Vitamins Blog

Tanpa Judul || Bagian 6

Bookmark
Please login to bookmark Close

Radif membuka matanya dan langsung menatap langit-langit kamar, rekaman kejadian kemarin terulang kembali dalam pikirannya. Harusnya ia tidak terkejut dengan reaksi Al yang marah, ia hanya…menyesal?

Radif mengusap wajhanya kasar, kenapa ia harus mengatakan itu? Kenapa ia meminta Al untuk memulai semuanya dari awal. Sementara ia sendiri bingung, dari awal itu seperti apa? Sepanjangn ingatkannya ia tidak pernah sedekat itu dengan Al, kecuali saat mereka masih duduk di bangku sekolah. Apa harus sejauh itu? Namun Radif tidak yakin, apa dulu mereka juga dapat dikatakan sedekat itu?

Ingatan Radif terjun ke masa lalu, ia mencoba menyelami masa-masa kebersamaannya bersama Al. Namun tetap tidak menemukan jawabannya.

“Ckk!”

Radif merogoh tasnya dan mengeluarkan lembaran brosur yang ia ambil dari Al kemarin. Ia membaca tempat dan alamatnya. Perasaan de javu kembali menyelimutinya.

Apakah ia harus datang ke sana dan kembali menjelaskan maksudnya, namun untuk apa? Tujuannya hanya meminta maaf pada Al. Sekarang ia sudah mengatakannya, lalu apa lagi yang harus ia jelaskan?

“Biar semuanya clear,” gumam Radif lebih pada diri sendiri. Ia memasukan brosurnya asal. Ia harus menemui Al lagi besok.

 

***

 

Radif tiba di tempat pukul enam lebih lima belas, tempat itu masih terlihat ramai. Radif dapat melihat kesibukan di dalamnya meski ia berada di seberang jalan. Beberapa kali Radif melihat Al mondar-mandir di depan front office untuk mengantar atau menyambut anak-anak yang datang, atau sekadar mengobrol dengan rekannya. Radif memperhatikan semua aktifitas gadis itu terhitung empat hari ini.

Kali ini ia harus bisa menemuin Al tanpa diganggu oleh si tukang ojek.

Bebrapa hari sebelumnya Radif datang pukul tujuh, tepat saat tempat itu sudah bersiap untuk tutup. Gedung dua lantai itu tampak sederhana, tidak seperti tempat yang sebelumnnya. Radif tidak turun dari mobil, ia menunggu di seberang. Cukup jauh namun masih bisa melihat orang-orang itu dengan jelas. Radif menunggu hingga semuanya telah pulang dan menyisakan satu orang, Alrina.

Ketika waktu itu datang, Radif sudah bersiap untuk turun namun urung karena setelahnya seseorang lebih dulu datang menghampiri Al. Ojek online mungkin. Radif menunggu, ia memperhatikan sebelum akhirnya mereka pergi. Kegagalan pertama hari itu. Mungkin besok Radif harus lebih awal.

Keesokan harinya Radif datang di jam tujuh kurang sepuluh, ia masih bisa menemui Al lebih cepat, namun entah dari mana si tukang ojek datang lima menit sebelum tutup, wal hasil saat Al keluar dari pintu ia langsung menyambut si tukang ojek dengan senyum dan pergi. Itu kegagalan kedua Radif.

Radif masih tidak berpikir macam-macam mungkin si pria adalah kerabatnya atau tukang ojek langganannya. Entah lah, namun Radif penasaran dan ingin mencoba sekali lagi. Hari berikutnya Radif datang sedikit terlambat namun ia berhasil sampai sebelum gedung itu tutup, ia juga tidak melihat tanda-tanda si tukang ojek. Wah ini hari keberuntungannya.

Begitu semua bubar, Radif bersiap untuk turun dari mobil namun gerakannya terhenti saat ia mihat Al sedang berbincang dengan seseorang, seorang pemuda. Nampak sekali keakraban keduanya, sesekali Al tertawa lepas. Hari itu juga Al tidak seperti biasanya, ia memakai pakaian yang tidak pernah Radif lihat sebelum-sebelumnya, rapih dan sesekali ia merapihkan rambutnya. Seperti hendak pergi … berkencan?

Setelahnya bisa ditebak, pria itu mengeluarkan motornya dari parkiran, motor yang sama yang selalu Radif lihat di tiga hari sebelumnya, pria itulah si tujang ojek. Radif masih memperhatikan ia menyandarkan kedua lengannya diatas setir dan melihat kedua orang itu menjauh.

Hmmn… Jadi Al sudah menemukan orang yang tidak akan dia kuntit lagi? Itukah alasannya dia menolak permintaan maaf Radif?

Stupid,” umpat Radif lebih pada diri sendiri.

Ia merasa bodoh harus mengikuti Al hingga tiga hari. Namun Radif masih tetap datang dihari keempat ini, ia memperhatikan dari tempatnya tidak akan keluar hingga tempat itu tutup, ia hanya … ingin di sana. Memperhatikan gerak-gerik Al, meski ia tidak tahu untuk apa.

“Hah!! Ya, yang bodoh itu gue,” gumam Radif dalam bisikan halus berbaur dengan gemuruh langit dikejauhan.

 

***

 

Pukul tujuh tepat, tidak nampak tanda-tanda akan datangnya si tukang ojek, gedung itu sudah bersiap untuk tidur, semua orang bergegas pulang kecuali Al yang masih di sana menunggu dengan bodoh berharap si pangerannya datang.

“Mikir apa sih lo, Dif? Bego banget,” gumamam Radif.

GLUUUDUUUK GLUDUUUUK

Langit sudah menunjukan tanda-tanda datangnya badai, angin kencang dan mulai gerimis. Gadis itu mulai gelisah, ia celingukan namun tidak menemukan siapapun. Al sesekali menempelkan hapenya di telinga, mungkin menghubungi si pangeran. Ia berbicara sesuatu kemudian kembali memainkan hapenya dan….

BYUUUURRRRRR

Tanpa aba-aba hujan turun dengan derasnnya, terpaksa Al meneduh agak dalam. Sekali lagi ia mencoba mengotak-atik hapenya. Mungkin berpikir untuk mencari tukang ojek (asli). Tapi seperti semua orang tahu, mencari ojek online saat hujan itu sangat membuang waktu. Al mulai putus asa, sementara hujan tidak memberikan tanda akan berhenti. Radif terus memperhatikan dari kaca jendela mobilnya yang buram.

Pemuda itu mengacak rambutnya frustasi, memutar kunci dan menyalakan mesinnya. Ia bersiap berputar. Itu tidak sulit, karena satu menit kemudian mobil Radif sudah terparkir cantik di parkiran gedung. Ia menurunkan kaca jendela pengemudi dan mendapatkan wajah horor Al yang menatapnya. Tanpa memperdulikan keterkejutan Al Radif menurunkan titahnya,

“Naik, lo mau pulang kan? Naik. gue. anterin.”

 

 

TBC