Chapter 1 – The Broken Mask –
18 Maret 2017 in Vitamins Blog
The Broken Mask
~ Luna & Solis ~
.
Aku menatap kosong ke arah jendela, diluar hujan turun dengan damai. Membasahi setiap sudut kota Veclana, sebuah distrik yang terletak di selatan negara Celes. Tidak terasa 7 tahun telah berlalu sejak teror malam yang hampir menghantui setiap kakiku melangkah. Hari ini pun, mimpi buruk itu tetap menghantui meski saat ini otakku terjaga. Dengan malas kulirik celotehan Ibu Marra yang selalu menjelaskan sejarah tentang Luna, dengan intonasi suara yang sama, dengan isi cerita yang sama, dan dengan perintah yang sama.
Selama 7 tahun ini aku tersiksa mendengarkan setiap ceramahannya. Semakin mendengarnya, aku merasa semakin dicuci otak.
Luna… Luna… Luna…
“Sebagai anggota dari klan Luna, kita harus menjunjung tinggi serta menghormati sang dewi bulan. Dahulu kala, seorang dewi bernama Lunafreya datang ke bumi dengan membawa pesan dari maha dewa Zeul. Namun, raja iblis, Luficer, ternyata diam-diam membuat rencana untuk mengacaukan rencana Lunafreya untuk mendamaikan bumi. Raja iblis sengaja berubah wujud menjadi manusia dan berubah namanya menjadi Solis…”
Dan bla bla bla lainnya…
Aku mendesah pelan. Aku sudah hafal betul bagaimana kelanjutan kisah tersebut. Akhirnya lunafreya tahu siapa sesungguhnya Solis dan berusaha untuk bernegosiasi dengannya agar dia tidak mengacaukan umat manusia. Namun karena kesombongan Luficer, akhirnya pihak langit pun memutuskan untuk berperang meleyapkan kerajaan iblis. Dalam peperangan tersebut, Lunafreya terpaksa mengorbankan nyawanya sendiri dengan harapan perang berhenti. Namun, yang tidak sang dewi sadari, bahwa Luficer menyebarkan benihnya ke setiap manusia yang terpilih untuk mengandung keturunan yang nantinya membentuk sebuah marga bernama Solis.
Aku tidak begitu senang mendengar nama itu.
Kedua nama itu, selalu memberiku sakit kepala. Yang jelas aku tidak menyukainya. Dengan malas, aku sengaja berdiri dengan sedikit memukul meja. Sengaja memotong celotehan yang tidak ada habisnya itu.
“Ada yang bisa kubantu, Lucya?” tanya Ibu Marra kepadaku. Kerutan di keningnya menandakan bahwa dia tidak menyukai tindakanku yang mengganggu kelasnya.
Dengan malas aku berkata, “Bolehkah saya pulang duluan, Bu? Ada banyak hal yang ingin aku kerjakan setelah ini.”
“Tidak boleh!” sahut wanita paruh baya itu, sepertinya dia tersinggung dengan sikapku. “Kau harus memperbaiki sikap tidak sopanmu itu disaat aku sedang menjelaskan sejarah penting!”
“Cih…” aku mendecah sebal, menyebalkan sekali jika aku harus mendengarkan ceramah nenek tua ini sekali lagi. “Aku minta maaf atas ketidaksopananku, Ibu Marra. Selama ini aku sudah sering mendengar sejarah tentang Luna, dewi Lunafreya, Luficer, perselisihan tentang Luna dan Solis, bla bla bla…”
Aku mulai menggerutu, kesal karena keinginanku tidak terpenuhi sebelum membalas kata-kata pedas Ibu Marra. Semua anak-anak di dalam kelas itu menatapku dengan berbagai macam ekspresi.
Aku tidak peduli! Aku harus enyah dari kelas ini! Kalau perlu dari negara sialan ini!
“Sejarah tidak akan memberiku ilmu apa-apa, Ibu. Kekuatanlah yang nantinya akan menyelamatkan nyawaku.”
Atau dalam hal ini nyawa kami berdua, aku dan adikku.
Setelah mengucapkan hal yang tidak perlu, aku memutuskan untuk keluar tanpa permisi. Meninggalkan suara Ibu Marra yang semakin meninggi memanggilku. Biarkan saja, aku juga tidak suka bertemu dengannya setiap hari.
Aku hanya ingin mencari ketenangan meskipun hanya sesaat.
.
xXxXx
.
Aku memasuki sebuah kedai kopi yang terletak persis di pinggir jalan Veclana bernama Aira’s Coffee. Nuansa pedesaan yang kental menjadi tema di kedai ini. Semua pondasinya dibangun menggunakan kayu mahoni terbaik dan sengaja di tata sedemikian rupa sehingga orang-orang yang datang kemari akan merasa berada di rumah sendiri. Suasana yang disuguhkan di tempat ini sangat nyaman. Aku senang melihat susunan piring dan gelas yang sengaja disusun rapi di sebuah kabinet segi empat yang di pajang persis di belakang bar.
Ketika pikiranku sedang kacau, aku biasa kemari. Menyeduh kopi susu hangat bukan ide yang buruk. Lagipula, Qhaira bekerja di sana.
“Sedang apa kau di sini, Lu?” Qhaira muncul dari balik tirai, sepertinya dia baru habis mencuci piring. Tatapannya terkejut ketika melihatku. “Bukankah kau seharusnya ada kelas Ibu Marra?”
Aku menghampiri tempat duduk yang berada di pojok kanan kedai, tempat favoritku ketika berada di sini. Kurebahkan tubuhku yang tegang, mencoba rileks.
“Besok aku akan mengajukan protes ke nenek sihir itu. Aku sudah tidak tahan mendengar dia berdongeng tentang sejarah Luna.”
Qhaira cekikikan mendengar keluhanku. Dia sudah paham dengan kebiasaanku yang mengeluhkan tentang pendidikan yang kudapatkan.
“Anggap saja sedang melatih mental sebelum pertarungan yang sesungguhnya.”
Aku merenung.
Melatih mental, yah…?
Pikiranku melayang, sebenarnya apa yang akan aku hadapi ketika lulus dari sekolah itu? Institut khusus yang melatih orang-orang yang mempunyai kekuatan magis, sengaja melatih orang-orang agar bisa mengontrol kekuatan mereka. Semuanya dengan berbagai latihan fisik dan juga otak yang menguras tenaga. Lalu mendorong mereka untuk bertarung untuk harga diri Luna sampai mati.
Waktu kelulusanku sudah bisa dihitung dengan jari, sebentar lagi aku akan keluar dari sekolah sialan itu. Lalu di terjunkan ke dalam lubang neraka…
Mungkin ini adalah beban yang ditanggung oleh seorang Luna…
Orang yang terpilih seperti aku…
Yang sengaja diciptakan sedemikian rupa agar tidak mempunyai hati ketika harus menghadapi musuh.
Yang terpaksa harus bersikap kejam ketika nyawamu ada di ujung tanduk.
Seketika itu, sebuah kilasan muncul sekelebat di depan mataku. Sebuah memori yang tiba-tiba muncul. Bayangan akan darah yang hampir membasahi semua tubuhku.
Darah dan juga tubuh orang-orang yang tergeletak tak bernyawa. Aku berdiri tengah-tengah mereka, memandang tubuh itu hampa.
Sebuah kenangan yang tidak ingin kuingat, yang selalu memberiku mimpi buruk.
Tubuhku langsung kaku, jantungku berdetak tidak karuan. Nafasku mulai terasa berat. Sial, rasa panik mulai menyerang diriku. Ingatan akan orang-orang yang terpaksa kubunuh selama ini mulai menghantuiku, berusaha menarikku ke dalam lubang hitam. Aku harus keluar dari tempat ini sebelum sesuatu yang menakutkan menghancurkan tempat ini.
“Lucya?” Qhaira menyadari perubahan wajahku. “Kau tidak apa-apa, Lu? Tenanglah… semuanya tidak apa-apa. Kau akan baik-baik saja,” katanya berusaha memahami. Aku merasakan kedua tanganku digenggam oleh Qhaira dengan erat, berusaha menarikku kembali ke dunia nyata.
Aku tersenyum tipis. Menyadari bahwa pemilik kedua tangan yang menggenggam tanganku inilah alasanku selama ini untuk bertahan dari penyiksaan ini.
Sejak hari itu, rasa panik mulai menyerangku. Mulai merayap masuk ke dalam mimpi hingga membuatku sulit tertidur. Biasanya aku menghilangkan perasaan ini dengan merenung dalam kegelapan. Mencoba sembunyi dari kenyataan yang ada.
Yang perlu kulakukan adalah meyakinkan Qhaira bahwa aku baik-baik saja.
Aku akan baik-baik saja.
Tidak ada hal yang perlu ditakutkan.
“Aku tahu.” jawabku seperti biasa. “Aku hanya ingin melihat keadaanmu, apa kakimu masih sakit?”
Kulihat perban yang melilit lutut sebelah kanan adikku. Sepertinya dia baru saja menggantinya. Karena keputusan bodohku, Qhaira harus terpaksa kehilangan kemampuan berjalannya. Lututnya cedera ketika kami mencoba untuk melarikan diri dari institut para Luna. Saat itu Qhaira yang tidak kuat berlari setelah menempuh berpuluh-puluh jarak menuju hutan lebat sampai dia akhirnya terpeleset dan terjatuh. Para prajurit Luna tentu saja akhirnya menemukan kami, dan sejak saat itu mereka membatasi setiap gerakanku.
Tapi tenang saja, itu sudah cerita masa lalu. Sekarang aku sudah tidak bisa lari lagi dengan kondisi Qhaira yang sekarang aku sudah terlanjur berjanji dengan mempertaruhkan nyawa adikku.
Aku harus setia atas nama Luna.
“Kakiku sudah tidak sakit lagi selama aku tidak terlalu sering memforsirnya.” Qhaira tersenyum ceria. “Aku harus kembali ke dapur untuk membantu Rizel. Saat ini kondisi hatinya sedang buruk.”
“Kau terlambat datang lagi, yah?” tuduhku langsung. Qhaira memang punya kebiasaan masuk telat. Dia memang tidak bisa bangun pagi.
Qhaira tertawa singkat. “Tentu saja tidak. Dia protes karena aku terlihat cantik dan itu akan mengakibatkan kedai ini ramai karena semua pria terpesona kepadaku.”
Aku mendengus geli. Suaranya Qhaira terdengar begitu percaya diri ketika bercanda. Kami berdua tertawa sampai tidak memperhatikan suara batuk seseorang yang sengaja dibuat. Aku dan Qhaira menoleh dan mendapati sang pemilik kedai Aira sedang bersandar santai sambil melipat kedua tangannya di meja kasir.
“Apa aku mengganggu perbincangan kalian, nona-nona?” Rizel langsung menatap Qhaira setelah tersenyum singkat kepadaku. “Dan kau Qhaira, kukira kau keluar karena ingin melayani tamu, ternyata malah asyik bersantai dengan kakakmu, yah. Bersiaplah untuk lembur, nona.”
“Eh?! Kenapa aku harus lembur lagi? Kemarin aku sudah lembur, kakiku sudah kelelahan, master.” seru Qhaira pura-pura merengek.
Aku tahu Rizel tidak bersungguh-sungguh ketika menyuruh Qhaira untuk lembur. Pria itu tahu tentang kondisi kaki adikku, dan juga sebenarnya Rizel adalah pria yang baik. Dia adalah salah satu orang yang tidak takut berada dekat dengan kami.
Yah, lebih tepatnya denganku. Rizel menganggap kami berdua seperti adik kandung, mungkin karena adik Rizel meninggal ketika masih kecil karena sebuah penyakit. Untuk mengenang adiknya pria itu bahkan mendirikan sebuah kedai kopi dengan memakai nama adiknya.
Mungkin Rizel mempekerjakan Qhaira karena kemiripan dia dengan Aira. Rizel pernah berkata kepadaku Aira juga dulu begitu cerita seperti Qhaira, dan mungkin jika Aira masih hidup, dia akan seperti Qhaira. Tumbuh menjadi gadis yang bersinar, yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangi dan melindunginya.
Sangat bertolak belakang denganku.
Jika Qhaira diibaratkan dengan sinar senja yang menenangkan hati, maka aku adalah awan hitam yang selalu memberikan teror angin malam.
Suasana hatiku kembali buruk. Mungkin bukan waktunya untuk menikmati kopi susu hangat, aku harus pergi ke tempat itu.
Tanpa sadar aku berpamitan dengan Qhaira dan Rizel dan mulai melangkah menuju hutan yang berada di luar distrik Veclana.
Saat itu aku tidak sadar bahwa aku akan bertemu dengannya…
.
Chapter 1 – end –
.
a little note : Kalau ada typo atau ceritanya jelek mohon dimaklumi yah…
Cerita ini aku update ga sesuai jadwal… jadi tergantung mood dan waktu luang aja.
Terima kasih buat teman2 yang sudah membawa cerita sebelumnya. Semoga tidak mengecewakan. ^^
Cerita ini hanya fiksi belaka. Sejarah yang ada didalam cerita ini itu murni cuma karangan ngawur saya. Maklum, sedikit terobsesi sama sejarah mitologi yunani #abaikan
Enjoy~ :)
Bidadari Hujan (short story)
5 Maret 2017 in Vitamins Blog
Bidadari Hujan
.
.
Dunia saat malam hari, nuansanya jauh lebih indah dua kali lipat dari pada siang hari. Gemercik air dingin yang turun dari langit, membasahi setiap titik tanah, bersama dengan seluruh kehidupan yang ada di sana. Di sanalah, aku bertemu sang bidadari hujan. Dia begitu cantik, saat seluruh tubuhnya terbalutkan air seakan menjadi pengganti baju hitam polosnya yang basah dan menyelimutinya. Rambut hitam polos yang turun karena setiap percikan air yang turun, rasanya begitu indah.
Aku mengamatinya—dari kejauhan, sedikit heran mengapa wanita cantik itu tidak peduli dengan keadaan dirinya yang basah kunyup dan malah menikmati setiap tetes hujan yang mengotori dirinya. Pancaran bulan purnama seakan berubah menjadi sorot lampu untuk menerangi pesona wanita itu, begitu indah, begitu takjub, begitu ajaib.
Semuanya rasanya seperti sebuah layar yang memaparkan keindahan seorang dewi. Begitu mendebarkan sekaligus menyesatkan yang tanpa sadar membuatku terus memperhatikannya. Kedua mata ini rasanya tidak mau melihat ke arah yang lain—hanya melihat gadis itu termenung di tengah-tengah kerumunan orang-orang dan hujan.
Dulu, aku benci hujan, karena setiap genangan airnya mengingatkanku akan kejadian yang tidak ingin kuingat. Namun, sejak aku bertemu dengan bidadari hujan itu, entah kenapa secara mengagumkan penilaianku terhadap hujan berubah. Sekarang aku menikmati setiap air yang menetes membasahi tanganku, hatiku nyaman saat suara gemuruh terdengar begitu merdu di kedua telingaku, suaranya terdengar bagai alunan merdu yang bisa menentramkan hati. Kini, aku percaya, sejak aku bertemu dengan bidadari itu, hari-hariku bagai terasa dipenuhi oleh keajaiban. Semua hariku terasa begitu santai dan menyenangkan, tidak ada kehidupan membosankan yang biasa selalu aku lalui dengan keluhan.
Aku ingin berkenalan dengannya, aku tidak ingin hanya memandangnya dari kejauhan, aku ingin dia mengenalku seperti aku mengenalnya. Aku ingin menjadi sahabatnya, mempelajarinya mengapa ia mempunyai pesona alami begitu indah, aku ingin mendengar suaranya saat memanggil namaku, mungkin itu akan jauh lebih indah daripada hanya sekedar gemuruh air hujan.
Isi kepalaku melayang, membayangkan hal-hal tersebut terjadi, mungkin rasanya akan menyenangkan. Aku tertawa dalam hati, tanpa menyadari bidadari itu sadar kuperhatikan dan balas menatapku.
Dan, saat itu, rasanya dunia berhenti berputar.
Ia tersenyum, senyuman begitu manis, begitu memikat. Senyuman tulus yang terpancar langsung di celah bibir mungilnya. Ya ampun, ternyata senyuman aslinya jauh lebih manis dari yang kubayangkan. Sadar karena diperhatikan dan terlalu malu untuk mengakui semua perbuatan yang kulakukan, kupalingkan arah pandanganku secara acak, berusaha mencari-cari alasan agar gadis itu tidak menertawai perbuatanku. Sedikit curi pandang ke arahnya, kulihat dia tersenyum geli melihat tingkahku, dan lagi-lagi, waktu terasa berhenti, dunia berhenti berputar, dan keadaanku seakan-akan beku hanya dengan seulas senyumannya yang mempesona.
Hujan turun semakin deras, aku berusaha membalas senyumannya dengan senyuman canggungku, ia menerimanya. Kami kembali berpandangan—tidak ada satu pun dari kami yang mulai berjalan mendekat—hanya diam, tanpa mengeluarkan suara—hanya berupa senyuman canggung. Kuperhatikan sekeliling kami, orang-orang masih sibuk berlalu-lalang, melewati kami berdua, tidak peduli pada keadaan sekitar mereka, berusaha mencari tempat berlindung dari genangan hujan, melanjutkan kegiataan mereka walau dengan setengah hati.
Tanpa sadar kulangkahkan kedua kakiku, kudekati dirinya tanpa peduli dengan keadaan hujan yang nantinya akan membasahi diriku. Bola mata hitam yang menatapku rasanya seperti sebuah magnet yang menarikku untuk mendekat, semakin dekat, semakin mempersempit jarak di antara kami. Dan akhirnya, aku berdiri tepat di hadapannya. Senyumannya terlihat semakin dekat, semakin nyata. Ini bukan mimpi di malam hari, inilah kenyataan yang begitu mengagumkan, sampai membuat debar jantungku berdetak begitu cepat.
“Wajahmu merona,” suaranya menggema begitu indah di gendang telingaku. Ia menertawai tingkahku, membuatku semakin malu karena kelakuanku.
Kutundukkan wajahku, berusaha menyembunyikan wajahku yang semakin memerah. Ia semakin tertawa, entah apa yang membuatnya geli, tapi tindakannya malah membuatku semakin terlena menatapnya. Terus menatapnya.
Tuhan, apa yang Kau pikirkan saat menciptakan wanita ini, mungkin ia adalah satu dari puluhan manusia ciptaanMu yang paling sempurna. Dia terlalu sempurna di mataku. Dia. Seorang wanita yang selalu kutemui bersama serpihan hujan, bersatu di dalamnya. Sang bidadari hujan.
Ia masih tertawa, kemudian kembali berkata, “Kau ini yang selalu memperhatikanku dari sana,” katanya sambil menunjuk sebuah kedai kecil di belakangku, tempat yang paling tepat untuk memperhatikan. Dan seperti yang kuperkirakan sebelumnya, ia sadar dengan keberadaanku, tindakanku, tatapanku saat menatapnya. Ia tahu dan ia tertawa, tidak marah atau risih, tapi malah terasa nyaman?
“Kau tidak keberatan?” tanyaku ragu, sedikit penasaran.
Ia menggeleng, “Tidak.”
“Apa kau senang hujan-hujanan?” kuberanikan diri untuk bertanya, pertanyaan yang dari dulu selalu berkelana di dalam kepalaku setiap kali melihatnya, “Kau senang berada di bawah hujan?”
Gadis itu menjawab dengan senyuman, tidak ada jawaban yang dapat menyaingi senyuman bidadarinya itu, rasanya itu sanggup membungkam mulutku untuk tetap bertanya. Semenit kemudian, bibirnya terbuka untuk mengeluarkan kata, “Aku selalu merasa diriku adalah bagian dari hujan, mungkin itu sebabnya…”
Wajahnya tersipu malu saat mengatakan itu, tangannya mengacak pelan rambut hitamnya yang basah, tindakan yang terlihat begitu manis. Jawabannya terdengar seperti gurauan, tapi entah kenapa aku percaya itu adalah kata-kata tulus yang ia ucapkan. Aku percaya mendengarnya, kedua mataku yang terus memperhatikannya juga mempercayainya. Gadis ini adalah bagian dari hujan. Tidak! Gadis ini-lah yang membuat hujan begitu bercahaya, di bawah sinar bulan yang terang, berpadu dalam symphony merdu di malam hari.
“Apakah jawabanku aneh?” tanya gadis itu.
Aku menggeleng pelan, “Tidak,” menurutku sama sekali tidak aneh, “aku juga berpikir seperti itu saat melihatmu.”
“Kau senang dengan hujan?” tanya gadis itu ramah, matanya lurus menatap raut ekspresiku yang gugup. Hitam pekat seakan menyatu dengan nuansa malam, mengagumkan.
“Akhir-akhir ini,” jawabku seadanya, “dulu aku tidak terlalu suka dengan hujan.”
“Kenapa bisa suka?”
Karena dirimu… aku tidak bisa menjawab dengan pernyataan itu, terlalu malu untuk jujur kepadanya. Kulayangkan senyuman tipisku dan kemudian menjawab, “Aku merasa tenang setiap kali mendengar suaranya.”
“Aku juga!” seru gadis itu setuju. “Saat pertama kali aku melihat dan mendengarkan air hujan menari, aku merasakan ketenangan, seluruh pikiranku kosong, benar-benar rasanya seperti di bawa ke dunia lain. Mungkin sejak saat itu, aku merasa aku adalah bagian dari hujan.”
Dia—sang bidadari hujan—menutup matanya, wajahnya mendongak ke atas, menerima setiap terpaan air hujan yang turun, dengan tersenyum. Aku perhatikan, lebih dekat, semakin terlihat bercahaya. Tanpa sadar aku mengikuti tindakannya, kulakukan seperti yang dia lakukan, penasaran apa enaknya melakukan hal itu. Kedua mataku menutup sambil terangkat ke atas, menghadapi langit hitam dengan peluru air hujan. Kurasakan wajahku dingin diterpa air, rasanya semua beban yang ada di dalam kepalaku kosong seketika, aku merasa seolah-olah mengambang di antara gravitasi bumi, seakan berada di dunia lain.
Oh, jadi ini rasanya berdiri di bawah air hujan—seperti yang selalu dia lakukan.
“Menyenangkan, bukan?” sebuah suara tertangkap oleh telingaku, gadis itu sedang bertanya kepadaku bagaimana rasanya.
Sangat… tenang dan nyaman…
Saat kubuka kedua mataku, kembali menoleh ke arahnya, dia sudah tersenyum kepadaku, kemudian kembali bertanya. “Siapa namamu?”
“Taku.”
“Nama yang unik.”
Benarkah? Aku memang merasa nama ini berbeda dari nama orang lain. Tapi aku tak menyangka dia akan bereaksi sebaliknya.
“Siapa namamu?” kuberanikan diri untuk bertanya, dengan ini aku sudah melangkah lebih maju untuk dekat dengan gadis ini.
“Sharoin,” matanya begitu jernih menatapku, “Salam kenal,” ia mengulurkan tangannya ramah.
“Namamu juga unik,” baru kali ini aku mendengar sebuah nama yang aneh sekaligus menarik. Dan saat kulihat reaksinya, dia sama sekali tidak tersinggung. Tanganku menyambut tangannya, kulitnya terasa begitu lembut di telapak tanganku yang besar dan kasar, meskipun basah.
“Aku tahu, dan aku bangga dengan nama itu,” ucapnya penuh percaya diri.
Dia—sang bidadari hujan—yang kini kuketahui bernama Sharoin, adalah seorang gadis manis yang begitu ramah dan ceria. Pesonanya begitu alami, tidak dibuat-buat, dan itu membuat hatiku selalu nyaman berada terus di sisinya. Walau kami hanya baru sekali bertemu dan berbicara tidak lama, Sharoin memperlakukanku seperti teman lama yang baru di temuinya setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Perlakuannya membuatku nyaman, dan hatiku semakin bergetar tidak karuan. Suaranya saat berbicara, senyuman yang tersungging dari bibir sensualnya, benar-benar membuatku terpana kepadanya.
Mungkin setelah kami saling mengenal lebih jauh di bawah hujan ini, Sharoin mulai tertarik dan menganggapku sebagai temannya?
“Sebentar lagi hujan mulai reda,” suaranya membuyarkan lamunanku, membuatku mengamati keadaan atas dan melihat serpihan hujan mulai menurun, mungkinkah akan ada pelangi di malam hari? Semoga keajaiban tetap terjadi seperti sekarang.
“Apa kau suka kopi hangat?” aku tidak ingin ini berakhir. “Aku tahu kedai kopi yang enak.”
Sharoin tersenyum, begitu lembut, “Aku sangat suka minum kopi.”
Kami berjalan beriringan, tidak peduli dengan pandangan orang-orang yang melihat keadaan kami, aku sudah memutuskan untuk mengenalnya lebih dekat. Seorang bidadari yang selalu muncul saat hujan di malam hari. Dia adalah Sharoin, seorang wanita berambut hitam pekat yang begitu serasi dengan rembulan, seseorang yang mempunyai senyuman terindah yang pernah kutemui seumur hidupku, rasanya aku benar-benar bersyukur karena hujan. Kebencianku pun sirna seutuhnya, terima kasih untuk Sharoin, seorang malaikat entah dari mana yang bisa menyinari hari-hariku yang kelam.
Mungkin suatu hari ini, aku akan menyesal karena pernah mengenalnya, atau mungkin suatu hari nanti, aku akan menangisi kepergiannya, tapi hanya untuk hari ini saja, biarkan senyumanku mengambang indah, menemani setiap langkah kami berdua yang berjalan menuju tempat yang hangat, saling berbagi kisah, tentang kami berdua…
– The End –
Sedikit note :
Salam kenal buat di teman-teman diweb ini ^^ saya coba publish cerpen yang udah saya buat bertahun2 yg lalu. Mohon dimaklumi jika ada kesalahan penulisan dan kekurangan lainnya.
P.S : Kalau kalian pernah merasa baca cerita ini, berarti anda adalah salah satu teman saya di FB :D #pede
Kritik dan Saran sangat diterima… Happy reading :D
Prologue – The Broken Mask –
5 Maret 2017 in Vitamins Blog
Hari itu aku masih ingat sedang turun hujan. Petir menyambar begitu hebat, suaranya memekakkan telinga. Getarannya begitu terasa seakan mengguncang gubuk yang saat ini kami tinggali. Kulihat adik kembarku memeluk lenganku erat, takut akan petir yang masih membawa di luar sana. Malam ini waktu terasa berjalan lambat, bahkan suara petir semakin lama terdengar begitu kencang.
Aku mengusap kepala saudariku, mencoba menenangkannya. Adikku–Qhaira–memang takut dengan suara petir. Rasa takut itu muncul karena sebuah trauma masa lalu yang sampai sekarang terpatri di dalam hatinya.
“Aku takut, Lucya…” rintih Qhaira hampir memangis.
Kulirik dari arah jendela, hujan terlihat semakin deras bersama dengan sambaran petir yang hebat. Deru angin seakan berusaha untuk mendorong paksa jendela kamar yang terbuat dari kayu itu untuk terbuka. Seakan mencoba menakut-nakuti kami.
“Tenanglah Qhai,” aku berbisik pelan, mencoba menenangkan. “Sebentar lagi hujan akan segera reda.”
Qhaira masih menutup mata, masih belum berani melihat sambaran petir yang semakin menghantuinya. Debaran jantungnya berpacu dengan cepat, membuat nafasnya tersengal.
Tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain memeluk erat tubuh gemetar adikku ini. Aku tidak terlalu takut sepertinya, bagiku sudah biasa berhadapan dengan hujan badai pada pertengahan tahun.
Namun harus kuakui. Hujan kali ini berbeda dengan hujan-hujan sebelumnya. Percikan air itu seakan memberikan suatu pertanda.
Pertanda buruk…
Brak!
Kami berdua menoleh ketika mendengar pintu kamar kami dibuka secara paksa. Kulihat kedua orang tuaku menghampiri tempat tidur kami. Aku mengerutkan kening, raut wajah Ayah dan Ibu terlihat aneh.
“Ayah, Ibu, ada a–”
Pertanyaanku terhenti ketika Ayah langsung menarik Qhaira keluar dari tempat tidur. Aku tidak pernah melihat Ayah setegang ini, begitu juga dengan Ibu.
“Aduh!” Qhaira merintih kesakitan karena Ayah menarik lengannya begitu kasar. “Ayah, kenapa menarikku seperti ini?”
Aku mengamati ayah dengan heran. Ayah benar-benar terlihat berbeda dari biasanya, lalu kualihkan menatap Ibu. Baru kali ini aku melihat Ibu benar-benar ketakutan.
Sebenarnya apa yang terjadi?
Ada apa dengan mereka?
“Kecilkan suaramu, Qhaira!” Pinta Ayah tegas, gerakannya begitu terburu-buru. Setelah menyerahkan Qhaira ke tangan Ibu, Ayah berkata kepadaku. “Bangun dari tempat tidurmu, Lucya. Kita harus segera pergi dari sini.”
Aku menuruti perintah Ayah dengan bingung. “Kenapa kita harus pergi dari sini? Diluar sana masih hujan…”
“Ayah tidak ada waktu menjelaskannya. Pokoknya kita harus bergegas!”
Tanpa basa-basi lagi Ayah langsung menarik lenganku dengan cepat. Genggamannya sedikit menyakitiku. Gelagat mereka begitu aneh. Tiba-tiba saja memerintahkan kami berdua untuk ikut dengan mereka meninggalkan rumah kecil yang sudah kami tempati selama yang kuingat.
Hanya bermodalkan jas hujan yang Ayah dan Ibu pakaikan secara asal, kami pun keluar dari rumah. Berusaha meninggalkannya sejauh mungkin, bersatu dengan deru hujan badai yang semakin lebat. Berusaha menembus hujan yang mulai membutakan penglihatan.
Wajahku diterpa air hujan yang turun begitu cepat. Terasa dingin dan menyakitkan. Namun kami terpaksa mengikuti langkah kaki Ayah dan Ibu yang bergerak cepat.
Entah sudah berapa jauh kami berjalan meninggalkan rumah. Tampaknya hujan masih setia mengiringi langkah kaki kami. Aku berusaha fokus menatap ke depan, ke jalanan yang terlihat gelap karena bulan sedang bersembunyi malam ini. Dan tanpa kusadari langkah kami semua terhenti.
Aku menatap Ayah bingung. Wajah Ayahku terlihat ketakutan ketika menatap sesuatu di depannya. Aku mengikuti arah pandang Ayah, tampak siluet berpakaian putih.
Hari itu, dibawah guyuran hujan. Untuk pertama kalinya aku merasakan teror. Perlahan ingatanku di hari itu memudar, tergantikan oleh mimpi buruk yang selalu datang ketika hujan turun.
Kematian Ayah dan Ibu…
Qhaira yang terpaksa kehilangan kemampuan untuk berjalan normal…
Dan juga… kekuatan aneh yang menjadi kutukan yang harus kutanggung seumur hidup…
Sejak hari itu… Ketika untuk pertama kalinya aku mendengarkan siluet putih itu membisikkan sebuah kata yang mengubah takdirku.
“Mulai hari ini kau dan adikmu adalah bagian dari Luna…”
.
.
– Prologue- End
a little note :
Terinspirasi dari The Hunger Games dan Romeo & Juliet.
Kritik dan Saran sangat diterima…
Cerita ini murni hasil imajinasi yang ga sengaja datang pas lagi hujan.
Enjoy~ :)