian mana?” tanya Lisa, menyadari bahwa tadi Marrie hanya duduk sendiri tanpa Rian.

“Dia disuruh ke kantor, bawain buku tugas ke mejanya bu Ida,” terang Marrie.

“What? Buku tugas? Di hari pertama guru killer itu udah ngasih kalian tugas?” tanya Lisa dengan nada kagetnya yang berlebihan. Dan dijawab dengan anggukan oleh Marrie.

Sebenarnya tidak berlebihan juga sih kalau Lisa berekspresi seperti itu, mengingat guru itu memang keterlaluan. Di hari pertama saja sudah memberi tugas. Ah, rasanya memikirkan semua itu membuat kepala Marrie seperti mau pecah.

“Terus kenapa harus Rian yang disuruh ke ruang guru?” tanya Lisa lagi, penasaran.

“Karena bu Ida yang nyuruh. Lagian Rian dipilih bu Ida buat jadi ketua kelasnya, jadi dia yang harus bawa buku-buku itu ke kantor. Bahkan gue aja yang wakil ketua kelas nggak boleh ngebantuin,” jelas Marrie.

“Lo dipilih jadi wakil ketua kelas?” tanya Lisa kaget. Dan untuk kedua kalinya Marrie hanya menganggukkan kepalanya.

“Isshh…. kenapa tuh guru seenaknya aja milih perangkat kelas sesuka hati? Nggak ngasih kesempatan siswa lain buat nentuin pilihan,” gerutu Lisa, sebal dengan guru killer itu. Dia tidak bisa membayangkan, akan semengerikan dan semenyebalkan apa kalau guru itu menjadi wali kelasnya. Untung saja itu tidak terjadi, batin Lisa.

***

2 hari kemudian

“Kalian sudah mengerjakan PR yang Ibu berikan kemarin?” tanya bu Ida kepada anak-anak didiknya itu, membuat wajah beberapa siswa memucat karena mereka belum menyelesaikan PR mereka. Bukan, bukan karena mereka malas, tapi mereka tidak mengerti bagaimana cara mengerjakan soal-soal yang menurut mereka sulit.

Perlu diketahui, PR itu terdiri atas 10 soal, yang tiap soalnya memiliki 3 sub soal. Dan guru itu mewanti-wanti mereka agar mengerjakan sendiri PR mereka. Tidak boleh meminta bantuan teman yang lain. Benar-benar mengerikan. Mereka bisa saja melanggar aturan yang merugikan mereka itu, tapi mereka tidak berani menanggung resiko jika mereka ketahuan. Mereka diharuskan mengerjakan soal yang lebih sulit dari yang mereka terima jika mereka melanggar. Dan Rian termasuk dalam jajaran siswa yang belum selesai mengerjakan PRnya. Ah, kalau saja tidak hari ini mengumpulkan hasil pekerjaannya pasti dia masih bisa mengerjakan PR tersebut. Ia mengutuk dalam hati orang yang telah membuat jadwal pelajaran untuk kelas mereka. Kenapa mapel kimia itu tiga hari berturut-turut sih? Hasshh…. sialan.

Bu Ida menghampiri meja Rian. “PRmu belum selesai, Rian?” tanya bu Ida, yang sukses membuatnya menegang. Lalu sedetik kemudian ia menggeleng lemah. Bu Ida menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Beberapa saat kemudian ia mendongakkan kepalanya dan memandang siswanya yang lain. “Siapa lagi yang belum selesai PRnya?”

7 siswa terlihat mengangkat tangan mereka dengan tangan yang gemetar, takut. Cobaan apa lagi yang akan mereka terima setelah ini?

***

“Kamu pulang duluan aja Mer. Aku bisa kerjain sendiri,” ujar Rian saat dilihatnya Marrie masih saja setia menunggunya yang sedang berusaha mati-matian mengerjakan 5 soal tambahan yang diberikan oleh bu Ida tadi bersama ke-7 temannya yang lain. Batas akhir pengumpulannya adalah jam 3 sore ini. Sekarang sudah jam 2 lewat 15 menit dan Rian masih kurang 1 soal yang belum ia kerjakan. Ia tidak mau membuat gadis itu menunggunya lama. Jadi ia sedari tadi meminta Marrie agar mau pulang terlebih dulu. Namun gadis itu keras kepala sekali. Tetap tidak mau pulang sebelum Rian juga mau pulang. Menggelengkan kepalanya ketika Rian memintanya untuk pulang duluan. Membuat Rian berusaha menyelesaikan soal-soal itu secepatnya agar dia bisa menyeret gadis itu pulang.

Beberapa menit berlalu, dan kini jam di kelas itu sudah menunjukkan pukul 2 lewat 30 menit. Teman-teman Rian sudah selesai mengerjakan soal-soal itu.

“Ian,” panggil Marrie kepada Rian. ‘Ian’ adalah panggilan kesukaan Marrie untuk Rian. “Aku ke toilet dulu,” lanjut Marrie. Rian hanya menganggukkan kepalanya. Dan saat gadis itu menghilang di balik pintu, Rian tersenyum. Ternyata gadis itu masih suka memanggilnya dengan panggilan itu.

Sekarang, di kelas itu hanya ada Rian yang sedang bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Marrie kembali dari toilet. Namun tiba-tiba beberapa teman sekelasnya ketika ia kelas X, masuk ke kelas itu. Mereka mengerubungi Rian, membenahi barang-barang Rian, lalu menyegel tas Rian dengan gembok yang mereka bawa. Setelah itu mengikat tangan Rian dengan borgol mitasi, serta mengikat tubuh Rian di kursi dengan rantai dan menggemboknya dengan beberapa gembok lain. Entah dari mana mereka mendapatkan semua itu.

“Eh, apa-apaan sih lo-lo pada? Cepat lepasin! Gue mau pulang!” Hah… teman-temannya ini masih saja jahil. Dulu pas Lisa ulang tahun juga dikerjain.

Eh, ulang tahun? Sekarang tanggal berapa? Jangan bilang ini tanggal 25 Juli.

“Happy birthday Rian!!!” teriak mereka semua secara bersamaan. “dan selamat menantikan bidadari penyelamatmu,” lanjut seorang dari mereka. Sepertinya itu ketua kelasnya dulu, Ridho. Setelah itu, mereka semua keluar dari kelas dan bertemu dengan Marrie di luar kelas.

“Kalian ngapain di sini?” tanya Marrie curiga, ketika melihat teman-temannya berjajar di depan kelasnya.

“Marrieku sayang, nih gue kasih kunci. Selametin tuh pangeran berkuda putih lo. Wajahnya ngenes banget tauk,” ujar Lisa memberikan beberapa kunci kepada Marrie, dan mengedikkan dagunya ke arah Rian yang terduduk lesu di bangkunya sambil mengumpati semua teman-temannya yang telah berani-beraninya melakukan semua ini kepadanya. Awas saja kalian. Gue bakal balas kalian nanti, gerutunya dalam hati.

“Cepat bukain borgol dan gembok-gembok itu!” suruh Ridho sambil mendorong Marrie agar cepat masuk ke dalam kelas, lalu menutup pintu kelas dan menguncinya dari luar.

“Eh, pak ketua, buka pintunya! Kalian ini kejam banget,” teriak Marrie. Ia menggedor-gedor pintu kelas itu kuat-kuat. Namun, apa balasannya?

“Kalian berdua harus jadian dulu, baru kita bukain pintu,” balas Ridho dari luar. Blush, semburat merah muncul di pipi Marrie. Pipinya memanas. Hal yang sama juga dirasakan oleh Rian. Ah, bagaimana ini?

“Hei, bukain borgolku dan gembok-gembok ini dulu,” pinta Rian kepada Marrie. Marrie terkesikap mendengar suara Rian. Ia memandang Rian dengan gugup. Lalu berjalan ke arah laki-laki itu dan membukakan gembok-gembok yang ada di tubuh Rian, juga borgol mitasi yang melingkari pergelangan tangan laki-laki itu. Mereka berdua saling berhadapan. Membuat Marrie tambah gugup dengan Rian yang memandangnya terus-menerus.

“Put,” ujar Rian lirih. ‘Putri’, panggilan kesukaan Rian untuk Marrie. Marrie mendongak menatap Rian, “gimana kalau kita turutin permintaan pak ketua bangka itu?” lanjutnya. Marrie mengerutkan keningnya bingung.

“Gimana kalau kita jadian?” tanya Rian, yang sukses membuat pipi Marrie merona untuk kedua kalinya. Marrie terdiam sesaat.

“Emmmmm, terserah kamu aja,” jawab Marrie cepat dan lirih. Ia jadi tidak bisa berkonsentrasi membuka borgol mitasi di tangan Rian.

“Apa? Aku nggak dengar. Coba ulangi!” pinta Rian disertai senyuman lebar di wajahnya.

“Aku tahu kamu dengar. Nggak usah pura-pura nggak dengar,” ujar Marrie sebal. “Ahh~ kenapa susah sekali sih? Nih buka sendiri borgolnya!” Marrie melemparkan kunci borgol mitasi itu ke arah Rian, lalu berjalan menuju pintu dan menggedor-gedornya lagi. Kali ini lebih keras dari yang tadi.

“Hei Pak Ketua Bangka sialan! Buka pintunya!” jerit Marrie kesal.

“Eh, gue bukan pak ketua bangka sialan, ya!” sembur Ridho kepada Marrie setelah ia membukakan pintu kelas. Marrie tak peduli dan malah menanyakan hal lain.

“Kalian dapat benda-benda kayak gitu dari mana sih?” tanya Marrie sambil menunjuk arah Rian. Yang dimaksudkan adalah rantai, borgol, dan gembok-gembok itu. “Dan kunci kelas juga. Kalian bilang apa waktu minjam?”

“Kasih tahu nggak ya?” balas Ridho malah meledek Marrie. Marrie yang sudah bersiap-siap ingin menghajar Ridho mengurungkan niatnya, saat mendengar suara Rian.

“Ketua bangka sialan, mana kunci gembok tas gue, hah?” tanya Rian jengah. Dari tadi ia mencoba membuka gembok itu dengan kunci-kunci yang diberikan teman-temannya, tapi tidak ada satupun yang cocok.

“Oh itu, tadi Agung yang bawa. Dan sekarang bocah itu udah pulang. Katanya ada latihan futsal,” jelas Ridho tak acuh. Rian menghela napas panjang. Beginilah nasibmu kalau kau mempunyai teman-teman yang sangat jahil. Mereka tidak akan melepaskanmu di hari ulang tahunmu, dan kau akan dikerjai habis-habisan di hari itu juga.

“Rian!” panggil Marrie pada laki-laki itu. Rian hanya bergumam menjawabnya. “Ayo cepat kita serahin tugas-tugas itu ke bu Ida. Ini hampir jam 3.”

“Oh iya, sampai lupa. Ini semua gara-gara kalian!” sembur Rian kepada teman-temannya dengan wajah bengisnya. Ia segera saja mengambil buku tugas yang tadi diletakkannya di meja beserta tasnya yang masih tersegel gembok dan langsung berjalan cepat ke arah Marrie, menggenggam tangan gadis itu dan menyeretnya menjauhi kerumunan teman-temannya. Ia tidak menyadari tindakan spontannya itu.

“Cie cie…..” sorak riuh teman-temannya membuat langkah kedua orang itu terhenti lalu berbalik.

“Apaan sih? Ribut!” seru Rian kesal. Ridho menunjuk ke arah tangan mereka berdua yang bertautan. Rian dan Marrie mengikuti arah yang ditunjuk Ridho, dan buru-buru melepaskan tautan tangan mereka setelah tahu apa yang dimaksud Ridho.

“Nggak usah malu-malu kayak gitu,” goda Lisa. Diiringi tawa teman-temannya yang lain.

“Diam nggak? Atau mau gue tabok pake tas ini satu satu?,” gertak Marrie sambil mengacungkan tas Rian yang bergembok itu, dan sukses membuat teman-temannya yang tadi tertawa-tawa itu langsung bungkam. Mereka tidak bisa membayangkan akan semengerikan apa jika Marrie sudah marah, terlebih mengamuk.

“Ayo Yan!” ajak Marrie pada Rian. Gadis itu berjalan lebih dulu ke arah kantor guru, berusaha menyembunyikan wajahnya yang telah memerah.

Sesampainya di ruang guru, Rian dan Marrie langsung meletakkan buku tugas yang mereka bawa ke atas meja bu Ida, lalu bergegas keluar dari kantor dan memutuskan untuk langsung pulang.

Di perjalanan pulang, Rian dan Marrie berbincang-bincang. Membuat perjalanan yang sebenarnya hanya memakan waktu 2 menit, menjadi bermenit-menit agar bisa sampai di kos-kosan.

“Emmm… Ian,” panggil Marrie ketika mereka telah sampai di depan kos-kosan tempat Marrie tinggal. Rian menghadapkan tubuhnya ke arah Marrie, menunggu kelanjutan kata-kata yang akan diutarakan gadis itu. “Kayaknya aku belum ngucapin,” lanjut Marrie. Kening Rian berkerut bingung. Apa maksud gadis di depannya ini?

“Selamat ulang tahun,” ujar Marrie. Gadis itu tersenyum, membuat Rian ikut tersenyum. Sejenak ia terpana melihat kecantikan gadis itu yang bertambah berkali-kali lipat ketika ia tersenyum. “Dan, kayaknya aku mulai tertarik sama kamu,” lanjutnya lagi dengan nada cepat dan wajahnya yang menunduk malu.

“Apa?” tanya Rian terkejut mendengar pernyataan gadis itu. Gadis itu mulai tertarik padanya? Namun bukannya menjawab pertanyaan Rian, Marrie malah berbalik meninggalkan Rian yang masih belum sadar dari keterkejutannya.

“Sampai jumpa, Ian.”

5 Komentar

  1. Sweet bngt sihh
    Jdi inget masa2 sma ehhh Hahaha
    Oia, dikau penulis marry ran jg kan ya, aq dah ksh komen disana ttng cara bikin lope-lope di tiap postingan cerita kmu
    Yuks dicba
    Semoga berhasil yak

  2. Aduh,, kebiasaan ngusilin orang lagi ulang tahun emang gak luntur ya,,

  3. So sweettttt ihhh

  4. fitriartemisia menulis:

    sweet eaaaaaaaaaaaaaa hahaha

  5. Sweet deh??