Vitamins Blog

DWINA part 2

Bookmark
Please login to bookmark Close

Love it! (No Ratings Yet)

Loading…

2. Adem…

Arya memandang manik mata Dwina yang kikuk ditatap olehnya membuat ia merasa jengah. Tapi mau bagaimana lagi? Keselamatan Dwina sudah menjadi tanggung jawabnya untuk sementara waktu. Jujur saja ia kurang menyukai perempuan manja dan kekanakan seperti aura yang terpancar dari diri Dwina. Lihat saja syal merah tebal hampir menenggelamkan sebagian wajahnya dan tas ransel berwana merah jambu menjelaskan betapa Dwina terlihat seperti anak baru masuk SMA dengan tinggi tubuh sebahunya.

Sebelum mereka pergi, Bayu sudah memberi banyak wejangan untuk Arya. Bagaimana cara menangani Dwina. Salah satunya adalah Arya harus menyiapkan camilan super banyak didalam mobil, terlebih dia harus menyediakan permen karet atau lolipop dalam jumlah lebih banyak karena Dwina tidak bisa tenang dekat-dekat dengan orang yang baru di kenalnya. Katanya dengan mengunyah makanan Dwina jadi lebih merasa tenang. Persyaratan itu tidak menyulitkan sedikitpun diri Arya.

Baru saja mereka duduk di jok mobil masing-masing, Dwina sudah membuka permen dari tas kecil yang dia bawa.

Entah kenapa Arya merasa aneh, dirinya tidak dapat berhenti mengawasi bibir mungil Dwina mengemut permen lolipop dari ekor matanya. Digenggam stir kemudinya dengan kuat. Bisa-bisanya libidonya dengan mudah naik begitu saja! Dwina jauh dari kriterianya. Bahkan Dwina memiliki lekuk tubuh terlalu minim.

Arya tancap gas mulai menjalankan mobil keluar dari perlantaran rumah Dwina menuju Bandung.

“Kamu kuliah ambil jurusan apa?” Tanya Arya untuk mencairkan gejolak hatinya. Dan itu jelas tidak menutupi kemungkinan semua hasratnya yang melonjak begitu mudahnya, tapi pertanyaan itu terdengar ketus ditelinga Dwina.

Dwina menjawab pertanyaan Arya seadanya, ia terlalu asik berkuat pada ponselnya dan ia juga tak mau perduli. “Farmasi Obat”

Sedikitpun Arya tidak pernah berpikir untuk berkarir dibidang kesehatan. Melihat buku kesehatan super tebal saja membuat dia merinding padahal buku acuan bidang Teknik Sipil tidak kalah tebalnya. Yang mengganjal dirinya sekarang, Dwina nampak menjaga jarak darinya. Apa itu hanya perasaannya saja? Bayu mengatakan padanya kalau Dwina sangat pendiam pada orang yang baru dikenal apalagi yang kalau bergenre laki-laki. Mungkin itu sebab Dwina bertingkah kaku didekatnya. Biarlah waktu mencairkan keadaan.

Dwina memberanikan diri menanyakan perihal Arya pada Putri. Ia penasaran sekali siapa sebenarnya sosok laki-laki disebelahnya sekarang. Kalau memang Arya disampingnya sekarang benar bukan mantan pacar Putri, itu lebih baik. Juga hatinya akan lumayan tenang.

“Put… mantan lo yang waktu awal tahun kuliah nama panjangnya apa sih?” Send.

Dwina dag-dig-dug der menunggu jawaban Putri.

“Mantan yang mana nih.. mantan gue banyak… ? ? ?”

Dwina menyengrit mendapatkan jawaban Putri yang terlihat terlalu kepedean dan seolah mengumbar pamornya yang laris di mata laki-laki pada dirinya.

“Yang beda lima tahun itu loh…? Arya siapa…?”

“Arya Wijaya… Kok lo tiba-tiba nanya tentang dia sih.. emang napa?”

“Orangnya yang punya mata coklat ya?”

“Iya.. tapi wajah-wajahnya kayak orang Jogja Sunda gitu”

Waduh! Jantung Dwina berhenti berdetak setengah detik karena terkejut. Berarti benar yang disebelahnya Dwina sekarang adalah Arya mantanya Putri. Wajah Dwina memerah karena paranoid, untung saja ia bisa menenggelamkan setengah wajahnya pada syal tebal merah miliknya. Mungkin saat ini Dwina terjangkit fobia. Seharusnya ia merasa senang bisa bertemu dengan laki-laki yang diam-diam ia kagumi, malah sebaliknya Dwina seolah sulit bernapas berada dekat dengan Arya. Ia mengingat perkenalan mereka tadi, Arya menunjukan ekpresi dingin terpancar dari wajahnya. Menurut Dwina tidak ada tanda-tanda mereka bisa akrab walau sekedar untuk mengisi waktu perjalanan karena ia ingat kalau Putri pernah mengatakan Arya akan menampakan sisi dinginnya pada seorang perempuan.

“Usahain jangan terlalu deket sama dia.. orang nya agak psyco, Gue aja kadang ngerasa takut sama dia makanya gue putus dari dia”

Dwina tidak membalas pesan chat dari Putri. Tangannya berubah mendingin, hatinya mengumpat pada Kak Bayu yang ngebiarin gitu aja adiknya bersama laki-laki asing. Kalau mau marah sekarang juga nggak ada gunanya, toh cuman nguras tenaga. Sedangkan Kak Bayu pasti lagi sayang-sayangan sama pacar barunya.

Dwina sekali lagi mencuri pandang kearah kursi kemudi. Arya sedang menikmati lantunan musik dari FM radio. Tenang… semua akan baik-baik saja. Mungkin saja laki-laki itu sudah berubah lebih baik, buktinya dia bersikap sedikit lebih santai dari sebelumnya dan juga tidak ada tampang-tampang Psyco. Tapi kan Psyco dari luar kelihatannya orang biasa nggak terlihat ada tanda sakit jiwa. Batin Dwina masih bergelung pada kebingungan. Prasangka demi prasangka menghantuinya.

Tidak ada yang berniat memancing percakapan diantara mereka. Dan tidak ada yang keberatan dengan hal itu, mereka tidak saling berbincang malah membuat keduanya bersyukur tidak saling terlibat begitu dalam.

oOOOo

Pikiran Dwina mengatakan perjalanan ke Bandung seolah melambat sampai-sampai ia tidak sengaja tertidur sambil mengunyah ciki rasa keju yang ditawarkan oleh Arya menggunakan sebuah isyarat mata dengan niat awal untuk mengurangi ketegangan dirinya. Ternyata mobil yang dia tumpangi sedang mengantri di pom bensin, sedangkan Arya merasa ada sebuah dorongan aneh untuk mencoba mengambil ciki yang digenggam Dwina tanpa niat membangunkan perempuan itu, alasan lainnya Arya melakukan itu supaya Dwina lebih nyaman untuk tidur. Sayangnya tiba-tiba Dwina langsung mengerjap bangun lalu menarik napas begitu dalam karena kaget bisa ketiduran sambil makan bahkan mulutnya saja masih mengunyah pelan.

Sikap Dwina lucu sekali dimata Arya. Perempuan itu memandang bingung ke area pom bensin kemudian menatap kearahnya masih dalam kebingungan. Arya mengamati serbuk bumbu ciki yang menempel di wajah dan syal Dwina.

“Udah sampai dimana kita?” tanya Dwina dengan suara lemah berkesan lebih santai. Pertanyaan itu membuat Arya mengangkat sebelah alisnya pasalnya dari tadi Dwina terlihat seperti berusaha menjaga jarak dengannya.

“Ini masih di Tol Cipali” ujar Arya masih belum mau melepaskan pandangannya dari Dwina

“Bukanya ke Bandung naik Tol Cipularang yang angker itu ya?” tanya Dwina sambil terkejut tapi mulutnya masih melanjutkan acara makannya. Sungguh Dwina jarang sekali jalan-jalan untuk sekedar berlibur. Orang tuanya tidak membiasakan dirinya dan kakaknya berlibur ke tempat rekreasi, mentok-mentok hanya main kerumah saudara.

“Iya lewat sana juga bisa, tapi enakkan lewat sini masih sepi nggak macet” balas Arya ikut-ikutan antusias sampai membuat dirinya terkekeh sendirian karena aneh dengah tingkah dirinya. Kemudian Arya terpaksa menghetikan obrolan mereka untuk mengisi bensin.

Setelah itu Dwina meminta istirahat untuk sholat Dzuhur. Arya merasa kikuk sambil menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal sama sekali mengiyakan permintaan Dwina. Jujur saja dia sholat bisa dihitung jari sama seperti Bayu. Apalagi kalau sedang dalam perjalanan jauh, jarang sekali kepikiran untuk sholat, pasti istirahat bablas makan terus langsung lanjutin perjalanan.

Bener apa yang dikatakan Bayu. Kalau deket Dwina itu bawaannya adem.. Ingat Allah.

11 Komentar

  1. Ichhh…. lucuuu… Dwina nya aku suka. :inlovebabe

  2. Wow!!
    satu mobil dengan orang yang dikagumi,,,
    mau juga,,

  3. Bacax geli sndri.. Bguss..

  4. tambah greget….????

  5. Waahhh salit buat dwina :tepuk2tangan

  6. Ternyata itu arya mantan temannya, yg di kaguminnya selama ini cieee dwina

  7. Wih asikk nih Dwina bisa barengan arya

  8. :inlovebabe

  9. fitriartemisia menulis:

    Dwina, bikin adem ya Arya wkwkwk

  10. Ditunggu kelanjutannyaa

  11. Ditunggu kelanjutannyaaa