Vitamins Blog

Tanpa Judul || Bagian 4

Bookmark
Please login to bookmark Close

Al bangun dengan mata yang berat dan hidung yang masih tersumbat. Sepertinya ia menangis sampai tertidur. Kepalanya terasa pusing dan berat. Al mengambil hapenya, tertera jam sembilan lebih lima belas. Sepertinya ia harus merelakan upah kerajinannya lagi minggu ini hilang, Al memutuskan untuk tidak masuk lagi hari ini. Jadi Al absen selama dua hari.

Ada duabelas misscall dari Gabby dari kemarin dan pagi ini. Al hanya menanggapi whatsapp Gabby dengan singkat dan kembali melemparkan hapenya ke sisi lain kasur. Al bangkit dan bersiap-siap, hari ini ia sudah dijadwalkan untuk bertemu dengan dr. Jihan pukul dua siang. Al sengaja bersiap lebih awal karena ia tidak ingin berdiam terlalu lama, badai dalam kepalanya siap menerkamnya kapan saja.

Al mencuci wajahnya dan bersiap untuk menyikat gigi saat ia kembali menangkap bayang wajahnya di cermin, Al memandangi bayangan itu dengan lekat. Bayangan lain meluncur menimpa bayangan lain, sekelebat ia melihat dirinya di masa lalu. Al mengigil, ia memeluk dirinya, tiba-tiba ia merasa jijik, jijik pada dirinya sendiri. Kemarahan bangkit, dadanya panas, dan jantungnya mulai tidak keruan. Ia melihat juga bayangan laki-laki itu.

Air matanya jatuh tanpa ditahan, tubuhnya semakin gemetar. Lalu ia mendengar bisikan si biadab itu, dekat, jelas dan nyata. “Lo itu jelek … sekarang lo udah kotor. Inget KOTOR!”

“DIAAAM!!!” Al reflek melempar sikat giginya hingga membentur pintu kamar mandi. Napasnya tersengal-sengal. Ia menoleh lagi pada bayangannya di cermin, memperhatikan dirinya sendiri, kemudian ia merasa muak dan dilemparnya lagi botol sabun dan “PRAAANG!!

Al terkejut dengan suara cermin yang pecah berantakan di lantai kamar mandinya. Gadis itu rapuh. Ia mundur dan terduduk di kloset, memeluk dirinya kemudian menangis sendirian. Menahan perih luka yang kembali terbuka.

 

***

 

“Dif, ambilin boneka Zeta di mobil,” ucap Dian saat Radif baru saja menginjakan kakinya di lobi rumah sakit. “Lupa gue, buru nanti anaknya nyariin. Bawain ke kamar Mawar 3 ya.”

“Ck!” dengan berat hati Radif menyeret kakinya kembali ke parkiran. Ia mengambil benda yang dimaksud dan kembali dengan malas masuk ke dalam rumah sakit. Pagi ini secara mendadak Zeta–keponakannya–demam dan harus dilarikan ke rumah sakit karena kakanya yang terlalu panik. Radif sudah mengusulkan agar Zeta dibawa ke klinik sementara untuk mendapatkan penanggulangan pertama, alih-alih mendengarkan kakanya yang kelewat pintar ini malah memilih untuk melarikan Zeta ke rumah sakit. Sungguh luar biasa.

BRUUUUG

“Upss, sori….” ucapan Radif terhenti saat tahu siapa yang ia tabrak.

Sementara wanita itu sama terkejutnya, namun buru-buru membuang muka.

“Mau lo apa?” tuding Radif, ia bersedekap menandang pada Alrina yang masih diam membatu. Ia masih memalingkan wajah. “Gue tau, gue tau itu, lo … cuman pura-pura di depan semu orang. Bersikap sok suci….”

Kalimat Radif terhenti saat Al secara tiba-tiba beringsuk maju dan berhenti tepat sepuluh centi dari wajah Radif. Reflek pria tersebut mundur dan mendorong Al untuk menjauh. “A, apa-apaan lo?!” sewot Radif.

Al masih tidak membuka mulutnya, sebagai gantinya ia hanya menatap datar Radif. Tiba-tiba wanita itu menyeringai sebelum melempar boneka kelinci di tangannya ke arah Radif, sementara yang dituju berusahan menghindar seolah jijik. Tau bahwa itu boneka yang tadi ia bawa pria itu menoleh pada Al yang sekarang sudah menjauh masuk ke dalam rumah sakit.

Radif memperhatikan wanita itu menuju pusat administrasi, berbicara pada si petugas yang membalas seperti menunjikan arah. Radif masih memperhatikan di ujung lorong, ia masih waspada kalau-kalau Al kembali menguntitnya.

Tapi… Apa-apaan tadi? Dia ngajak gue berantem? Atau cuman ngetes gue?

“Ngapain juga gue pikirin?” tepat pada saat itu hapenya berdering, Zeta sudah pasti mencari boneka kesayangannya yang masih ada di tangannya. Radif berlalu dengan langkah-langkah cepat.

 

***

 

Al termenung, sesi konsultasinya dengan dokter Jihan telah selesai. Al menatap pemandanga di depannya tanpa minat. Suasanya senyap membuatnya bisa mendengar suara langkah kaki seseorang di lorong dalam, deru kendaraan dari luar, suara gemerisik angin di dedaunan dan riak air kolam di depannya. Al berpikir alasan kenapa ruang psikis berada dekat dengan taman. Mungkin ini dimaksudkan untuk memberikan penenangan pada pasien-pasien yang datang. Al salah satunya.

Al menarik napas dan menengadah, mengingat lagi apa yang dikatakan oleh dokter paruh baya itu. Fase depresi awal. Mengingat lagi bagamana Al harus kembali jatuh bebas setelah bertahun-tahun ia baru saja mendapatkan kehidupannya. Dan sekarang dihancurkan dalam hitungan menit, itu sangat menyakitkan. Dokter Jihan menyarankan Al untuk mengambil cuti panjang dan tidak memikirkan pekerjaan. Itu artinya Al disarankan untuk mengambil WFH atau … berhenti.

Apakah itu keputusan yang benar?

Al mendongak menatap langit-langit. Ya, mungkin ini saatnya ia pulang. Al bangkit bersiap menuju loket apoteker. Sepeninggal Al, sosok yang bersembunyi di balik dinding itu keluar. Ia menoleh ke arah Al yang sudah berbelok di ujung lorong, ia berbalik ke arah Al datang. Tertulis di plang atas dr. Jihan Sp.KJ.

Radif termenung di depan pintu putih ruang pemeriksaan. Kepalanya penuh dengan pertanyaan dan dugaan-dugaan, termasuk bahwa Al memang memiliki kelainan jiwa dari dulu.

“Bener kan, dia cewek sakit,” gumam Radif lebih pada dirinya sendiri.

Namun pernyataan itu tidak menimbulkan effek yang diharapkannya. Radif malah dilanda keresahan dalam hatinya. Entah karena ia resah dengan kenyataan bahwa ia pernah jadi target inceran Al. Atau ia resah dengan hal lain.

Saat Radif hendak membalik tubuhnya bersamaan pintu di depannya terbuka dan nampak seorang perawat yang sama terkejutnya dengan Radif.

“Cari siapa, Mas?”

“Eeh, e, enggak, Sus. Permisi.”

Suster itu mengerut alis, Radif ingin buru-buru pergi namun gerakannya terhenti oleh kehadiran sosok lain yang ikut menyusul serta mendengar isi obrolan mereka.

“Gimana, masih ada enggak?”

“Mba Alnya enggak ada, Dok.”

“Oh, ya sudah nanti saya telpon. Barangkali masih ada di sini….”

Rasa penasaran menggelitik hati Radif dan entah keberanian atau ide dari mana Radif memutar tubuh dan menghampiri kedua wanita itu. Salah satunya ternyata mengenakan jubah putih. Sepertinya ini dokter Jihan.

“Maaf, saya tadi mendengar nama Al disebut. Apa maksudnya Alrina Gayatri Raharjo?”

Kedua wanita tersebut meneliti terang-terangan, jelas mereka curiga.

“Saya Radifta. Saya ke sini ingin bertanya prihal pasien Anda.”

“Masnya ini siapanya mba Al?” tanya si suster.

“Saya temannya.” sahut Radif polos. Sebenarnya ia juga menyesalinya.

“Maaf mas, tapi selain keluarga atau tenpa persetujuan pasien, kami tidak bisa memberikan keterangan apapun pada orang lain….”

Radif menahan keduanya untuk kembali masuk ruangan. “Saya mohon.”

“Enggak bisa, Mas. Ini sudah peraturannya. Lagian, masnya udah dapet persetujuan dari mba Al?”

“Enggak, tapi….”

“Kalau begitu tidak bisa. Silakan masnya pergi atau saya panggilkan pihak keamanan.”

Namun seolah bebal, Radif tidak mendengarkan ancaman suster. Ia beringsuk mencoba mendekati dokter Jihan. “Saya mohon, dok. Ini demi kelanjutan hubungan kami.”

Dokter Jihan menoleh dengan alis berkerut. “Hubungan?”

Radif menelan ludah dengan susah payah. Apa yang baru saja ia katakan tadi berhasil membuat dokter itu berpaling dan mendengarkannya. Sekarang adalah bagian dari kebohongan Radif yang paling bodoh.

“Ini demi keberelangsungan rencanya saya….” Radif melanjutkan. “Apa yang terjadi pada Al di masa lalu? Saya ingin tahu….”

Dokter Jihan berbalik dan mengangguk pada suster untuk membiarkan Radif bicara.

“Siapa Anda sebenarnya? Apa hubungan Anda dengan Alrina?”

“Saya….” Radif merenung sejenak. Pandangannya tertuju ke lantai, tatapannya kosong. Ada keraguan namun ia seolah memantapkan diri dan melanjutkan, “saya … calon suami Alrina.”

Kedua wanita itu semakin mengerutkan alis, tidak percaya, tentu saja. Melihat Radif tidak gentar akhirnya dokter Jihan yang membuka suara.

“Apa jaminan bahwa Anda mengenal Alrina? Dari mana Anda mengenal Alrina?”

Radif menelan ludah untuk sekian kalinya. Ia tahu ini adalah hal yang sangat bodoh berbohong pada seorang psikiater. “Ya, saya mengenal Al saat kami sama-sama duduk di bangku sekolah mengenah pertama.”

“Di mana dia bersekolah?”

“Kami bersekolah di SMP di kota D. Apa lagi?”

“Siapa cinta pertama Alrina?”

Radif termangu, ia tidak yakin namun tetap menjawab. “Saya.”

Dokter Jihan tersenyum tidak bisa diartikan. “Jadi anda mengenal Al … Tapi anda tidak tahu peristiwa itu?”

Jantung Radif terasa berhenti, seolah air es menyiram punggungnya sekujur tubuh Radif terasa dingin. Tangannya mulai berkeringat. Tatapan dokter Jihan seolah menembus kepalanya. Dokter Jihan mengangguk lagi pada suster untuk memberikan Radif jalan. Sebelum masuk dokter setengah baya itu mendekat dan mengatakan fakta yang membuat Radif semakin bodoh.

“Saya tahu Anda bodoh bahwa Anda adalah calon suami Alrina. Karena Al, tidak pernah menceritakan Anda kecuali anak lelaki yang pernah ia temui sebelumnya saat ia masih sekolah, juga anak lelaki yang membuatnya rapuh hari ini. Masuklah. Sus, nanti minta buat surat pernyataan buat masnya.”

“Baik, Dok.”

 

***

 

Sejak keluar dari ruangan dokter Jihan kepala Radif terasa kosong. Perasannya campuraduk seperti cucian di mesin cucu. Mungkin itu juga yang dirasakan Al selama ini. Dadanya sesak tapi tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia merasa ini adalah kesalahannya namun setan dalam dirinya juga mengatakan bahwa ini juga sebuah imbas dari tidakan gegabah Al. Namun rasa bersalah memberondongi hatinya lebih kuat.

Apalah ia harus meminta maaf pada Al?

Radif menatap pemandangan yang sama seperti yang Al tatap satu jam yang lalu. Pikirannya masih melayang pada kejadian dua hari lalu, betapa bodohnya Radif saat itu. Ya, ia harus minta maaf. Meski ia masih enggan. Namun itu adalah cara yang terhormat untuk kebodohan yang pernah ia lakukan.

 

Sayang kata itu tidak pernah sempat diucapkan oleh Radif karena Alrina telah … Pergi.

 

TBC

 

Ya ampuuun, update berapa bulan sekali parah bgt ini orang πŸ™ˆπŸ™ˆ

Makasih yang masih mau mampir dan baca πŸ™πŸ˜Š

4 Komentar

  1. SeraFinaMoonlight menulis:

    Ayo update yang rajin, biar Vit blog lebih hidup dan berwarna. :lalayeye

    1. Mwehehehhe, kalo bisa sih maunya begitu kak. Huhuu lah ini jatuhnya malah kek side job dah 😭😭😭 Update sebulan sekali, satu setengah bulan sekali…,😫😫

  2. Sukaaaa

    1. Makasih kak πŸ’•πŸ’•