Al mengamati sekumpulan anak dibujung kelas, sekelompok anak itu sedang mengobrol dan tertawa seperti anak sekolah pada umumnya. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, namun mereka nampak asyik sekali. Al iri. Ya ia iri anak-anak satu kelasnya dapat dengan bebas berkumpul dan berbicara dengan teman yang lain. Namun Al berbeda.
Sadar terlalu lama memperhatiakn mereka Al buru-buru membuang muka dan menenggelamkan wajahnya kembali ke dalam depakan lengannya dibatas meja. Ya, seperti yang biasa Al lakukan. Sekarang Al duduk di kelas 3 SMP di kota D, sebenarnya Al bukan termasuk siswa yang menonjol bukan juga siswa yang bodoh. Ia siswa yang rata-rata tengah. Namun ya, Al memang sedikit lebih lambat dalam menangkap materi yang disampaikan karena itu dia sering menghabiskan waktunya di perpustakaan atau di kelas selama jam istirahat. Dalam artian Al ‘tidak memiliki‘ teman.
Sebenarnya Al tidak keberatan menghabiskan masa SMPnya dengan hanya melakukan dua kegiatan itu selain kegiatan wajibnya. Namun jiwa muda Al tidak bisa dipungkiri ingin memiliki setidaknya satu teman yang dapat diajaknya berbicara atau pergi ke kantin sekolah. Tetapi Al terlalu malu untuk memulai percakapan terlebih dahulu, walhasil begitulah ia sekarang.
Dan sebenarnya juga, Al tidak benar-benar sendirian di kelas terseubut. Ia memiliki satu teman yang sempat satu sekolah dasar dengannya. Hanya saja temannya ini termasuk yang popular dan memiliki banyak sekali teman. Jadi, Al tidak pernah ingin akrab dengannya begitupun sebaliknya.
“Wiih, baru dateng? Dari mana aja?”
“Radif kebiasaan telat.”
“Biasalah, macet di jalan.”
Al mendengarkan langkah-langkah kaki mulai mendekati mejanya. Al tau itu langkah kaki milik siapa. Radif. Cowok yang sedikit tengil namun pintar, ia gak pendek, namun memiliki wajah yang manis. Langkah Radif berhenti di meja belakang punggungnya, ya di sanalah Radif duduk.
Al semakin menenggelamkan wajahnya, ia mendengarkan suara jantungnya yang berdetak sangat kencang. Ia mencium segar parfum atau wangi sabun yang ditinggalkan Radif saat ia lewat. Al menyimpan aroma itu dalam ingatannya.
Seperti itulah kurang lebih cinta monyet Al yang benar-benar tidak ada menariknya, terlalu kelise dan membosankan. Ia ingin menyimpan semuanya sendiri sampai tiba hari kelulusannya dan jika diberi kesempatan, Al ingin mengatakannya pada Radif. Al berpikir itu cara yang brilian, karena dengan begitu toh mereka tidak akan bertemu lagi karena sudah lulus.
Aaah, Al terlalu banyak membaca manga dan menonton anime sepertinya. Ia memiliki makna romantisnya sendiri. Namun Tuhan berkehendak lain, rencana yang awalnya akan berjalan hingga akhir semester malah datang lebih cepat dari perkiraan BMKG sekalipun.
Hari itu disaat yang lain berbondong-bondong keluar saat bel istirahat, seperti biasa Al tetap di kursisnya hingga seisi kelas pergi dan menyisakan dirinya. Al mengintip keluar memastikan semua orang–termasuk tetangga kelasnya sudah tidak ada orang.
Mengendap-endap Al keluar dan menyelinap ke belakang gedung kelas yang berbatasan dengan pagar sekolah. Al berjongkok ditumpukan kursi dan meja bekas di sana.
“Ck ck ck.”
Tidak lama dua ekor anak kucing hitam dan belang oren keluar dari bawah tumpukan barang bekas tersebut.
“Mii, mii, miii…”
“Halo manis, laper ya? Sebentar, aku bawa makanan.”
Al mengeluafkan botol berisi pakan kucing dari dalam kantung kresek yang ia bawa, menuangkan isinya dan langsung disambut dengan tidak sabar oleh kedua anak kucing kelaparan tersebut.
“Laper banget ya kalian…Mama kalian masih cari makan ya. Kalian jangan kemana-mana ya, tunggu sampai mama kalian kembali.”
Al mengelus salah satu anak kucing tersebut yang masih makan dengan lahap. Al teringat, ia mendengar suara tangis anak kucing saat pelajaran sedang berlangsung. Mereka mengeong tanpa henti di sambil jendela kelas. Al ingin berlari mengecek mereka namun ia masih di tengah pelajaran. Ia sudah gelisah di tempat duduknya. Barulah saat bel berbunyi Al bisa sedikit lega dan menunggu hingga semuanya keluar kelas.
Usai dua anka kucing itu menghabiskan makannya, Al mengajak mereka bermain dengan sisa sapu lidi yang dia temukan di sekitar sana. Al tersenyum karena tingkah kedua anak kucing tersebut, tak pelak ia tertawa lepas sampai-sampai Al lupa kalau ia sedang bersembunyi.
“Dikira setan, ternyata ada orangnya.”
Sontak Al menoleh pada suara asing yang mengintrupsi kegembiaraannya, begitu melihat pelakunya Al semakin terkejut. Karena kurang memperhatikan Al sampai-sampai harus menerima sakit di kelapanya akhibat sembrono bangkit dan walhasil membentur daun jendela. Radifta. Anak laki-laki itu bertopang wajah di kusen jendela sambil memperhatikannya.
“Akkkh!!”
“Eh, awas dong… Kamu enggak apa-apa?”
Tidak mendapat respon, Radif membuka jendela lebar dan dengan mudah melompat keluar dari jendela, buru-buru ia mengecek Al yang masih memegangi kepalanya.
“Shhhh…”
“Lo sih… Kayang baru liat setan aja kaget gitu.”
“Lagian lo tiba-tiba nongol…” serbu Al yang didasari oleh reflek. Sadar apa yang ia lakukan, Al segera menutup mulutnya.
“Ooh, ternyata bisa sewot dan ketawa juga, gue pikir lo….”
“Aneh?”
Radif tidak menjawab, sebagai gantinya ia hanya mengdikan bahu. “Lagian, ngapain sih sembunyi-sembunyi?”
“Malu.” sahut Al singkat. Wajahnya kembali ditundukan, dengan cekatan Al membereskan barang-barangnya dan bersiap kembali ke kelas. Saat Al hendak menjauh Radif menahannya.
“Eeh eeh… Mau kemana?”
Al mengerut kening. “Balik lah.”
“Muter?” Al mengangguk. “Kelamaan, lewat sini aja.” Radif membuka kembali jendela kelas mereka lebih lebar hingga muag untuk dilompati Al. Gadis itu menatap ragu pada Radif kemudian beralih ke jendela yang masih terbuka.
Iya sih… Pikir Al. Ia juga tidak akan terlihat orang lain saat kembali ke kelas. Al melirik Radif lagi yang masih setia memegangi daun jendelanya.
“Buruan, capek nih.”
Ya udah lah… “Tapi lo jangan ngintip ya,” celetuk Al.
Radif mendesah. “Enggak.”
Al menaruh sembarang barangnya dan ia mulai melakukan kuda-kuda, dan saat sekali lompat ia sudah bisa menaiki kusen jendela dan berhasil masuk tanpa kesulitan. Menyusul kemudian Radif yang melompat masuk dengan gampang seperti saat ia keluar.
“Thanks,” ucap Al singkat pelan hampir seperti bisikan. Sampai-sampai Radif hampir tidak sadar Al mengatakannya karena kemudian kelas kembali penuh dengan orang-orang. Al kembali menjadi orang asing yang tidak disadari keberadaannya, tidak terlihat oleh mata kecuali satu orang … Radifta.
***
Al mencuci wajahnya di washtafel. Bayang-bayang masa lalunya kembali bermunculan akhir-akhir ini, entah karena ia lelah, atau hanya kebetulan atau karena kehadiran Radif kembali di hidupnya. Kotak pandora itu mulai berontak untuk memuntahkan segala isinya. Al mendesah frustasi, bayangan Al kecil berdiri di tepi jalan menyaksikan bayangan anak laki-laki yang menjauh kembali memenuhi isi kepalanya saat ini.
Saat ini Al sedang berada di luar kantor, Gabby mengajaknya keluar untuk makan siang. Sayangnya, itu adalah keputusan terburuk Al sejauh ini. Tidak hanya berdua, Gabby mengajak dua orang lain untuk berganbung bersama mereka. Siala lagi kalau bukan gebetan barunya Jery dan … Radif.
Pemuda itu seperti biasa tampak tenang, tidak ingin berkomentar atau melakukan apapun. Al cukup tenang. Sayangnya ia salah besar karena selama acara makan siang itu Radif mulia uring-uringan, biacaranya ketus bahkan terlihat sangat kesal. Entah karena dijadikan obat nyamuk, atau karena kehadiran Al.
Ya udah lah, abis ini juga gue cabut.
Al kembali dan melihat wajah serius dari Gabby. “Al, Al, sini deh….”
“Apaan?”
“Coba liat si Sasya, masa dia bilang dia diikutin sama orang… Serem banget enggak sih?”
Al mengerut kening namun perasaanya mulai tidak nyaman. “Diikutin gimana?”
“Iya… Dia diikutin, kemana aja ada orang ini….”
“Ngajak kenalan kali….” celetukan Al justru mendapat dengusan sinis dari seseorang.
“Kasian iih, dia sampe minta nginep di kosan gue….”
“Kok bisa dia diikutin, gimana ceritanya emang?”
“Kata doi sih, ini orang emang aneh aja. Enggak ada angin enggak ada ujan dia tiba-tiba bilang suka. Padahal sebelumnya enggak pernah ngobrol apa-apa,” jelas Gabby dengan semangat.
Perasaan Al semakin tidak enak, ia berusaha mendengarkan namun pikirannya tiba-tiba menggelap seperti akan terjadi badai.
“Terus-terus?” Jery mulai penasaran memperhatikan Gabby bercerita. Kalau yang ini ia memang penasaran atau memang ingin memperhatikan si Gabby saja.
“Iya, padahal ya… Awalnya itu Sasya cuman nolong dia doang. Enggak dijelasi sih dia noloangnya kayak gimana sampai si cowok ingin napsu banget sama dia. Tapi kan jadi serem ya…” Gabby menarik napas kemudian melanjutkan. ” Ya maksud gue… Kayak enggak ada yang lain. Emang sakit ya cowok ini. Dia sampai stalker dan neror Sasya tiap hari.”
“Dan gongnya pas Sasya sadar kalau dia sama ini diikuti itu… Si cowok foto doi pas lagi di gym dan mau ganti baju!! Sakit beneran ini orang….”
Al tidak mendengarkan setengah cerita Gabby, pikirannya sudah ada badai, kotak pandora dalam hatinya sudah hampir terbuka dan monster itu mengintio di balik sana menunggu hingga kuncinya hancur.
“Iya enggak Al? Al… Alrina?”
“Eh, iya gimana?”
“Jiiih, ngelamun. Iya gue bilang ini orang serem banget….”
Al tempak kikuk namun menanggapi dengan pelan. “Oh… iya serem….”
“Lo enggak lagi inget-inget masa lalu lo kan, Alrina?”
Air dingin seketima menyiram punggung Al, jantungnya sudah hampir meledak dan Al merasakan ruangan di sana menjadi sangag sempit sampai ia sesak. Semua orang menoleh pada Radif yang masib bersandar di kursinya, pria itu tidak melakukan apapun, namun Al tahu, Al tahu Radif akan menghancurkan kuncinya dan membuat badai dalam kepalanya… Lagi.
“Maksudnya?” Al berusaha bicara setenang pungkin, namun gagal. Ada ketar tipis di akhir kalimatnya.
Radif menyadari itu, ia mendengus. Kali ini ia langsung memposisikan diri menghadap Al yang ada di sampingnya. “Masih mau pura-pura, Alrina? Atau lo sengaja mau gue aja yang kasih tau semua orang tentang sifat lo asli lo?” Radif setengah berteriak sampai urat di wajahnya tampak menonjol.
“Emm, sori nih gais… Ini maksudnya gimana ya?” tanya Gabby yang setengah penasaran bercampur khawatir dengan Radif yang marah pada Al.
“Tunggu, ini maksudnya … kalian udah kenal sebelumnya?” Jery mulai ikut penasaran.
Al tidak menjawab, ia masih menunduk tidak tahu ala yang harus ia katakan. Ia masih sibuk mengendalikan badai dalam kepalanya.
“C’mon Al, kasih tau dong… Kita pernah satu sekolah waktu SMP, satu kelas lagi….” Radif masih tenatap Al yang tidak berkutik. Hal ini semangkin membuag Radif semakin ingin menghancurkannya. “Oke, gue yang cerita kalau gitu.”
“Radif, kayaknya enggak usah deh….” Jery mencoba menghalau.
“Al, kita balik yukk….”
“Jadi dulu gue juga pernah di-KUNTIT sama cewek, cuman karen gue ngajak dia ngobrol. Dia ngira gue suma sama dia sampai nempel dan ngikutin gue kemanapun gue pergi. Gangguin temen-temen gue sampai stalk sosmed gue dan ngira semua itu menyangkut dia.
“Padahal gue enggak maksud apa-apa, tapi kenapa ya, dia sampai ngejer gue? Ya emang sih gue ganteng banget dulu, sekarang juga. Tapi kayak kata lo, Gabb…. ‘kayak enggak ada yang lain aja. Emang sakit ya ini cewek.'”
“Radif!” Hardik Jery kesal. “Lo apa-apaan sih?”
“‘Apa-apaan’ lo bilang? Asal lo tau ya. Cewek ini yang udah nguntit gue dulu, bayangin dia sampe minta alamat dan kontak gue. Kalo lo di posisi gue waktu itu juga bakal berpikir hal yang sama jangan munafik!”
“Gimana kabar Eja? Udah ketemu?”
Mendengar itu Al menoleh cepat pada Radif. Matanya membelotot dan ada bayangan ketakutan mengintip di balik matanya. Apa itu?
“Ya…. Rea kasih kontak Eja ke elo. Huuh! Lo pikir Rea sebodoh itu sampe ngasih kontak gue ke elo? Bodoh banget.”
Air mata sudah menggenang di pelupuk mata Al, wajahnya sudah merah padam dan gemetar tubuhnya sudah tidak disembunyikan lagi. Hancur sudah, kuncinya terbuka dan badai semakin menjadi di dalam hati dan kepalanya.
Radif mendekatkan wajahnya kemudian berbisik, “Enggak usah sok polos, gue tau semuanya. Ngomong-ngomong gimana sama Eja? Seru kan?”
“Bro!”
“Radifta! Cukup!”
BYUUURRRR
TBC
Waaah lama sekali yes, ahaha…
Mon maap agak susah nyari si Radif ini ππ
Terimakasih yang sudah mau mampir baca dan komen juga π