Cut! Prolog

14 April 2018 in Vitamins Blog

Love it! (No Ratings Yet)

Loading…

# Prolog

***

 

Impian semua wanita, terutama yang umurnya sudah menginjak kepala ‘tiga’, yaitu… ‘pernikahan’.

 

Umur 32 bukan lagi terbilang usia muda, yang akan memberi banyak kesempatan dalam memilih pasangan. Namun, apa daya bila wanita itu lebih mencintai pekerjaannya, dibandingkan harus bangun pagi dan menemukan wujud seorang pria tengah memeluk pinggangnya di sebelahnya.

 

Seorang wanita dan asistennya duduk di bawah payung parasol, sambil mengawasi lewat monitor kecil di hadapannya dengan ekspresi serius. Wanita berambut keriting medium yang mengenakan kaos bermotif tulisan ‘You’ll die’ itu tiba-tiba berdiri, dan memegang megafon-nya seraya berteriak, “Cut! Cut! Cut!”

 

Bodoh! Dia ini artis profesional atau kacangan?! Berakting menangis saja tidak becus! Ucap sutradara wanita itu bergema di dalam benaknya. Ia tidak bisa asal mengeluarkan kata-kata makian pada orang lain, bila ingin pekerjaannya cepat selesai, atau masalah baru akan bertambah. Tahu, kan, orang lain juga punya hati? Kalau tidak mampu menyesuaikan dengan keinginan sutradara, maka mau tak mau, sutradara itu sendiri yang harus turun tangan memberi contoh.

 

Namanya adalah Im Seo Jin, telah bekerja sebagai sutradara selama lima tahun, dan membuat namanya tak luput dari daftar nama sutradara terbaik dalam beberapa tahun terakhir. Setiap drama percintaan yang disutradarainya, mampu melebur perasaan penonton, dan menyebabkan efek samping berupa tangisan tak tertahankan. Rating dramanya juga setiap hari meningkat, terutama penggemarnya dominan adalah ibu-ibu rumah tangga yang seharinya berada di rumah.

 

“Begini ya caranya… Myeong-ssi,” ucap Seo Jin yang dipaksakan melembut, daripada membuat artis pemenang penghargaan ‘pendatang baru wanita terbaik’ satu ini merengek manja di lokasi syuting.

 

“Buat kedua tanganmu begini.” Seo Jin mulai memberi arahan, sembari mengepal kedua telapak tangannya.

 

“Kemudian, taruh di bawah mata.” Myeong mengikuti arahan Seo Jin, biarpun ia merasa sedikit aneh dengan cara Seo Jin mengajarinya.

 

“Dan ucapkan, hiks… hiks… hiks, sambil tutup kedua kelopak matamu, dan goyangkan kepalan tanganmu layaknya gwiyomi,” lanjut Seo Jin, selesai memperlihatkan cara menangis yang dia inginkan.

 

“Ingat dengan skenario kalian. Yang pertama menampar adalah Myeong. Myeong akan menampar ayah tirinya saat dia mendapati ayahnya selingkuh di dalam rumah ibunya; kemudian selingkuhan ayahnya menampar balik Myeong, karena kurang ajar; lalu, ayah menampari ibu Myeong, karena tidak bisa mendidik anak dengan benar; diakhiri dengan ibu Myeong menampar selingkuhan suaminya, karena telah menjadi parasit dalam rumah tangganya. Mengerti, semua? Jangan asal menampar ok?!”

 

Sebab, jika asal menampar, maka akan menyebabkan rating dramaku menurun. Kalau sampai terjadi… akan kuhabisi mereka.

 

**

 

Sebuah layar besar di dalam bioskop tengah menyala di dalam kegelapan, dan menampilkan banyak adegan kekerasan dalam sebuah film thriller terpopuler saat ini.

 

Sebagian besar penonton menutup mata mereka masing-masing, tidak sanggup menyaksikan hal gila yang ditampilkan pada layar besar itu. Adegan dimana sebuah XXX dimutilasi oleh pencurinya. XXX dibagi menjadi beberapa bagian, lalu XXX difermentasikan dan dimasukkan ke dalam sebuah tabung kaca. Sedangkan, di atas sebuah rak besar, telah berjejer beberapa tabung kaca, berisikan bagian organ-organ hewan hasil malapraktik.

 

Wanita itu menyantap popcorn caramel-nya dengan rakus, seakan dia sedang menonton drama percintaan yang amat menggebu. Tangannya tak berhenti bergerak, menyalurkan biji popcorn ke mulutnya. Matanya yang bulat tak berkedip sama sekali, ketika memasuki adegan mutilasi.

 

Oh my God!” serunya, dan tangan yang satunya mencari gelas kertas berisikan minuman bersoda.

 

Pria di sebelahnya menggelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sahabatnya, Jang Yoo Jin mungkin seorang psikopat, makanya dia tersenyum penuh hikmat saat melihat adegan gergaji membagi XXX itu menjadi beberapa bagian.

 

Setelah film selesai diputar, satu-persatu orang keluar dari ruangan besar kedap suara, melalui sebuah pintu exit.

 

“Kau lihat adegan yang tadi?! Luar biasa, sampai sekarang aku tidak menyangka yang kutonton tadi cuma sebuah film!” Yoo Jin terkagum-kagum, dan wajahnya bersinar bahagia setelah mereka keluar dari ruang bioskop. “Akting mereka cemerlang, bahkan suasana di film itu terasa amat mencekam. Lihatlah, bulu romaku sampai berdiri, padahal tadi bukan film hantu loh.”

 

Pria itu terdiam sesaat, tidak tahu harus merespon bagaimana. Seakan jiwanya hampir melayang, pria itu melihat Yoo Jin dengan tatapan kosong.

 

“Hei, kau kenapa?”

 

“Gara-gara kau memaksaku… hooo…” Pria itu berusaha menahannya. Dia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Selama film diputar, hampir setengahnya ia habiskan dengan menutup mata. Jujur saja, ia bukanlah pria yang berani menonton adegan kekerasan seperti tadi, dan justru membuatnya terus kepikiran dengan usus yang terbuyar.

 

“Ya! Kau kenapa?” Yoo Jin berubah menjadi cemas, melihat wajah temannya yang memucat.

 

Tidak tahan lagi, pria itu langsung berlari ke toilet, dan memuntahkan cairan dari mulutnya ke dalam kloset.

 

Sial! Kenapa juga aku harus ditipu, dan ikut bersama wanita psikopat satu ini! Pria itu membatin, lalu mengambil sapu tangannya untuk mengelap bibirnya.

 

**

 

‘Pernahkah kau bayangkan,

Langit gelap nan luas tanpa bintang?

Seperti itulah jemunya malamku tanpamu.

 

Pernahkah kau bayangkan,

Langit siang tanpa terang?

Seperti itulah gulitanya hidupku tanpamu.’

 

Bagaikan sebuah mesin penghasil kata-kata indah, maka di setiap waktu yang tepat, sebuah rangkaian kalimat puitis dan romantis dihasilkannya dengan mudah.

 

Bibirnya tipis dan merah merona; wajahnya kecil bagaikan boneka; rambut halus, panjang dan ikal; kelopak matanya yang lebar; bola mata yang berbinar; kulit putih mulus dan awet muda; serta tubuhnya mungil, bagaikan anak kecil yang meminta perlindungan.

 

Yang Hye Ri tengah berjalan melewati sepanjang koridor universitas, menuju ruang kelasnya. Diam-diam semua mata pria yang tersebar di sana hanya tertuju padanya, bahkan pria yang sudah memiliki kekasih-pun tak luput menghindarkan pandangannya dari Hye Ri.

 

“Ya! Kau lihat kemana hah?!” seorang wanita memukul kekasihnya, setelah memergoki prianya melirik wanita lain yang jauh lebih cantik.

 

Merasa begitu banyak pandangan mengarah padanya, dengan tergesa-gesa Hye Ri berjalan melewati mereka semua.

 

Hye Ri yang cantik sadar, kalau orang-orang sering melirik ke arahnya. Biasanya, wanita pada umumnya senang bila diperhatikan dan dikagumi, namun tidak bagi Hye Ri. Ia bukannya senang, justru lirikan mata mereka membuatnya merasa terganggu.

 

Bruk!

 

Tidak sengaja Hye Ri yang tengah menundukkan kepala, menubruk seseorang saat berjalan cepat. Buku yang digendong Hye Ri-pun terjatuh, dan berhamburan di atas lantai.

 

Mereka berdua bergegas berjongkok. Hye Ri mengumpulkan buku yang terjatuh di sekitarnya, sedangkan orang itu membantu Hye Ri mengambil buku yang jarak jatuhnya cukup jauh.

 

“Maaf, aku tidak melihat ke depan tadi. Apa kau baik-baik saja?” tanya Hye Ri khawatir.

 

“Aku baik-baik saja. Kau?” tanya orang itu balik.

 

Hye Ri mematung sesaat, saat melihat tatapan orang itu. Tatapan orang itu… sungguh berbeda.

 

Orang itu heran tidak mendapat respon dari Hye Ri, dan Hye Ri justru melongo menatap wajah pria itu. Apakah ada yang aneh dari wajah pria itu?

 

Dilambaikan tangannya di depan wajah Hye Ri, dan seketika wanita itu sadar dari lamunannya. Perasaan deg-degan tercipta mendadak, membuat Hye Ri menjawab dengan gugup. “Ah, ya, ya. A– aku tidak apa-apa…”

 

Matahari terbit dari ufuk timur,

Bunga sakura tumbuh di musim semi,

Perasaan deg-degan timbul,

Saat kedua pasang mata saling memandang.

 

“Baguslah. Lain kali lebih hati-hati ya.” Pria itu melambaikan tangannya sekali lagi, sebelum berjalan meninggalkan Hye Ri.

 

Jantung Hye Ri berdetak lebih cepat dari biasanya. Pipinya tiba-tiba bersemu merah. Seulas senyuman mengembang di bibirnya. Oh, tidak. Pria itu berhasil menebarkan kelopak bunga di dalam hatinya.

 

**

 

Di dalam sebuah ruangan yang terkesan mewah bertaburan lampu kristal, telah berkumpul beberapa anak dari kalangan borjuis sedang menikmati wine.

 

Acara reuni yang dirayakan setahun sekali, mengumpulkan mereka yang dulu pernah satu sekolah. Tentunya semua berasal dari salah satu sekolah elit yang sama, dan ternama di Seoul.

 

Para pria dan wanita dipertemukan dalam acara tersebut, dan jika beruntung, yang masih lajang saat pulang akan mendapatkan pasangan.

 

Mereka terlihat akrab satu sama lain, dan bercengkrama dengan hangat, seakan telah melupakan jika dulu mereka sempat memiliki perselisihan.

 

Seorang wanita berpakaian seksi, memperlihatkan kakinya yang jenjang; memancarkan aura elegan di sekujur tubuhnya; sekaligus tampak kesepian, sedang duduk sendiri di sudut ruangan. Ia memutar gelasnya, membuat wine di dalamnya menari bagaikan pusaran.

 

Seakan ada pembatas di antara ia dan kawan-kawannya, membuat orang lain enggan untuk mendekatinya. Sampai…

 

Chae Ho Rang?” Terdengar sebuah suara maskulin menyebut nama wanita itu. Akhirnya, ada juga yang mau menyapa si wanita salju.

 

“Siapa ya?” tanya Ho Rang dengan tampangnya yang datar. Tiada sedikitpun senyuman yang terukir di bibirnya yang menawan.

 

“Kau sudah lupa denganku?”

 

Ho Rang meletakkan tangannya di bawah dagu. Sambil meneliti wajah pria itu, ia berusaha mengingat nama-nama teman sekolahnya.

 

Pria itu cukup terlihat asing bagi Ho Rang. Ia tampan, berpenampilan stylist dengan kemeja, serta suaranya terdengar lumayan berat. Namun, sayangnya Ho Rang tidak tertarik padanya.

 

Ada sebuah nama dan wujud yang telah dilupakannya sejak empat tahun lalu. Sebuah nama dan wujud, yang dimasukkan ke dalam kotak pandora, dan dikuburnya sedalam inti bumi.

 

Pria itu menyengir, tak percaya ia akan dilupakan semudah membalikkan telapak tangan.

 

Sengiran licik itu. Perlahan, Ho Rang mendapatkan sebuah petunjuk.

 

Ketika pria itu berniat menyebutkan namanya, “Namaku…”

 

Ho Rang langsung teringat siapa diri pria itu. “Kau!”

 

Refleks Ho Rang menyiram pria itu dengan wine-nya, dan menghajarnya secara membabi buta. “Manusia kurang ajar!”

 

Selama ini Ho Rang telah berusaha untuk belajar menjadi pribadi yang lebih kuat, walaupun hasilnya dia malah menjadi ‘gila dan nekat’.

 

Setelah sekian lama, yang telah ia nantikan akhirnya muncul! Sudah berkali-kali reuni diadakan, namun pria itu belum pernah datang sekalipun sebelumnya. Kini Ho Rang merasa puas, ia telah menyalurkan kekesalannya yang selama ini ia pendam.

 

Apa perlu kumatikan sekalian saja dia?

 

***

Love it! (No Ratings Yet)

Loading…

Cut! #3

14 April 2018 in Vitamins Blog

# 3

Sesi Curhat (Bag. I)

***

08.30 PM.

Tok Tok Tok Tok!!! Yoo Jin menggedor pintu di depannya dengan kejam. Ingin rasanya ia mendobrak pintu itu, agar orang yang sedang asyik sendiri di dalam kamar itu sadar, jika keponakannya masih sempat memperhatikan pola hidup bibinya yang amat kacau.

“Bibi! Sampai kapan kau di dalam?! Sudah hampir sehari, tapi bibi masih belum turun juga untuk makan!”

“Haiz, ribut sekali anak itu,” gerutu Seo Jin, tengah sibuk bermain game di komputernya. Asal tahu saja, Seo Jin bermain game bukanlah sekedar membuang waktunya secara sia-sia. Melainkan, ia bermain game simulator kehidupan, berniat menciptakan adegan dramatis untuk proyek drama selanjutnya.

Adegan dramatis yang dimainkannya dalam game kali ini menceritakan tentang kehidupan seorang pria playboy, yang sungguh banyak melakukan hubungan terlarang, bahkan dengan istri orang lain-pun dimakannya. Hingga suatu hari, dokter menyatakan pria playboy tersebut menderita kanker stadium akhir. Dengan akhir yang menyedihkan, sang pria akhirnya menemukan cinta sejatinya, namun ia hanya bisa melihat cintanya itu dari jarak yang sangat sulit dijangkau oleh seorang manusia.

“Menyedihkan sekali,” kata Seo Jin tersedu-sedu, tidak dapat menyembunyikan emosinya. Setetes air mata kebahagiaan berlinang dari sudut matanya, membasahi pipi Seo Jin yang belum dicuci sejak bangun pagi. “Kenapa imajinasiku begitu luar biasa?”

Tok Tok Tok Tok!!! “Ya! Bibi! Sampai kapan kau akan hidup seperti begini? Bisa-bisa bibi perawan seumur hidup loh!” Yoo Jin belum menyerah memaksa wanita 32 tahun itu, buat keluar dari oasisnya. Jika-pun bibinya tetap tidak keluar, maka sisa satu jurus jitu terakhir yang memiliki presentase 80%, yang ampuh membuat bibinya keluar tanpa berpikir panjang.

“Diam kau, bocah! Urus dirimu dan Seo Jun sana, sebelum dia direbut oleh wanita yang lebih normal darimu!” Yang benar saja, bibi tetap bertahan dan membalas telak Yoo Jin, sampai leher Yoo Jin tercekat, susah untuk menelan salivanya.

“Sudah kukatakan, kan? Kalau Seo Jun itu sahabatku!”

Sahabat? Benarkah? Wanita dan pria mana ada yang sahabatan. Batin Seo Jin meremehkan.

Yoo Jin menghela napas. Ia sudah tidak sabar lagi, dan sekarang waktu baginya untuk mengeluarkan jurus terakhir, yang digadang-gadang mampu membuat bibinya keluar bak orang stress yang sedang dikejar anjing gila.

“Bibi… ” Yoo Jin sengaja memperlambat ucapannya. “Kalau tidak keluar… akan kumakan… semua es-mu yang ada di kulkas!”

Apa?! Brak! Seketika Seo Jin bangkit berdiri, dan menutup laptopnya dengan sadis. Ia baru ingat, es yang ia beli kemarin, masih terpajang cantik di dalam kulkas.

Es-ku! Mata Seo Jin melebar, lalu berlari ke pintu bak orang gila, persis seperti yang dibayangkan Yoo Jin.

“Kau mau mati?” kecam Seo Jin, saat membuka pintu, bertatapan langsung dengan keponakannya.

**

Ho Rang berjalan pulang dengan lesu. Setelah masuk ke dalam rumah, ia melempar tasnya ke sofa.

“Aku telah melakukan kesalahan besar,” gumamnya lemah sembari berjalan menuju dapur.

Dibukanya kulkas, dan mengeluarkan sebuah botol wine yang masih tersegel. Di botol tersebut tercantum tahun pembuatannya, 1994. Semakin lama wine disimpan, maka kualitasnya akan semakin meningkat.

“23 tahun, wine ini pasti nikmat rasanya,” ucap Ho Rang, yang tidak pernah merasa tidak tega saat membuka botol wine setua apapun umur minuman mewah itu. Wine yang diberikan orang tuanya, sebagai hadiah ulang tahun ke-24 tahun ini, diteguknya langsung dari bibir botol hingga ia merasa puas.

Ho Rang tidak menyangka dua hari yang lalu ia telah memukul sumber musibah, yang kini tengah merancang sebuah permainan untuk mempermainkannya di babak kedua kehidupan.

Setelah kejadian menyesakkan yang pernah terjadi di masa lampau, akibatnya membuat Ho Rang tidak dapat tumbuh sebagai remaja pada umumnya. Kemudian, ditambah yang sekarang… sebentar lagi, ia mungkin tidak akan bisa menikmati masa dewasa yang menggairahkan.

“Pria bejat!” umpat Ho Rang kesal.

“Pria bejat? Maksudmu si Lee Joon?” tanya Seo Jin yang muncul mendadak di sebelah Ho Rang bagaikan hantu, dengan tangannya yang menjulur untuk membuka pintu kulkas pada bagian freezer, dan mengeluarkan sekotak besar es krim.

Ho Rang mengangguk berkali-kali, lalu meneguk wine-nya lagi. Melihat Ho Rang meneguk wine tanpa penghayatan, tangan Seo Jin menahan gerakan Ho Rang.

“Sayang sekali wine mahal itu, kau minum dengan cara murahan begitu. Berhentilah minum, dan gabunglah denganku makan es,” ajak Seo Jin, yang tumben mengajak orang lain ikut makan es bersamanya. Biasanya Seo Jin tidak membiarkan siapapun dapat menyentuh es-nya, walau hanya sekali sendok.

“Sekalian kita bahas masalahmu, bagaimana?” ajak Seo Jin sambil merangkul bahu Ho Rang, dan diam-diam ternyata ia memiliki maksud terselubung. Ok, aku siap mendengar ide adegan drama yang baru.

Yoo Jin yang juga menyusul masuk ke dapur, mendapati bibinya dan Ho Rang tengah menikmati es bersama. “Ya, bibi! Kau mengajaknya makan es, sedangkan keponakanmu kau telantarkan?!”

“Khusus hari ini, aku mengajak Ho Rang.”

“Bagaimana denganku?” tanya Yoo Jin dengan wajah memelas.

“Kau? Siapa?”

“Jahat! Bibi jahat!” bentak Yoo Jin, kemudian merengek memohon pada bibinya. “Aku juga mau es krim bibi. Bibi, kumohon…”

Tidak tahan mendengar rengekan Yoo Jin yang semakin menjadi-jadi, dengan terpaksa Seo Jin menyetujui permintaan keponakannya. “Hanya tiga sendok.”

“Bagus! Tiga sendok super besar!” seru Yoo Jin secara sepihak menambah ucapan Seo Jin, lalu berlari keluar dari ruang makan

“Ya! Katanya mau makan es!” teriak Seo Jin, kemudian ia teringat masih ada seorang lagi di rumah ini. Yoo Jin, ia pasti akan memanggil satu orang itu untuk ikut menghabiskan es miliknya.

“Yoo Jinnn! Jangan berani kau…” Belum sempat menyelesaikan teriakannya untuk melarang, Yoo Jin sudah terlebih dahulu meneriakan namanya Hye Ri.

Ranjau bersembunyi,
Musibah tidak terduga.
Sebab yang ditanam,
Akibat siap dituai.

“HYE RIIIIIII! TURUN!” panggil Yoo Jin menggelegar, terdengar sampai di kamar Hye Ri.

Hye Ri yang sedang menulis indah kalimat puitisnya, dengan setiap goresan penuh kehati-hatian di atas kertas, tiba-tiba melenceng ke arah yang salah setelah mendengar teriakan melengking ala Yoo Jin.

Ya ampun! Kelopak mata Hye Ri melebar, saat melihat kekacauan yang terjadi di atas kertasnya.

Kenapa sih pakai berteriak segala? Gerutu Hye Ri dalam hati. Nyatanya, Hye Ri juga seorang manusia biasa, yang juga bisa merasa kesal. “Ada apa?”

“Bibi mengajak makan es krim!”

Anak satu ini! Erang Seo Jin dalam hati. Tamatlah sudah riwayat es krimnya malam ini.

**

Pukul 12.00 siang. Waktunya bagi staf kantoran untuk beristirahat.

“Seo Jun, ayok makan siang bersama,” ajak Yoo Jin sambil merentangkan tangannya, dan melemaskan otot-ototnya yang kaku.

“Tidak bisa,” jawab Seo Jun singkat tanpa menoleh ke Yoo Jin, sedangkan seluruh jiwa dan raga pria itu tertuju pada ponselnya.

Seo Jun tengah sibuk mengetik di layar ponselnya, hingga tidak menyadari Yoo Jin menatap sinis ke arahnya. Meja kerja mereka saling bersebelahan, jadi memudahkan Yoo Jin untuk berjalan mendekat ke arah belakang pria itu, dan mengintip apa yang sedang dilakukan sahabatnya.

[Chat ★pp!

My Honey : Siang ini, kita makan bersama?
Me : Tentu. Kita ketemuan di kafe.
My Honey : ILY♡
Me : ILYT. ]

Yoo Jin mengintip sepenggal isi percakapan Seo Jun, berhasil membuat perutnya keram.

Maduku? ILY? ILYT?! Yoo Jin menatap serius belakang kepala Seo Jun. Ia tidak bisa membayangkan, apa yang baru saja ia lihat di tepat depan matanya. Sejak kapan sahabatnya berubah se-manis itu? Rasanya begitu menggelikan.

“Wah!” seru Yoo Jin mengageti Seo Jun. “Sibuk sekali pacarannya.”

“Ya! Kau membaca isi percakapanku?!” tanya Seo Jun dengan tampang serius.

“Kau marah?” Yoo Jin bertanya balik pada pria itu, membuat Seo Jun mendengus.

“Kau mengerti arti privasi, kan?”

“Privasi?” Yoo Jin mengulang kata itu, dan wajahnya berusaha menahan tawa. “Seo Jun-ssi, di antara kita itu, yang namanya minim privasi sudah seperti pola hidup. Aku bahkan tahu dimana kau menyembunyikan buku po…”

Sebelum Yoo Jin membongkar segalanya, dan didengar oleh rekan kerja lainnya, dengan secepat kilat Seo Jun membekap mulut Yoo Jin dengan telapak tangannya.

“Kau mau mati, hah?” ancam Seo Jun, kemudian melonggarkan telapak tangannya, sebelum ia benar-benar tidak sengaja membunuh sahabatnya.

“Belikan aku makan siang, maka semua rahasiamu akan kukunci rapat-rapat. Setuju?”

“Ok, setuju,” tanggap Seo Jun singkat dan langsung mengiyakan tanpa protes, kemudian ia mengambil dompetnya. Pria itu mengeluarkan selembar Won bernilai besar, dan memberikannya ke Yoo Jin.

“Ini, belilah yang kau suka di kantin.”

Uang Seo Jun selamat mendarat ke tangan Yoo Jin, namun pandangan Yoo Jin justru tak bergeming, dan malah terperangah menyaksikan sikap cuek sahabatnya.

“Kau tidak ikut?” tanya Yoo Jin dengan mulut menganga, lalu sekilas ia teringat dengan isi percakapan di ponsel sahabatnya. Ah, kenapa ia harus bertanya lagi?! Seo Jun-kan mau makan siang bersama pacarnya.

“Aku sudah punya janji lain.”

Yoo Jin menggigit bibir bawahnya, dan menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti. Sedetik kemudian, Yoo Jin akhirnya tertawa lebar, serta menepuk kasar bahu Seo Jun.

“Kalau begitu, selamat menikmati makan siangmu,” ucap Yoo Jin berusaha riang, lalu meninggalkan Seo Jun yang masih terpaku pada ponselnya.

Hari ini akan menjadi hari bersejarah dalam hidup Yoo Jin. Inilah, hari pertama baginya, dimana ia akan makan sendiri di kantin tanpa sahabatnya.

*

Yoo Jin merasa kesepian hari ini, sebab sahabatnya tidak seperti sahabat yang ia kenal selama ini. Begitukah yang terjadi, apabila sahabat telah memiliki kekasih? Persahabatan yang tercipta selama 12 tahun mendadak dingin seperti daging beku?

“Seo Jun, kau tahu apa persamaan kata xxx dan xxx?” Yoo Jin menyelipkan sebuah lelucon garing, buat menghilangkan rasa penatnya setelah bekerja keras mengoreksi naskah penulis di komputernya.

“Tidak,” jawab Seo Jun tanpa menoleh, dan tatapannya tetap berfokus pada layar komputernya sendiri.

“Ayolah, masa kau tidak tahu? Itukan pertanyaan yang satu keluarga dengan pertanyaan kemarin!”

“Maaf, aku sedang sibuk, tidak bisa meladenimu bermain sekarang,” balas Seo Jun dingin. Pria itu memang terlihat sangat sibuk sekarang, dimana kesepuluh jarinya mengetik di keyboard dengan sangat cepat bak shinkansen.

Ting! Sebuah pesan tiba-tiba masuk di ponsel Seo Jun. Seo Jun yang tadinya tidak sempat menjawab lelucon garing Yoo Jin, justru ketika pesan dari kekasihnya masuk, Seo Jun langsung menghentikan pekerjaannya, dan segera membalas pesan tersebut.

Kejadian acuh tak acuh yang dirasakan Yoo Jin bukan hanya terulang dua kali saja, namun dalam sehari kejadian dicueki bagaikan sebuah lingkaran setan.

“Seo Jun, mau coba? Teh rasa baru yang baru dipasarkan setengah jam lalu.” Yoo Jin menawarkan teh dalam kemasan botol kepada Seo Jun, tapi sebelumnya, wanita konyol itu sempat meneguk sekali dengan menempelkan bibirnya pada mulut botol.

“Thanks but no. Kau sudah minum dari botol itu,” tolak Seo Jun mentah-mentah.

“Kenapa? Bukannya kita sering berbagi minuman?” tanya Yoo Jin yang pikirannya masih polos, mengingat ia krisis pengetahuan mengenai perbedaan gender.

“Pokoknya mulai hari ini, kita berhenti berbagi minuman,” jawab Seo Jun tetap pada pendiriannya.

Mendengar penolakan tegas dari Seo Jun, kaki Yoo Jin tanpa sadar melangkah mundur. Ia tidak yakin, apalagi percaya dengan apa yang ia dengar.

HAH?! “Seo Jun, apa kau sudah tidak menganggapku lagi?”

**

“Hanya itu?” tanya Seo Jin dengan wajah datar, setelah mendengar curhatan Yoo Jin mengenai apa yang telah menimpa dirinya di kantor tadi.

Yoo Jin yang mengambil giliran pertama untuk mengutarakan masalah dalam benaknya, memandangi bibinya dengan ekspresi dongkol. “Tidak bisakah bibi merespon lebih heboh lagi? Seperti mendukungku, dan memaki Seo Jun demi keponakanmu?”

“Untuk?” jawab Seo Jin yang justru berbalik bertanya. Seo Jin merasa kisah antara Yoo Jin dan Seo Jun seperti kisah anak-anak yang saling cemburu, ditambah ketidakpekaan. Tidak bermanfaat bagi Seo Jin, dalam membantunya menemukan ide buat adegan yang lebih menarik.

“Kau kira aku gila, dan tidak normal sepertimu?”

Ho Rang yang juga mendengar curhatan Yoo Jin sejak awal, tidak mengubah ekspresinya yang dingin secuil-pun. Sedangkan, Hye Ri justru terlihat berbinar mendengar curhatan Yoo Jin. Mereka berempat sudah tinggal bersama sejak lama, bahkan mereka juga sudah mengenal sosok Seo Jun, sahabat Yoo Jin sejak dari kecil.

“Yoo Jin, apa kau tidak bosan, berperan sebagai sahabat melulu?” tanya Ho Rang tanpa basa-basi, membuat alis Yoo Jin berkerut. “Aku tahu, kau pasti suka Seo Jun.”

“Suka? Tidak tidak. Mana mungkin. Kalau-pun suka, aku pasti akan langsung mengutarakannya! Kalian tahu-kan, aku ini orangnya seperti apa?”

“Seperti pengibul?” tebak Seo Jin sembari cekikikan.

“Salah! Aku ini bukan pengibul! Tapi, spon-tan!”

“Spontan dari desa mana?” canda Seo Jin lagi. Betul-betul deh bibi satu ini, membuat Yoo Jin ingin mencekik bibi kandungnya dengan kedua tangannya.

Yoo Jin memutar bola matanya. “Aku sedang tidak bercanda, bibi.”

“Baiklah, baiklah. Kita mulai serius membahas apapun sekarang,” putus Seo Jin dibuat bernada tegas, walaupun ia sulit mengontrol senyum jahilnya. “Masing-masing dari kita, satu-persatu melemparkan pertanyaan. Yoo Jin atau siapapun yang curhat selanjutnya, harus menjawab dengan serius. Lebih bagus lagi, berikan masukan. Mengerti?”

Ketiga-nya kompak menganggukkan kepala, setuju dengan peraturan yang dibuat Seo Jin. Dimulai dari pertanyaan pertama, oleh Hye Ri untuk Yoo Jin.

“Bagaikan burung hantu yang melihat kelinci bersama rembulan. Apakah kau tidak cemburu mengetahui Seo Jun sudah memiliki kekasih?”

“Tidak.” Yoo Jin menggelengkan kepalanya.

“Lalu, kau kesal kalau Seo Jun lebih merespon pacarnya?” sambung Ho Rang.

“Aku… jujur saja, aku… kesal,” jawab Yoo Jin pasrah. “Aku seperti tidak dianggap olehnya.”

Mendengar jawaban Yoo Jin, membuat ketiga orang di hadapannya membatin serupa. Sudah jelas.

Kini giliran Seo Jin untuk bertanya. “Menurutmu, yang mana lebih penting? Pacar atau sahabat?”

“Sahabat lah!” seru Yoo Jin bersemangat. “Kekasih boleh berganti, tapi sahabat selalu menemani. Benar?!”

“Jangan konyol.” balas Ho Rang telak, lalu menarik ke atas salah satu sudut bibirnya. “Boleh kutampar wajah bodohmu? Memangnya kau akan hidup terus bersama Seo Jun dengan status ‘sahabat’?”

“Seo Jun sudah memiliki kekasih, sedangkan kau tidak. Kau kesal karena ia lebih memilih kekasihnya, yang di masa depan akan berpeluang untuk hidup seatap dengan Seo Jun, dilengkapi dengan status ‘pasangan hidup’. Jadi, kau mau bagaimana? Menghancurkan rumah tangga mereka, hah?!” sambung Ho Rang ditambah sedikit emosi.

Yoo Jin mulai dibuat kebingungan. Faktanya, ia masih level awam, apabila ditanya seputar persoalan asmara. “Aku…”

“Seo Jun adalah pria normal. Tentunya ia mencari seorang wanita yang bisa memenuhi kebutuhannya. Kurasa keponakanku yang tak normal ini, tidak akan paham dengan maksudku.”

“Ke– kebutuhan? Maksud bibi… ‘i– itu’ ditambah dengan “itu”, hasilnya “itu” begitu?” tanya Yoo Jin di warnai dengan mimiknya yang terkesan jijik.

Plok! Plok! Plok! Seo Jin bertepuk tangan sambil tertawa terbahak-bahak. “Ternyata ilmu biologimu bagus juga. Hahaha! Pada dasarnya, hubungan antara lawan jenis memang begitu alurnya. Tapi yahhh… karena kau adalah makhluk luar angkasa… yahh… mungkin itu bisa menjadi pengecualian.”

Hye Ri yang duduk di sebelah Yoo Jin mengulurkan tangan, dan memegang kepala wanita di sebelahnya, yang sudah dianggapnya sebagaisaudara sendiri. Hye Ri yang sejak tadi lebih memilih untuk menyaksikan, akhirnya membuka lagi suaranya dan memberi sebuah masukan.

“Yoo Jin, kurasa lebih baik kalau kau mencari pasanganmu sendiri, dan mulai menjaga jarak dari kehidupan asmara Seo Jun. Boleh saja kitabersahabat dekat dengan pria, asalkan kita sadar dengan batasan yang kita miliki. Kau tahu-kan, pikiran setiap orang berbeda-beda, dan tidak se-simple pikiranmu. Aku tidak ingin, orang-orang mengira kalau kau ingin merebut kekasih orang lain, ataupun dianggap sebagai pegusik. Kuharap kau mengerti maksudku.”

***

2 votes, average: 1.00 out of 1 (2 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Cut! #2

30 Januari 2018 in Vitamins Blog

# 2

Maksud Tersembunyi

***

Di antara bangunan-bangunan yang menjulang tinggi di langit. Di antara lantai-lantai di suatu bangunan yang amat tinggi itu, seorang wanita sedang menutupi kepalanya dengan lilitan syal, berjalan mencurigakan memasuki sebuah lantai yang disewakan kepada desainer muda dengan merek dagang ‘Elle est Beau‘ dalam bahasa Prancis, yang berarti ‘wanita cantik’.

Ho Rang menutupi matanya dengan kacamata hitam, dan menyamarkan wajahnya sebisa mungkin. Sambil menegok kiri kanan, dia berhasil masuk ke dalam kantornya.

Wanita yang pertama kali bertemu pandang dengan Ho Rang sontak menjerit, mengetahui ada orang asing telah menyusup ke dalam kantor. Wanita itu mundur dengan cepat dan gugup, hingga berhenti tepat di depan meja terdekat. Tangan-nya meraba-raba permukaan meja, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk membela diri.

Dilihatnya penampilan penyusup itu. Tampaknya ia adalah wanita; berpenampilan modis; dan wujudnya sepertinya tidak asing lagi.

“Siapa kau?! Penyusup!” teriak wanita itu dalam keadaan takut.

“Zzz! Ji Hee, Ini aku!” jawab Ho Rang, kemudian melepas semua benda yang menutupi identitas wajahnya.

“Bos!” seru Ji Hee, tidak menyangka bos-nya pandai menyamar sebagai penyusup. “Kukira tadi penjahat. Hampir saja…”

Ho Rang melihat Ji Hee sudah memegang gunting di tangannya. “Hampir saja kau menikamku dengan gunting, kan?”

“Eh! Dari mana bos tahu?!”

Ho Rang memutar bola matanya, lalu menjawab pertanyaan Ji Hee dengan lirikan mata yang tertuju pada tangan Ji Hee. “Itu di tanganmu apa kalau bukan gunting?”

Ji Hee segera menaruh kembali gunting itu ke atas meja, dan meminta maaf pada bos-nya, karena tidak menyadari kalau penyusup tadi adalah Ho Rang. “Maafkan aku, bos.”

“Tidak masalah. Salahku juga, tadi berpenampilan seperti orang mencurigakan,” aku Ho Rang, lalu berjalan mendekati meja kerjanya yang khusus, diikuti Ji Hee dari belakang.

“Bos, kenapa datang dengan berpenampilan misterius?” tanya Ji Hee penasaran.

Ho Rang membuat jeda beberapa detik, kemudian setelah ia duduk tenang di kursi empuknya, ia-pun menjawab pertanyaan Ji Hee.

“Tidak ada apa-apa. Hanya ingin ganti suasana saja,” jawab Ho Rang mengada-nada, tidak ingin membeberkan masalahnya kepada siapapun. Hanya orang rumah saja yang boleh tahu.

Ho Rang melayangkan pandangannya menjelajahi ruangan kantornya yang luas, dan merasa ada yang kurang. Seharusnya karyawannya berjumlah dua orang, tapi yang terlihat hanya Ji Hee seorang.

“Dimana Mi Jin?” tanya Ho Rang dengan tampangnya yang seperti biasa, serius dan terlihat garang.

“Dia…” Ji Hee agak ragu menjawab pertanyaan bos-nya. Ia sudah tiga tahun bekerja dengan Ho Rang, sekaligus tahu sebab akibat yang akan diterima oleh rekan lain, apabila tidak memenuhi persyaratan yang dibuat Ho Rang.

Ho Rang menajamkan matanya, secara tak kasat mata memaksa Ji Hee untuk mengatakan yang sebenarnya. “Dia… meminta izin cuti untuk seminggu ke depan.”

“Apa?!” Ho Rang spontan berdiri dan memukul permukaan mejanya. Tampangnya terlihat dongkol. Emosinya seketika menanjak, membuatnya ingin menyemprotkan luapan lava dari tengah kepalanya.

“Sampaikan pada wanita cerdas itu, kalau dia telah dipecat pada detik ini!”Tidak bermain-main, Ho Rang bisa memutuskan sesuatu tanpa berpikir panjang.

“Bisa-bisanya dia yang baru bekerja setengah tahun, tapi jumlah cutinya telah hampir mencapai tiga minggu! Sudah baik kuberi dia cuti sebelumnya! Apa dia sakit jiwa?! Ya, Ji Hee-yaa! Suruh dia buat usaha sendiri saja!” tambah Ho Rang yang sedang meledak-ledak.

Sekujur tubuh Ji Hee jadi gemetar. Bos-nya yang dingin itu, jika marah sangatlah galak. Saat marah, Ho Rang mampu membuat siapa saja tidak bisa berkutik melawannya.

“Ba– baik!”Ji Hee memberi respon secepat mungkin, lalu berlari menuju mejanya sendiri, meraih telepon, dan menelepon rekannya yang sedang cuti itu.

Ho Rang tidak masalah, jika di kantornya hanya menyisakan dirinya dan satu karyawan saja. Masa bodoh dengan si Mi Jin yang seenak jidatnya meminta cuti. Tetapi, masalah yang membuat Ho Rang mengusap keningnya yang tidak sakit itu, karena…

Tuntut. Kata itu selalu bergema berkali-kali di dalam pikirannya sejak semalam. Walaupun Ho Rang terlihat dingin dan mengerikan saat marah, akan tetapi ia juga memiliki kekurangan tersendiri. Ia suka memikirkan sesuatu secara berlebihan.

“Tidak, tidak,” gumam Ho Rang tanpa sadar menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran negatifnya agar menjauh.

Walaupun Ho Rang sudah memukul si Lee Joon bejat itu, dan kejadian itu masuk dalam artikel terhangat minggu ini, toh di dalam foto itu hanya memperlihatkan bagian belakang Ho Rang yang backless, sedangkan wajahnya sama sekali tak terekspos. Orang yang tidak melihat langsung kejadian atau tidak mengenal Ho Rang, sudah pasti tidak akan menyadari kalau itu adalah dia.

Tidak ada yang perlu dicemaskan oleh Ho Rang, mengingat tidak ada teman sekolahnya yang tahu dimana ia tinggal dan juga bekerja. Sekarang Ho Rang bisa melupakan, dan melanjutkan pakaiannya yang belum selesai dijahit.

Tok tok! Suara ketukan pintu yang singkat, kemudian sekejap lenyap.

Ji Hee membuka pintu kantor. Ia tidak melihat siapapun di luar sana, selain sebuah kotak berwarna tosca mengkilap ditelantarkan oleh entah siapa itu.

“Bos, ada paket.” Ji Hee membawa paket itu ke meja Ho Rang.

“Paket dari siapa?” tanya Ho Rang, sementara ia sedang sibuk membuat pola pakaian.

Ji Hee memeriksa sekeliling kotak itu, dan tidak menemukan adanya nama yang tercantum. Kotak yang misterius, apa jangan-jangan mereka diteror?

Ji Hee menelan salivanya dengan berat. Tangannya perlahan menjauh, serta pandangannya tidak bisa lepas dari kotak itu. “Bos, aku takut.”

Mendengar ungkapan Ji Hee, Ho Rang-pun menyergitkan dahinya. “Takut, kenapa?”

“Aku takut, dan curiga kalau isinya… bom?”

“Ji Hee-yaa, kau terlalu banyak tonton film teroris, ha?!” Ho Rang menghela napas, dan berjalan mendekati kotak tosca misterius itu.

Siapa sih orang gila yang mengirim paket tanpa nama?!

**

Tanganku diam tak mencegah,

Sinar matahari menyilaukan pandanganku.

Tanganku diam tak mencegah,

Wujudmu menarik perhatianku.

Hye Ri termenung, sedang memandangi sesuatu yang tidak bisa luput dari pandangannya. Se-jam lebih telah berlalu di dalam ruang kelas yang sama, namun Hye Ri tak jemu menatap belakang orang itu.

Hye Ri merasa beruntung telah mengambil program S2 jurusan sastra. Kalau saja ia mengikuti perkataan ibunya untuk mencari pasangan dan menikah muda dengan orang asing yang belum tentu ia sukai, mungkin ia tidak akan bertemu dengan seorang pria yang begitu menarik perhatiannya.

Park Soo Hyun. Hye Ri menyebut nama teman sekelasnya dengan penuh perasaan, dan tenggelam dalam dunianya seorang diri… Baru kali ini, dia tergila-gila pada seseorang.

“Ehemm.” Seseorang tengah berdiri di samping meja Hye Ri, berusaha menyadarkan Hye Ri dari lamunannya tanpa membuat wanita itu kaget.

Hye Ri menumpukan dagunya di atas kedua telapak tangannya. Wanita manis itu tersenyum sendiri, dan kelopak matanya tidak berkedip sembari melihat ke depan.

“Ehemm, Hye Ri-ssi,” panggil orang itu sekali lagi.

“Ooh, a– ada apa?” tanya Hye Ri yang baru saja kembali ke dunia nyata.

Hye Ri menolehkan kepala menghadap samping, dan matanya melirik ke atas, menemukan wajah pria yang ternyata itu adalah Soo Hyun.

“Tugasmu. Dosen memintaku untuk mengumpulkannya,” jawab Soo Hyun, yang ditugaskan untuk mengumpulkan semua tugas teman kelasnya.

Hye Ri tidak sadar, kalau kelas telah berakhir. Saking asyiknya ia melamun, ia menjadi lupa akan segala hal yang terjadi di sekelilingnya. Rasanya ia ingin melempar diri dari tebing, kalau begini jadinya. Bodoh, bodoh. Apa yang telah kulakukan?

“Ah, tugas ya. Tunggu sebentar.” Hye Ri mencari buku tugasnya di antara tumpukan buku di atas mejanya. “Ini.”

“Baiklah, thanks.” Sebelum Soo Hyun meninggalkan tempat Hye Ri, pria itu sempat berbalik dan meminta nomor telepon Hye Ri.

“Boleh minta nomormu?” tanya Soo Hyun sopan. Pria itu telah memegang ponselnya, bersiap mengetik nomor Hye Ri.

Nomorku? Hye Ri terkesima mendengar permintaan Soo Hyun barusan. Jantungnya berdetak lebih cepat. Seakan Hye Ri masih belum sadar dari lamunannya, hal yang begitu didambakannya tiba-tiba terwujud. Da– dalam rangka apa?

Tidak langsung menyanggupi permintaan Soo Hyun, Hye Ri lebih dulu melihat-lihat kondisi di sekitarnya.

Para teman kelasnya yang totalnya berjumlah 20 orang, khususnya yang wanita melirik sinis ke arah Hye Ri. Mereka pasti kesal, melihat pria paling menarik di kelas mereka meminta nomor Hye Ri. Sedangkan, para pria memasang telinga untuk mendengar Hye Ri mengucapkan nomor teleponnya, dan diam-diam mereka mencatatnya juga.

Hye Ri tidak mau orang lain mengetahui nomor teleponnya, sebab pernah terjadi banyak kejadian setelah orang yang tidak diinginkannya mengetahui nomornya. Pernah beberapa kali orang asing menghantuinya dengan bejibun missed call, dan mengirimkannya pesan aneh. Parahnya lagi, mereka menjual nomor ponsel wanita cantik, dan orang yang mendapatkan nomornya akan mengirimkannya kata-kata yang berbau erotis.

Hye Ri sangat benci bila mengingat semua hal yang pernah menimpa dirinya.

“Boleh saja,” jawab Hye Ri diikuti senyuman malu-malu. Ia tidak masalah memberikan nomornya pada Soo Hyun, sang pria yang begitu menarik perhatiannya. Kalau-pun ada masalah di suatu hari nanti, Hye Ri akan langsung tahu siapa yang harus ia salahkan. “Sini, biar aku saja yang ketik.”

**

“Halo. Dengan si bejat Lee Joon?!”

[“Halo juga, my sexy. Sudah kutunggu teleponmu dari tadi loh.”]

My sexy dari lubang hidungmu! Apa mau-mu hah? Cepat katakan, waktumu hanya se-menit!” bentak Ho Rang galak, sambil menahan kekesalannya.

[“Wah, hebat. Ho Rang yang kutahu dulu sudah punah ternyata.”] Lee Joon tampaknya senang menggoda Ho Rang.

Bibir Ho Rang menyeringai, kemudian dia menjauhkan ponselnya dari telinga. Pik! Dan mengakhiri sambungan telepon secara sepihak. Sudah cukup, pria bejat itu mengerjaiku! Pikir Ho Rang, lalu tangannya refleks melempar ponselnya ke atas sofa yang berjarak dua meter dari posisinya.

Ho Rang yang mengingat dendamnya kepada Lee Joon sejak lama, tidak akan segan bertingkah kejam pada pria itu. Tindakan pria itu dari dulu telah merugikan Ho Rang, membuatnya tidak bisa tumbuh seperti remaja seusiannya.

Ho Rang juga melempar kotak tosca dari atas mejanya, dan membuat isinya berhamburan di lantai. Kotak itu ternyata diberikan oleh Lee Joon, terbukti dari sebuah kartu nama yang ditemukan di dalamnya, disertai sebuket bunga mawar.

Tringgg~ Tringgg~ Ponsel Ho Rang berbunyi.

Sebuah panggilan masuk memanggil Ho Rang untuk segera diterima.

“Bos, tuan Lee Joon menelepon anda,” kata Ji Hee yang melihat nomor pemanggil yang tampil di layar ponsel Ho Rang, sama seperti di kartu nama Lee Joon.

“Biarkan saja,” balas Ho Rang yang tengah sibuk dengan jahitannya.

Lama tidak merespon, ponsel Ho Rang berhenti berdering. Tidak ada panggilan berikutnya yang menyusul. Melainkan, telepon di kantor mereka yang kini berbunyi.

“Selamat siang, kantor Elle est Beau disini. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Ji Hee dengan ramah.

“Ah, nona Ho Rang? Baik, tunggu sebentar.”

“Bos, tuan Lee Joon ingin bicara dengan anda,” ucap Ji Hee.

“Apa?! Darimana bejat itu tahu alamat dan nomor telepon di sini?!” tanya Ho Rang dengan nada terperanjat

“Tuan Lee Joon, nona Ho Rang bertanya darimana anda tahu alamat dan nomor telepon di sini?” tanya Ji Hee polos, mengulang kembali pertanyaan histeris Ho Rang.

“Bos, kata tuan Lee Joon, ia menyuruh anda memeriksa surat kontrak kerjasama seminggu yang lalu.”

Kontrak kerjasama? Ho Rang melesat dengan cepat, memeriksa dokumen surat kontraknya yang ditaruh dalam sebuah map terpisah. Kontrak kerjasama yang berhasil dijalin Ho Rang seminggu yang lalu dengan perusahaan garmen ‘Belle Journée‘, namun yang menanda-tangani surat itu bukanlah bernama Lee Joon.

“Kau berusaha membodohiku? Jangan bilang kalau ‘Belle Journée‘ adalah perusahaanmu!” teriak Ho Rang, setelah merampas gagang telepon dari Ji Hee.

[“Aku tidak sedang membodohimu, itu memang nama perusahaanku.”]

“Kau pikir aku akan percaya dengan mulut kotormu?! Jelas nama yang tercantum di sana adalah ‘B– Bae Min Ju’?!” Nama marga itu bila dipikirkan sekali lagi, tampak tidak begitu berbeda di pendengaran Ho Rang. Si bejat Lee Joon bukannya juga bermarga ‘Bae’?

“Oh, si Min Ju. Dia adikku. See, nama marga kami sama, sama-sama ‘Bae’.”

Serasa disambar listrik beribu volt, Ho Rang mematung tidak bisa berkata apa-apa. Hingga gagang telepon yang di pegangnya terjatuh di atas lantai, memecah keheningan yang sempat tercipta.

***

Love it! (No Ratings Yet)

Untuk chapter selanjutnya : silakan lewat wattpad : horangi84 . Makaci≥﹏≤


Loading…

Cut! #1

6 Januari 2018 in Vitamins Blog

# 1

Waktunya Berpesta!

***

“Selamat pagi dunia,” sapanya yang bersuara merdu.

Aroma teh hijau yang baru selesai diseduh, menyebar dan menyelimuti udara ruang tamu di sebuah rumah kecil.

Wanita itu mengangkat cangkirnya dengan lembut, dan menyesap minumannya perlahan. Sambil menikmati tehnya, tak lupa ia membaca buku kesukaannya. Judul buku itu adalah ‘Kumpulan Puisi dari Para Profesional’, dan pada halaman awal buku tersebut menuliskan nama pemiliknya, Yang Hye Ri.

Sinar matahari pagi yang hangat menerobos masuk dengan bebas, melalui pintu teras yang dibuka Hye Ri barusan. Cicitan burung-burung kecil yang imut dari luar, terdengar jelas hingga ke dalam.

“Kalian lapar?” tanya Hye Ri sembari tersenyum ceria secerah mentari hangat, telah berdiri di luar teras, dan kepalanya menengadah ke atas atap. Terlihat sebuah sarang burung yang dibangun oleh para makhluk kecil itu di atas atap rumah, kira-kira semenjak seminggu yang lalu.

Kurasa mereka lapar, makanya mereka mencicit terus. Pikir Hye Ri, lalu melesat menuju dapur, dan membuka sebuah pintu lemari kecil. Diambilnya camilan yang masih utuh tak tersentuh oleh siapapun, menyobek bungkusnya, dan mengeluarkan dua buah kepingan biskuit.

Hye Ri yang perhatian dengan banyak hal, tahu kalau burung-burung itu tidak dapat langsung menelan sekeping biskuit utuh, makanya ia menghancurkan biskuit itu sampai menjadi butir-butiran kecil. Selesai menyediakan makanan bagi burung-burung yang bermukim di atas atap, Hye Ri menoleh ke arah jam yang terpasang di atas dinding ruang tamu.

“Pukul 7 pagi,” gumam Hye Ri sambil menatap jam. Masih banyak waktu yang tersisa, sebelum ia berangkat kuliah.

Dari sekian banyaknya orang yang tinggal di dalam rumah itu, hanya Hye Ri saja yang telah selesai mempersiapkan diri untuk memulai aktivitas di hari ini. Sedangkan yang lainnya…

**

Kringgg!!! Kringgg!!!

Sebuah tangan bergerak asal-asalan, mencari alat yang mengeluarkan bunyi alarm. Hampir sepuluh kali alarm itu berbunyi, tetapi tidak berhasil membangunkannya dari tidurnya yang nyenyak. Sampai pada daftar alarm terakhir, yang hanya berselisihkan lima menit dari panggilan alarm sebelumnya, berhasil membangunkan Jang Yoo Jin.

Setiap hari Yoo Jin sengaja menyetel alarm-nya agar berbunyi beberapa kali di menit yang berbeda, sebab ia tahu kalau dirinya payah soal bangun pagi. Misalkan ia tidak mampu bangun, bahkan setelah alarm terakhir berbunyi, maka Yoo Jin akan menyerahkan hidupnya pada nasib.

Yoo Jin berjalan menuruni tangga sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, menjadikan rambutnya semakin berantakan.

“Ah! Akhirnya kau bangun,” seru Hye Ri yang telah berencana ingin membangunkan Yoo Jin, apabila wanita itu belum bangun ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah delapan.

“Aku lapar,” gerutu Yoo Jin, dan tangan kanannya mengelus perutnya yang sejak bangun tadi bergemuruh.

“Biskuit?” tanya Hye Ri, menawarkan biskuit yang tadi ia ambil dari lemari dapur.

“Tidak. Aku maunya steak ayam,” jawab Yoo Jin terdengar ngawur, dan matanya masih setengah tertutup. Mana ada steak ayam di pagi hari? Dan siapa juga yang makan steak di pagi hari?

Tidak beberapa lama kemudian, seorang wanita ikut menuruni tangga dan menyenggol Yoo Jin yang menghalangi jalannya. “Ya! Minggir! Kalau mau bicara, jangan di tangga. Menghalangi jalan saja.”

“Wah!” jerit Yoo Jin terkejut, sedangkan tangannya otomatis memegang railing untuk menahan tubuhnya, agar tidak terguling di atas anak tangga.

Hye Ri sempat menutup matanya dengan jari-jarinya yang ramping, tidak bisa membayangkan jika Yoo Jin benaran jatuh di depan matanya.

“Kau tidak apa-apa?”

Tidak menjawab pertanyaan Hye Ri, Yoo Jin langsung menuruni anak tangga dengan cepat, dan melompati Chae Ho Rang dari belakang.

“Rasakan ini!” Yoo Jin memeluk erat tubuh Ho Rang seperti seekor koala yang sedang bergelantungan di atas batang pohon, membuat Ho Rang tidak dapat bergerak.

Ho Rang tidak mampu lagi menahan berat badan Yoo Jin, ditambah sakit kepala yang masih tersisa akibat pesta wine dan tambahan soju semalam, menyebabkan mereka berdua jatuh tersungkur di atas permukaan lantai.

Mulai lagi deh… mereka berkelahi.

“Kau mau membunuhku?!”

“Siapa suruh kau menghalangi jalan, bodoh!”

“Bodoh?! Bodoh katamu?!”

Keduanya saling menjambak rambut, dan bergulat dalam keadaan terbaring. Yoo Jin yang masih ngawur, serta Ho Rang dengan emosinya yang tidak stabil, berhasil menghancurkan pagi Hye Ri yang damai.

Mereka terlalu sering bertengkar seperti ini, membuat Hye Ri tidak tahu harus bagaimana lagi caranya untuk melerai mereka. Malahan jika ia ikut campur, ia bisa saja ikut terseret dalam perkelahian di antara kedua singa betina.

Mendengar keributan sampai ke dalam oasisnya. Seorang wanita terakhir akhirnya menunjukkan batang hidungnya. Dengan penampilannya yang tak kalah berantakan dibandingkan Yoo Jin, dan emosi tidak stabil persis seperti Ho Rang, berjalan kesal sambil menuruni tangga.

“Hei, kalian! Keluar dari rumahku! Bikin ribut saja!!!” Teriak master pemilik rumah itu, Im Seo Jin yang urakan, terpaksa memilih untuk turun tangan secara langsung. Dialah sang pemecah rekor, yang mampu menyelesaikan masalah Yoo Jin dan Ho Rang dalam waktu sangat singkat.

*

“Angka berapa ini?” tanya Seo Jin, dan jari kanannya membentuk simbol angka.

“Satu,” jawab Yoo Jin dan Ho Rang bersamaan.

“Bagus. Berikutnya.” Sekali lagi Seo Jin mengetes mereka, memastikan kalau keduanya telah sadar. Seo Jin-pun membentuk simbol ‘c’ dengan jarinya, dan bertanya, “Angka berapa ini?”

“Dia bercanda?” tanya Ho Rang pada Yoo Jin, dan keduanya melirik geli Seo Jin.

“Bibi, tampaknya kau yang mabuk,” ucap Yoo Jin, meledek adik ibunya, yang hanya terpaut sembilan tahun lebih tua dari umur Yoo Jin.

“Itukan huruf, bukan angka.” Ho Rang menambahkan, dan bersama Yoo Jin, mereka menertawai Seo Jin.

Masa bodoh dengan ejekan kedua juniornya, Seo Jin tidak terlalu mempermasalahkan tingkah laku mereka yang kurang sopan. “Bagus, kalau kalian tahu ini bukan angka. Sebab, tadi kupikir kalian berdua perlu diantar ke RSJ.”

Yoo Jin melototkan matanya, tak mengira bibi sedang bermain trik dengan mereka. Pantas saja, bibinya berhasil menjadi salah satu sutradara yang diperhitungkan di Korea.

“Lihatlah, Hye Ri telah bersiap. Ia tampak cantik, dan rapi. Kalian? Cih! Pagi-pagi sudah bertengkar! Mau kuusir sungguhan, hah?” kecam Seo Jin, membuat keduanya duduk mematung, tidak bisa berkata apa-apa.

“Maafkan kami.” Sekali lagi Yoo Jin dan Ho Rang menjawab secara bersamaan, lalu keduanya menundukkan kepala, memperlihatkan rasa penyesalan.

“Bagus, kalau kalian menyesal. Cepatlah bersiap, sebelum terlambat atau kuusir!” pinta Seo Jin, kemudian berdiri dan bersiap menaiki tangga, buat kembali ke oasisnya.

Sebelum sampai di atas, Seo Jin berhenti sejenak di tengah anak tangga, seraya berkata, “Oh, ya! Aku hampir lupa! Nanti malam, kita akan berpesta.”

“Dimana?”

“Tentu saja, di rumah kita tercinta ini!” jawab Seo Jin bersemangat, dan kedua tangannya direntang melebar ke samping.

**

Gedung-gedung pencakar langit bertaburan di atas permukaan tanah Seoul. Orang-orang sibuk berlalu-lalang, tidak peduli dengan orang di sekitarnya.

Di antara semua dewasa yang sibuk bekerja, dan tidak boleh santai dalam menjalani pekerjaan mereka. Di antara sebutan senior dan junior, yang membatasi keakraban mereka di dalam kantor. Semuanya terasa begitu kaku, namun tidak berlaku di sebuah perusahaan penerbitan mayor terkenal ‘LoRe’ atau kepanjangannya ‘Love Reading‘. Para staf di sana terlihat begitu santai, bahkan saat mendapat pekerjaan yang sulit-pun, mereka tetap menikmati prosesnya, termasuk… Yoo Jin, sedang asyik mengerjakan hal lain.

“Pasti ada sesuatu yang membahagiakan, makanya bibi membuat pesta di rumah,” gumam Yoo Jin sambil mengetik di atas keyboard-nya. Yoo Jin mengetik sebuah kalimat di bagian kolom pencarian yaitu, ‘Drama terhangat November 2017’ pada search engine.

Yoo Jin menebak-nebak, pasti drama yang bibinya sutradarai mencapai rating tinggi, makanya Seo Jin terlihat bahagia sewaktu menyatakan akan merayakan pesta nanti malam.

[Selamat! Drama keluarga ‘Jealousy Slap‘ berhasil menduduki peringkat pertama, sebagai drama dengan episode yang paling ditunggu setiap hari. Sutradara Im Seo Jin berhasil mempermainkan emosi penonton.]

Betul seperti dugaanku! Yoo Jin tersenyum bangga, mengingat sutradara yang dibahas dalam artikel itu adalah bibinya! Sekali lagi, bibinya!

“Benar! Bibiku benar-benar membanggakan!” kagum Yoo Jin, lalu memasukkan sebulat utuh choco pie ke dalam mulutnya yang terbuka lebar.

Sementara Yoo Jin melihat-lihat judul artikel berita yang lainnya, sepasang tangan mendarat di kedua sisinya, mengurung Yoo Jin di antaranya.

“Seo Jin eonni?” tanya pria yang jarak dagunya dekat dengan pucuk kepala Yoo Jin.

“Membanggakan bukan?” tanya Yoo Jin balik, tidak merasa gugup sedikitpun. Seharusnya ia merasa gugup, karena seorang pria tengah berpose seakan-akan ingin memeluknya dari belakang.

“Ya, tentu… ” jawab pria itu singkat. “Cukup untuk membuat kepalamu membesar, bukan?”

Yoo Jin mengalihkan pandangannya dari monitor komputer, dan melirik sinis sedikit ke atas. “Apa kau bilang?”

Bruk! Yoo Jin sengaja membenturkan kepalanya dengan dagu pria itu, sontak membuat pria itu menjauh dan meraung. “Ouch!”

“Sekarang dagumu yang membesar, Deo Seo Jun,” balas Yoo Jin sambil tertawa terbahak-bahak, menunjuk Seo Jun yang tengah menahan perih.

“Kau gila?!” seru Seo Jun, mengerakkan tangannya untuk menggosok dagunya.

Tanpa mereka sadari, sedari tadi semua pasang mata dalam ruangan itu mengarah pada mereka. Yoo Jin dan Seo Jun terlalu menarik perhatian, membuat rekan kerja mereka tertawa menyaksikan tingkah konyol mereka.

“Senior Deo, Yoo Jin-ssi, kalian pacaran saja!” teriak salah satu dari antara mereka, membuat Seo Jun langsung batuk kecil. Sudah terlalu sering mereka digoda dengan kalimat itu, tapi Seo Jun masih belum terbiasa dengan lelucon tersebut.

Bukan maksud Seo Jun mendekati Yoo Jin untuk tujuan seperti ‘itu’, dan pada kenyataannya ia sekedar ingin mengganggu Yoo Jin, tidak lebih.

“Pacaran? Lucu!” Yoo Jin menoleh singkat ke arah Seo Jun dan menyengir seperti seekor kuda, sebelum melanjutkan ucapannya. “Mana mungkin aku mau pacaran dengan pria milik orang lain.”

“Apa?! Kepala Deo sudah punya pacar?! Kapan?!” Mereka semua mendadak heboh. Para staf pria segera mengelilingi Seo Jun, melemparkannya berbagai pertanyaan dan ucapan selamat. Seo Jun yang selama ini mereka tahu adalah seorang pria ‘penggila kerja’, serta tak ada rasa cinta yang sanggup melekat di hatinya. Oleh karena itu, setelah mengetahui kabar pria itu telah berpacaran akibat mulut ember Yoo Jin, semua orang langsung dibuatnya geger.

Yoo Jin mengembalikan pandangannya ke monitor komputer. Tanpa senyuman, ia kembali melihat berita apa saja yang sedang hangat dalam minggu ini.

Mereka ribut sekali, orang pacaran-kan bukan gula yang perlu dikerumuni begitu. Gerutu Yoo Jin dalam hati. Setiap kali mengingat Seo Jun sudah memiliki pacar, hatinya terasa sedang diremas. Padahal, mereka dulu telah berjanji untuk tidak memiliki pacar hingga usia 28 tahun, dan menunggu setelah mereka sukses baru mencari pacar masing-masing. Nyatanya sekarang… Seo Jun pengkhianat!

“Yoo Jin-ssi, apa kau rela diselingkuhi senior Deo? Kalian-kan sudah 12 tahun bersama,” goda dari rekannya yang sama, untuk kedua kalinya. Semua rekan di kantor tahu jelas, hubungan Yoo Jin dan Seo Jun tidak lebih dari persahabatan, namun mereka tetap berlagak seperti orang bodoh yang pura-pura tidak tahu.

Yoo Jin tidak menghiraukan omongan rekannya itu, malah matanya lebih terpaku pada monitor, terutama saat sebuah artikel memasang foto yang memperlihatkan wujud wanita yang sangat kental dalam ingatannya. Artikel itu berjudul, “Pengusaha Garmen Sukses Dihajar Teman Wanitanya, Hingga Tidak Bisa Berkutik.”

“Bukannya itu… ” gumam Yoo Jin sedikit ragu, dan berusaha mengingat hal-hal kemarin yang dilaluinya.

Kemarin…

“Wah, nona besar kita cantik sekali,” seru Yoo Jin diiringi tepukan tangan dari Hye Ri.

“Benar-benar cantik!” tambah Hye Ri.

Seorang wanita telah menuruni tangga, sembari mengenakan gaun panjang seksi dengan belahan panjang yang memperlihatkan kakinya yang jenjang, dan rambutnya diikat cacing menyamping.

Ia tampak seperti putri Elsa dari Frozen Disney, tapi yang membedakan adalah warna gaunnya. Putri Elsa mengenakan gaun biru, sedangkan Ho Rang mengenakan gaun hitam.

Mata Yoo Jin melotot, serta mulutnya terbuka lebar.

“… gaun hitam Ho Rang eonni?!”

Ok, pesta malam nanti wajib untuk tidak dilewati! Titik.

**

Tiga per-empat penghuni rumah sudah berkumpul di depan meja makan, dan sisa menunggu satu orang terakhir sampai di rumah.

“Aku pulang!!” teriak Yoo Jin heboh saat memasuki rumah, berhasil mengejutkan tiga orang yang telah menunggu di ruang makan.

Yoo Jin membawa sekotak kue tart, sambil berlari kecil memasuki ruang makan. Ia meletakkan kue itu di tengah meja makan, dan meminta maaf atas keterlambatannya.

“Kue? Wah, keponakan yang selama ini tidak perhatian, tiba-tiba membeli kue?” cengir Seo Jin, diikuti kedua tangannya yang segera membuka kotak itu.

Yoo Jin juga membalas bibinya dengan cengiran, ditambah dua jarinya membentuk sebuah simbol hati. “Untuk bibi, apapun akan kulakukan! Saranghae!”

Eonni, Yoo Jin pasti ada maunya, makanya dia mau menyogokmu,” kata Ho Rang kepada Seo Jin.

I know it. Yoo Jin selalu ada maunya. Jangan pernah mengira kebaikannya tidak meminta imbalan,” ejek Seo Jin, membuat Yoo Jin memanyunkan bibir.

Hye Ri yang dari tadi diam saja, akhirnya membuka mulutnya yang mungil. “Eonni, selamat atas kesuksesan drama-mu. Tadi aku membaca artikel tentang eonni di internet, sambil menangis terharu. Aku bangga sekali serumah dengan sutradara ternama.”

Gomawo, Hye Ri. Kau manis sekali,” balas Seo Jin, kemudian mengangkat gelas wine-nya ke udara. “Mari kita bersulang bersama atas keberhasilanku, sang sutradara TERNAMA!”

“Yey!!!” Tiga junior Seo Jin menyambut ajakannya dengan semangat, dan menempelkan bibir gelas wine mereka bersamaan di atas udara.

Dalam sekali tegukan, ke-empat orang itu meneguk habis wine mereka.

“Hiaaah! Nikmat sekali hidup ini,” lega Seo Jin, lalu menyandarkan punggungnya di kursi dengan santai. Setelah setahun lamanya mengerjakan drama ‘Jealousy Slap‘, akhirnya ia bisa tidur nyenyak dan bangun kesiangan di keesokan harinya.

Yoo Jin melirik mereka satu-persatu, dan tatapannya berakhir pada Ho Rang.

“Ho Rang eonni, kau tahu sesuatu yang sedang heboh hari ini?”

“Apa?” Ho Rang tidak mengerti maksud Yoo Jin.

Yoo Jin segera mengambil ponselnya, dan membuka artikel yang tadi siang ia baca, lalu menyalurkan ponselnya ke Ho Rang.

“Apa ini?” tanya Ho Rang yang belum mengerti. Ia hanya membaca sekilas judul artikel, dan jempolnya langsung mengeser ke atas hingga ke kolom komentar.

“Aduh, eonni membaca atau balapan liar ha?” Yoo Jin mulai dibuat gemas.

“Pengusaha garmen sukses dihajar teman wanitanya, hingga tidak bisa berkutik,” sebut Ho Rang yang membaca ulang apa yang terlihat di layar ponsel. “Terus?”

“Ah! Artikel itu!” Hye Ri tiba-tiba teringat tentang sesuatu yang hampir dia lupakan. Judul artikel yang sama, ia baca tadi siang. “Ho Rang eonni, fotomu muncul di dalam artikel itu!”

“Hah?” Ho Rang tampaknya masih belum menangkap, dan mengerti maksud kedua wanita yang lebih muda setahun darinya itu.

Yoo Jin tidak tahan lagi untuk menanyakan tepat ke pokok permasalahan pada Ho Rang, agar wanita itu cepat mengerti dengan maksudnya. Pantas saja, sejak dulu Ho Rang dikenal dengan sebutan ‘manusia berantena pendek’ alias telat informasi.

“Eonni, kau-kan yang memukul Bae Lee Joon kemarin?” tanya Yoo Jin langsung pada intinya. Pertanyaan itu membuat Ho Rang seketika mengingat kembali kejadian kemarin malam.

Pengusaha garmen? Wanita yang memukul hingga tak berkutik? Wow! Ini bisa jadi bahan untuk drama selanjutnya! Pikir Seo Jin yang ikut dibuat penasaran. “Mana, aku mau lihat!”

Seo Jin merebut ponsel Yoo Jin, mengamati foto itu dengan saksama. Tidak lama kemudian, sebuah senyuman licik terbentuk di wajah Seo Jin, membuat ketiga juniornya bergidik melihatnya.

“Wanita di foto ini Ho Rang, kan? Dari belakang sudah terlihat jelas, kalau itu adalah kau!” ungkap Seo Jin mengeluarkan pendapatnya bagaikan seorang detektif, tak lupa memberikan jempol untuk Ho Rang. “Rambutnya, tingginya, posturnya, kegilaannya. Ho Rang, kau mantap sekali. Bagaimana kalau orang itu menuntutmu?”

“Tuntut?” Mereka bertiga terkejut secara bersamaan.

Ho Rang memejamkan matanya, dan kata ‘tuntut’ terus bergema dalam kepalanya. Kenapa ia tidak memikirkan sejauh itu, sebelum melepas pukulan ke wajah pria menyebalkan itu?

Ho Rang mendengus kesal. Ok, masalah baru dalam perjalanan! Sial! Rasanya ingin kutinju semua tembok di dunia!

***

5 votes, average: 1.00 out of 1 (5 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Untuk chapter selanjutnya : silakan lewat wattpad. Makaci≥﹏≤

DayNight
DayNight