Vitamins Blog

The Little Girl (part 1 New House)

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

16 votes, average: 1.00 out of 1 (16 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Untuk part ini saya khusus buat dan didedikasikan untuk farahzamani5, lovesela, alvinabb, Azmi Zeddani dan 14 people yang sudah like prolog The Little Girl ya— entah 14 people itu siapa saja orangnya karena aku tidak tau. Makasih banget atas respon kalian yang membuat saya semangat. Enggak nyangka baru awal aja udah ada yang mau minat baca ha ha ha.

Ok sebelumnya aku minta maaf, karena niatannya aku mau upload ceritanya minggu lalu. Tapi karena ada insiden yang tak terduga, alias tiba-tiba tulisan ku yang ku buat menghilang. Entah ini salah ku atau bagaimana, jadi yeah dengan perasaan campur aduk saya buat lagi. Untunglah sebagain besar masih ku ingat bagaimana kalimatnya.

Dan jeng jeng jeng akhirnya aku bisa menyelesaikan part pertama ku ini dengan susah payah. Dan ternyata setelah ku tulis ulang banyak ide yang masuk. Alhamdulillah ya, sesuatu banget.

Ya udah ya, selamat baca cintaaaaaaa….

※※※

Happy Reading

Ketika dihadapkan ketidaktahuan. Sampai mengira ini hanyalah mimpi yang tak kunjung menemukan titik terang. Nyatanya apa yang terjadi tak pernah terlintas dalam pikiran.

Terlalu melelahkan. Sungguh. Sebab delusi akut yang tersaji membuat dirinya meyakini, mungkin ia akan menjalani kehidupan yang baru?

Ck serius, apa perlu ia memberi ucapan selamat? Karena kepindahannya secara mendadak seperti ini. Diluar ekspektasi pula. Jiwa dan raga seutuhnya bukan lagi mendarat di bumi kelahiran yang sebenarnya, melainkan bumi pertiwi negara kelahiran ibunya.

Baiklah, selamat datang di Korea Selatan.

Entah sudah berapa tahun Dara tak pernah berkunjung. Dan entah sudah berapa lama Dara tak menempati kamar pribadinya yang terasa asing tak asing.

Tubuhnya baru tersentak. Putus pandangan yang sibuk akan menyoroti perabotan-perabotan yang terpajang manis di kamar pribadinya. Batin mengatakan tak ada yang berubah. Walau Dara tidak terlalu yakin untuk itu.

Bunyi kebisingan lambat-lambat mulai mendekat. Pintu terbuka, memperlihatkan siluet pria yang diyakini memiliki ikatan darah yang sama dengannya. Dennis Fang. Pria itu terlihat sibuk. Dara buang pandang.

“Taruh disana saja.” Perintahnya pada beberapa pelayan yang sibuk membawa koper. Tak perlu bertanya koper itu milik siapa. Sebab, seutuhnya milik Dara.

Diam-diam Dennis melirik sang adik. Menaruh rasa bersalah yang membuat hatinya menggelitik tak nyaman.

Minta ampunan kepada Tuhan. Sebab Dennis telah menyetujui rencana sang ayah. Walau setengah tak merelai. Persetan dengan semunya! Dipikir-pikir lagi ini demi kebaikan Dara juga. Shit! Dennis benci pilihan.

Membentuk sebuah perjodohan dan berharap kekuatan cinta dapat merubah mereka.

Fix! Dennis sudah ketularan gila seperti ayahnya.

Dan sesuai rencana. Ayah menyuruhnya untuk memboyong Dara ke Korea.

Beberapa pelayan sudah beranjak satu-persatu. Maka sekarang hanya mereka yang tersisa. Hening melanda membuat Dennis merasa tak betah. Maka diawali pembicaraan dengan terbatuk penuh konteks misteri. Ehem.

“Aku hanya ingin memberitahu.” Katanya, cepat sekali bungkam. Menggantung diakhir kata.

Gugup melanda lebih cepat dari yang dikira. Saat kedua mata saling mengunci dan bertumpuk. Dennis yang lebih dulu buang pandangan. Menetralisir rasa bersalah yang semakin memuncak. Ia tak bisa pandang lama-lama adiknya.

“Kamar ku berada di depan mu kalau tak ingat.”

Dara melirik keluar kamar, yang kebetulan pintu tengah terbuka lebar.

Dennis mafhum.

Dennis gatal tak bersua. “Kalau kau membutuhkan sesuatu panggil saja aku, atau pelayan. Buatlah dirimu senyaman mungkin, itu akan membantu walau tak banyak. Aku tau kau sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, tapi setidaknya berusahalah.”

“Trims.”

Singkat padat dan jelas. Menjadi kakak yang baik haruslah bisa menahan kekesalan. Jadi mohon bersabar, karena ini ujian berat.

Dennis mengerti, mungkin adiknya tengah kelelahan akibat perjalanan mereka yang panjang.

“Lebih baik kau istirahat.” Genggaman mengerat pada gagang pintu. Badan berbalik ingin lekas pergi.

Niatannya seperti itu. Namun rupanya tak pernah terjadi. Sebab, sebuah panggilan sang adik lebih dulu menginterupsi.

“Kakak.”

Sadar reaksinya berlebihan. Dennis buru-buru menoleh.

“Kenapa? Kau membutuhkan sesuatu?” Tanya Dennis.

Dara menggeleng pelan. Terlalu samar untuk dilihat. “Tidak.” Jawabnya singkat. Dagu diangkat untuk memandang Dennis lurus-lurus di depannya.

“Aku hanya—”

Hening

Okey, aku hanya apa?

Suatu kebiasaan ketika dilanda kebingungan. Jari-jemari saling mengait satu sama lain. Dennis terlihat bingung. Tahu betul jika Dara ingin menyampaikan sesuatu. Namun tertahan karena ketidakyakinan ingin berkata.

“Hanya? Hanya apa?” Serius, Dennis tengah menahan rasa gemasnya.

“Aku hanya ingin bertanya.” Jeda. Memandang ragu. “bisakah kau mau menjawab? Sesuai apa yang kau ketahui, aku tidak akan memaksa jika kau tidak ingin menjawabnya. Jadi—”

“Apa? Tanyakan apa yang ingin kau tanyakan. Aku bersedia untuk menjawabnya karena aku adalah kakak mu. Sudah ku bilang berulang kali kau tak perlu sungkan untuk apapun. Apa gunanya kau memiliki kakak? Aku lelah terus memperingati dengan kalimat yang sama.”

Dara mendecit.

Suasana berubah lebih kondusif. Maka tak tahan Dennis ingin tersenyum kecil.

Mengembuskan nafas pelan. Menatap jengkel sang kakak. “Baiklah aku tidak akan basa-basi lagi. Aku yakin kau tidak suka itu. Jadi, aku hanya ingin tanya. Kenapa Ayah menyuruh ku untuk ikut bersama mu?”

Ah!

Shit!

Andai aku bisa bicara jujur pada mu.

Dennis menahan bulat-bulat keinginannya.

“Apa Ayah tidak mengatakannya? Atau kau lupa untuk menanyakannya?” Sengaja melempar balik bertanya.

“Ayah memang mengatakannya.”

Karena pada dasarnya tugas untuk mencari alasan telah diurus oleh sang ayah. Dennis hanya mengikuti prosedur.

Ha! Tidak mungkinkan ia harus ikut mencerca panjang lebar untuk memperjelas semuanya? Bisa mati kutu! Cukup untuk ini! Dennis tak sanggup menipu lagi.

“Lalu apa masalahnya sekarang?” Serius, jijik sekali. Pura-pura tidak tau dan sekarang pasang tampang pura-pura kebingungan.

Dara menundukkan kepala, terangkat lagi tak berselang lama. “Tidak ada masalah. Aku hanya kebingungan.” Wajah cantik mengkerut di titik tentu. Dara pandang lekat Dennis tepat dimatanya. “Aku tidak mempermasalahkan apapun. Aku tidak keberatan untuk ikut bersama mu, sesuai dengan permintaan Ayah. Hanya waktunya yang menurutku tak tepat. Aku sudah kelas tiga, kau tau sebentar lagi aku akan mengikuti ujian Negara. Dan seharusnya aku tidak boleh pindah sekolah. Kau mengertikan apa maksudku?”

Dara ingat betul alasan kenapa ia disuruh pindah kemari.

Sekolah disana lebih bagus. Ayah ingin kau mendapatkan pendidikan terbaik.

Nyatanya di China tak kalah bagusnya. Sekolah bagus atau tidak, Dara berpikir itu tidak akan mempengaruhi apapun karena pada dasarnya kepintaran akan didapatkan oleh usahanya sendiri. Semua sekolah sama menurutnya. Hanya tergantung dari masing-masing orang yang mau berusaha atau tidak.

Dara berpikir alasannya tak begitu logis. Maka itu ia perlu bertanya. Barangkali memang ada alasan yang lain.

“Ah itu…” Gelagapan. Diam-diam Dennis memaki.

Shit! Sia-sia saja ayahnya beralasan. Dennis tidak bisa berpikir jernih. Ia butuh sebuah alasan yang bisa membuat adiknya bungkam atau tidak lagi menimbulkan keraguan.

Atau sebuah alasan yang sedikit menyakitkan.

Menghembuskan nafas tak tertahan. “Aku tidak bisa menyembunyikan ini terus menerus. Ku pikir kau perlu tau kebenarannya.”

And then show time!

Dennis tak gila untuk memberitahu yang sebenarnya. Ia punya cara sendiri.

Sesuai dugaan, Dara terlihat tertarik ingin mengetahui. “Apa maksud mu?”

Jeda.

Hening menyelimuti.

“Sebenarnya ini semua inisiatif ku. Aku yang meminta ayah untuk membawa mu ke Korea.”

Tercetus sudah fakta baru.

Menatap tak percaya. “Kenapa kau lakukan ini?”

“Dara.” Desah Dennis. “Rupanya kau tidak cukup peka. Aku lakukan sejauh ini karena aku sudah lelah.”

Dara kebingungan. Tanpa diduga hatinya diselimuti desiran tak enak untuk dirasa. Setitik rasa sakit entah karena apa. Padahal Dennis belum mengatakan secara menyeluruh. Pikir nya ini akan berujung tidak baik.

“Aku tidak mengerti maksud mu.” Sungguh Dara tidak tau alur pembicaraan ini akan menuju kemana.

“Maksud ku sudah jelas. Aku sudah lelah terus mendengar keluhan Ayah tentang mu.”

Tubuh tiba-tiba mematung saat ia mendengar Ayahnya terungkit dalam pembicaraan ini.

Apa?

Keluhan?

Dara menerka-nerka apa ia punya salah? Sehingga beliau mengadu kegundahannya pada Dennis. Kegelisahan kini Dara rasakan.

Dilain hati Dennis merasa tak enak dengan adiknya. Apa daya lah dia, pikirnya ini jalan satu-satunya. Walau harus berujung untuk menyakiti. Namun untuk dilain sisi ini perlu diungkapkan, agar Dara mengerti.

Sebab, alasan yang ia buat sekarang sepenuhnya adalah fakta. Memanglah ayahnya terus mengeluh tentang Dara, tapi nyatanya Dennis tak ambil pusing. Dennis tak sepenuhnya berbohong, tapi ia mengerti bagaimanapun juga sikapnya salah. Karena begitulah, alasan yang Dennis buat bukalah alasan yang sebenarnya melainkan hanya kedok belakang.

Dennis tak membiarkan Dara berbicara. Ia ingin semuanya segara berakhir disini. Lama-lama tak kuat juga hatinya. “Memanglah sepele, dan terdengar kekanak-kanakan. Namun jika alasan itu tercetus dan membuat Ayah resah maka tak ada kata main-main dan gurauan. Ayah terus mengeluh karena sampai detik ini kau tidak memilik teman. Sikap sosialisasi mu bahkan nol besar. Ayah sampai menyelidiki pihak sekolah mu dulu apakah kau terkena kasus bully. Tapi nyatanya kau yang mengasingkan diri. Tau lah bagiamana ayah mu itu, beliau hanya terlalu takut. Takut jika kau memiliki gangguan, berujung pada tekanan batin dan fisik.” Dennis menghembuskan nafas kasar. “Sudah berapa tahun ini Dara? Kau tidak boleh seperti ini terus. Mulanya aku masa bodoh dan tidak peduli namun semakin kesini aku sudah terlanjur muak. Ya, aku juga khawatir sama seperti Ayah. Bagaimanapun juga aku ini kakak mu. Kami ingin yang terbaik. Begitupun dengan ibu dan Haru, mereka pasti sedih melihat mu seperti ini terus. Ingat bagaimana permintaan terakhir Haru? Kau tidak mungkin lupakan?”

Dara buang pandang.

Kontak bersitatap sengaja Dara putus secara sepihak. Tolonglah, hatinya berubah nelangsa. Menahan sesuatu yang menggeliat pada hati, rasa sesak yang perlahan membuatnya mati rasa.

Dara sudah terlatih untuk hal semacam ini. Namun selalu sama, selalu ada saja alasan air matanya ingin tumpah, tenggorokan kini berubah menjadi sesak. Seperti ada yang mengganjal. Sebab beginilah, menahan rasa amarah yang entah didedikasikan untuk siapa.

Kalau aku tidak ada, apa kau mau sendirian terus? kalau begini jadinya, dalam keadaan matipun aku tak tenang Dara.

Tersenyum miris.

“Aku sudah terlalu banyak bicara sekarang. Kau ada baiknya istirahat. Kalau perkataan ku tadi mengusik mu, anggap saja aku tidak mengatakan apa-apa. Aku minta maaf untuk ini. Istirahatlah. Aku pergi dulu.”

Pintu tertutup pelan. Tak meninggalkan suara.

Hening kembali menyelimuti. Sebab, hanya dia seorang. Cukup lama Dara memejamkan matanya. Otaknya terlalu banyak berpikir sekaligus beban yang sering kali membuatnya lelah.

Kelopak mata terbuka pelan. Perlahan-lahan ia melempar pandang kearah pintu.

Sendu ketika Dara menatapnya. “Apa aku terlihat begitu terpuruk? Sehingga kalian sampai mengkhawatirkan aku seperti ini? Aku, tidak membutuhkan yang namanya teman. Sebab, aku sudah terlanjur nyaman dengan keadaan ku sekarang.” Tak kuat, Dara menunduk kepalanya dalam. Dan pada akhirnya kodratnya sebagai wanita yang mana ketika tidak sanggup untuk menahan sesuatu maka berakhir pada linangan air mata. Ada kalanya Dara benci. Kenapa selalu berakhir dengan sebuah tangisan?

“Kau bertanya apa aku melupakan janji Haru? Tentu tidak Dennis. Kau salah besar jika aku melupakannya. Karena bagi ku permintaan Haru sudah seperti amanah. Aku hanya perlu waktu, karena tidak mudah untuk melakukannya. Jadi pelan-pelan ya, sulit bagi ku untuk menerima kehadiran orang baru. Sebab, aku tak ingin akhirnya seperti ibu dan Haru.”

Lalu sebuah kejutan kembali muncul. Dalam keadaannya menunduk dalam, membuat Dara mengetahui cepat. Tak menyangka, bukan hanya air matanya saja yang ikut mengiringi. Namun setetes cairan kental. Merah pekat. Mengharumkan wangi yang tajam yang sering kali membuat Dara dibuat muak.

Darah. Muncul secara tiba-tiba melalui kedua lubang hidungnya. Dara meraba. Menatap Darah segar itu dengan raut wajah datar.

Jika sudah mimisan seperti ini. Maka haram baginya untuk menyepelekan.

Penyakit anemianya kambuh.

“Ku harap Dokter Han ada di Korea sekarang.”

Rasa pusing kembali menyerang tanpa dikehendaki. Dara dibuat susah hanya untuk menghubungi seeorang.

Ponsel ditempatkan pada telinga. Menunggu.

Dara menyipitkan mata. “Dokter Han ini aku.”

※※※

Dilain sisi, Dennis masih berdiam diri di pintu kamar adiknya. Tak ada niatan ingin beranjak.

Serius, diluar ekspektasi hatinya ikut sakit. Ck, sialan. Barusan Dennis berubah menjadi kakak yang kejam. Ha! Sebab bukan inilah kepribadiannya. Dennis ikut pusing. Apa lagi ketika ia mengingat bagaimana wajah adiknya itu. Penuh rasa sedih dan luka. Seharusnya, ya memang seharusnya Dennis harus bisa menjaga perasaan adiknya.

Sebab beginilah, pembicaraan mengenai Ibu dan Haru adalah topik yang paling sensitif untuk Dara. Karena mereka adalah sosok yang begitu berharga untuk adiknya.

“Ini baru awal Dennis. Kau sudah dibuat pusing tujuh keliling. Apa lagi dasar intinya. Sudah lebih dulu aku memilih merendam diri di laut lepas kalau aku tak sanggup.” Dennis memaki. Ia memijat pelipisnya dengan gerakan tak sabaran.

“Tuan Dennis.”

Dennis menoleh. Merasa ada yang memanggil. Iris mata menangkap siluet pria setengah baya.

Dennis menegakkan tubuhnya cepat. Tersenyum ramah pada sosok yang merupakan salah satu orang kepercayaan sang Ayah. Dennis mengenal baik.

“Ah, ada apa paman Lee?”

“Bukannya kita perlu bicara Tuan?”

Ha?

Dennis gagal paham.

“Bicara? Memang ada yang perlu kita bahas?”

Paman Lee tak menjawab pertanyaan yang diajukan Dennis. Melainkan tersenyum. Konteks senyum penuh arti yang langsung membuat Dennis cepat mengerti.

Dennis menyadari cepat. Ia paham sekarang maksud konteks bicara itu.

Mendecak. “Pikir-pikir mana mungkin Ayah tidak memberitahu mu ya? Okey, sebaiknya kita bicara dikamar ku saja. Disana lebih aman.”

8 Komentar

  1. farahzamani5 menulis:

    Pertamaaa hehe
    Ga apa2 kok ka, kita2 mah nunggu ajahhh, jngn ngerasa diburu2 yak, sesempetny dikau aja buat update ny kpn, ya klo bsa tiap hari ehhhh hahaha, ga denk becanda hihi
    Oia lope-lope ga bsa diklik ka, cba edit, apus dlu, trs tulis ulang [ratings]
    Apa itu dikau copy ya tulisan ratingsny, klo dicopy nnt ga bsa di klik kudu ditulis manual hehe
    Semangat
    Bca dlu yak

  2. farahzamani5 menulis:

    Wahhhhh msh ngeraba2 nih aq ka eaaa bahasany hihi
    Knp bgtu knp bgni
    Aihhh penasaran jdinya hihi
    Dennis oh Dennis ???
    Lanjut lanjut lanjut ehhh haha
    Semangat trs ya
    Ditunggu kelanjutanny

  3. Waaahhhh thank youuu buat dedikasiin cerita ini ke akuuu. Ga nyesel deh baca prolog dan yang ini juga keren :KISSYOU masih penasaran belum nemu titik terangnya hehe :BAAAAAA
    Semoga selalu semangat ya buat nulis :superhero

  4. Part ini ngk bisa di vote loh

    1. farahzamani5 menulis:

      Sudah bsa divote skrng ka

  5. Ditunggu lanjutannya

  6. :MAWARR :YUHUIII aku dpt dedikasi ,, uuhhh speechless sayah wkwk
    agak lupa2 dikit tapi aku selalu nunggu part selanjutnya yaa ,, semangat

  7. fitriartemisia menulis:

    weh, Dara punya anemia ya ckckk