****
Kopi mungkin sedang bar bar memainkan peran dalam tren masa kini.
Kedai kopi yang menjamur dengan berbagai menu yang tak hanya perpaduan kopi, gula, dan susu. Nongki pun terasa belum sah jika belum ngomong, “ngopi, yuk.”
Bukan ahli perkopian, bukan pula penikmat kopi sejati, hanya satu dari sekian banyak manusia yang terjebak kopi dalam cerita hidupnya dan kenangan-kenangannya.
Menelisik jauh hingga ke masa lampau, kutemukan secangkir kopi dalam setiap ceritaku.
Tentang menjadi gadis kecil nan lugu yang selalu menemani Sang Bapak pergi ke kedai kopi sepulang dari kantornya, melepas penat dengan obrolan-obrolan receh dengan kawan setongkrongan sembari mengepul asap-asap nikotin beracun. (eh?!)
Piring kecil yang menjadi tatakan gelas itu selalu disodorkan oleh Bapak perlahan dengan cairan kopi hitam legit yang memenuhinya, telah ditiup-tiup lembut agar suhunya tepat untuk diseruput oleh gadis kecilnya. Aku yang berbinar-binar menerima dengan gembira, tak peduli obrolan apapun yang sedang ditertawakan oleh para pria-pria paruh baya yang saling berdiskusi atau hanya canda tawa receh bersama Bapak. Mereka seperti bukan hanya bicara dalam satu meja, melainkan satu kedai seperti saling mengenal satu sama lain. Sedangkan aku, hanya sibuk dengan jari-jemari mungilku, berhati-hati menyeruput kopi yang setiap mengalir di kerongkongan terasa hangat menyenangkan.
“Bapak, mau lagi!”
Bapak tak pernah merasa terganggu meskipun sedang mengobrol asyik dengan seluruh orang. Bapak akan kembali menuangkan kopinya sambil tersenyum senang dan semua itu berulang setiap sore, di mana si anak TK ini rajin ngopi cantik bersama Bapak, sedang Ibu senang hati di rumah sembari menanti suami dan anak sulungnya pulang dari kedai kopi.
Semua yang berulang menjadi kebiasaan dan yang terbiasa suatu hari hilang menjadi kenangan.
Dan ketika kenangan itu terlalu indah, belasan tahun tak jadi penghalang untuk mencari-cari jalan kembali.
Sudah lama Bapak berpulang dan memiliki langkah menapak kedai itu lagi seperti sebuah keniscayaan hingga aku tak percaya pada tubuhku sendiri yang telah duduk di tengah keramaian hiruk pikuk pengunjung kedai.
Aku tak pernah menyangka masa kecilku habis di kedai yang ternyata bersejarah di kota tercinta dan ikonik dengan kopi dan roti selai sarikayanya. Cabangnya sudah mulai banyak, tapi aku memilih mendatangi kedai yang pertama kali ada, kedai tua yang terawat meski tentunya sudah banyak berbeda, tapi bisik hatiku seperti ingin berkata, “Bapak, aku datang, sendirian dan bahagia.”
Memesan kopi yang sama seperti Bapak, tak lagi menyeruputnya dari tatakan cangkir melainkan menyeruputnya dengan elegan sebagai perempuan dewasa paripurna. Melihat sekeliling dengan penuh makna, menikmati segala detak waktu dengan penuh khidmat.
Tertawa kecil mengingat sebuah mimpi, kelak aku ingin jatuh cinta pada pria yang menuangkan secangkir kopinya di tatakan cangkir lantas menyodorkan padaku dengan kasih sayang. Konyol sekali! Itu bukan hanya tentang secangkir kopi, tapi tentang pintu hati gadis kecil yang diketuk-ketuk halus hingga terbuai.
Tapi, ternyata mampu melangkah sendiri dalam realita, membuat pencapaian hanya tentang aku dan cerita kopiku sendiri adalah sesuatu yang lebih indah dari mimpi tuan putri manja tentang pangeran berkuda putih.
Ternyata, aku sangat hebat.
Dan lagi-lagi secangkir kopi, ceritanya tak habis-habis dalam hidup ini.
****
“Mas, saya nggak mau kalau mas yang buat! Kopinya pahit!” celetukku dengan berani ke barista yang sudah belasan kali setiap membuat kopi pesananku terasa menyebalkan.
Laki-laki urakkan yang selalu lawak, tapi ini bukan tentang cerita cinta, ini hanya tentang memetik hikmah, ternyata menyatakan sesuatu dengan terang tidak selalu menjadi masalah besar.
“Iced coffee latte, less sugar.”
Aku bukan pecinta kopi sejati yang konon katanya semakin pahit semakin keren. Aku hanya, mempelajari beberapa kali memesan, es kopinya terlalu manis padahal hanya normal sugar. Karena kedai kopi itu terlalu menyenangkan menjadi tempat melepas penat sejenak di siang bolong, aku abai sejenak.
Barista pun sudah tahu bahwa aku hanya akan duduk sekitar 3-5 menit, menyeruput separuh es kopi milikku lalu pergi kembali bekerja. Menyadari takarannya terlalu manis, lama-lama aku mulai memilih meminta less sugar lantas masalah datang saat barista laki-laki itu membuatnya karena KOPINYA PAHIT!
Aku mengambil waktu belasan kali orderan untuk menyadari apa yang salah? Sesekali aku merutuk dalam hatiku, “Ih, mas nya ini nggak bisa bedain plain sama less apa?!”
Sampai akhirnya aku menyadari, barista itu pada dasarnya membuat kopi less sugar dengan baik, hanya saja takaran kopinya terlalu kuat, berbeda dengan rekannya yang meletakkan banyak takaran susu daripada kopi, sehingga rasanya berbeda.
Dan meskipun aku perlu mengambil waktu berhari-hari gelisah dengan caranya, pada akhirnya rasa berontak itu melesak, “KOPINYA PAHIT!”
Kurasa keberanian itu muncul tidak dengan baik, melainkan dipenuhi keraguan dan dinyatakan dengan kikuk dan tidak keren, bahkan kurasa nada bergetar dari suaraku mendominasi sehingga barista yang terkenal lawak itu tertawa terbahak-bahak.
Wajahku sumringah ketika ia terlihat tak sakit hati meski tawanya terasa meledek, ia meminta maaf dengan riang dan berlagak iseng menakar dengan ragu dan memastikan aku melihat gula cair yang ia tuangkan.
“Mas, kayaknya kopinya yang dikurangin.”
Ia mulai tertawa terbahak-bahak lagi sambil berkelakar, “Less sugar, less coffee ini maaah namanya….”
Beruntung barista perempuan yang biasanya membuat pesananku sedang ikut berjaga sehingga menengahi keadaan, “Emang dia itu gitu, Mbak. Dikira orang minum kopi kayak dia, kopinya banyak kaan, nggak sesuai takaran, suka-suka dianya itu maah, aneh.”
Kedai kopi itu memang terkesan sepi di siang hari, kalaupun ada pengunjung kebanyakan memilih di area terbuka yang luas, sedang di dalam ruangan hanya ada tempat untuk memesan dan dua meja pelanggan yang masing-masing diapit dua kursi. Seringnya hanya ada aku yang duduk di meja yang letaknya sama setiap harinya, bercengkerama sebentar dengan kedua barista itu sebelum berpamitan untuk kembali bekerja.
“Iya deh iya, saya salah, muaaaaappp deehhh….” kamipun tertawa bersama dan aku pun lega telah mengutarakan yang ingin kusampaikan meski tersisa trauma, dimanapun memesan kopi aku jadi ragu dengan barista laki-laki. (Eh?!)
Dan kisah lainnya muncul, lagi-lagi dari secangkir kopi.
****
Perjalanan luar kota yang tak biasa, kali ini aku pergi karena diriku sendiri, karena pekerjaanku sendiri, karena urusanku sendiri, bukan orang lain.
Perjalanan atas nama pekerjaan yang membawa diriku harus membaur dengan orang-orang baru.
Seorang wanita berusia pertengahan, hanya terlampau 8-10 tahun dariku dengan jabatan yang tinggi. Aku sedikit canggung dan kesulitan, lingkaran kecil yang masih baru bagiku, diisi oleh orang-orang dalam kepemimpinan terlebih wanita itu yang di atas puncak piramida lingkaran kami.
Kudengar beliau mudah ngambek layaknya perempuan pada umumnya ketika kami salah bersikap dan aku terus terbawa suasana canggung dikarenakan masih baru dan terus merasa tak layak dalam lingkaran itu.
Beberapa orang dengan usia senjanya yang cukup peka sesekali menepuk pundakku dengan hangat, pujian dan dukungan mengalir lembut dari lisan-lisannya tapi tetap jauh didalam hatiku, aku masih dipenuhi rasa canggung.
Di kota orang, dengan lingkaran yang asing, digawangi seseorang yang isunya semakin membuatku khawatir dengan diriku sendiri tak mampu membawa diri, hingga secangkir kopi lagi lah yang mencairkan suasana.
Kami tengah berada di sebuah warung sederhana sepanjang jalan perbatasan kota, mencicipi makanan kampung yang khas dan sederhana. Beberapa orang mulai memesan minuman jahe untuk menghangatkan tubuh. Di satu meja para perempuan duduk bersama, lantas aku mendapati diriku duduk di hadapan wanita itu.
Ah, sial, padahal aku hanya ingin jadi NPC saja dalam perjalanan ini, aku tak suka basa basi hanya karena untuk menghormati secara formalitas. Staf dari wanita itu tergopoh-gopoh kembali dari pergi ke minimarket di seberang jalan, membawakan kopi kemasan kotak sambil berkata manja, “Aku bawa kopi kesukaan Ibu, hehe.”
Aku pura-pura sibuk dengan makananku, tak mau terlalu terlibat cengkerama yang hanya akan membuatku canggung sampai akhirnya secangkir kopi itu datang.
Secangkir kopi susu yang kupesan dengan percaya diri, entah karena aku terlalu cuek hingga tak menyadari bahwa orang lain memesan air jahe yang katanya khas, sedang aku malah memilih secangkir kopi susu panas karena dikuasai oleh rasa ingin ngopi sepanjang menempuh perjalanan.
Wanita itu tertegun, memperhatikan secangkir kopiku dengan saksama, aku pura-pura tidak menyadari dan menyeruput kopi susuku dengan tenang dan kuharap tindakanku terlihat elegan.
“Enak kopinya? Aduh, jadi kepengen juga tapi malas kalau kopi sachet, kopi racikan nggak?”
HAA?! APA YANG HARUS KUJAWAB, AKU TIDAK BISA BEDAKAN KOPI RACIKAN DAN KOPI SACHET!
Bagaimana jika aku salah menjawab?
Tapi, apa aku harus katakan aku tidak tahu?
Apa sebaiknya aku sok tahu saja?
Ah, gila.
Pada akhirnya aku sok tahu dengan gambling, memperhatikan bahwa apakah kopi susu yang kuminum memiliki ampas kopi? Sepertinya kebanyakan kopi sachet tidak ada ampasnya. Aku seruput kembali kopiku dengan cepat, berusaha sok memastikan.
Aku menyadari tidak ada ampas kopi, tapi rasa kopinya sepertinya terlalu tak biasa jika kusebut kopi sachet tapi pengalamanku terhadap kopi sachet juga tidak banyak karena aku hanya minum kopi sachet yang itu-itu saja.
Hatiku bergemuruh dan merapal doa dalam hatiku, berbekal sebutir bubuk kopi yang terlihat menempel di pinggiran cangkir, yaa benar sebutir, sebutir saja!
Aku pun berusaha mantap berkata, “Enak Bu, ini kopi racikan.”
Ah gila! Kalau aku salah, ya sudahlah.
Wanita itu, mengabaikan kopi kemasan yang diberikan oleh staf berbalik meminta staf memesankan kopi yang sama denganku. Sampai akhirnya secangkir kopi itu tiba dan diseruput olehnya lantas berucap, “Ihh, enak banget! Daritadi saya mau pesan ragu, lihat kamu minum kok kayaknya enak, ini racikannya mantap, kopi kampung memang terbaik!”
Wanita itu, tersenyum sumringah, mulai bercerita banyak tentang kopi dan suaminya, tentang mesin kopi di dapurnya hingga semua momen ngopi indah bersama suaminya.
Secangkir kopi yang kami minum bersama berhadapan, menghilangkan dinding tak kasat mata yang tadinya menciptakan kecanggungan di diriku sendiri, sesekali aku takjub dengan jujur terpesona oleh cerita mesin kopinya yang macet juga ia bercerita berbagai kopi di kota yang sedang kami tinggalkan jauh menyeberangi lautan.
Dan sekali lagi, secangkir kopi membawa cerita. Di masa lalu, di masa kini, dan seterusnya.
****
Rapat itu diadakan di ruangan VIP restoran timur tengah. Ruangan bersuhu dingin dengan karpet hambal empuk mewah. Lantas aku duduk sendirian karena terlalu cepat datang dari jadwal pertemuan dikarenakan aku baru saja menghadiri salah satu kegiatan di dekat lokasi kegiatan rapat.
Pelayan pun menyajikan cemilan juga menawarkan menu minuman yang dimiliki, yaa, tentu saja aku memilih secangkir latte panas.
Dan pria paruh baya itu datang, satu dari anggota lingkaran kecil kami yang merupakan seorang senior, pimpinan salah satu unit unggulan.
Sial! Keheningan terbentang karena kami hanya berdua dalam ruangan itu dan aku yang sudah beberapa kali mengamati karakter beliau beserta isu-isu yang kudengar bahwa beliau bukan orang asyik melainkan suka asyik sendiri, lagi-lagi terjebak dalam situasi canggung hingga secangkir kopi yang kupesan datang.
“Mbak, itu kopi apa?” katanya.
“Oh, ini latte pak.”
“Manis nggak? Coba sampeyan minum dulu, manis?”
Aku mematuhi perintah dan setelah menyeruput mendapati rasanya tidak manis dan ternyata memang tersedia gula pasir sachet di tatakan cangkirnya.
“Gulanya terpisah, pak.”
“Oh, saya mau juga kalau begitu.” B
Beliau beranjak memesan dan tak lama kembali dengan secangkir latte yang sama denganku.
Setelah menyeruput kopinya sendiri, beliau mulai bertanya tentang diriku yang entah apa aku terlalu sensitif atau karakter beliau yang dingin membuatku merasa diinterogasi. Tapi tak sampai disitu, pertanyaan-pertanyaan umum seperti usia berapa, pendidikan, pengalaman, dan lainnya, masih harus ditimpali dengan kalimatnya yang lebih dahsyat, “Berada di posisi ini kalau seperti saya ini tidak gampang, yaa nggak tahu yaa, saya tidak mau menggurui, mungkin memang sampeyan mampu, mungkin cuma beruntung tapi saya berkarir itu dari titik terendah saya.”
Suaranya selain tidak nyaman ditelinga, juga kata-katanya yang meskipin tertata baku dan baik tapi juga begitu ahli dalam menusuk perasaan orang lain. Bagiku, sosoknya seperti isu yang kudengar selama ini, dingin, tidak asyik tapi asyik sendiri.
Ia menyeruput kopinya dan aku pun mengikuti untuk mengalihkan rasa kesalku. Pada saat itu aku berharap peserta rapat yang lain segera datang.
Ia meletakkan cangkir kopinya kembali sedangkan aku tetap bertahan menyeruput kopiku untuk mengalihkan situasi. Sampai akhirnya mengatakan terobosan mengejutkan lainnya.
“Saya ini dulu mengenyam pendidikan di kota sana, merantau disitu, belajar di kota pelajar dan berkarya, orang tidak akan percaya kalau saya yang menulis buku XXXX, nggak ada yang percaya sampai membuktikan sendiri, karena saya tidak koar-koar!”
SIAL, AKU TERKEJUT!
Hampir saja kopi yang kuseruput bukan lagi ingin kusembur seperti drama-drama sinetron atau narasi novel melainkan rasanya air kopi yang sudah sampai di pangkal kerongkonganku seperti ingin keluar kembali untuk kumuntahkan dengan aliran yang tenang dalam cangkir yang buru-buru kuletakkan di tatakannya.
Untuk sesaat, sekilas ingatan mengganggu mengusikku kembali.
Kenapa wajah Bapak ini terasa familiar?
Ah, mungkin dia pernah ada di poster-poster sepanjang jalan jadi caleg, mungkin?
Kenapa nama Bapak ini pun terasa familiar?
Ah, mungkin namanya pasaran.
“Sampeyan tidak percaya kan kalau saya tidak beritahu? Makanya saya beritahu.”
Pantas beliau bertanya latar belakangku dengan teliti, aku menyadari ternyata beliau sedang memastikan, apa aku pernah berada dalam ruang lingkup karyanya, apa aku ada kemungkinan tahu dunia karya tulisnya, dan lain-lain.
Aku tertawa menggelitik dalam hati sendiri, segera teringat cerita novel di mana tokoh utama perempuan yang ingin bertemu penulis novel yang menjadi motivasinya untuk hidup namun ekspektasinya dihancurkan realita karena ternyata penulisnya arogan dan menghardiknya.
Ini mungkin bukan pengalaman se-ironis dunia novel itu, hanya saja ini tetap unik. Aku pun mulai memahami dalam obrolan empat mata yang mengalir meski dibumbui nuansa karakter beliau yang kaku dan dingin mengintimidasi.
Beliau dikenal tidak asyik karena suka asyik sendiri, hal itu dikarenakan beliau punya prinsip yang tak bertele-tele, tak suka pertemuan sepele dan keberadaan kami saat itu ia hadiri karena terpaksa, karena sudah diingatkan untuk hadir. Ia memang seringkali tidak hadir di pertemuan rutin, aku pun sering mendengar kepemimpinannya yang sibuk sendiri dan terkesan tak kasat mata. Beliau seperti musuh bagi orang-orang yang mengatasnamakan silahturahmi, dan kesan pertamanya padamu juga tak baik, sebab ia pernah datang terlambat di pertemua perdanaku, di mana itu benar-benar sudah di waktu yang nyaris selesai namun beliau datang dengan santai sembari menbawa pertanyaan kritis yang diutarakan dengan tegas hingga pertemuan itu harus menambah waktu lebih lama dari yang seharusnya.
Pada akhirnya aku jadi tahu bahwa ia berlatar belakang seorang sastrawan yang lebih suka berpikir mendalam di ruang kantornya sambil menggiling kopi manual yang kelak kulihat sendiri saat berkunjung.
Lantas momen bicara empat mata itu pun ia tutup dengan petuah, “Sekali lagi saya tidak sedang menggurui tetapi berbagi pengalaman saya di mana saya memegang dua hal untuk berkembang, yang pertama berpikirlah sesuatu yang orang lain tidak kepikiran dan yang kedua berbuatlah hal-hal yang orang lain tak bisa lakukan.”
Ia pun kembali menyeruput kopinya sembari berkelakar, “Di meja kerja saya itu kopinya bukan bubuk, tapi masih biji, olahraga tiap hari saya giling sedikit buat saya, nanti sampeyan lihat mesin kopi saya itu manual, gilingan keraton.”
Aku tersenyum simpul dengan perasaan abu-abu, kagum dengan kisah hidupnya dan terganggu dengan penekanan gilingan keraton.
Nyenyenyenyeee~
Dan cerita-cerita lainnya bersama secangkir kopi akan terus mengalir lembut dalam hidup.
****
Auto mikir definisi ‘gilingan keraton’ itu seperti apa? 🧐
Apa si biji kopi ditumbuk oleh para Abdi dalem? ahahaha
Beliau mengagungkan bubuk kopi hasil gilingan tradisional. Gilingan kopi beliau ukurannya kecil, ada laci mungilnya. Xixixi~
Kopi menyatukan pecintanya
Secangkir kopinya, kakaaaak~
Tukang kopi lope²