8. Puisi
Deruman mesin mobil membuat satu keluarga Arya saling menatap bingung satu sama lain. Siapa yang datang? sepertinya tidak ada satupun yang memiliki janji temu dengan seseorang, sedangkan Dwina menampilkan wajah sumringah mengetahui kedatangan Kak Bayu.
“Yes Kak Bayu udah dateng” seru Dwina pada dirinya sendiri. Dwina langsung melangkah keluar dari rumah karena tidak sabar menunggu sosok kakaknya.
Arya mengerjap bingung. Bayu tidak mengatakan apapun kalau dia akan datang kesini.
Beberapa saat kemudian Bayu memasuki ruang makan yang sudah dipenuhi keluarga besar Arya. Dan Dwina sedang bergelayut merangkul lengan kakaknya dengan erat seolah tak mau terlepaskan.
“Assalamualaikum..” salam Bayu menggunakan suara lantang.
“Waalaikum salam.. duduk dulu pasti capek banget” Bu Ati menyambut hangat kedatangan Bayu dan seorang lagi perempuan asing yang langsung bisa ditebak kalau itu adalah pacar Bayu.
Rangkulan Dwina semakin erat seolah takut kakaknya akan meninggalkannya lagi. Dirinya sudah tidak betah di rumah Arya, bukan karena ia benci tapi itu semua karena tatapan dan sikap Arya padanya. Setiap perempuan akan senang diberi perhatian lebih oleh laki-laki ganteng, malah sebalikknya Dwina sesak napas dekat-dekat Arya. Jantungnya berdetak berlebihan terus menerus hingga ia capek sendiri untuk menenangkannya.
“Kok elo nggak bilang-bilang mau nyusul ke Bandung” nada kesal Arya tertumpah begitu saja. Perasaannya sulit menerima Bayu akan mengambil Dwina secepat itu dari sisinya. Huh…
“Oh.. itu Dwina minta dijemput pulang. Katanya dia nggak enak takut ngeropotin lo disini”
“Nggak sama sekali” balas Arya jujur dengan pembawaan serius mencoba mempertahanakan Dwina supaya tidak pulang. Bayu hanya mengendikkan pundaknya tak mau mengerti.
Keluhan Arya sama seperti keluarga besarnya Yah.. Dwina pulang.. sambil memasang wajah masam. Dwina itu orangnya sangat asik dan supel. Sayang sekali ternyata perempuan itu minta pulang.
“Nginep disini dulu aja, nanti pagi baru pulang” tukas Bua Ati langsung diketahui makna tersirat dibalik ucapannya oleh Teh Bika, yaitu ingin juga menahan Dwina lebih lama dirumah ini.
Bayu menggosok tengkuk lehernya pelan. Sehalus mungkin, ia menolak saran itu dengan berbagai alasan. Bukan karena dirinya ingin menolak. Namun, semua ini untuk Dwina. Ia tidak tega melunturkan harapan Dwina apalagi adiknya begitu bahagia melihat kedatangannya. Parahnya, ia sudah menjebak Dwina untuk datang kerumah Arya tanpa dirinya, walau tidak ada tanda-tanda adiknya marah diperlakukakan seperti itu.
Disamping Bayu beristirahat diruang tv bersama keluarga Arya, Dwina mengepak barang-barang miliknya. Hatinya mendadak berbunga-bunga sebentar lagi terlepas dari Arya. Sosok Arya dimata Dwina tidaklah begitu buruk. Laki-laki itu bersikap baik padanya, cukup pengertian seperti Kak Bayu, sikapnya baik sekali pada keluarga, ganteng banget sampai terkadang Dwina merasa silau melihat senyumannya tapi…..
Ketukan pintu membuyarkan lamunan Dwina. Segera ia menoleh ke asal suara menampilkan Arya dengan kilatan mata tak terbaca….
Tapi… dia itu mendekati unsur psyco! Tampak sekai aura kelamnya diam-diam mulai mengintimidasinya. Untung saja kemampuan akting Dwina cukup baik dapat menuntupi segala kegugupannya.
“Ada apa kak?” biasanya jika Arya memberi tatapan dinginnya pada para perempuan, mereka akan menunjukkan ketakutan, entah itu dari nada suara yang kaku atau wajah menjadi pucat. Sayangnya Dwina terlihat santai saja seperti tidak ada sesuatu hal berbahaya mencekamnya.
“Kenapa kamu nggak bilang ke aku kalau mau pulang? kamu itu ngerepotin Bayu malem-malem disuruh pulang lagi ke Jakarta” suara Arya begitu dalam sembari melangkah mendekat Dwina tak lupa dia menutup pintu kamarnya terlebih dulu. Atmosfir mendingin merebak diantara keduanya.
“Itu karena aku nggak mau pulang bareng kakak” Dwina tidak menutupi kejujurannya dan tak kalah memandang dingin Arya. Batin Dwina kebingungan karena mereka seperti ingin perang. Padahal tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Jelas-jelas mereka tidak memiliki hubungan dekat sama sekali. Teman saja tidak!
“Kenapa kamu nggak mau pulang bareng aku?” kerutan tak percaya terpampang begitu saja pada wajah Arya atas jawaban Dwina. Memang ia melakukan kesalahan? ia kira selama mereka bersama Dwina mulai terbiasa dengannya.
“Karena Kak Bayu dan Kak Arya bohong sama aku. Dan aku nggak nuntut banyak. Aku mau Kak Bayu yang nganter aku pulang, lagi pula dia nggak keberatan. Terus aku juga nggak terbiasa dekat dengan laki-laki asing. Aneh aja rasanya walaupun aku berusaha untuk bersikap biasa” Dwina tersenyum dengan kikuk. Memang dirinya bodoh telah ditipu oleh kakaknya. Keadaanya sekarang sama persis seperti ketika Kak Bayu mengajaknya ke acara resepsi pernikahan teman sekantornya dan kehadiran Dwina sekedar untuk menjadi pajangan karena saat itu Kak Bayu sedang jomblo, memang beginilah nasib adik perempuan. Namun, serpihan rasa bersalah menyelip di batin Dwina atas kejujurannya pada Arya. Dwina tidak pernah tega menyakiti orang lain.
Sebuah kotak hadiah yang diniatkan untuk diberikan pada Kak Bayu, ia alihkan pada Arya. Ingat! tidak ada maksud lain dari tindakannya. Kenyataannya sikap Dwina membuat jalan Arya semakin terbuka.
“Terima kasih kak… aku seneng jalan bareng sama kakak ke Bandung” Arya tak menyangka Dwina memberikan hadiah untuknya. Sebuah jam tangan sederhana, tapi menjadi berharga karena yang memberikan itu adalah Dwina. Tapi, bukankah seharusnya dirinya yang berterima kasih dan memberikannya hadiah pada Dwina karena kehadirannya sangat membantunya.
Semburat kekecewaan Arya hilang tertiup angin. Setiap orang butuh ditarik ulur, Dwina menggunakan itu kepada Arya. Supaya setiap prasangka buruk Arya padanya hilang, nyatanya tidak sepernuhnya berhasil.
“Kamu nyogok aku biar nggak marah?” Arya tidak bisa tidak terkekeh.
“Bisa dibilang begitu kak. Tau nggak? mata kakak itu sereng banget kalau lagi kesel lebih dari Kak Bayu yang pura-pura jadi pocong waktu aku sd” Dwina berdesis pelan sambil bergedik ngeri. Nada suara Dwina dibuat berlebihan. Kalau ide memberikan hadiah untuk Arya tidak muncul cepat, bisa-bisa ia pingsan menghadapi Arya.
Atmosfir diantara mereka mencair begitu saja. Arya duduk di tepi ranjang sambil memperhatikan Dwina melanjutkan mengepak barang.
“Jangan dibiasain kayak begitu, kalau ada orang yang nggak kuat bisa kena serangan jantung”
“Mau gimana lagi, sudah kebiasaan dari SMP. Apalagi waktu banyak cewek yang mulai naksir dan nekat deketin aku. Risih banget rasanya. Kalau nggak ditegasin mereka malah makin ngelunjak”
Dwina mengangguk paham. Arya memang terlalu ganteng. Membuat setiap perempuan tidak tahan menatap wajah rupawan itu sambil menikmati debaran jantung tak beraturan. Sama halnya dengan Dwina sekarang.
“Tapi, kalau kamu beda” bibir Arya tertarik membentuk senyuman tipis mampu membuat perempuan mana pun meleleh. Tangan Dwina seketika menjalarkan rasa dingin.
“Hem..? apa bedanya?” hampir saja suara Dwina terdengar bergetar.
“Kamu kelihatan jaga jarak ke aku, jadi penasaran deh kenapa kamu ngelakuin itu”
Karena kamu Psyco! Tapi, mana mungkin Dwina berani mengatakan hal itu. Ujung-ujungnya Dwina mengalihkan jawabannya
“Maaf kalau begitu. Banyak orang yang juga berfikir buruk tentang aku. Yang dikatain sombong, angkuh, judes. Parahnya aku yang diam aja, males ikut campur urusan orang malah dituduh ngerebut pacar orang. Padahal cowoknya aja yang kegatelan. Ck” mengingat kejadian dua minggu yang lalu, darah Dwina seketika mendidih. Tatapannya jadi jengkel sembari mengepal keras kedua tangannya sampai buku-bukunya memutih.
“Ya udah Kak aku mau turun” Arya membantu Dwina membawakan tas ransel milik Dwina.
Anehnya semua orang diruang tv menatap senang kehadiran Dwina. Apa jangan-jangan kakaknya membongkar hal-hal berbau dirinya?
“Ini dia pemenang lomba puisi. Bener deh Dwina bikin merinding orang kalau bacain puisi” tukas Kak Bayu semangat. Aduh… Kakaknya kenapa sih ngumbar-ngumbar tentang dirinya. Dwina jadi malu. Semua orang bersorak menyuruhnya membacakan sebuah puisi sebelum pergi.
“Biasa aja… Kak Bayu nya aja yang belebihan. Padahal aku nggak pernah menang ikut lomba puisi” perhatian orang-orang teralih pada ucapan Kak Bayu
“Coba lihat akun Instagramnya Dwina… dia suka memposting video puisi gitu”
TERPAKSA Dwina membacakan puisi ditengah keluarga Arya. Ia memutar sebuah instrumen dari Libary musiknya. Lebih cepat lebih baik.
Aktingnya segera dimulai. Senyuman termanis Dwina menampilkan bait pertama puisi. Kata demi kata mengalir begitu baik dari penuturan Dwina
Hingga semua orang bertepuk tangan saat Dwina mengakhiri puisinya. Wajahnya memerah malu, senyuman cantiknya tak kunjung luntur. Aliran puisi begitu dalam dan mudah terpahami. Arya merasakan sisi lain dimiliki Dwina. Semakin diperhatikan perempuan itu nampak semakin berkilau di pandangan Arya.
Cubitan keras mampir di lengan Arya. Tidak lain lagi kalau bukan Teh Bika sedang baper dengan puisi Dwina.
“Ini puisi inspirasi dari kisah nyata seseorang yang patah hati dengan seorang perempuan”
Semua orang hanya ber’Oh’ ria
Tanpa orang lain tau, sebenarnya puisi ini adalah tentang Arya yang patah hati, putus dengan Putri. Dwina bisa merasakan ketulusan Arya walaupun hanya melalui cerita saja.
uh,, Arya makin klepek-klepeklah sama Dwina,,
Bapeerrr .. hadeh arya kpn nyatain perasaan ke dwina
smua pada kecewa gara2 dwina mau pulang :PATAHHATI
tapi langsung kagum dan baper dengerin puisi dwina , puisi dwina tentang arya
Wkwkwk, Arya tambah suka sama Dwina
aku lupa deh visusalisasi Arya di watty itu siapa ya haha
Ah, jadi baper?
Ditunggu kelanjutannyaa