Janji Cinta Hanan

3 Juli 2017 in Vitamins Blog

12 votes, average: 1.00 out of 1 (12 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Untuk makhluk Tuhan yang telah mengikatku dalam ikatan yang suci.

-o0o-

Kau masih begitu muda dan bersemangat saat itu. Dengan senyum pongah khas anak mudamu, kau datang dan berteriak, memintaku menjadi kekasihmu di hadapan orang-orang yang sedang berlalu lalang di tempatku bekerja dan tempatmu menimbah ilmu. Masih terpatri indah di benakku bagaimana ekspresi wajahmu kala aku meninggalkanmu tanpa jawaban. Kau malu, merasa harga dirimu dijatuhkan oleh perempuan yang sering orang-orang sebut perawan tua ini. Aku berpikir kau akan menyerah, tapi aku salah. Masih dengan senyum pongah, kau datang ke rumahku dengan membawa kedua orangtuamu. Kau meminta kepada ayah untuk menjadikanku istrimu. Aku terkejut, begitu pun kedua orangtua kita. Ibumu berteriak tegas, melarangmu menikahiku. Bukan karena kau masih begitu muda yang membuat ibumu ingin menghalangi niat baikmu saat itu, tetapi karena mereka mengenalku, aku sosok yang mereka kenal sebagai kekasih kakak kandungmu.  Read the rest of this entry →

Gifts Of Love Bab 2 : Aku Bukan…

28 Juni 2017 in Vitamins Blog

17 votes, average: 1.00 out of 1 (17 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

-o0o-

Tujuan pertama Valerie saat pergi dari rumah yang ia tinggali bersama Zian adalah rumah orang tuanya. Mobil Valerie memasuki pekarangan rumah dan berhenti di garasi yang biasanya diisi dengan mobil ayahnya. Valerie keluar dari mobil dan membuka bagasi, ia meregangkan ototnya sebelum mengangkat satu koper miliknya yang sangat berat. “Semangat Lerie!” Valerie berseru untuk menyemangati dirinya sendiri.

Kaki Valerie melangkah, masuk ke dalam rumah. Kedatangannya disambut oleh keheningan, tidak ada siapa pun di rumah yang ia masuki. Jika saja ayahnya masih hidup, Valerie pasti akan disambut dengan pelukan hangat sang ayah saat ini.

Bukankah kehidupan Valerie sangat menyedihkan? Kehilangan anak, kehilangan suami, dan ia tidak mempunyai orang tua yang bisa dijadikan tempat bercerita dan bergantung di saat seperti ini.

Tanpa Valerie sadari, ia menghabiskan waktu bermenit-menit untuk merenung. Saat kesadarannya kembali, ia kembali berjalan sambil menyeret koper ke dalam kamar. Valerie masuk ke dalam kamarnya dulu. Ketika memasuki kamar, hal pertama yang ditangkap mata Valerie adalah puluhan foto yang menempel rapi di dinding kamar. Itu foto Zian yang dulu Valerie ambil diam-diam. Foto-foto itu membuat bibir Valerie tertarik membentuk senyuman.

Tangan kanan Valerie bergerak, mengusap wajah Zian di foto yang menempel di dinding kamarnya. Dan saat itu ingatan Valerie melayang saat ia dan Zian SMP.

“Kamu kenapa, Rie?” suara lembut penuh perhatian mengejutkan Valerie yang sedang menangis di belakang kelas 2 C, kelas paling pojok.

Valerie yang dalam posisi duduk, mendongak dan matanya yang dipenuhi air mata menatap langsung ke mata Zian. Tatapan mata Valerie seakan mengatakan jika ia membutuhkan Zian. Satu tangan Valerie terulur ke arah Zian, dan uluran tangan itu disambut cepat oleh Zian. Zian pun menarik Valerie sehingga gadis itu berdiri tepat di depannya. Ia mengusap air mata yang masih mengalir di pipi Valerie.

“Siapa yang mengganggumu?” tanya Zian.

“Tidak ada yang menggangguku, Mas,” jawab Valerie, yang tentu saja Zian tidak percaya akan jawaban Valerie itu.

“Tatap mata Mas, Rie. Kau tidak akan menangis jika tidak ada yang mengganggumu.” Iya, yang diucapkan Zian sangat benar. Valerie menangis karena diganggu teman-teman sekelasnya. “Siapa yang mengganggumu, hmm?” Valerie tidak bisa mengelak lagi ketika Zian bertanya dengan nada seperti itu, Valerie selalu luluh saat Zian mulai berbicara sangat lembut padanya.

“Semua anak laki-laki di kelasku,” jawab Valerie lirih.

“Apa yang mereka lakukan?!” Suara Zian meninggi. Dia selalu bereaksi sama jika ada yang mengganggu Valerie.

“Ulat.” Suara Valerie semakin mengecil saat menyebutkan hewan kecil yang sangat membuatnya takut itu. “Mereka menakut-nakutiku dengan ulat.” Rahang Zian mengeras saat tahu apa yang menyebabkan Valerie menangis. Zian menarik Valerie ke dalam kelas, dan tentu saja Valerie mencoba menolaknya, gadis itu masih sangat takut, membayangkan ulat di mana-mana itu sangat mengerikan.

“Jangan takut, ada Mas.” Tangan Zian mengusap kepala Valerie.

Kelas sepi saat Zian dan Valerie masuk, hanya ada beberapa anak yang tidur di dalam kelas. Valerie menatap takut-takut ke arah kursinya, karena di situlah teman-temannya sering meletakkan hewan kecil yang membunuh, bagi Valerie ulat bisa membunuhnya. Valerie bertahan di tempatnya berdiri dan menolak ketika Zian ingin membawa Valerie ke tempat duduk gadis itu. Zian pun menghembuskan napasnya kasar, sebelum berjalan sendiri ke tempat duduk Valerie, memeriksa kursi, meja dan laci. Ia pun mengangguk pada Valerie setelah melihat semuanya aman.

Jangan menangis lagi, nanti mereka semakin senang mengganggumu jika kau terus menangis.” Air mata Valerie kembali ingin menetes saat mendengar nasihat Zian. Valerie sangat ingin seperti itu, tapi nyatanya itu sangat sulit untuk gadis itu lakukan. Ketakutan Valerie pada monster kecil itu menghilangkan semua akal sehatnya.

“Aku tidak bisa untuk tidak menangis, Mas. Monster kecil itu sangat menakutkan.” Suara Valerie serak saat menjawab nasihat Zian.

“Iya, Mas tahu. Tapi, sekarang jangan menangis lagiya.” Tangan Zian yang selalu menjadi favorite Valerie bergerak dan menggenggam telapak tangan Valerie. “Sekarang mas tinggal, ya? Sebentar lagi jam istirahat berakhir.” Tanpa menunggu jawaban Valerie, Zian langsung berbalik dan pergi keluar kelas Valerie.

Hanya selang beberapa menit saja sejak Zian keluar kelas. Anak-anak yang sangat senang mengganggu Valerie, masuk ke dalam kelas. Mereka melihat Valerie dan menunjukkan senyuman geli mereka. Valerie memucat saat melihat tangan Deri -salah satu anak yang sering mengganggu Valerie- masuk ke dalam kantong celananya. “Jangan lagi, aku mohon jangan lagi.” Mulut Valerie terus bergumam takut.

“Valerie, aku ada sesuatu untukmu.” Dengan sigap Valerie berdiri dan mundur saat Deri mulai mendekat ke arahnya.

“Jangan, Der!” Valerie tidak bisa menahan jeritannya.

“Loh, kenapa kau mundur, Val? Sini, aku punya mainan lucu.” Detik itu juga seokor ulat berwarna hitam dan berbulu, Deri lempar ke arah Valerie. Jeritan Valerie langsung memenuhi ruang kelas 1 B. Sebelum gadis itu pingsan karena terlalu takut.

-o0o-

“Rie… bangun, Rie.” Seorang anak laki-laki dengan seragam rapinya, sedang mencoba membangunkan Valerie. Valerie sebenarnya mendengar suara anak laki-laki itu, tapi ia tetap memejamkan matanya, Valerie ingin berpura-pura masih pingsan, karena ia berpikir yang membangunkannya adalah anak-anak yang tadi mengganggunya. Perasaan takut itu masih menyelimuti Valerie. “Buka matamu, Rie, ini Mas.” Saat sadar yang memanggilnya sejak tadi adalah Zian, Valerie membuka matanya cepat, lalu menangis dengan sangat kencang. Ia menangis bukan karena takut lagi, tapi karena ia menyadari jika dirinya aman sekarang.

“Aku takut.” Valerie mengadu pada Zian, suaranya sangat pelan dan menyedihkan.

“Ssstt, sudah jangan nangis lagi, kau aman sekarang.” Valerie kembali mendengar suara lembut Zian. Suara menenangkan yang menjadi favorite Valerie.

Mata Valerie bergerak, melihat ke segala arah, dan Valerie menyadari jika saat ini ia berada di UKS. Mata Valerie pun tidak sengaja melihat jam dinding yang ada di depannya. Jarum jam menunjukkan pukul 11.25 dan artinya sekarang sedang jam masuk. “Mas tidak masuk kelas?” tanya Valerie.

“Aku menunggumu sadar,” jawab Zian, masih dengan nada lembut. “Sekarang ayo kita masuk kelas.” Seketika Valerie menegang saat Zian mengajaknya masuk ke kelas. “Tidak, aku tidak ingin masuk ke kelas, itu sangat menakutkan!” Jerit Valerie di dalam hati.

“Badanku masih lemas, Mas. Mas saja yang masuk kelas, aku istirahat dulu di sini.” Valerie menjawab ajakan Zian sambil menarik sudut bibirnya membentuk senyuman tipis.

Mata Zian menyipit, seakan menilai keadaan Valerie. “Tidak apa-apa Mas tinggal?” Ada keraguan dari suara Zian. Valerie langsung mengangguk untuk meyakinkan Zian jika ia baik-baik saja sekarang. Ya, sebenarnya Valerie memang baik-baik saja jika tetap tinggal di sini, namun lain hal jika gadis itu masuk ke kelas sekarang.

“Iya, Mas. Aku tidak apa-apa,” jawab Valerie.

Meski sedikit ragu, Zian akhirnya tetap pergi untuk masuk ke kelas.

-o0o-

Valerie menggelengkan kepalanya saat kesadarannya kembali. Ia tidak ingin terus menerus mengingat masa lalu, mengingat kenangan indahnya bersama Zian, karena ia takut bayangan masa lalu mereka bisa membuat keegoisannya kembali. “Jangan menapak jalan yang akan membawa orang lain ke neraka, Valerie!” Valerie menepuk kepalanya pelan sambil berbicara, memperingatkan dirinya sendiri.

Mata Valerie yang sejak tadi begitu fokus melihat foto-foto Zian, tidak sengaja melihat koper besar yang tadi ia bawa. Seketika itu juga Valerie sadar jika masih ada dua koper lagi di dalam mobil. Hembusan napas kasar keluar dari celah bibir Valerie. “Ini akan sangat melelahkan,” gumamnya. Valerie pun berjalan keluar, untuk mengambil koper-koper yang masih ada di dalam mobil.

Selain urusan tiga koper besar, Valerie masih ada pekerjaan lain yang pasti akan menguras tenaganya. Valerie harus membersihkan rumah orang tuanya yang cukup besar ini sendirian. “Inilah mengapa banyak wanita memilih menjadi wanita karir, setidaknya mereka tidak akan terlalu bergantung pada suaminya, terutama masalah keuangan,” gumam Valerie. Tapi, yang baru saja diucapkan Valerie memang benar, jika saja sejak awal ia tidak terlalu bergantung pada Zian, saat ini ia mungkin bisa membayar orang untuk membantu kepindahannya, karena jika ia bekerja ia akan mempunyai uang sendiri. Namun nyatanya Valerie memang wanita yang terlalu bergantung pada suami. Uang yang ia bawa tidak terlalu banyak untuk menyewa jasa seseorang. Uang yang tidak seberapa itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan Valerie beberapa minggu saja.

Akhirnya tiga koper besar yang Valerie bawa tadi, sudah berdiri manis di dalam kamar, saat ini Valerie mulai menyusun pakaiannya ke dalam lemari. Dalam hati, Valerie merasa bersyukur karena ia sudah membersihkan kamar ini sebelumnya. Berkali-kali Valerie menguap saat menyusun pakaian-pakaiannya ke dalam lemari. Baru satu koper yang kosong, namun Valerie mulai menyerah akan rasa kantuk yang menyerangnya. Hari masih sangat pagi, tapi ia sangat mengantuk. Valerie sangat tahu tidur di pagi hari tidak baik untuk kesehatan, tapi ia benar-benar kalah oleh rasa kantuknya. Valerie pun merangkak naik ke atas tempat tidur dan memejamkan matanya.

“Mama, kapan papa pulang?”

“Ma, kenapa Papa tidak pernah jemput Aila? Papa teman Aila selalu jemputnya di sekolah.”

“Ma, kenapa papa tidak datang ke pesta ulang tahunku?”

“Sakit, Ma.”

“Aila ingin tidur, Ma. Tapi Aila mau dipeluk papa dulu.”

Valerie terlonjak, secepat kilat ia bangun dari rebahannya. Keringat mengalir di dahi dan tengkuknya. Valerie merasa jika ia baru tidur beberapa menit dan ia harus terbangun karena memimpikan beberapa ucapan Aila. Valerie mengangkat lengan kirinya untuk melihat jam yang melingkar di sana. Matanya membulat saat melihat jarum jam, ternyata ia bukan tidur beberapa menit, tapi ia sudah tidur selama 3 jam. “Pantas saja perutku terasa perih, aku belum makan dari tadi pagi.” Valerie mengusap perutnya.

Valerie turun dari ranjang dan berniat pergi belanja. Agar terlihat lebih segar, Valerie membasuh wajahnya. Lalu ia mengganti baju dan memoles make up tipis di wajahnya. Ia melihat cermin dan langsung mengambil dompet dan kunci mobil ketika merasa cukup dengan dandanannya yang sederhana seperti biasa.

Mobil Valerie bergerak menuju Giant Mall. Ia bisa mencari makan di sana, sekaligus bisa membeli kebutuhan dapur. “Apa saja ya yang harus aku beli nanti?” Valerie mengingat-ingat beberapa barang perlu ia beli nanti. Seharusnya ia membuat catatan tadi sebelum berangkat, namun sayang hal itu tidak terpikirkan olehnya.

Valerie pun sampai di Giant Mall. Tujuan pertamanya adalah mencari restoran dan makan, cacing di perutnya benar-benar sudah protes karena belum juga mendapatkan jatah makan. Saat ini Valerie berada di lantai 3 dan matanya langsung tertuju pada restoran ayam bakar taliwang khas lombok, tanpa banyak berpikir Valerie masuk ke dalam restoran itu. Saat melihat menu, ia memutuskan memesan ayam penyet komplit.

“Maaf, Mbak, apa saya boleh minta kertas dan pinjam penanya?” Sejujurnya Valerie malu harus meminta kertas dan meminjam pena pada pelayan yang tadi menanyakan pesanannya. Tapi ia harus menahan rasa malu itu jika tidak ingin ketinggalan membeli sesuatu. Sebenarnya ia bisa saja mencatat di ponselnya. Tetapi, Valerie sengaja mematikan ponselnya dan belum berniat untuk menghidupkannya kembali.

“Ini, Mbak.” Valerie tersenyum dan menggumamkan terima kasih saat pelayan tadi memberikan kertas dan pena padanya.

Sambil menunggu ayam penyet pesanannya, Valerie dengan serius menulis barang-barang apa saja yang penting dan harus ia beli hari ini. “Selesai.” Valerie tersenyum dan memasukkan kertas catatannya ke dalam dompet.

“Maaf menunggu lama, Mbak.” Pelayan yang sama dengan yang menanyakan pesanan Valerie tadi, datang dan mengantarkan pesanan Valerie.

“Tidak apa-apa, Mbak,” jawab Valerie sambil tersenyum. “Oya, ini penanya tadi, Mbak. Terima kasih.” Ucapan Valerie hanya dijawab oleh senyuman sopan sang pelayan. Dan Valerie pun segera menyantap makan siangnya, setelah pelayan tadi pergi.

“Sayang.” Valerie terbatuk karena tersedak saat ada seseorang yang tiba-tiba saja mengusap pencak kepalanya dan memanggilnya ‘sayang’. “Hei, pelan-pelan.” Tidak peduli dengan siapa sebenarnya pria asing yang sembarangan mengusap kepalanya, Valerie tetap menerima gelas berisi air putih yang diulurkan pria asing itu. “Sudah lebih baik?” Valerie pun akhirnya mendongak dan melihat wajah si pria asing.

Dalam keadaan bingung, Valerie manganggukkan kepalanya. “Kau siapa?” Si pria asing langsung mengernyitkan dahinya saat mendengar pertanyaan Valerie.

“Apa kau sakit?” Bukan menjawab pertanyaan Valerie, si pria asing justru balik bertanya. Jelas pertanyaan itu membuat Valerie mengernyitkan dahinya. “Kau baru saja menanyakan aku siapa, kan? Karena itulah aku bertanya apa kau sakit, bagaimana mungkin kau melupakan suamimu sendiri.” Mata Valerie membulat saat mendengar ucapan si pria asing.

“Maaf, apa kau baru saja mengatakan jika kau suamiku?” Karena setengah tidak yakin dengan pendengarannya, Valerie memutuskan untuk bertanya.

“Ada apa denganmu, hmm?” Valerie yang dalam kondisi tidak untuk diajak bercanda, ingin menjerit dan mengusir pria asing yang sangat aneh ini.

“Maaf Mas yang aku tidak tahu siapa namanya, aku sedang tidak dalam keadaan yang baik. Jadi, jika kau ingin bercanda atau mungkin kau membawa kamera tersembunyi, harap pergi secepatnya.” Suara Valerie pelan dan tegas, saat mengusir si pria asing.

Bukannya mengindahkan ucapan Valerie, si pria asing justru menunjukkan wajah terlukanya. “Kau masih marah?” Suara pria itu terdengar pelan, bahkan sangat pelan.

Valerie memutuskan untuk mengabaikan pria asing itu. Ia kembali fokus pada ayam penyetnya. Sesuap demi sesuap nasi beserta ayam dan sambal masuk ke dalam mulut Valerie. Sudut mata Valerie dapat melihat jika si pria asing duduk di kursi yang ada tepat di sampingnya. Valerie pun berusaha untuk mengabaikannya, namun pada menit kelima, ia gagal untuk mengabaikan si pria asing itu.

“Apa yang kau lakukan?!” Valerie membentak si pria asing yang tiba-tiba saja menggenggam tangannya. “Jangan sembarangan menggenggam tangan orang!” Suara Valerie masih terdengar tinggi dan penuh amarah.

“Aku salah, aku minta maaf.”

“Kalau begitu pergilah, jangan menggangguku. Aku sedang tidak ingin bercanda saat ini.”

Si pria asing tidak sedikitpun beranjak dari kursi yang ia duduki. Kata maaf yang diucapkan oleh pria asing itu sebenarnya bukan untuk apa yang ia lakukan pada Valerie tadi. Tapi, ia minta maaf untuk hal yang berbeda.

“Habiskan makananmu.” Mata si pria asing yang memancarkan luka itu, menatap dalam ke mata Valerie.

Merasa kenyamanannya sudah terganggu, Valerie memutuskan beranjak dan meninggalkan makanannya. Ia pergi membayar makanan yang ia pesan tadi, lalu pergi dari restoran tanpa sedikitpun menoleh pada si pria asing. Dengan menahan dongkol, Valerie berjalan menuju tempat kebutuhan rumah tangga.

“Kenapa kau belanja banyak sekali?” Seketika Valerie menahan napas saat si pria asing yang tadi ia tinggalkan, tiba-tiba muncul dan mengambil keranjang yang berisi belanjaan yang ia bawa.

“Kau lagi?!” Jerit Valerie. “Kau mau apa sebenarnya?” Kedua tangan Valerie mengusap wajahnya frustrasi.

“Ingin menemani istriku belanja.” Si pria asing menjawab dengan santai.

“Sekarang kau jujur saja, kau dari acara apa sebenarnya agar aku tidak terlihat bodoh. Aku bisa berpura-pura,” bisik Valerie.

Valerie menyadari jika ia terus marah-marah pada pria asing, si pria itu asing justru akan semakin mengganggunya. Jadi, Valerie memutuskan untuk mengikuti permainan si pria asing.

“Kau ini bicara apa? Sudah, ayo lanjutkan belanjanya,” jawab pria asing, lalu pria asing itu berjalan sambil membawa keranjang yang tadi ia rebut dari tangan Valerie.

“Aku bukan mau ke sana, aku ingin membeli sayur!” teriak Valerie.

“Oh salah, ya?” Si pria asing menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Lalu, berjalan di belakang Valerie.

“Sebenarnya siapa namamu?” sambil melihat ke kiri dan ke kanan, Valerie menanyakan nama si pria asing dengan suara pelannya.

“Kau benar-benar lupa nama suamimu sendiri?” tanya si pria asing. “Nama suamimu ini Rafka Guntra.”

Mulut Valerie membulat, membentuk huruf O saat tahu nama si pria asing, kepalanya pun mengangguk-angguk pelan. “Oh jadi, namamu Rafka, aku akan memanggilmu Mas Afka, karena kau terlihat lebih tua dariku.” ucap Valerie. Setelah itu ia berjalan meninggalkan Rafka, tidak melihat ekspresi terluka dari pria itu.

“Kau benar-benar marah padaku ternyata, bahkan untuk sekadar mengingat namaku pun kau tidak sudi,” gumam Rafka.

Rafka berulang kali menghirup napas dalam, setelah tenang ia kembali mengekor di belakang Valerie. “Kau melewatkan ini, Sayang.” Rafka mengambil seikat kangkung lalu memperlihatkannya pada Valerie.

“Mengapa kau memberiku ini?” dahi Valerie mengernyit, namun tangannya tetap bergerak mengambil seikat kangkung di tangan Rafka, lalu meletakkannya di keranjang yang Rafka bawa.

“Karena itu sayur kesukaanmu,” jawab Rafka sambil mengambil lagi dua ikat kangkung dan memasukkannya ke keranjang.

Acara belanja Valerie yang di temani oleh pria asing bernama Rafka, berlangsung cukup lama. Yang awalnya hanya memakai keranjang jinjing, sekarang satu keranjang dorong sudah penuh dengan belanjaan Valerie. Saat ini Valerie dan Rafka sedang mengantri untuk membayar belanjaan Valerie.

“Kau tidak perlu ikut mengantri, Mas Afka.” Rafka tidak mendengarkan ucapan Valerie, ia tetap berdiri di belakang Valerie. Hingga kasir menyebutkan jumlah yang harus Valerie bayar pun, Rafka masih berdiri di belakang Valerie.

“Ini.” Rafka mendahului Valerie, ia memberikan kartu kreditnya pada kasir.

“Kau tidak perlu melakukan ini, Mas Afka.” Valerie langsung menolak. Ia tidak ingin belanjaannya yang tidak sedikit dibayar oleh orang asing.

“Tidak apa-apa, aku baru ingat jika uang bulananmu belum aku transfer,” jawab Rafka.

Dalam hati Valerie berjanji pada dirinya sendiri, untuk mengembalikan uang Rafka saat mereka keluar nanti. “Sekarang kita ke mana?” Tanya Rafka.

“Pulang,” jawab Valerie, lalu berjalan menuju tempat parkir.

Sebelah alis Valerie terangkat saat melihat Rafka membawa barang-barang miliknya ke arah yang berlawanan dengan tempat mobilnya terparkir. “Mobilku di sebelah sana,” ucap Valerie. Dan Rafka pun akhirnya memutar arah.

Semua belanjaan Valerie sudah dimasukkan ke dalam bagasi. “Mas Afka, ini uang untuk mengganti uang Mas Afka tadi.” Valerie memberikan sebelas lembar uang seratus ribuan pada Rafka.

“Mana kunci mobilnya?” Seakan ucapan Valerie tadi tidak masuk ke telinga Rafka. Pria itu justru meminta kunci mobil pada Valerie. Uang yang Valerie berikan pun Rafka abaikan.

Mau tidak mau, Valerie pun memberikan kunci mobilnya pada Rafka. “Masuklah,” perintah Rafka lembut. Rafka baru masuk dan mengendarai mobil Valerie setelah memastikan Valerie duduk dengan nyaman dan memakai sabuk pengaman.

Terlalu lama merenung karena bingung dengan situasi yang sedang dihadapinya, membuat Valerie lupa memberitahu alamat rumahnya pada Rafka. Tahu-tahu mobil Valerie yang dikendarai Rafka sudah berhenti di depan rumah minimalis dan indah dengan banyaknya bunga di depan rumah itu.

“Rumah siapa ini?” tanya Valerie saat kesadarannya kembali.

“Rumah kita,” sahut Rafka sambil mengambil kantong-kantong yang berisi belanjaan Valerie tadi. “Ayo, masuk.” Meskipun masih merasa bingung, Valerie tetap mengekor di belakang Rafka.

“Assalammualaikum.” Rafka mengucap salam saat membuka pintu dan segera mendapat sahutan dari dalam.

“Waalaikumsalam.” Seorang wanita setengah baya keluar dan matanya langsung terpaku pada Valerie. “Ini siapa, Nak?” Wanita setengah baya itu bertanya pada Rafka.

“Kalian sama-sama aneh hari ini, tadi Meta yang menanyakan aku siapa dan sekarang mama yang lupa nama menantu sendiri.” Rafka menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sayang, aku meletakkan belanjaannya ke dapur dulu, kamu mandi duluan saja.” Mulut Valerie dan ibu Rafka, sama-sama terbuka.

“Maaf, Bu. Saya sangat bingung dengan situasi ini. Tiba-tiba saja anak Ibu mendatangi saya dan bertingkah seakan saya istrinya. Apa saya sangat mirip dengan menantu Ibu?” Valerie tidak tahan untuk tidak bertanya.

Sambil mengembuskan napas kasar, ibu Rafka mengajak Valerie ke ruang tamu. “Masuk dulu, Nak. Saya akan menjelaskannya.”

Dengan sopan, Valerie mengekor di belakang ibu Rafka. Ia duduk tepat di depan ibu Rafka. “Sebelumnya saya minta maaf, Nak…,” ucapan ibu Rafka menggantung karena ia tidak tahu nama Valerie.

“Valerie, nama saya Valerie, Bu.” Valerie menjawab cepat.

“Ah … iya, Nak Valerie. Saya ingin minta maaf sekaligus minta bantuan, Nak Valerie.” Ibu Rafka menunjukkan senyuman sungkannya.

“Maaf untuk apa, Bu? Dan jika saya bisa membantu, akan saya bantu, Bu,” jawab Valerie.

“Saya minta maaf atas apa yang dilakukan anak saya. Sebelumnya, saya mau menceritakan sedikit tentang anak saya.” Ibu Rafka menghelah napas kasar. “Sebenarnya ini bukan kali pertama, sudah beberapa kali Rafka menganggap wanita lain sebagai istrinya. Meta, istri Rafka meninggal tahun lalu dan Rafka tidak bisa menerima kenyataan itu, karena itulah dia sering menganggap wanita yang mempunyai rambut seperti rambut, Nak Valerie, sebagai Meta. Rambut kalian sama, panjang, hitam dan bergelombang.” Valerie terdiam ketika mendengar kisah Rafka.

“Lalu, Ibu ingin minta tolong apa?” tanya Valerie, setelah beberapa menit terdiam.

“Itu, bisakah, Nak Valerie berpura-pura menjadi Meta? Setidaknya sampai Rafka sadar kalau Nak Valerie itu bukan Meta.” Mata Valerie membulat.

“Berpura-pura menjadi istri orang yang baru aku kenal beberapa jam, apa masuk akal?” tanya Valerie pelan.

“Saya sadar ini tidak masuk akal, Nak. Tapi saya benar-benar sedih melihat keadaan Rafka yang seperti ini.” Mata Ibu Rafka mulai berkaca-kaca, suaranya pun terdengar serak.

“Lalu bagaimana jika Mas Afka ingin … ibu tahu maksud saya, yang biasa dilakukan suami istri. Saya tidak mungkin menyanggupinya, Bu.” Valerie menjawab tegas.

“Jika Nak Valerie ingin berpura-pura menjadi Meta, saya akan membantu agar Rafka tidak melakukan hal itu pada Nak Valerie.” Ibu Rafka begitu yakin akan ucapannya. Dan hal itu membuat Valerie terdiam sesaat.

“Ibu yakin bisa melakukannya?” Tanya Valerie.

“Iya, sangat yakin, Nak.”

Valerie menunduk dan kembali bungkam. Mungkin akan menyenangkan jika aku bersama dengan orang yang memiliki luka yang sama denganku. Ah tidak… tidak. Tidak seharusnya aku berpura-pura menjadi istri orang lain. Bagaimana pun juga, itu tidak masuk akal. Raut wajah Valerie berubah-ubah karena pergolakan batinnya. Kedua sisi hatinya saling mendorong sama kuat, antara ingin membantu dan menolak permintaan wanita setengah baya yang berdiri berhadapan dengannya.

“Saya sangat mengharapkan bantuanmu, Nak. Mungkin dengan dirimu berada di sisi Rafka dan berpura-pura menjadi Meta, Rafka yang dulu bisa kembali. Wanita tua ini sangat ingin melihat anak semata wayangnya kembali ceria dan bersemangat. Tolonglah wanita tua ini, Nak.” Genggaman erat di telapak tangannya, serta pandangan memohon  dengan bola mata yang berair dari Bu Anis -ibu Rafka- membuat Valerie tergagap. Beberapa kali mulutnya terbuka dan tertutup kembali tanpa mengeluarkan satu kata pun. Dan akhirnya, sisi hati yang mendorong Valerie untuk membantulah yang menang. Air mata yang mengalir di wajah Bu Anis membuat Valerie ibah.

“Baiklah, Bu. Saya akan mencoba untuk berpura-pura menjadi menantu Ibu. Walaupun saya tidak terlalu yakin itu akan bisa mengembalikan Rafka seperti dulu atau justru sebaliknya.” Ada senyuman tipis di bibir Valerie. Dan itu menular pada Bu Anis. Wanita setengah baya itu mengembuskan napas lega sembari mengusap punggung tangan Valerie yang ada dalam genggamannya.

Bersambung

Gifts Of Love Bab 1: Hadiah Untuk Papa

23 Juni 2017 in Vitamins Blog

16 votes, average: 1.00 out of 1 (16 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Mimpiku adalah bahagia bersamamu,
Namun jika mimpimu adalah bahagia tanpa ada namaku di dalamnya, maka aku akan melepaskanmu.

-o0o-

Seorang pria dengan perawakan tinggi, tegap, dan berkulit putih pucat, berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Pria itu mengenakan kemeja putih bersih dipadukan dengan setelan jas pas badan, jas itu seakan dibuatkan khusus untuk dirinya. Seorang pria yang tak kalah tinggi, mengekor di belakangnya sejak tadi, hal itu seolah menegaskan jika dia bukan pria sembarangan. Dengan tatapan dingin ia terus berjalan, hingga akhirnya tangannya terangkat untuk membuka pintu salah satu ruang rawat VVIP di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati

“Papa!” Jeritan bocah manis yang saat ini terbaring lemah di ranjang rumah sakit, menyambut pria itu.

Meskipun kehadirannya disambut dengan jeritan kegirangan, namun nyatanya pria yang memiliki nama lengkap Elzian Derrel itu tidak menunjukkan perubahan pada raut wajahnya. Wajah tampan itu tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Bahkan sekadar menarik bibirnya membentuk senyuman tipis pun ia enggan.

Zian yang masih berdiri jauh dari ranjang, mengernyitkan dahinya ketika melihat gadis kecil dengan jarum infus yang menancap di lengan mungilnya mengangkat kedua tangannya.

“Gendong.” Gadis kecil itu merengek manja pada Zian.

Tatapan sedih terlihat jelas di mata bocah manis yang tadi memanggil Zian ‘Papa’ karena Zian tetap diam di tempatnya.

“Aila digendong Mama saja, ya?” Suara lembut sarat akan luka itu terdengar. Suara itu milik wanita cantik yang sejak tadi duduk di kursi yang ada di samping ranjang. Ia benar-benar cantik. Mata sembab dan bibir pucat bahkan tidak mampu menghapus kecantikannya.

Dengan hati-hati wanita itu mengangkat tubuh putrinya yang lemah. Perban melilit di dahi hingga belakang kepala putri kecilnya.

“Mengapa putriku tiba-tiba menjadi sangat berat seperti ini?” Air mata jatuh bersamaan dengan keluarnya suara serak sang ibu. “Apa karena perban dan jarum infus ini yang membuat Tuan Putri mama menjadi sangat berat?” Tangisnya pecah, tangannya pun bergetar halus.

“Mas.” Dengan mata berkabut wanita itu berbalik. Ia memandang lurus pada Zian dan memanggil Zian dengan suara sangat lembut. Suara terlewat lembut itu entah mengapa tiba-tiba membuat perasaan tidak nyaman muncul di hati Zian. “Bisakah Mas memeluk putri kita untuk terakhir kalinya? Ia selalu mendambakan pelukan dan gendonganmu.” Air mata menganak sungai di kedua pipinya. Namun, bibir pucatnya tetap tersenyum tulus.

Secara perlahan, Zian mendekat pada istri dan putrinya. Tangan kokoh Zian terulur dan mengambil putrinya dari gendongan sang istri.

Menyadari saat ini dirinya berada dalam gendongan sang ayah, Aila langsung menyandarkan kepalanya yang dililit perban di bahu Zian. “Papa.” Dengan suara lemahnya, Aila kembali memanggil Zian. Panggilan kali ini tidak disertai dengan nada manja. Panggilan Aila kali ini lebih terdengar seperti meyakinkan dirinya. Meyakinkan jika ia sedang tidak bermimpi berada dalam gendongan sang ayah.

“Hm.” Zian hanya berdaham pelan untuk menjawab panggilan Aila.

“Aila punya cerita.” Suara Aila terdengar semakin lemah.

“Ceritakan.” Dengan suara sangat pelan, Zian meminta Aila bercerita.

“Aila punya teman.” Aila menarik napas panjang. “Dia selalu diganggu teman-temannya karena dia tidak punya papa.” Tangan Zian yang melingkupi tubuh mungil Aila bergetar tanpa alasan.

“Sebenarnya dia punya papa. Tapi mamanya bilang, papanya sibuk kerja untuk membahagiakan temanku itu. Dua minggu yang lalu dia ulang tahun, dia merayakan ulang tahunnya dan mengundang semua temannya. Dia sangat ingin menyombongkan diri pada teman-temannya bahwa ia memiliki papa yang luar biasa tampan dan sangat kaya. Tapi ia harus kecewa lagi karena papanya tidak datang ke pesta ulang tahunnya itu. Ia menangis semalaman dan bersumpah tidak akan mengharapkan papanya lagi. Temanku itu sangat membenci papanya.”

Sebelum melanjutkan ceritanya, Aila mengembuskan napas berat. “Namun rasa bencinya itu hilang begitu saja waktu ia bangun tidur keesokan harinya. Papanya kembali menjadi sosok terhebat yang begitu ia kagumi dan begitu ia harapkan pelukannya.” Bahu Zian terasa basah karena air mata Aila.

“Beberapa hari yang lalu ia memaksa papanya menjemput dirinya di sekolah. Papanya setuju dan berjanji akan menjemput temanku. Namun, sepertinya papa temanku itu sibuk dengan pekerjaanya, sehingga ia begitu terlambat menjemput temanku. Temanku yang begitu tidak sabaran itu memutuskan untuk pulang sendiri dengan naik taxi.” Aila harus menghentikan ceritanya ketika ia terbatuk. Butuh beberapa menit baginya untuk bisa kembali melanjutkan cerita tentang temannya pada Zian.

“Temanku ternyata sedang sial hari itu. Taxi yang ia tumpangi mengalami kecelakaan. Karena kecelakaan itu ia harus dirawat di rumah sakit. Tapi, aku sangat yakin temanku itu pasti sangat bahagia saat ini. Karena kecelakaan itu akhirnya papanya datang dan memeluknya.”

Air mata sudah membanjiri wajah Valerie -ibu Aila. Ia sangat tahu jika Aila bukan menceritakan temannya, tapi putri kecilnya itu menceritakan dirinya sendiri.

“Papa.” Suara Aila kembali terdengar.

“Iya.” Zian menyahuti panggilan Aila dengan suara datarnya.

“Coba, papa bilang selamat tidur Aila, tidur yang nyenyak anakku sayang.” Sekarang bukan hanya air mata yang jatuh di wajah Valerie. Ia bahkan sudah menangis histeris ketika mendengar ucapan Aila. Ikatan batin antara ibu dan anak seolah menyadarkan Valerie bahwa waktunya telah semakin dekat.

“Selamat tidur Aila, tidur yang nyenyak anakku sayang.” Dengan patuh Zian mengucapkan kalimat yang sama persis dengan permintaan Aila.

“Papa harus bahagia,” ucap Aila dengan nada bahagia. “Mama …” Ia memanggil Valerie tanpa menoleh pada ibunya itu. “Biarkan papa bahagia.”

Valerie tersedak ludahnya sendiri, tangisnya pun semakin menjadi. Meskipun tak bisa menghentikan tangisannya, Valerie tetap mengangguk. Ia menyetujui permintaan putrinya. “Iya, sayang. Mama akan membiarkan papa bahagia. Tapi, Aila juga harus bahagia di sana.” Suara Valerie sangat serak.

Zian yang menyadari sesuatu telah terjadi, semakin mengencangkan pelukannya di tubuh kecil dan lemah Aila. Meskipun tidak meneteskan air mata. Namun, matanya menunjukkan luka mendalam, tangannya pun semakin bergetar.

“La …” Zian memanggil putrinya dan mengguncang pelan tubuh Aila yang ada dalam pelukannya. “Apa kau tidur, Nak?” Suaranya semakin mengecil. “La, Aila.” Kepanikan mendatangi Zian saat melihat Valerie jatuh bersama dengan tangisan kerasnya. “Aila! Jangan bercanda sama Papa, ayo bicara lagi!” Suara Zian meninggi, seolah ia membentak Aila. Tapi bukan, ia bukan membentak. Suaranya meninggi karena ia panik.

Valerie yang tadi sempat terduduk lemas di lantai, kini berdiri secara perlahan. Dengan sama perlahannya ia mendekat pada Zian dan mengambil Aila dari gendongan Zian. “Ailaku sangat cantik,” ucapnya sambil menunjukkan senyuman.

Setetes demi setetes air matanya jatuh ke pipi pucat Aila. “Mas.” Ia mendongak menatap Zian yang saat ini menatap kosong pada tubuh lemah Aila. “Terima kasih, sudah membuat Aila bahagia.” Senyuman Valerie semakin lebar. “Bisakah, Mas panggil dokter? kita harus membawa Aila pulang.” Valerie meletakkan tubuh Aila ke ranjang.

Bukannya menuruti permintaan Valerie, Zian justru mendekati ranjang. Tangannya terulur, mengusap pipi pucat Aila. “Benarkah dia bahagia?” Pertanyaan itu bukan Zian tujukan pada Valerie, tapi pertanyaan itu untuk dirinya sendiri.

“Iya, Aila sangat bahagia.” Meskipun sadar Zian bukan bertanya padanya, Valerie tetap menjawab pertanyaan Zian. “Lihatlah, dia tersenyum. Ia sangat cantik walaupun pipinya pucat,” lanjut Valerie.

Wajah Zian berubah semakin muram, matanya sedikit berkilau karena genangan air mata. Namun, air mata itu tidak menetes. Sangat jelas jika ia terluka dan kehilangan. Berbeda dengan Zian, Valerie menangis tersedu tapi bibirnya tersenyum begitu lebar. Valerie memang terluka dan sangat merasa kehilangan, namun ia juga bahagia karena akhirnya putri kecilnya mendapatkan kebahagiaan yang selama ini putrinya itu harapkan. Digendong dan dipeluk oleh Zian adalah kebahagiaan yang diharapkan Aila selama lima tahun ia Hidup.

Serempak Zian dan Valerie menoleh ke pintu saat dokter dan beberapa perawat masuk ke dalam ruang rawat Aila. Sepertinya asisten Zian yang sejak tadi ada di dalam ruang rawat Aila yang memanggil dokter.

Dokter memeriksa nadi Aila dan mengembuskan napas berat. Ia sudah menduga ini akan terjadi dan ia pun sudah mengatakan pada Valerie tentang kemungkinan itu terjadi. “Seperti yang saya katakan tadi pagi, anak ini sulit untuk bertahan,” ucap dokter itu pada Valerie.

“Iya, Dokter,” jawab Valerie. “Terima kasih sudah merawat putri kami,” sambungnya.

“Apakah kami bisa membawa Aila pulang sekarang, Dokter?” Zian bertanya dengan suara yang sangat pelan.

“Iya, kami akan menyiapkan ambulance untuk membawa jenazah ke rumah duka.” Sebelum keluar dari ruang rawat Aila, Dokter itu menepuk lengan Zian dan Valerie bergantian. Ia melakukan itu sebagai ungkapan ia turut berduka atas meninggalnya putri mereka.

Perawat yang tadi ikut dokter masuk ke dalam ruang rawat Aila, melepas jarum infus dari lengan kecil Aila. Hanya jarum infus itu yang masih melekat pada tubuh Aila. Karena sejak tadi pagi Aila menolak semua peralatan medis yang ditempel pada tubuhnya. Ia hanya mengatakan ia ingin bertemu papa dan tidur.

Benar saja, setelah bertemu dengan Zian, ia meninggal dengan senyum terulas di wajahnya. Ia meninggal dalam gendongan dan pelukan hangat sang ayah.

-o0o-

Keluarga Zian menunggu jenazah Aila di rumah mereka. Nyonya Derrel -ibu Zian- beberapa kali kehilangan kesadarannya ketika mendapat kabar kepergian cucu satu-satunya yang ia miliki. Saat ini wanita paruh baya itu sedang menangis, meraung saat ambulance tiba. Nyonya Derrel tidak pernah berpikir jika foto Aila yang selalu ia puji akan menjadi foto terakhir cucunya.

“Aila, Demi Tuhan, cucuku yang malang!” Jeritan itu terdengar memilukan.

Bukan hanya Nyonya Derrel sebenarnya yang menangis. Tapi, jeritan kehilangan yang paling terdengar adalah tangisan Nyonya Derrel. Ia merangkak mendekati peti jenazah dan mengusap foto Aila yang diletakkan di dekat peti jenazah itu.

“Apa yang harus aku lakukan?” Nyonya Derrel berbalik menghadap suaminya yang menatap kosong pada peti jenazah. Tangan tua Nyonya Derrel memukul-mukul pelan kaki suaminya.

“Ma!” Elsinta yang sejak tadi menangis di belakang ibunya, menjerit ketika Nyonya Derrel kembali tak sadarkan diri.

Seolah jiwanya melayang dari raganya. Tuan Derrel tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya. Tatapannya tidak teralihkan dari foto Aila. Setelah beberapa saat barulah Tuan Derrel berbalik, ia menatap langsung wajah menantunya. Embusan napas lega seketika keluar melalui celah bibir Tuan Derrel ketika melihat Valerie melempar senyum padanya.

“Dia bahagia, Pa.” Gerak mulut Valerie mengatakan itu pada Tuan Derrel. Meskipun tidak ada suara yang keluar, namun Tuan Derrel mengerti maksud Valerie. Semua keluarga Derrel tahu, bahagia bagi si kecil Aila itu seperti apa.

Tuan Derrel berjalan mendekati Valerie dengan gerakan pelan. Ia menunduk dan menepuk bahu menantunya itu. “Menangislah, Nak. Jangan menahannya,” ucap Tuan Derrel. “Kami tahu, kau yang paling terluka di sini.” Serentak dengan ucapan Tuan Derrel itu, air mata Valerie kembali turun dengan derasnya. Jerit tangisnya menggetarkan hati semua orang yang sedang melayat.

Dengan lembut Tuan Derrel menarik Valerie, dipeluknya tubuh lemah menantunya itu. “Iya seperti itu, Nak. Menangislah dengan kencang,” ucap Tuan Derrel.

“Hari ini saja, Pa. Aku akan menangis sepuasnya hari ini,” jawab Valerie terbata.

Semakin banyak keluarga, kerabat dan orang-orang yang mengenal keluarga Derrel, datang untuk melayat.

Valerie benar-benar tak bisa menghentikan tangisannya. Ia pun tidak bergeser sesenti pun dari samping peti jenazah. Matanya yang berkabut karena air mata, menatap lurus pada wajah putri kesayangannya yang ada di foto.

Sementara di luar rumah, Zian berdiri dan melihat ke depan dengan tatapan kosong. Rambut dan setelan jas yang sejak tadi rapi kini berubah sedikit berantakan. Wajahnya pun pucat. Pria itu seperti sedang berpikir keras.

-o0o-

Seorang pria yang memakai tuxedo berwarna putih, memasuki sebuah ruangan. Ia disambut dengan suara gelak tawa para gadis saat membuka pintu ruangan itu. Ketika mendengar suara langkah kaki Zian, para gadis pun serentak menoleh dan menatap Zian.

“Rupanya sang pengantin pria sudah tidak sabar ingin melihat calon istrinya.” Salah satu gadis yang berada di samping pengantin wanita, menggoda Zian, yang langsung disambut oleh gelak tawa gadis lainnya.

Valerie yang sejujurnya gugup saat melihat kedatangan pria tercintanya, hanya menunduk malu dan mengeratkan genggamannya pada buket bunga di tangannya.

“Apa aku bisa berbicara berdua saja dengan Lerie?” Zian bertanya dengan raut muka datar pada teman-teman Valerie. Dan tentu saja gadis-gadis itu langsung meninggalkan ruangan, membiarkan Valerie dan Zian berdua saja.

Mas ingin membicarakan apa?” Valerie bertanya dengan suara lembutnya. Senyuman menghiasi wajah Valerie, yang membuat wajah cantiknya semakin cantik.

“Tidak bisakah kau mempertimbangkan lagi pernikahan ini, Rie?” Pertanyaan Zian seketika menghapus senyuman Valerie.

“Kau tidak berpikir untuk membatalkan pernikahan ini kan, Mas?!” Suara Valerie meninggi. Ia menatap tajam pada Zian. Tangannya yang tadi sempat menggenggam buket bunga dengan erat, kini bergetar pelan.

Kau tahu, aku tidak menginginkan pernikahan ini sejak awal, kan?” jawab Zian dingin.

“Tapi semuanya sudah terjadi, Mas!” jerit Valerie, mata gadis itu merah karena emosi.

“Belum … belum terjadi, Rie. Kita masih bisa menghentikan ini,” jawab Zian.

“Tapi kita sudah mempersiapkan semuanya, tamu sudah berdatangan, Mas. Mengapa kau tidak mengatakan ingin membatalkan pernikahan ini jauh-jauh hari!” Valerie masih berbicara dengan nada tinggi.

“Aku sudah melakukannya! Bahkan aku melakukannya setiap hari!” Zian akhirnya juga berbicara dengan nada tinggi pada Valerie. “Kau tahu, aku menolak pernikahan ini sejak awal, Rie.” Suara Zian kembali melunak, ia menatap Valerie penuh harap. Berharap Valerie bersedia membatalkan pernikahan mereka.

“Sekarang sudah waktunya.” Elsinta yang sedang menyembulkan kepalanya di pintu, membulatkan matanya saat melihat keberadaan Zian. “Hei, mengapa pengantin pria ada di sini?” tanyanya.

“Dia sudah tidak sabar ingin melihat betapa cantiknya aku, Kak.” Valerie yang menjawab pertanyaan Elsinta. “Mas, cepatlah kembali, kita bertemu di depan penghulu.” Seakan tidak terjadi apa pun di antara mereka sebelumnya, Valerie tersenyum begitu manis pada Zian. Tanpa menjawab ucapan ValerieZian keluar dari ruangan tersebut. Ia melewati kakak kandungnya yang masih berdiri di pintu.

“Kalian tadi membicarakan apa?” Elsinta masuk ke dalam ruangan dan menyipitkan matanya saat bertanya pada Valerie.

Mengabaikan pertanyaan ElsintaValerie justru berjalan keluar dan tersenyum lebar saat melihat kedatangan ayahnya. Valerie mengapit lengan ayahnya dengan manja. “Aku gugup, Pa,” rengeknya.

“Jangan sampai kau pingsan saat ijab qabul nanti, Sayang.” Ayah Valerie terkekeh pelan. “Apa kau bahagia dengan semua ini, Nak?” Sambil berjalan pak Dodi bertanya pada Valerie.

“Tentu saja aku bahagia, Pa.” Dengan penuh keyakinan Valerie menjawab pertanyaan ayahnya.

Papa harap kau akan selalu bahagia, Nak. Kau sangat berharga bagi papa.” Mata Pak Dodi berkaca-kaca ketika menatap mata Valerie.

Papa jangan menangis. Aku akan selalu bahagia.” Bersamaan dengan ucapan Valerie tersebut, pintu ruangan tempat akad nikah berlangsung terbuka, mereka melangkah perlahan menuju penghulu dan Zian yang sudah duduk di depan penghulu itu.

Bibir Valerie tak berhenti melengkungkan senyumannya. Matanya begitu fokus melihat pundak lebar Zian. Perasaan bahagia memenuhi dada Valerie. “Akhirnya kau akan menjadi milikku seutuhnya, Mas Yan.” Jerit Valerie di dalam hati.

Karena larut dengan kebahagiaannya itu, Valerie tidak menyadari jika mereka sudah berdiri di depan penghuluPak Dodi tersenyum sekilas sebelum berjalan dan duduk di samping penghulu. “Kutitipkan putriku yang paling berharga padamu, Yan. Jaga dan bahagiakan dia, Nak.” Pak Dodi berpesan pada Zian sebelum ijab qabul berlangsung.

“Iya, Pa,” jawab Zian singkat.

Ijab qabul berlangsung cepat. Kini tiba saatnya Zian menyematkan cincin dan mencium dahi Valerie. Berbeda dengan Valerie yang merasa gugup akan menerima ciuman pertama dari Zian, walaupun hanya di dahiZian justru menahan amarahnya. Bibir Zian hanya menyentuh dahi Valerie beberapa detik saja.

-o0o-

Jenazah Aila yang dibalut kain kafan, dimasukkan ke dalam tanah. Nyonya Derrel masih tidak bisa menghentikan tangisan histerisnya. Berbeda dengan Nyonya Derrel, Valerie yang notabene ibu kandung dari Aila, nampak biasa saja. Valerie menepati ucapannya pada Tuan Derrel, ia hanya akan menangis kemarin. Dan untuk hari berikutnya ia tidak akan menangis lagi.

Perlahan jenazah Aila, mulai tertimbun oleh tanah. Hingga tubuh kecil berbalut kain putih itu terkubur sepenuhnya. Berpasang-pasang mata menatap Valerie dengan berbagai arti. Ada yang bertanya-tanya, mengapa Valerie tidak menitikkan air mata sedikitpun, dan ada pula yang begitu kagum dengan ketegaran wanita itu.

Sosok sang ayah pun tak luput dari pandangan orang-orang. Bukan rahasia lagi, jika Zian selalu mengabaikan keberadaan istri dan putrinya. Ada begitu banyak orang yang merasa kesal pada Zian, namun tidak mencoba untuk menunjukkan kekesalan tersebut. Mereka masih menyadari siapa Zian.

“Aila, Ya Tuhan. Aila.” Nyonya Derrel terus menerus meraung, menyebut nama cucu kesayangannya.

Tangan lembut Valerie menyentuh pundak mertuanya. Diusapnya teratur pundak Nyonya Derrel, sehingga Nyonya Derrel bisa sedikit lebih tenang. “Ma,” Panggil Valerie pada Nyonya Derrel. Nyonya Derrel menoleh, pandangannya buram karena terhalang air mata, menatap dalam pada Valerie yang tadi memanggilnya. Tetesan air mata Nyonya Derrel semakin deras ketika melihat seulas senyum terbit di bibir menantunya. “Jangan menangis lagi, Ma. Aila kita sudah mendapatkan kebahagiaannya.” Suara lembut Valerie saat menasihati Nyonya Derrel justru semakin membuat Nyonya Derrel menangis terisak.

“Aku tidak tahu apa yang sedang Tuhan pikirkan ketika menciptakanmu, Nak,” ucap Nyonya Derrel serak. “Dan aku pun tidak tahu kebaikan apa yang sudah keluarga kami lakukan di masa lalu, sehingga Tuhan menghadiahkan malaikatnya untuk keluarga kami.” Tangan Nyonya Derrel menarik Valerie ke dalam pelukannya.

“Jika yang Mama katakan malaikat adalah aku, maka aku akan menjawab, Mama terlalu berlebihan. Aku tidak sebaik itu sehingga bisa disebut malaikat.” Valerie menjawab sambil terkekeh pelan. Kekehan itu hanya Nyonya Derrel dan Valerie sendiri yang bisa mendengarnya.

“Kau seharusnya bahagia, Nak. Tapi, kau justru mendapatkan musibah ini.” Tangan hangat Nyonya Derrel mengusap puncak kepala Valerie dengan sayang.

“Aku bahagia, Ma,” jawab Valerie.

“Semua orang tahu jika kau tidak bahagia, Nak.” Air mata yang sempat berhenti menetes di pipi Nyonya Derrel, kini kembali menetes saat mengingat penderitaan menantunya. Penderitaan yang dihadiahkan oleh putranya.

“Tidak, kalian salah, Ma. Aku sangat bahagia. Aku menikah dengan Mas Yan, memiliki putri darinya. Itu adalah impianku sejak dulu.” Valerie membantah Nyonya Derrel yang mengatakan ia tidak bahagia.

Dada Nyonya Derrel terasa sesak mendengar ucapan Valerie. Inilah alasan ia menyebut menantunya itu malaikat. Malaikat yang Tuhan hadiahkan pada keluarganya.

“Apa Mama bisa berjanji satu hal padaku?” tanya Valerie hati-hati.

“Janji apa, Nak?” sahut Nyonya Derrel.

“Berjanji untuk tidak menangisi kepergian Aila lagi. Aila sangat bahagia sebelum ia pergi, jadi jangan biarkan ia melihat air mata kita dari atas sana.” Valerie meminta hal sangat mustahil. Namun, Nyonya Derrel tetap menganggukkan kepalanya. Setidaknya ia tidak akan menangis di hadapan Valerie, itu yang dipikirkan Nyonya Derrel ketika mengangguk.

Meskipun tidak melihat Nyonya Derrel mengangguk, Valerie dapat merasakan anggukan itu di bahunya. Sekarang Valerie melepaskan pelukannya dari Nyonya Derrel. Ia berdiri dan mengedarkan pandangannya, senyum tak luntur sedikitpun di wajah cantiknya. Membuat kerabat dan kenalan yang ada di sana menahan tangisan mereka.

“Mas,” panggil Valerie, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Zian. Zian tetap berdiri kaku, menatap ke tempat peristirahatan terakhir Aila. Tidak sedikitpun ia menyahut atau sekadar menoleh pada Valerie. Kendati demikian, tangannya balas menggenggam tangan Valerie. “Ayo, kita pulang,” ucap Valerie, yang segera diamini oleh Zian. Orang-orang pun mengikuti mereka.

-o0o-

Ini malam ketiga sejak kepergian Aila. Zian duduk di atas ranjang king size yang ada di kamarnya dan Valerie. Ia menatap ke depan dengan tatapan kosong. Kamar itu hanya disinari oleh cahaya temaram dari lampu tidur yang ada di atas nakas.

Decitan pintu yang dibuka, mengalihkan pandangan Zian. Valerie masuk dengan hati-hati ke dalam kamar. Dengan sedikit ragu, Valerie berjalan mendekati Zian, lalu duduk tepat di samping kaki Zian yang selonjor di atas ranjang. Posisi mereka saat ini duduk berhadapan. Selama beberapa detik keadaan masih sepi, sebelum akhirnya Valerie membuka suara. “Mas.” Tangan Valerie bergerak, ia menggenggam tangan Zian. “Aku ingin membicarakan sesuatu padamu.” Entah Valerie menyadarinya atau tidak, sekilas ada kilatan gugup di mata Zian saat Valerie mengatakan ingin membicarakan sesuatu.

“Katakan,” jawab Zian, masih dingin seperti biasanya.

Valerie tidak langsung berbicara, ia justru menatap tangan mereka yang saling menggenggam. Perlahan, Valerie melepaskan tautan tangan mereka, lalu beralih membawa telapak tangan kanan Zian ke pipinya. Kelopak mata Valerie tertutup saat tangannya membimbing telapak tangan Zian untuk mengusap pipinya. Senyum tipis terukir di wajah gadis itu. “Hangat,” bisik Valerie serak. “Bisakah aku memeluk Mas saat berbicara?” Pertanyaan Valerie sangat mengharapkan jawaban ‘iya’ dari Zian. Walaupun kata itu tidak terucap dari mulut Zian, anggukan pelan dari pria itu sudah cukup untuk Valerie.

Desahan napas lega terdengar dari celah bibir Valerie ketika tangannya melingkar erat di pinggang Zian. “Mas masih ingat permintaan Aila padaku sebelum ia pergi?” Tidak ada jawaban dari Zian atas pertanyaan Valerie. Tapi, tangan pria itu bergerak membalas pelukan Valerie. “Aku akan melakukan permintaan terakhir anak kita.” Suara Valerie sangat pelan. Jika saja ia tidak berbicara tepat di samping telinga Zian, mungkin saja Zian tidak akan mendengarnya. “Aku akan melepaskanmu,” sambung Valerie.

Hening, tidak ada tanggapan sama sekali dari Zian selain pelukannya yang semakin erat. “Aku tahu Mas akan segera mendapatkan pengganti Aila.” Valerie begitu sulit mengucapkan kalimat itu, terasa ada bongkahan yang mengganjal di kerongkongannya, dan itu menyakitkan.

“Apa maksudmu?” Akhirnya Zian membuka suaranya juga. Suara pria itu tetap dingin seperti biasanya.

“Bianca.” Mata Zian melebar ketika mendengar nama itu keluar dari mulut Valerie. “Aku tahu, Mas menjalin hubungan dengan Bianca sejak dua tahun yang lalu, dan saat ini Bianca sedang mengandung.” Setetes air mata jatuh di pipi Valerie.

Valerie menolak ketika Zian mencoba melepaskan pelukan mereka. “Biarkan aku tetap memelukmu sampai kita selesai bicara, Mas,” ucapnya. “Aku bukan ingin menghakimi suamiku yang tertangkap basah memiliki kekasih di belakangku. Aku hanya ingin berpesan pada Mas untuk menjaga apa telah kau miliki, jangan pernah melepaskan wanita yang Mas cintai, karena sekali Mas melepaskannya, Mas mungkin tidak akan pernah bisa memilikinya lagi.” Valerie menarik napas dalam sebelum melanjutkan ucapannya. “Bawalah Bianca ke sini, Mas, dan perlakukan mereka dengan baik. Jangan ada Aila kedua.”

Zian butuh waktu beberapa detik untuk bisa memahami maksud ucapan Valerie. “Lalu kau?” tanyanya ketika mengerti maksud ucapan panjang Valerie. Kali ini Zian memaksa melepaskan pelukan mereka. Ia ingin melihat wajah Valerie.

“Bukankah aku sudah mengatakan akan mengabulkan keinginan terakhir Aila? Artinya aku akan menghadiahkan kebahagiaan padamu, Mas,” jawab Valerie.

“Kebahagiaan seperti apa yang kau maksud?” Zian kembali bertanya.

“Seperti yang Mas inginkan dulu, aku akan melepaskan Mas dan membiarkan Mas bahagia bersama wanita yang Mas cintai. Aku sudah mengurus perceraian kita agar Mas bisa menikahi Bianca, dan merawat anak kalian bersama.” Sama ketika Aila meninggal, air mata Valerie mengalir dengan deras di pipinya, namun bibir Valerie tersenyum begitu lebar. Saat ini pun seperti itu.

Tanpa peringatan, Valerie menabrak dada Zian dengan keras. Ia memeluk Zian sekali lagi dengan begitu erat. “Aku mencintaimu, Mas, sangat. Mas benar-benar harus bahagia setelah aku pergi.” Tangan Zian mengepal dengan erat di sisi tubuhnya ketika mendengar ucapan Valerie.

Setelah beberapa menit, Valerie melepaskan pelukannya, ia menatap wajah Zian sekali lagi, sebelum akhirnya berdiri dan mengambil koper miliknya. Valerie menyusun beberapa pakaian yang ia sukai ke dalam koper tersebut. “Ternyata pakaianku sangat banyak,” ucap Valerie, ia berbalik menatap Zian yang masih duduk di tempat yang sama. “Apa tidak masalah jika aku meninggalkan sebagian pakaianku di sini, Mas?” tanyanya.

“Terserah,” jawab Zian. Valerie tidak terlalu terpengaruh lagi dengan cara Zian berbicara padanya. Ia kembali berbalik dan memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper.

“Kapan kau akan pergi?” tanya Zian setelah beberapa saat.

“Mas harus kecewa untuk yang satu ini, malam ini aku masih akan tidur di ranjang yang sama denganmu.” Valerie menjawab pertanyaan Zian dengan begitu santai. Seakan tidak terjadi apapun beberapa saat yang lalu, jejak air mata tidak terlihat di wajah Valerie. Ia mengepak pakaiannya seakan ia akan pergi berlibur.

“Kalau begitu, mengapa kau sudah sibuk mengepak pakaianmu malam ini?” Zian bertanya sambil mengangkat alisnya.

“Benar juga,” jawab Valerie. “Tapi, aku tidak tahu harus melakukan apa selain mengepak pakaianku.” Ia kembali mengambil beberapa gaun sederhana di dalam lemari lalu meletakkannya ke dalam koper.

“Kemari.” Valerie mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Zian. Zian mengulurkan tangan kirinya pada Valerie. “Kemarilah.” Sekali lagi Zian meminta Valerie mendekat padanya.

“Ini.” Valerie menunjuk pada kopernya dan beberapa pakaian yang belum ia rapikan.

“Bisakah kau mengabaikan semua itu? Sekarang kau tidur di sampingku.” Tentu hal itu tidak dilewatkan oleh Valerie. Ini hal yang belum pernah sekalipun terjadi selama ia dan Zian menikah.

“Mengapa Mas tiba-tiba memintaku tidur di samping, Mas?” Valerie tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

“Kau keberatan?” Zian justru menjawab dengan pertanyaan juga.

“Tidak… tidak sama sekali,” sahut Valerie terburu-buru.

Valerie merangkak naik ke atas ranjang. Dan Zian langsung menarik tubuh ramping Valerie ke dalam pelukannya. Jantung Valerie berdegub kencang saat Zian mencium puncak kepalanya. Perlahan Valerie mendongak dan menatap mata Zian. Melihat tatapan dalam Zian yang tak terbaca, menimbulkan perasaan gugup pada diri Valerie. Dalam sekali berkedip, bibir Zian telah menempel pada bibir Valerie, dan gerakan lembut dari bibir Zian mengundang gerakan balasan dari Valerie. Keduanya larut dalam ciuman lembut dan hangat.

Tangan Zian bergerak ke tengkuk Valerie, membuat ciuman keduanya semakin dalam. Sama seperti tangan Zian, tangan Valerie pun ikut bergerak. Ia mengusap lengan kencang Zian.

Zian melepaskan tautan bibirnya dengan Valerie, matanya menatap langsung ke mata bening Valerie yang tadi sempat menumpahkan air mata. Tangannya yang tadi sedang mengusap tengkuk Valerie, berpindah mengusap bawah mata Valerie yang sedikit bengkak. “Matamu bengkak,” bisik Zian, tepat di depan mulut Valerie.

Tak ingin kalah dengan Zian, Valerie pun mengangkat tangannya yang sejak tadi mengusap lengan Zian. Jari-jari mungil Valerie mengusap pipi Zian. “Mata Mas juga.” Valerie pun berbisik di depan mulut Zian. “Apa Mas tidak tidur dengan nyenyak beberapa hari ini?” tanya Valerie. Pertanyaan itu sebenarnya sudah bersarang dalam kepala Valerie sejak ia memulai pembicaraan dengan Zian tadi.

Tidak menjawab pertanyaan Valerie, Zian justru mendaratkan ciumannya di kedua mata Valerie. “Bisakah kita melanjutkan yang tadi?” Kedipan mata Valerie seolah menjadi jawaban atas pertanyaan Zian, dan semuanya terjadi begitu saja.

-o0o-

Pukul 3 dini hari, kelopak mata Valerie bergerak dan perlahan terbuka. Ia masih berada dalam pelukan Zian.

Apa yang terjadi pada kami semalam? Itu sungguh di luar perkiranku.

Batin Valerie menjerit. Wajar saja Valerie berpikir seperti itu karena selama ia menikah, ia hanya tidur satu kali dengan Zian dan itu berhasil mendatangkan Aila. Tidur satu kali itu pun terjadi karena Valerie mencampur obat pada minuman Zian. Zian sangat marah pada Valerie keesokan harinya atas apa yang terjadi pada mereka. Sejak itu Zian semakin menunjukkan kebenciannya pada Valerie. Karena kejadian itu pula Valerie tidak mencoba untuk mendapatkan hati Zian lagi, dan tidak berusaha agar Zian menyentuhnya. Tapi, apa yang terjadi pada mereka semalam, sungguh tidak pernah Valerie duga. Ia tidak merasa memberi obat pada minuman Zian semalam, sebelum semua itu terjadi. Lalu apa yang membuat Zian menyentuh Valerie? Mungkinkah itu sebagai hadiah perpisahan?

Dengan sangat berhati-hati, Valerie melepaskan diri dari pelukan Zian. Erangan pelan keluar dari celah bibirnya saat bergerak. Valerie memerhatikan wajah terlelap Zian, dan merasa kagum karena Zian terlihat begitu tampan bahkan saat tertidur seperti ini. Itulah yang membuat Valerie begitu menggilai Zian, dan wajah tampan itulah yang membawa mereka ke dalam lingkaran luka seperti ini.

Valerie turun dari tempat tidur secara perlahan, dan berjalan hati-hati ke arah lemari karena tubuh bawahnya terasa perih. Ia mengambil selembar gaun tidur, lalu memakainya. Sekali lagi Valerie menolehkan kepalanya ke arah ranjang, melihat dengan saksama wajah damai Zian saat terlelap.

Cuaca saat ini sangat dingin, dan dada Zian terekspos, tidak ditutupi selimut. Karena tidak ingin tidur nyaman Zian terganggu oleh hawa dingin, Valerie berjalan mendekati ranjang dan membetulkan letak selimut di tubuh Zian. “Tidurlah yang nyaman, Suamiku,” bisiknya, lalu mendaratkan kecupan di dahi Zian.

Mengingat sebentar lagi ia tidak bisa menyebut Zian sebagai suaminya lagi, menimbulkan rasa perih yang menusuk di mata Valerie. “Berhenti menjadi wanita menyebalkan, Valerie.” Valerie menegur dirinya sendiri.

Setelah mendaratkan kecupan sekali lagi di dahi Zian. Valerie pun kembali pada kegiatannya sebelum terjadi pergulatan panas antara dirinya dan Zian tadi. Ia menyusun pakaiannya ke dalam koper yang masih terbuka.

Valerie jenis wanita yang tidak bisa pergi dengan membawa sedikit barang. Tiga koper besar telah berjejer di dekat pintu kamar. Ketiga koper itu berisi pakaian dan barang penting Valerie yang lain. “Selesai,” gumam Valerie, ia melihat Zian masih tidur dengan nyaman di ranjang. Tidak terpikir olehnya untuk membangunkan Zian, meskipun saat ini sudah menunjukkan pukul enam pagi.

Valerie pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Kegiatan membersihkan tubuhnya itu berlangsung dengan cepat. Ia pun berganti pakaian dan memoles make up di wajahnya dengan sama cepatnya. Embusan napas lega keluar dari mulut Valerie ketika melihat Zian masih terlelap. Ditariknya satu persatu koper yang sudah terisi penuh itu ke luar kamar, lalu meminta Mang Ucup membawa kopernya itu ke dalam mobil.

Jari Valerie bergerak, mengusap cincin yang sejak 7 tahun lalu melingkar di jari manisnya. Setengah hati, Valerie melepas cincin itu. Lalu kembali masuk ke dalam kamar, meletakkan cincin yang baru saja ia lepas ke atas amplop berwarna cokelat yang berisi surat gugatan cerainya pada Zian di atas nakas. Di sana juga ada selembar kertas yang berisi pesan Valerie untuk Zian.

Valerie mencintai Zian sejak bertahun-tahun lalu, bahkan cinta itu tidak berkurang sedikitpun walaupun Zian terus mengabaikannya. Berat bagi Valerie melangkah untuk meninggalkan rumah yang ia tinggali selama 7 tahun ini. Sangat ingin rasanya ia mencium Zian untuk terakhir kalinya, namun ia tak ingin egois lagi. Valerie bertekat untuk melepaskan Zian, karena itu keinginan terakhir putrinya.

Matahari mulai naik saat Valerie keluar rumah. Valerie menunjukkan senyuman tipis pada Mang Ucup dan Bi Marni yang selalu membantunya selama ia menikah dengan Zian.

Mang Ucup dan Bi Marni menatap Valerie sedih. “Mang, Bi, aku pamit. Tolong titip Mas Yan, ingatkan dia untuk menjaga hadiah Aila,” ucap Valerie. Sebelum menyalami keduanya dan masuk ke mobil. Valerie mengendarai mobilnya dan tidak menoleh sedikitpun ke belakang.

Selamat tinggal Mas Yan, Kau harus bahagia.

Bersambung

DayNight
DayNight