Red Prince

The Red Prince | BONUS PART Mauve’s Story : Sang Penakluk

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

Cover

d7d6a59e83610ca99f8f86f12033de3c

 

Love it! (No Ratings Yet)
Loading…

Dunia langit dilanda mendung pekat selama beberapa hari. Suasana tampak mencekam dengan guntur serta petir yang menyambar tiada henti. Para okultis berkata jika kelahiran sang putra mahkota telah dekat. Semesta sedang berantusias menyambut kedatangan makhluk yang sangat mereka nanti-nantikan itu.

Azure berdiri di belakang jendela kamarnya dengan kening mengernyit. Kedua tangannya tak lepas dari mengusap perutnya yang kini telah membesar, seiring usia kehamilannya yang telah mencapai sebelas bulan. Perempuan itu menatap ke arah langit yang memperlihatkan pelangi semesta yang terlihat cantik dan garang dengan warnanya yang tetap cerah di balik pekatnya awan.

Sesekali tampak petir berwarna ungu cerah itu memperlihatkan kilatan cahayanya yang sedang berkejar-kejaran dengan ganasnya petir berwarna putih yang mengejut-ngejutkan cahayanya dengan beringas, meliuk-liuk di antara awan-awan.

Suara pekikan terkejut keluar dari mulut Azure saat pergerkan perutnya terasa sangat keras. Perempuan itu mengusap perutnya yang tampak bergerak-gerak dengan wajahnya yang meringis.

“Ada apa, Azure?” Reddish yang baru saja keluar dari ruang mandi itu terkesiap saat menemukan jika istrinya sedang kepayahan menyandarkan tubuhnya pada tepi meja, menampakkan wajahnya yang pias. Lelaki itu segera mendekat dan turut mengusapkan telapak tangannya pada permukaan perut Azure. “Sakit?” tanyanya cemas.

Azure terlihat menenangkan diri dengan berkali-kali menarik dan mengembuskan napasnya perlahan melalui mulut. “Sedikit,” sahutnya meringis, menahan rasa tak nyaman yang mulai merayapi sekitar punggung dan perutnya.

“Crimson.” Reddish memanggil pengawalnya itu dan dalam beberapa detik, lelaki tua klan merah tersebut menjura di ambang pintu. “Panggilkan okultis dan para pengawalnya. Minta mereka bersiap-siap,” perintahnya tegas.

“Mungkin ini tak apa-apa, Reddish. Bukankah langit masih gelap dan musim ini masih akan berlangsung satu bulan lagi seiring waktunya putra kita lahir?” Azure berkata lemah, dituntun oleh suaminya agar terduduk di ranjang diikuti Reddish yang turut duduk, merangkul perempuan itu, membiarkan Azure bersandar di pundaknya.

Reddish menampakkan ekspresi gelap dan menggeleng pelan. “Aku ingin kau ditolong segera saat waktunya tiba. Biarkan mereka menemanimu sampai nanti-“ Ucapan Reddish terhenti saat Azure tiba-tiba saja menjerit tertahan ketika merasakan perutnya terasa luar biasa nyeri. Peluh seketika bermunculan di wajah Azure, menghiasi roman wajahnya yang bertambah pucat.

“Astaga.” Reddish membeliak saat melihat darah Azure yang berwarna biru pekat itu menodai gaun yang dipakainya. “Crimson! Suruh mereka cepat!” Reddish gusar, bersegera membantu perempuan itu naik ke atas peraduan.

Azure tampak kepayahan dalam usahanya menahan rasa sakit. Sebelah tangan perempuan itu tampak memegangi perutnya sementara sebelah tangannya yang lain mencengkeram erat tangan Reddish. Suara guntur dan kilatan petir kian ganas. Suasana di luar kastil tampak makin pekat membuat ruang peraduan itu temaram, angin berembus kencang seperti akan terjadi badai. Petir berwarna ungu itu menyambar keras di atas kastil membuat keterkejutan menampar mereka semua.

Reddish terduduk kaku di sisi ranjang, sesekali memandangi luar ruangan melalui jendela dengan kening berkerut. Tubuhnya yang kukuh dan gagah di medan pertarungan itu kini tampak gemetar. Sebelah tangannya berusaha menenangkan perempuan itu dengan mengusap perutnya, menguarkan aura merahnya yang pekat untuk mengurangi rasa sakit yang membuat istrinya terus menerus mengeluh.

“Kau pasti kuat, Azure. Aku tak akan memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu padamu.”

Suara derap lari bersahut-sahutan terdengar kemudian. Okultis klan merah dan para pengawalnya tiba dan menjura. Mereka yang pada kesempatan sebelum-sebelum ini selalu menunduk dan tak berani menengadah tanpa diperintah, kini melebarkan kedua mata mereka begitu tiba di ambang intu ruang peraduan itu.

Pemandangan pertama yang membuat mereka pias adalah karena maharani mereka mengeluarkan begitu banyak darah berwarna asing yang mungkin tak bisa mereka saksikan sedekat ini. Sesuai dengan asal klan nona Azure dari wilayah biru, darah biru pekat itu merembes hingga mengalir membuat seprai berwarna merah milik pemimpin mereka itu kini menjadi gelap.

“Tuan Reddish. Sepertinya Nona Azure akan melahirkan sekarang juga,” ucapnya lugas lantas menengok ke arah anak buahnya yang telah siap sedia membawa peralatan.

Reddish menelan ludah. Di luar keangkuhannya yang biasa, Reddish tahu jika urusan perempuan, kehamilan apalagi kelahiran ini tak dapat ditanganinya sendiri. Pikirannya yang selalu jernih dan tepat ketika memutuskan sesuatu itu mendadak buntu sehingga dengan wajahnya yang pucat, Reddish dengan bingung bertanya, “Aku boleh tetap di sini?”

Okultis itu menjawab tegas. “Tentu, Tuan. Anda bisa tetap di sini memberi dukungan kekuatan kepada nona Maharani.”

Reddish mengangguk dan menoleh ke arah Azure yang tampak memejam dengan ekspresi wajahnya yang melenguh kesakitan.

“Reddish ….” Azure memanggil lemah, seluruh daya tubuhnya seolah tersedot, tak mampu menanggung rasa nyeri luar biasa yang kini menjalari tubuhnya.

Lelaki itu menopang tubuh Azure dan menciumi kepalanya, membisikkan gumaman-gumaman menenangkan. “Aku di sini, Azure.”

Suara gemuruh angin disertai petir yang mengilat-ngilatkan cahayanya itu terdengar kian kencang, Azure menuruti perintah okultis itu untuk tetap tenang dan mengatur napasnya yang kini kembang kempis seperti mau habis. Reddish tak henti-henti menguarkan aura merahnya yang hangat, tak peduli jika tubuh Azure yang sedingin es itu seakan tak memberi reaksi.

Pada detik di mana Azure merasakan kesakitan luar biasa tak tertahan, suara jerit tangis bayi terdengar kencang seiring berhentinya nuansa gelap nan mengerikan yang sedari tadi melingkupi proses kelahiran itu. Nuansa negeri itu mendadak tenang. Azure mengatur napasnya yang tersengal ketika proses menyakitkan itu seolah musnah tanpa bekas setelah putranya terlahir. Reddish masih memeluk tubuh Azure dengan terpejam hingga ketika suara kencang bayi itu mengusik pendengarannya, perlahan kedua mata merah lelaki itu membuka, tampak berkaca-kaca.

Okultis dan anak buahnya bekerja cekatan. Bayi kecil berwarna putih bersih itu lantas dibersihkan dan dibungkus selimut berwarna merah yang menyelimti seluruh tubuhnya, memperlihatkan wajahnya yang mungil dengan rona merahnya yang  manis. Tangisnya yang menggema itu telah mereda, berganti dengan sikap tenang karena nyaman setelah tubuhnya kembali hangat tertutup selimut.

Okultis itu tak menutup-nutupi lagi rasa harunya dengan membiarkan kedua matanya yang berkaca-kaca itu meneteskan air mata di pipinya. Kedua tangannya yang mendekap bayi mungil itu berjalan menuju peraduan, diikuti para anak buahnya yang kini tengah membantu Azure berganti pakaian.

“Selamat, Tuan Reddish. Putra Anda lahir dengan begitu sehat dan sempurna.” Okultis itu menyerahkan sang bayi ke arah Reddish yang langsung diterima oleh lelaki itu dengan memeluk rapat bayi itu dalam lengan-lengannya.

Reddish mengamati bayi itu dengan  saksama dan menemukan jika meskipun seluruh tubuh bayi itu seolah tak memiliki ciri sebagai makhluk warna, tetapi ia bisa melihat jika kedua mata bayi itu berwarna ungu cerah, kepalanya tampak bergerak-gerak dengan mulutnya yang mengerucut lucu, tak sabar untuk meminta jatah minumnya. Di sisi lain, setelah peraduan itu dibersihkan, Azure yang masih lemah tampak berbaring setengah duduk dengan kedua matanya yang hampir terpejam. Okultis perempuan itu telah memberinya beberapa ramuan minuman untuk membantu memulihkan energi dan memberinya waktu beristirahat.

“Aku yang akan menggendongnya agar Azure bisa beristirahat. Kalian keluarlah dan kembali untuk jadwal perawatan berkala bayi ini.” Reddish memerintah yang langsung disahuti dengan anggukan oleh para perempuan okultis di tempat itu. Namun, sebelum mereka pergi, salah seorang dari mereka memberanikan diri bertanya,

“Siapakah nama yang akan disandang putra Anda ini, Tuan? Kami akan segera memberi tahu kabar baik ini ke seluruh penjuru kastil.” Okultis itu menjura diikuti yang lainnya.

Reddish menimang-nimang bayi itu dengan penuh sayang. Ekspresinya tampak teduh ketika menatap bagaimana akhirnya bayi itu tertidur dalam pelukannya. Dengan senyum tipis, Reddish menarik napas panjang sebelum menyebut nama manis itu meluncur dari bibirnya. “Mauve. Namanya adalah Mauve,” tuturnya mantap dengan nada penuh kebanggaan.

***

Mauve kecil hidup dalam gelimang kasih sayang. Seluruh penghuni kastil merah bahkan semua wilayah negeri langit itu mengelu-elukan namanya sebagai warna paling indah yang pernah ada di negeri itu. Bayi kecil yang semula tampak seperti makhluk manusia pada umumnya itu kini mulai memperlihatkan warnanya. Rambutnya yang semula berwarna putih bersih itu mulai menunjukkan perubahan warna seiring usianya yang makin bertambah. Lebih dari itu, hal paling mencolok yang menarik perhatian makhluk lain adalah karena pada usia sekecil itu, Mauve telah memiliki warna ungu terang di ujung-ujung jemari berikut kuku-kukunya, menunjukkan jika kekuatan aura yang dimiliki lelaki kecil itu begitu besar walau usianya masih belia.

Azure tengah mengajaknya berjalan-jalan di sekitar kastil biru ketika hari masih pagi. Mauve tampak antusias dengan berlarian ke sana kemari menggiring hewan-hewan biru yang tampak merubung dan senang bermain-main dengannya. Usianya baru menginjak tiga tahun, tapi kekuatan aura dan pesona yang tumbuh di dalam dirinya telah tampak. Terbukti dari makhluk apa pun yang melihat apalagi berdekatan dengannya seolah terpedaya hingga tubuh mereka terpaku dan memuji-muji keelokan Mauve tanpa sadar.

Anak laki-laki kecil itu tiba-tiba saja menghentikan langkah saat matahari mulai merangkak naik, memperlihatkan pemandangan negeri yang indah dengan warna-warni mencolok di berbagai sudutnya. Mauve dengan kedua mata ungunya tampak terpaku sejenak lantas membalikkan badan ke arah Azure yang sedari tadi tampak tersenyum melihat tingkahnya.

“Ibu, ke sana. Aku ingin ke sana.” Mauve menunjuk-nunjuk dengan tangannya yang mungil membuat Azure berjongkok, melihat ke arah telunjuk Mauve.

Azure mengangkat sebelah alis saat menemukan jika tempat yang diinginkan oleh Mauve ternyata adalah kastil ungu yang terletak tak jauh dari lokasi mereka saat ini. “Ah, kau rindu kastilmu, Mauve?” tanyanya sembari mencium pipi anak lelaki itu dengan gemas.

“Iya, aku ingin ke sana, Ibu. Ayo ke sana.” Mauve mulai merengek dengan menarik-narik sebelah tangan ibunya.

Perempuan biru itu menoleh ke belakang, ke arah para pelayan birunya yang bersiaga di sana. “Aku akan menemani Mauve ke kastil ungu. Salah satu dari kalian pergilah ke kastil merah dan sampaikan kepada Reddish jika aku pergi,” ucapnya lembut dengan tersenyum.

Para pelayan itu menjura dan menyahut homat. Azure tampak menguarkan aura birunya dengan Mauve yang ia dekap dalam pelukannya. Lelaki kecil itu terlihat berusaha mengeluarkan aura ungunya dengan serius, menggerak-gerakkan tangannya yang diliputi warna ungu itu dengan gerakannya yang lucu dalam dekapan ibunya. Azure terkekeh riang. “Kau hebat, Mauve. Auramu sudah tampak pekat di usiamu yang sekecil ini,” pujinya sembari menggerakkan tubuhnya naik, terbang menuju kastil ungu diikuti beberapa pelayannya.

***

Begitu tiba di kastil ungu, Mauve terdiam sejenak. Azure mengira jika anak laki-lakinya itu akan langsung meloncat turun dan bergegas menjejakkan kakinya dengan berlari-lari di sana begitu mereka sampai. Namun di luar dugaan, pagi yang cerah itu mendadak berubah kelam seperti akan turun hujan. Azure menengadah dan dadanya berdebaran. Ia sepertinya sudah bisa menebak apa yang akan terjadi jika langit negeri sudah terpayungi oleh awan hitam seperti itu. Dan benarlah, suara guntur diikuti cahaya kilat berwarna ungu cerah yang menyakitkan mata itu muncul.

Azure merasa dejavu begitu melingkupinya saat ini. Ia seolah berada lagi di tiga tahun lalu di mana Mauve masih berada di perutnya. Nuansa ini ….

Mauve merosot turun dari dekapan ibunya dengan tatapannya yang tak biasa, menatap ke arah kastil itu masih dengan kependiamannya yang aneh.

“Mauve.” Azure berusaha memanggil, tetapi anak lelaki itu tak menghiraukan.

Dari dua tangannya yang  kecil, aura ungu menyala terang, merambati setiap jemarinya lantas meninggalkan warna ungu rapat yang berakhir di pergelangan tangannya. Dada Azure berdesir saat ia menyimpulkan apa yang terjadi. Kekuatan aura Mauve bertambah besar saat ia berada di kastilnya sendiri dan ia mulai cemas.

Langit kian mendung. Petir berwarna ungu itu menyala-nyala dan menggelegar kuat membuat mereka yang ada di tempat itu memekik tertahan dengan kedua tangan yang refleks menutup telinga karena terkejut.

Mauve bergeming di tempatnya dan Azure merendahkan tubuhnya lantas memegangi pundak anaknya lembut. “Kau tak apa-apa, Nak?” tanyanya di sela nuansa mencekam yang membuat bulu kuduk mereka meremang. “Apakah tak sebaiknya kita pulang dulu dan bertemu dengan ayahmu?” Azure mencoba membujuk, tetapi lagi-lagi Mauve hanya terdiam mematung. Kedua matanya menatap entah apa ke depan, sementara aura ungu anak itu menyala kian pekat.

Saat petir ungu itu menyala seolah akan menyambar kepala mereka dengan kuatnya, cahaya putih terang tiba-tiba saja menyerang dengan gema suara keras yang menyergap ke arah Mauve. Tak ada yang bisa mereka lakukan karena cahaya itu seolah membawa kekuatan besar yang menghantam tubuh mereka hingga terpental, membuat Azure yang saat itu hendak meraih tubuh Mauve tak bisa apa-apa karena pada akhirnya kalah dan tumbang ke tanah tertelan ketidaksadaran berikut semua pengawal yang sedari tadi berdiri di belakangnya, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

***

 Reddish sedang memimpin rapat pemimpin klan ketika Crimson masuk ke ruangan dan berdiri di ambang  pintu. Ajudannya itu menjura, membuat Reddish menatap lelaki itu dan mengerutkan kening. “Ada apa, Crimson?”

“Ampun, Tuan. Saya hendak memintakan izin. Pelayan biru dari kastil biru datang hendak menyampaikan pesan.” Crimson menyahut dengan tubuhnya yang menjura.

“Pelayan biru?” Reddish mengangkat sebelah alis. Ia tahu jika saat ini istri dan anaknya masih berada di kastil milik istrinya itu sejak pagi buta. Mauve yang sangat aktif dan disiplin bangun pagi itu selalu meminta ditemani berjalan-jalan pagi oleh Azure. Reddish sangat paham jika Azure bukanlah tipe perempuan manja yang selalu meminta perhatian kepadanya bahkan untuk keinginan-keinginan kecilnya di hari-hari biasa, justru Reddishlah yang seringkali menawarkan banyak hal yang selalu ditolak oleh Azure, menganggap Reddish terlalu berlebihan.

Dan kini, pelayan biru datang menghadap untuk menyampaikan pesan padanya? Reddish berdiri dari duduknya dengan antusias, menantikan pesan apa yang hendak disampaikan oleh Azure kepadanya. Ia sangat menanti ini terjadi, di mana Azure meminta sesuatu kepadanya, dan ia akan dengan senang hati mengabulkannya seperti saat perempuan itu meminta minuman di dunia manusia beberapa bulan lalu. Lelaki itu mempersilakan pelayan biru itu masuk yang langsung disahuti anggukan oleh Crimson. Lelaki klan merah itu meninggalkan ambang pintu, diganti oleh pelayan biru yang melangkah masuk.

Baru saja pelayan itu akan mengucapkan kalimatnya, mereka semua yang berada di tempat itu tiba-tiba saja dikejutkan oleh ruangan yang mendadak berubah remang. Reddish dan yang lainnya sontak menoleh ke arah jendela besar yang menganga di sisi ruangan itu, memperlihatkan awan mendung pekat dengan petirnya yang menyambar-nyambar.

“Nona Azure dan Tuan Mauve … pergi ke kastil ungu, Tuan.” Terbata-bata pelayan itu menjelaskan.

Reddish menoleh cepat ke arah makhluk biru yang saat ini menunduk di ambang pintu. “Apa kaubilang?” Reddish melebarkan mata dengan keterkejutan yang menghantam kesadarannya.

Ia telah menutup rapat kastil ungu itu agar tak bisa terlihat oleh mata Mauve. Vantablack yang turut mengikuti rapat pemimpin klan itu menjadi yang pertama ditatap oleh Reddish, dimintai penjelasan. Vantablack yang kini telah tumbuh menjadi lelaki remaja itu berdiri dan menjura. “Saya masih bisa memastikan jika kekuatan saya masih menyelubungi kastil itu, Tuan, berikut kekuatan merah Anda yang menyegel tempat itu.” Vantablack memaparkan lugas.

Wajah Reddish menampakkan ekspresi gelap. Ia berniat menunda Mauve untuk tinggal di kastilnya sendiri sampai usia lima tahun. Ia ingin anak lelakinya itu menikmati masa kecilnya meski hanya sebentar. Masa lalunya yang kelam menjadikannya bersikap bijak dengan tak membiarkan anak itu bertemu dengan kekuatannya di usianya yang masih terlalu dini walau Reddish menyadari jika tanpa kekuatan petir yang ia sembunyikan di kastil itu, Mauve tetap tumbuh sembari menumbuhkan kekuatan besar itu dari dalam dirinya.

Reddish masih mengingat jika membawa kekuatan besar dalam tubuhnya yang kecil itu terasa merajam tubuhnya. Mahogany, sang ayah, terpaksa menempa Reddish kecil dengan latihan terus menerus untuk menyeimbangkan kekuatan api dalam dirinya dan itu terasa menyiksa.

“Aku mengakhiri pertemuan hari ini sampai aku memanggil kalian kembali. Ada sesuatu yang harus kulakukan.” Reddish berkata tegas dan dengan cepat meninggalkan ruangan. Para pemimpin klan berdiri serempak dan menjura, membiarkan Reddish tergesa melangkah pergi.

***

Reddish terus menembus angin kencang yang menerpa dan melempar tubuhnya berkali-kali ketika ia dengan keras kepala memaksa diri menghampiri Azure dan Mauve yang saat ini entah bagaimana keadaannya di kastil ungu itu. Semoga ia belum terlambat.

Petir ungu yang berkilat itu menyala-nyala terang di atas kastil, seolah dengan angkuh menunjukkan keberadaannya setelah tiga tahun ini disembunyikan. Reddish baru saja akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk terbang menuju kastil ungu itu ketika nuansa gelap nan mencekam yang meliputinya itu musnah perlahan-lahan. Dada Reddish bedesir dan ia dengan cepat melesat mendekati kastil ungu yang hanya tinggal separuh jarak.

Matahari yang tadinya tampak bersembunyi dan takut-takut berada di balik awan kini memperlihatkan lagi sinar cerahnya yang pongah, menerangi apa saja. Lelaki merah itu menginjakkan kakinya dengan gamang. Crimson yang berjalan di belakangnya turut memindai sekeliling. Ketika cahaya mentari itu merambat dan naik perlahan, tampaklah pemandangan mengejutkan yang membuat Reddish tercengang dan mengepalkan tangan. Lelaki itu berlari mendekat dan melebarkan mata lantas berjongkok ke sisi tubuh Azure yang tergeletak begitu saja di atas rerumputan berwarna ungu muda itu.

Hal lain yang membuat Reddish terbelalak adalah saat ia melihat Mauve turut tak sadarkan diri tak jauh dari ibunya terbaring dengan semakhluk hewan berwarna ungu yang menyundul-nyundulkan kepalanya ke arah Mauve dengan gerakannya yang lucu. Hewan kecil berbulu itu terus mendesak-desakkan tubuhnya seolah sedang berusaha membangunkan anak lelakinya yang tak sadarkan diri. Lebih dari itu, yang membuat kedua mata merah Reddish menyipit adalah ketika ia melihat jika punggung hewan berbulu serupa kucing itu itu membentuk garis zig-zag serupa petir yang memanjang dari belakang kepala hingga ekornya yang panjang.

Reddish segera memerintah Crimson untuk mengundang yang lainnya kemari membantu para pelayan Azure yang turut tak sadarkan diri. Lelaki itu kembali menunduk, menatap Azure dalam pangkuannya yang masih memejam.

“Azure. Bangunlah.” Reddish mengusap pipi perempuan itu perlahan sembari mengeluarkan aura merahnya yang hangat. “Azure,” panggilnya sekali lagi.

Perempuan itu tampak mengernyit dengan lemah. Bulu matanya tampak bergerak-gerak, mengajak kedua matanya untuk membuka. Reddish melekap Azure rapat-rapat, cemas atas ketidaktahuannya akan apa yang sebenarnya terjadi.

Azure tampak mulai mengatur napasnya perlahan dengan keloapak matanya yang mulai terbuka. Keterkejutan tampak melumuri wajahnya ketika ia menemukan Reddish di depan matanya. Wajahnya tampak dipenuhi teror saat mengingat peristiwa mengerikan sebelum ia menyadari jika dirinya tak sadarkan diri.

“Astaga. Reddish. Mauve ….” Azure menatap ke arah pandang Reddish yang saat ini tak berkedip menatap ke depan begitu Azure menyebut nama putra mereka.

Pemandangan hewan berbulu yang tak henti-henti menyentuhkan tubuh lembutnya ke arah Mauve itu membuat Azure mengerutkan kening. Sang lelaki kecil itu terlihat mulai menggeliat dan ia terkejut oleh hewan berbulu yang tiba-tiba saja menciumi pipinya. Keterkejutan itu berubah menjadi tawa riang Mauve yang khas ketika ia mengusap-usap kucing ungu itu dengan telapak tangannya.

Suara meongan lirih diiringi gerak tubuh kucing itu yang memeluk-meluk seolah mengajak Mauve untuk lupa jika sebelum ini, ia dan ibu beserta pengawalnya hampir saja celaka karena nuansa aneh nan mencekam yang tadi sempat melingkupi mereka.

Reddish menatap anaknya dengan wajahnya yang masam, sementara Azure justru tersenyum penuh syukur karena tak menemukan suatu apa pun yang membahayakan putra kesayangannya.

Anak laki-laki itu bangkit sembari menggendong kucing kecil itu dalam pelukannya lantas berjalan mendekat ke arah kedua orang tuanya yang kini sedang terduduk menatapnya dengan ekspresi berbeda.

“Ayah! Ibu! Lihat kucing ini lucu sekali. Dia memiliki warna bulu sama seperti warnaku!” serunya antusias. “Aku ingin memeliharanya, ya. Aku ingin membawanya. Suren. Namanya Suren!” Mauve beceloteh riang dengan mengangkat-angkat hewan itu dengan gemas, membuat Azure tak kuasa menolakdan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya menyetujui.

“Dia memang milikmu, Mauve. Dia adalah kekuatanmu.” Reddish berucap serak dengan tak henti menatap pada hewan kecil itu. Reddish tahu jika hewan itu hanya sedang berpura-pura bersikap menggemaskan di balik tampilan sesungguhnya yang ganas. Sepertinya kucing itu cukup mengerti jika ia harus menjaga sikap dengan mengimbangi Mauve yang masih belia setelah ia seolah dihukum oleh Reddish dengan mengurungnya di tempat ini. Ia akan patuh dan menjadi milik Mauve sesuai perintah anak itu.

“Milikku? Ayah yang melindungi hewan ini untukku? Terima kasih, Ayah.” Mauve mencium-cium Suren dengan pipinya, menunjukkan rasa senangnya.

Dan begitulah, Mauve hidup bersama-sama dengan kucing kecilnya sepanjang waktu hingga bertahun-tahun kemudian membawa Mauve tumbuh besar menjadi lelaki muda di negeri langit itu. Menjadi petarung selanjutnya.

***

Mauve tumbuh menjadi lelaki gagah yang mencolok. Dia masyhur oleh sifatnya yang penyayang. Mauve senang membantu dan tak suka merepotkan makhluk lain, bahkan dalam kehidupan kesehariannya, Mauve telah meminta tinggal di kastilnya sejak usia 10 tahun. Para pengawal yang sejatinya dihadirkan untuk melayani kebutuhan-kebutuhannya, malahan diperintah oleh Mauve untuk turut serta berlatih bela diri dan menyemai warna bersamanya, meskipun begitu, para pengawal itu tetap berperilaku baik dan selalu tunduk, menjura patuh di hadapan lelaki ungu itu. Jika klan merah terkenal dengan parasnya yang rupawan dan memikat tapi dengan sifat-sifatnya yang kasar, maka Mauve adalah penyempurna di mana ia adalah idaman setiap makhluk perempuan dengan parasnya yang tampan dan sifatnya yang penyayang.

Sesempurna itu Mauve di mata semua makhluk sehingga terkadang, tidak ada yang menyadari jika kelebihan itu adalah racun bagi makhluk lain. Mauve adalah makhluk penakluk. Wujudnya yang tampak indah dengan peliharaan lucu serupa kucing besar itu adalah tipuan besar bagi makhluk lain yang hendak menyerang.

Suren yang saat pertama kali bertemu dengan Mauve hanyalah seekor bayi kucing kecil yang menggemaskan, kini turut mengubah dirinya menjadi kucing besar serupa singa dengan bulu-bulu ungunya yang panjang memenuhi badan, meskipun suaranya yang serupa meongan kucing dan sikapnya yang jinak itu membuat siapa saja yang melihat dan berdekatan tak tahan untuk tak mengusapkan telapak tangannya di kelebat bulunya yang halus.

Di saat terdesak dan diharuskan bertarung bersama Mauve, Suren bisa berubah menjadi busur berbentuk petir yang akan mengeluarkan ribuan cahaya mematikan berwarna ungu ke arah musuh. Suren juga bisa berubah menjadi serupa hewan tunggangan yang kecepatan terbangnya seperti kilat.

Barangkali melalui itulah semesta mengabulkan permintaan Reddish di waktu lampau saat ia menyerah pada dirinya saat ancaman memiliki putra dengan kekuatan besar itu menghadangnya. Walau keinginan Reddish pada waktu itu terlontar saat ia terkena pengaruh kekuatan jiwa, tetapi dengan Mauve terpisah dari sumber kekuatannya yang tertanam di tubuh Suren, Reddish bersyukur karena kekuatan besar itu tak menyakiti Mauve seperti dirinya yang dahulu harus menyimpan kekuatan api besar dalam dirinya sendiri.

“Mauve.” Suara sapaan lembut dari arah belakang membuyarkan lamunan. Mauve menoleh dan menemukan jika Vanilla, makhluk peremuan dari klan putih itu berdiri tak jauh di belakangnya. Suren tampak terlebih dahulu menyambut kedatangan makhluk putih itu dengan mengeong dan menyundul-nyundulkan kepalanya ke sisi tubuh Vanilla.

Lelaki itu tersenyum dan membalikkan badan. “Kau, Vanilla,” sapanya kemudian. Sedetik setelahnya, Mauve memindai sekeliling dan menyadari jika dirinya masihlah sedang berada di tepi bukit jauh di pulau seberang. Ia tadi datang ke tempat ini untuk menuruti Admiral adiknya, yang rewel memintanya untuk bermain petak umpet bersama. “Apa yang kaulakukan di sini?” tanyanya dengan mengangkat sebelah alis.

“Ayahmu memanggilmu. Dia murka karena kau membuat Admiral menangis. Astaga … kau ternyata di sini.” Vanilla berujar dengan mengangkat bahu.

Mauve mengusap wajahnya kasar. Ia tak berniat menghilang dan membuat adiknya itu menangis. “Astaga. Admiral selalu mengadu kepada Ayah,” keluhnya. “Baik. Aku akan ke kastil milik Ayah sekarang juga,” ucapnya sembari mengangguk dan hendak berjalan ke ujung bukit untuk mulai terbang. Namun sebelum itu, Mauve menghentikan langkah dan menoleh. “Kau tahu aku berada di sini? Kau turut mencariku?” tanyanya tak percaya dengan ekspresi tak percaya yang penuh terima kasih.

Ditanya seperti itu, perempuan itu justru hanya berpaling dengan ekspresinya yang membuat kening Mauve berkerut.

“Vanilla?” Mauve memanggil ketika makhluk perempuan itu hanya diam.

Perempuan itu menoleh.

“Kau mau pulang bersamaku? Kita bisa bersama-sama menaiki Suren.” Mauve menawarkan, mengedikkan dagu ke arah Suren yang saat ini sedang asyik menjilat-jilat kakinya.

Vanilla menarik napas. “Kau tak apa-apa? Aku tak merepotkan?” tanyanya canggung.

“Tentu. Aku bisa dimarahi ayah nanti jika tahu kau berada di tempat ini sementara aku tak mengajakmu pulang.” Mauve tersenyum, meyakinkan perempuan itu.

“Ah, baiklah,” sahutnya mantap lantas mulai mengekor langkah Mauve. Namun, tiga langkah ketika Mauve pada akhirnya memimpin jalan diikuti kucingnya yang mengeong-ngeong, lelaki itu menghentikan jangkahan kakinya dan tiba-tiba membalikkan tubuh, dengan secepat kilat mengeluarkan petir-petir ungunya yang menancap di sekeliling tanah tempat makhluk putih itu berdiri.

“Vanilla tak mungkin mencariku sampai kemari.” Mauve menyeringai dan terkekeh dengan senyum jahat meremehkan yang membuat makhluk putih itu menampakkan otot-otot kulitnya yang tebal, sebelum menampilkan wujud aslinya sebagai makhluk serupa beruang raksasa dengan matanya yang marah, jelas sekali berniat menerkam Mauve dari belakang.

Mauve lantas melangkah mendekat, menyentuh kepala beruang besar itu seolah sedang merasa bersalah karena telah membuat makhluk itu terjebak dalam kurungannya. “Terima kasih karena telah mengingatkanku untuk pulang,” ujarnya dengan wajah manisnya yang tampan.

Beruang itu mengerutkan alisnya dengan ekspresi terharu, cepat sekali ia berubah perasaannya dan tiba-tiba saja merasa berharga karena makhluk ungu itu mengucapkan terima kasih, lupa pada posisinya saat ini yang masih berada di dalam terali petir yang merubunginya. Baru setelah Mauve enyah dari tempat itu menampakkan wujudnya yang semakin kecil ketika terbang makin jauh, tiba-tiba kepala beruang itu terasa pecah dengan cahaya putih bersinar yang lama kelamaan membesar keluar dari kepala bekas sentuhan Mauve tadi.

Belum sempat mengeluarkan raungan, terlebih dahulu tubuh beruang itu hancur berkeping-keping dengan bagian-bagiannya yang tampak hangus, seperti habis dilalap api.

Mauve tersenyum dengan sebelah bibir, melirik melalui ekor matanya dengan puas. Ia mengelus pucuk kepala Suren yang terus melaju kilat menuju kastil merah, di mana keluarganya telah menantinya pulang.

 

Terima kasih telah membaca sampai part ini :) Terima kasih banyak atas segala penyemangat yang selalu diberikan di tiap part, semoga semangat itu juga yang ada di diri teman-teman semua.
Selamat menjalani hari, semoga hari-hari teman Vitamins dan kakak Author semua selalu menyenangkan ^^

See ya….

11 Komentar

  1. Queen_Urvilla menulis:

    :lovelove :lovelove :lovelove

  2. Dona Nurhayati menulis:

    Kekuatannya luar biasa, :ayojadian

  3. Syadzerayani menulis:

    Gimana…gimana…
    Jd si beruang nyerupain vanila dgn maksud nginegtin mauve wt plg
    Tp malah dibasmi oleh mauve
    Gitu ya?!

    1. Bintang Timur menulis:

      Kutambahi 1 kalimat di paragraf akhir biar ga salah paham haha
      Terima kasih ya

  4. Cowok rambut merah 😳😳 kek si beiwang

  5. Jayaning Sila Astuti menulis:

    huaaa… jadi pingin ada cerita sendiri ttg mauve… :berikamiadegankiss!

  6. :berikamiadegankiss! Ayo dong mauve

  7. Terima kasih atas karyanya kak :lovelove
    Semoga ada versi lanjutan kisah mauve yaa xixi

  8. Tks ya kak udh update.

  9. Dia menemukan jalannya sendirii