17. Hitam
Tidak ada lagi tangisan. Dwina hanya diam memandangi langit-langit rumah sakit dengan tatapan kosong. Ada beban berat di tempatkan di atas pundaknya sampai ia merasa kesulitan untuk sekedar menarik napas.
“Wi, dokter udah ngizinin kamu pulang” Kak Bayu menyibakkan selimut dan menggendong Dwina menuju mobil Audy milik Arya.
Arya dan Bayu secara bergantian melirik keadaan Dwina yang terpampang sangat pucat tanpa berekspresi. Kejadian tadi membuat perempuan itu trauma hebat. Begitu juga bagi kedua laki-laki tersebut, hati mereka masih begitu panas mengingat perlakuan jahat yang diberikan pada Dwina.
Sesampainya, Dwina memilih melangkah sendiri menuju kamar dengan gontai, dirinya masih terpengaruh oleh sisa alkohol. Otaknya melayang memutar rekaman ulang, ketika tangannya di tahan kebelakang dan rahangnya di tahan kemudian di paksa untuk meneguk minuman beralkohol. Bahkan Putri hanya memandang datar tidak berperasaan sama sekali. Dimana Putri, sahabat yang selalu ia sayang dan pengertian?
Dwina menggigil saat mencoba untuk terlelap dalam tidur. Hanya ada gelutan kegelapan mengerikan selama dia berada di alam mimpi. Ia butuh menceritakan kesedihannya pada orang lain, tapi menurutnya menceritakan pada Kak Bayu atau Arya bukanlah pilihan yang terbaik bahkan justru seperti menyiram bensin ke api.
Esok pagi. Tidak ada yang mengungkit sama sekali kejadian kemarin saat sarapan bersama. Dan Arya masih berada di dalam rumahnya, dia melihat laki-laki itu belum kunjung berganti pakaiannya sejak kemarin malam.
“Adek, mau nggak Ibu buatin ikan gurame kesukaan adek?” tanya Bu Aminah merasa mengenaskan melihat anaknya tidak memiliki nafsu makan.
“Iya… bikin yang enak ya” Dwina memang pintar menenangkan hati orang lain.
Dwina tersenyum tipis walaupun kenyataan dirinya ingin meledak tidak kuat menahan bebannya.
“Kamu kuliah dek?” tanya Bayu penuh penekanan, begitu juga Arya yang kini ikut penasaran dengan Dwina yang sudah berpakaian rapih dan menaruh tas ransel di salah satu kursi kosong di sebelahnya.
“Iya, hari ini ada praktikum. Aku nggak mau berurusan sama tim perkuliah karena sebentar lagi mau UTS” jujur Dwina, tanpa berniat menatap manik mata kakaknya yang masih di geluti emosi sejak semalam.
“Aku anterin” balas Arya berusaha menengahi permasalahan. Bayu ingin mengelak perkataan Dwina, terlihat jelas ada semburat merah pada wajahnya seperti ingin menerkam Dwina. Bisa-bisa muncul keributan hebat dan Dwina masih belum siap untuk di interogasi.
*
*
*
“Nanti pulang aku jemput” seru Arya sebelum memandang punggung Dwina menjauh melangkah menelusuri lapangan menuju gedung Fakultas Farmasi. Selama perjalan tadi, Dwina hanya berbicara seperlunya saja, bahkan dia sampai menolak tawaran permen kesukaan perempuan itu yang dia siapkan dalam Audinya khusus untuk Dwina.
Tari kini sedang tertawa mendengar kesialan Sella berurusan dengan asisten dosen menyebalkan pada salah satu kelas praktikum.
“Emang bener dia nyebelin banget, gue juga pernah kayak lo hahaha” Tari menutup mulutnya dengan telapak tangannya mencoba meredam tawanya kemudian langsung dia hentikan ketika Dwina datang sambil memberi tatapan sedih mau menangis ke arah mereka.
“Kenapa lo beb?” Tari menarik Dwina ke dalam pelukannya dan sekarang tangisan temannya itu seketika pecah begitu saja.
“Cup cup…” Tari menghapus air mata Dwina dengan sapu tangannya. Dwina jarang sekali sedih apalagi sampai menangis begini. Pasti masalahnya besar sekali.
“Keluarin semuanya aja Wi, gue temenin lo nangis” Tari menepuk-nepuk pelan pungung Dwina yang sudah di basahi keringat dingin.
Cukup lama Dwina masih belum mau angkat bicara dan Taripun tidak memaksakan kehendak Dwina. Rasa sedih ikut tertular pada diri Tari melihat temannya tampil mengenaskan setelah tiba-tiba saja muntah-muntah mengeluarkan semua sarapan paginya.
“Kalau sakit lo nggak usah kuliah, gue anterin pulang ya?” Dwina menggelengkan kepala menolak permintaan itu. Tari membantu membersihkan mulut Dwina didepan washtafel.
Dwina menangis kembali sebelum memulai kisahnya. Tari mendengar baik-baik semua jalan cerita yang di alirkan oleh temannya. Tentu saja Tari langsung marah ingin menjambak perempuan bernama Putri binti Sialan ity karena telah memperlakukan Dwina tidak manusiawi seperti itu.
Tari menggenggam tangan Dwina sangat erat. Kini temannya itu butuh penguat sekaligus sandaran. Ia juga tidak boleh asal berkomentar tentang kejadian tersebut, takut nantinya ada pengaruh buruk.
“Ke rumah gue yuk, nanti waktu jam praktikum lo gue anterin balik ke kampus”
“Memang boleh?” tanya balik Dwina
“Lo tuh kayak belum kenal gue, santai aja kali Wi” Tari mengaitkan tangan Dwina menuju parkiran, lalu masuk kedalam mobil sedan tipe lama bekas Papanya. Sedangkan Sella juga memilih ikut membolos.
“Mampir supermarket dulu ya?” pinta Sella
“Okey” balas Tari dengan bersemangat. Apapun yang berbau tentang shopping. Tari selalu menyukai itu.
Gedung supermarket memiliki dua lantai sudah berada di hadapan mereka bertiga. Diambil troli lalu kemudian mereka berbelanja banyak makanan. Bahkan Tari membuat Instagram Story lumayan banyak.
“Lo kayaknya butuh masker mata. Bengkak banget sist matanya” ajak Sella yang diselimutu rasa prihatin lalu menuju ke tempat barang-barang kecantikan.
“Apa sekalian kita ke salon aja? lo mau?” Tawar Tari.
“Tapi bayarin ya?” tanya Dwina sambil tersenyum tipis. Temannya itu tidak mungkin tega menolak permintaannya apalagi setelah melihat keadaanya mengerikan seperti ini.
“Iya.. deh gue traktir kalian berdua. Puas?” jawab Tari jengah. Uang shoppingnya untuk beli sepatu jadi teralihkan.
“Makasih.. Mbak Tari hari ini cantik banget” puji Sella kegirangan dan Dwina tertawa pelan bisa melepaskan sedikit bebannya walaupun ia berharap beban itu segera menghilang.
“Ayo kita cau…” seru Tari dengan gaya centil ikut bersemangat atas rencana mereka.
Dwina bersyukur sekali kedua temannya mau menemaninya menghilangkan kesedihannya. Padahal di awal tahun kuliah Tari dan Sella terlihat seperti orang yang jutek juga sering sekali berkomentar pedas pada sesuatu hal yang tidak mereka sukai. Termasuk berani menyindir senior saat masa orientasi sekolah.
Namanya juga perempuan suka tidak konsisten dengan niatnya sendiri dan menyukai melakukan hal di luar perkiraan dari rencana. Mereka bertiga memakan waktu satu setengah jam untuk berbelanja camilan kemudian tidak langsung pergi ke salon, justru belok dulu ke restoran yang berletak di seberang supermarket.
Tari dan Sella menyebutkan pesanan mereka, sedangkan Dwina sudah memesan lebih dulu ayam goreng dan lemon tea seperti biasanya.
Seketika ponsel Dwina berdering memunculkan nomer asing. Tapi, dia tetap menjawabnya tanpa berniat membuka suara terlebih dulu. Apakah suara orang tersebut dia kenal atau tidak?
“Halo…” suara berat membuat Dwina menegang seketika. Untuk apa Jordan menghubunginya.
“Dwina…” lanjut laki-laki itu penuh nada menggoda. Dwina bisa membayangkan Jordan menyebutkan namanya dengan menampilkan seringai licik yang sangat Dwina ingin lupakan.
Dwina memutuskan panggilan telpon itu sepihak. Kini perutnya bergemuruh mual. Trauma menggigilkan tubuh Dwina.
“Siapa wi .?” Tanya Sella sambil tersenyum tipis padanya.
“Jordan” menyebutkan nama itu menambah beban berat bagi Dwina lalu di detik kemudian, perempuan itu menjatuhkan kepalanya di atas meja hingga menimbulkan bunyi benturan keras. Dwina pingsan.
Alam bawah sadar Dwina mengatakan, ia harus menyelesaikan masalahnya supaya semua hal mengerikan ini berakhir. Namun, siapapun akan kesulitan melawan kelemahannya sendiri dan kelemahannya adalah ia terlalu kecewa pada semua yang berhubungan dengan Putri.
Itu Jordan belum mati juga ya,,
kukira udah mati dibunuh sama Bayu,,
Aduh,, kan kasian Dwina jadi trauma gara” kejadian itu,,
yang kuat ya Dwina,,,,
Wahhhh klo bayu ama arya tau jordan masih gangguin dwina bisa abis itu jordan kena bogem bayu
Jalan satu2nya hrs nemuin putri dan nyelesain masalah cari jalan keluar tapi dwina hrs ditemani ntah oleh arya atau tari yg penting jgn sendiri bahaya ada jordan
Ihh si Jordan masih aja gangguin Dwina Mulu ya
JORDAN JUGA MINTA DIPITES KAYAKNYAAA
Dwina ini nurut banget ya anaknya
Wah ternyata masih hidup si Jordan??