***
Riakan kecil pada air kolam mengejutkan beberapa ikan yang segera saja bersembunyi dibalik bayang-bayang daun teratai. Lalu hilir mudik berenang kembali setelah air kolam tenang.
“sepertinya kalian sedang lapar.”
Suara lembut seorang gadis terdengar prihatin pada ikan-ikan itu. Dia terlihat mengeluarkan makanan ikan dari wadahnya. Segera ikan-ikan dengan warna-warni yang cantik itu mendekat pada makanan yang ditebar sang gadis ke dalam kolam.
Suara kecipak sambaran-sambaran ikan pada makanannya membuat sang gadis tersenyum. Bahagia sekali hatinya setiap melihat ikan-ikan itu begitu semangat. Membuat dia ingin bercengkrama dengan memberi makan ikan-ikan itu makan langsung dari tangannya. Maka diambilkanya segenggam makanan ikan lagi dan memasukkan tangannya ke dalam air kolam. Segera saja ikan-ikan itu mengerumuni tangan sang gadis yang membuatnya terkikik merasakan geli.
“ah!”
Gadis itu sedikit berteriak saat merasakan sakit pada ujung telunjuk kanannya. Saat dia menarik tangan barulah terlihat setitik darah keluar dari ujung jari telunjuknya.
“kalian begitu semangat sampai tak sadar menggigit jariku.” Rungut Sang gadis namun tetap tersenyum sambil masih memperhatikan ikan-ikan yang terus bersemangat berebut makanan.
Sang gadis mengernyitkan kening ketika melihat seekor ikan yang tiba-tiba keluar dari kerumunan ikan-ikan lain. Ada yang aneh dengan ikan itu. Ia berenang dengan posisi miring kesalah satu sisi tubuhnya. Sang gadis terperanjat sambil tangannya bergerak cepat menutup mulutnya setelah melihat lebih seksama. Sirip ikan itu tampak lemah seperti terluka dan..mengeluarkan darah. Apakah,, apakah ikan itu yang tadi tak sengaja menggigit jarinya. Gadis itu bertanya dalam batin.
Setelah terlepas dari keterkejutan, gadis itu bangkit dari duduknya berniat menolong ikan itu kalau saja sebuah suara seorang lelaki dewasa tidak memanggilnya.
“Witri.”
Suara itu terdengar tegas namun sangat berwibawa. Sang gadis yang ternyata bernama Witri yang sedari tadi bercengkrama bersama ikan-ikan itu segera berdiri. Menolehkan kepala memandang ke kolam dan ke asal suara panggilan secara bergantian, lalu menjawab panggilan itu.
“Ya, ayah.” Suara lembut Witri menjawab panggilan lelaki tadi yang memang adalah ayah Witri.
“kemarilah.” Panggil ayah Witri lagi yang masih dengan suara tegas berwibawanya.
Witri segera bergegas masuk ke dalam rumah setelah sebelumnya memandang sedih pada ikan tadi. Maafkan aku karena tak bisa menolongmu. Ucapnya lagi dalam batin.
Witri melihat ayahnya sedang duduk pada kursi kayu yang memiliki ukiran-ukiran rumit yang terlihat indah setelah dia memasuki ruang depan. Memang seluruh perabotan yang ada dirumahnya didoMinasi perabot bermaterial kayu dengan bentuk dan ukiran-ukiran yang difinishing dengan mewah.
“Duduklah nak.” Kali ini ayah Witri bisa berbicara sambil menatap anaknya. Membuat Witri menundukkan kepala.
“Ya Ayah.” Witri duduk pada kursi yang tepat berada di depan kursi tempat duduk ayahnya yang dibatasi sebuah meja.
“Ada yang ingin ayah bicarakan padamu.” Ayah Witri menyandarkan punggungnya pada kursi dan masih memandang lekat pada anaknya.
“hal apakah yang ingin ayah bicarakan pada Witri?” Ada jedah dalam suara Witri.
“ayah..akan pergi keluar kota.” Kata-kata Witri terdengar lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan.
Entah kenapa Witri selalu bisa merasakan apapun tentang ayahnya bahkan sebelum Ia mendengarnya sendiri. Termasuk hal yang ingin disampaikan ayahnya barusan. Mendengar kata yang diucapkan putrinya membuat ayah Witri tersenyum sekilas.
“kamu memang benar-benar darah dan daging ayah Witri. Seperti biasa kamu selalu mampu membaca ayah.”
“ayah..tentu saja Witri darah daging ayah.” Dengan mengangkat pandangan lurus pada ayahnya, Witri mengernyit kecil. Menunjukkan wajah yang sangat serius. Membuat ayah Witri tersenyum lebar.
“iya nak. Kamu memang anak ayah. Kesayangan ayah.”
Tak ayal senyum Witri mengembang mendengar kata-kata ayahnya. Senyum yang begitu cantik membingkai wajahnya.
“jadi..ayah benar akan pergi keluar kota?” Raut sedih terlihat di wajah Witri yang kembali tentunduk.
“iya. Ayah memang akan keluar kota besok pagi. Kebun teh di Bandung perlu ayah lihat.”
Kebun teh milik keluarga mereka itu memang sesekali dikunjungi ayah Witri untuk melihat keadaannya.
“baiklah yah.”
Sebenarnya ingin sekali Witri menyuarakan keinginannya untuk ikut. Tetapi Ia tau itu akan berakhir dengan kekecewaan atas jawaban ‘tidak’ yang tegas dari ayahnya. Tidak, setelah kejadian di kebun teh tempo lalu.
“apa kamu sudah makan.” Suara ayahnya membuyarkan lamunan Witri.
“emm..belum yah. Witri belum makan.” Raut sedih kembali terlihat di wajah Witri ketika Ia mendengar kata makan.
Kembali teringat pada ikan yang diberinya makan di kolam tadi. Maafkan aku ikan. Sama sekali aku tak berniat melukaimu. Renung Witri dalam hati.
“apa ada yang membuatmu sedih nak?” Kembali ayahnya menarik Witri dari lamunannya.
“ah ti..tidak yah.” Jawab Witri cepat.
Jemari Witri saling bertaut resah. Kebiasaannya ketika Ia gugup.
“emm..baiklah yah. Witri akan makan dulu.” Witri mencoba mengakhiri pembicaraan mereka.
Seperti biasa Ia harus mendapat jawaban dari ayahnya dulu sebelum bisa beranjak. Meninggalkan seseorang tanpa dipersilahkan lawan bicara setelah pembicaraan kita selesai memang bukan suatu hal yang menjunjung nilai kesopanan. Salah satu yang selalu ayah Witri ajarkan padanya.
“baiklah nak. Pergilah.” Sebuah anggukan dari ayahnya segera dimanfaatkan Witri untuk beranjak.
Bukan maksud Witri untuk menghindar. Tapi Ia harus benar-benar menyudahi sebelum ayahnya mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak akan bisa lagi Ia jawab dengan kebohongan sekecil apapun.
Sama seperti Witri yang selalu dapat membaca ayahnya, ayah Witri bahkan lebih dapat mengetahui apapun tentang Witri. Witri tau bahwa ayahnya dapat merasakan ketika Ia berbohong. Tapi Ia juga tau kapan ayahnya tidak akan melepaskan Witri tanpa Ia berbicara apapun yang disembunyikannya.
Seperti ayahnya yang sering berkata ‘kamu memang darah daging ayah’. Witri juga sering membatin ‘ah ayah memang benar-benar ayah Witri’. Selalu tau dan mengerti Witri. Tapi sangat tidak sopan jika Witri mengatakan seperti apa yang sering ayah Witri katakan padanya itu.
Witri memang sama sekali tidak pernah berbicara apalagi bersikap tidak sopan pada ayahnya. Tidak sekalipun dalam 20 tahun usianya sampai detik ini. Tidak sekalipun untuk satu-satunya orang tua yang dimilikinya ini.
***
“mbok win sudah makan?”
Mbok winah tersenyum sambil menyiapkan makanan untuk Witri di meja makan.
“mbok sudah makan non.”
Wanita 50 tahun yang sudah bekerja selama berpuluh tahun pada keluarga Witri itu masih tersenyum. Ia sangat menyayangi Witri. Nona majikannya itu memiliki hati yang sangat baik dan lembut. Witri tak segan untuk mengajaknya makan bersama di meja makan.
“yaa..padahal Witri sangat senang kalau mbok bisa menemani Witri makan. Mbok sih cepat sekali makan.” Bibir Witri sedikit mengerucut.
Hanya dengan mbok nah Ia berani merungut dan sedikit bersikap manja seperti itu. Ayahnya akan memarahinya kalau melihat. Memang hampir tidak pernah Witri bersikap manja pada ayahnya. Hanya ketika Ia kelepasan saja ayahnya akan membiarkannya.
“bukan mbok yang terlalu cepat makan. Tapi non yang makan terlalu telat.” Mbok win menunjuk jam dinding.
Jam 2 siang. Ah benar memang aku yang terlalu telat makan karena terlalu asik bercengkrama dengan..ikan! Witri tersentak dalam batinnya. Kembali teringat.
“mbok.. aku melakukannya lagi.” Suara Witri lirih.
Mbok nah yang hendak ke dapur menghentikan langkahnya.
“melakukan apa non?” kening mbok nah mengernyit.
Ada rasa was-was dalam hatinya ketika melihat Witri bersikap seperti itu.
“aku.. membuat ikan itu terluka.” Tatapan Witri tampak sedih.
“mbok masih ndak ngerti maksud non.” Mbok nah masih terlihat bingung.
“tadi..aku memberi makan ikan-ikan di kolam dari tanganku. Lalu.. seekor ikan tanpa sengaja menggigit jariku. Dan dia..terluka.”
Kali ini mbok nah sepenuhnya mengerti. Mbok nah menghampiri Witri dan berdiri disampingnya. Mengelus lembut rambut Witri.
“non..itu sama sekali bukan salah non..mbok selalu yakin itu.” Ucap mbok nah menekankan kata ‘selalu’.
Seakan-akan hal seperti itu bukan hanya sekali terjadi.
“mbok. Maukah mbok menolong ikan itu? tadi..aku berusaha menyembunyikan dari ayah. Mbok tau kan bagaimana ayah kalau mengetahui hal seperti ini.” Jelas Witri sedikit panik.
“iya non iya, mbok akan melihat ikan itu. Non habiskan makannya ya. Ayah non akan menegur kalau tau non terlalu lama menyelesaikan makan.” Terang mbok Nah yang dijawab anggukan Witri setelah beberapa saat.
Bagi mbok Nah Witri tetap putri kecil yang sedari bayi mbok nah ikut merawatnya. Putri kecil yang selalu butuh pengertian untuk membuatnya tenang.
Mbok Nah adalah salah satu saksi hidup yang tau bagaimana sulitnya dulu Witri kecil menghadap hidupnya. Menghadapi pandangan miring dari beberapa teman maupun orang-orang disekitarnya.
Saat itu Witri kecil bahkan belum mampu mengerti kenapa orang-orang bersikap seperti itu padanya. Sikap yang dengan gamblang menyebut Witri sebagai anak pembawa ‘kutukan’.
***
:PEDIHH
itu kalo tangan witri megang makhluk bisa melukai yaa?
keren
bkn spt itu sih tepatnya. tp kalo saya ceritain nti jd tertebak jln ceritany. trus gak seru lg. hehee
dibaca aja ya labjutannya nti.
Witri kena kutukan :PATAHHATI
tunggu lanjutannya ya. oke2.
Sipp slalu di tunggu
Semangat yaa :PATAHHATI
fantasii, asiiik ?mangats kaaa ??
okee.
tunggu lanjutannya ya biar jelas gmn crt ny..
Woaaahhh,, seruuu., keren nih,, aseeekkk!! Jd g sbar y nunggu lnjutnx,
Knp tuh witri?? Darahx beracun apa ya?? Hmmm.. Kepo
Hehe , spakat kak ma drimu, pngn post tulisn ksni tuh rsanya g pede tingkat akut,, abisss,, crita2 dsni luarrrrr biasaaahhhh!!
tar baca lanjutanny ya. :)
waah kirain cmn sy aja yg ngerasa gak pede. hehehe
wah keren nih fantasy rasa bandung….. pengambaran kata-katanya bagus sih, enak dibacanya…. smgt lanjut teruss yaa,, bagus kok ini
waah mkasih ya kalo suka sm cerita ini.. :)
Ditgu lanjutannya smgt trus berkarya
okee.
apa tuh maksudnya “melakukannya lagi”,,
“anak pembawa kutukan”,,
Witri berbeda??
Waduhhh, kena kutukan :LARIDEMIHIDUP
Wah seru nih
Wah kerennn
Nexxtt
:PATAHHATI :PATAHHATI