****
Sepasang manik mata hijau zamrud milik Norman tak berani menatap lurus ke depan, hanya tertunduk, terpaku pada hamparan tanah kosong beralaskan rerumputan hijau yang tak lagi terlihat subur melainkan sedikit gersang lantaran menerima fenomena alam tak terjelaskan saat sosok Tiara yang terbangkitkan seakan menyerap seluruh energi kuasa langit dan dunia bawah tanah.
Norman bergeming dan bergelut dengan kekalutan yang nyata. Ia masih berlutut dan setelah semua boneka-boneka yang ia tahu pasti adalah milik Paman Marvin-nya lenyap tak bersisa hingga yang tinggal hanyalah keheningan bersama deru angin yang simpang siur berlarian, Norman seakan bisa mendengar dengan jelas detak jantung miliknya beriring seirama dengan derap langkah kaki milik Tiara yang mendekat secara perlahan.
Pelan, tetapi pasti.
Mendekat, perlahan semakin memangkas jarak antara mereka berdua.
Apakah ini akan menjadi akhir ajalnya?
Norman sangat tak yakin mengenai sosok Tiara yang ia lihat saat ini sedang mendekatinya untuk mengkhawatirkan keadaannya. Tiara yang saat ini seperti bukan Tiara yang baru kemarin ia kenal.
Kerasukan, ia seperti perempuan yang kerasukan roh jahat.
Semakin Tiara mendekat, maka semakin Norman merasa ajalnya sudah semakin dekat. Mulutnya terkatup, Norman menajamkan indera pendengarannya untuk berkonsentrasi terhadap derap-derap langkah Tiara. Dalam diamnya, Norman yang terlalu lelah dan energinya sangat terkuras, berusaha mengumpulkan seluruh tenaga terakhirnya sebagai senjata terakhir perlindungan diri apabila Tiara bertindak tanpa terduga yang mengancam nyawanya.
Tempat mereka berdua berada adalah tanah lapang dengan hamparan rerumputan hijau yang dikelilingi perbukitan dan terletak di pinggiran Kota Thames, tempat yang jarang terjamah oleh para penduduk. Bahkan legenda beredar di tengah hiruk pikuk para penduduk bahwa tempat tersebut terkutuk dikarenakan terlalu dekat jaraknya dengan perbatasan kota di mana di balik temboknya terdapat rumah milik penyihir hitam yang memelihara si kembar, dua lentera istana yang terkutuk. Tentu saja, yang dimaksud adalah kisah kejadian Bibi Meredith yang hidup merawat Wildan dan Wilona.
Kendati legenda tersebut semakin menjauh dari fakta yang sesungguhnya, dan meski mengambil waktu bertahun-tahun lamanya, mudah untuk menggeser berita yang tersiar dari mulut ke mulut manusia hingga menjadi cerita yang lebih menarik untuk disimak, diceritakan ulang, dan dipercaya sebagai sesuatu yang lebih seru dari yang seharusnya.
Seperti mendongeng tentang kuda putih bersayap yang terbang ditunggangi ksatria bertopeng nan gagah berani mengelilingi istana lebih menarik daripada mengatakan bahwa ada kuda putih biasa yang ditunggangi laki-laki biasa untuk mengelilingi istana, meski itu adalah fakta.
Detak jantung Norman semakin tak beraturan, bahkan kini tak lagi seirama dengan derap langkah Tiara yang masih stabil mendekat dengan perlahan. Detak jantung Norman terasa lebih cepat dari deru angin. Diam-diam Norman mencuri lihat ke arah langkah kaki Tiara meski secara samar tanpa berani mengangkat wajahnya untuk menatap lurus ke arah Tiara. Setiap langkah Tiara seperti meninggalkan jejak retakan halus di tanah, berserabut dan sedikit menciptakan area cekung. Langkahnya berat dan lambat, tak sesuai dengan kakinya yang jenjang semampai dan mungil untuk ukuran kaki perempuan dewasa.
Tiara mendekat, lalu ketika jarak antara mereka tinggallah sedepa saja, Tiara menyeringai sinis dan dari tempatnya berdiri ia menatap tajam ke arah Norman yang tertunduk dalam posisi berlutut, persis seperti seorang hamba yang tengah bertekuk lutut pada Sang Penguasa yang tak terbantahkan.
“Katakan padaku, apa kau pantas berada di dunia ini?”
Norman mematung, membeku dengan sangat kaku, pertanyaan Tiara seperti merangsek melukai perasaannya. Untuk sesaat sekelebat kenangan masa lampau berputar kembali dalam ingatan Norman, jauh saat dirinya masih sangat kecil dan tak mengerti apapun tentang kejamnya dunia tempat ia dilahirkan.
“Menjijikkan! Berani sekali kau melahirkan anak hina seperti dia!”
Itu adalah suara Paman Marvin yang menggema kembali di dalam ingatannya saat ia masih berusia balita. Paman Marvin yang dengan keras menghardik ibunya yang tengah memeluk dirinya erat-erat seolah berusaha melindungi Norman kecil yang malang dari kata-kata yang tak layak terdengar olehnya. Tapi, Norman yang tak mengerti apa-apa tak merasakan apapun kecuali hanya bisa bertanya-tanya mengapa ibunya begitu tersedu dan menatapnya dengan manik mata yang tatapannya menyayat hatinya?
“Katakan!!!!” perintah Tiara yang tegas menggema keras dan membuat Norman tersadar dari lamunannya yang merentang waktu jauh di masa lampau, nyaris terlupa bahwa ia tengah berada di posisi yang sulit.
Norman tersenyum getir, ia mulai mempercayai beberapa hal yang pernah didengarnya, tentang manusia yang apabila telah mendekati ajalnya, seringkali teringat hal-hal di masa lampau, yang tak terjawab, yang tak terjelaskan, hingga mengingat sosok-sosok terlupakan atau yang memiliki arti penting dalam hidup.
Mungkin benar, saat ini ia telah semakin dekat dengan ajalnya.
Pasrah oleh keadaan, Norman mengurungkan niat untuk memberikan perlawanan terakhirnya, tak ada lagi keinginan kuat untuk mengantisipasi serangan yang mungkin diberikan oleh Tiara. Ia membiarkan dirinya menerima apapun yang akan terjadi.
Sudah waktunya,
Mungkin sudah waktunya aku lenyap dari dunia yang memuakkan ini.
Sepasang mata hazel milik Tiara yang menyaru dengan sinar terang merah darah serupa kilau batu permata Ratnaraj semakin menatap tajam pada sosok Norman yang terlihat mengabaikan dirinya. Tatapannya menghunus, seluruh cahaya bagai riak-riak kobaran api yang melingkupi tubuh rapuhnya semakin menyarak tak terkendali. Tiara seakan siap melahap sosok Norman dengan sekali tebas.
“Katakan padaku, apa kau pantas ada di dunia ini?” ucap Tiara lirih dengan nada sinis yang jelas.
“Bunuh saja aku, jika kau suka.” sergah Norman tiba-tiba.
Tiara tercenung, tatapannya masih beringas namun ia seperti mempertanyakan ucapan Norman. Manusia itu menentangnya hingga membuat Tiara sedikit menurunkan niat membunuhnya.
Tiara yang saat ini adalah hakim yang nyata bagi semua pecundang yang takut akan kematian, namun ia tak lagi menemukan rasa takut yang seharusnya ada di diri Norman. Pria itu menentangnya, auranya sedikit lebih kuat dan meningkat setiap detiknya hingga terlihat tak sesuai dengan keadaan dirinya yang lusuh dan dipenuhi luka-luka halus di sana-sini, serta manik matanya yang berwarna hijau zamrud nan lembut itu tak pantas untuk menampilkan sorot mata penuh tekad.
Tekad untuk mati.
Ironi yang memuakkan.
“Bunuh saja aku!” pekik Norman lagi, mengangkat wajahnya angkuh dan menatap lurus dengan tatapan menghunus tajam ke arah Tiara.
Tanpa aba-aba Tiara segera melesat maju bagai kilat berpendar dan memukul dada bidang milik Norman dengan tangan kanannya yang menguarkan kilatan-kilatan cahaya merah terang hingga Norman terhempas beberapa langkah dari tempatnya bertekuk lutut dan tertahan oleh batang pohon besar yang berada jauh di belakangnya. Benturan yang sangat keras di punggungnya membuat Norman seketika memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Tiara melangkah mendekat masih dengan derap langkah yang lambat, berat, dan perlahan.
“Jangan melawanku,” desisnya.
“Katakan padaku, katakan padaku, katakan padaku.”
Tiara terus bergumam dengan tak wajar sembari tetap melangkah mendekati Norman kendati jarak antara mereka semakin lebih jauh dari sebelumnya.
Norman hanya terkekeh dengan energi yang masih tersisa di tubuhnya, nafasnya tersengal dan ia sudah tak peduli jika Tiara memukulnya telak sekali lagi hingga mati. Ia sudah siap, terlalu frustasi dengan harapan keselamatan akan dirinya.
Lantas ketika ia telah dengan sabar menanti Tiara menghampirinya, dahinya mulai berkerut dalam karena mendapati langkah Tiara semakin gontai, tak seperti sebelumnya, Tiara terlihat melemah, satu dua langkah mulai terseok, pun sinar di matanya mulai meredup hingga Norman bisa melihat samar-samar manik hazel milik Tiara kembali berkilau.
“T-T-Ti-Tiara….”
Tiba-tiba saja rasa khawatir menyeruak lebih besar dari tekadnya akan kematian. Norman berusaha bangun untuk mendekati Tiara yang semakin terlihat bersusah payah mendekatinya. Perempuan itu semakin terlihat akan kehilangan kesadaran, namun Norman sendiri dalam keadaan yang sulit, tulang rusuknya terasa patah di segala tempat. Norman sampai merintih nyeri saat mencoba bangkit dari posisinya yang mengenaskan.
Rasa nyeri yang menyambar seluruh saraf di tubuhnya membuat Norman pun siap kehilangan kesadarannya. Setelah matanya tak sanggup lagi untuk tetap terbuka lebar, perlahan ia menutup matanya dengan perasaan lega ketika mendapati sekelebat sosok Wildan muncul menghampiri Tiara yang mulai tersungkur dan mulai menggapai tubuh Tiara.
Aman,
Tiara dia sudah aman.
Norman tersenyum lega mendapati Tiara telah tertolong, dan bersamaan dengan sepasang matanya yang menutup rapat diiringi perasaan damai, sayup-sayup ia mendengar suara Wilona memanggil-manggil namanya dengan cemas.
****
Manik mata Tiara yang masih berselimut nyaman di bawah kelopaknya terlihat bergerak-gerak cepat dan gelisah, diikuti oleh seluruh tubuhnya yang kemudian juga bergerak gelisah seakan dirinya tengah berada dalam mimpi buruk yang tak nyaman.
Matanya segera terbuka paksa karena tak tahan lagi oleh rasa tak nyaman yang memaksanya untuk sadar.
“Norman!” pekiknya tiba-tiba dan segera terduduk hingga membuat Wildan tersentak dari tidur tak terencananya yang sejak tadi duduk bertahan dengan rasa kantuk yang dahsyat selama menunggu Tiara sadar.
Tiara terdiam beberapa saat, beradaptasi dengan seluruh pemandangan yang pertama kali dilihatnya setelah terbangun kembali. Ia tengah berada di kasur yang ia kenal, berada di kamar yang memang sudah pernah dirinya tempati di rumah Bibi Meredith. Tidak ada siapapun kecuali Wildan yang terlihat duduk dengan canggung tak tahu harus berkata apa saat Tiara tersadar dari tidur panjangnya yang lelap.
Waktu sudah berlalu seminggu lamanya sejak Wildan menggotong tubuh Tiara yang mendadak tak sadarkan diri di tengah tanah lapang setelah terbangkitkan. Wildan dan Wilona menduga saat itu Tiara telah mencapai batas dalam menggunakan kekuatan atau lebih tepatnya secara tidak langsung Tiara yang baru kali pertama terbangkitkan tak bisa mengendalikan diri hingga tanpa sadar babak belur sendiri dari dalam tubuhnya yang rapuh.
Lagipula, melihat langsung sosok Tiara yang terbangkitkan meskipun tak menyaksikan kejadian secara utuh, membuat Wildan dan Wilona tersadar, Tiara berbeda. Ratnaraj yang memilihnya adalah bongkahan terbesar dari tiga pecahan yang dua serpihannya dimiliki Wildan dan Wilona. Tentu saja hal itu wajar, karena ketika mereka masih kecil, kedua orangtuanya tidak tamak akan pusaka yang mereka miliki di istana. Mereka hanya ingin menggunakan serpihannya sedikit dengan harapan mampu menyangga garis hidup kedua buah hatinya yang lemah nyaris tak terselamatkan. Sebab Wildan dan Wilona seharusnya kelak menjadi penerus kekuasaan di Kota Thames. Seharusnya.
“Tenanglah,” ucap Wildan datar.
“Semua baik-baik saja.” lanjutnya lagi.
Tiara masih diam membisu, manik mata hazel miliknya menatap nyalang ke arah selimut yang membungkus tungkai kaki-kaki jenjang miliknya. Tiba-tiba saja air mata mengalir membasahi pipinya, samar-samar Tiara bisa mengingat kejadian yang seperti baru kemarin dialaminya.
Wildan mengusap wajahnya frustasi, ia tak biasa mendapati pemandangan dimana ia harus memerankan emosi yang tepat untuk menghibur jiwa lain yang kesulitan atau dalam kesedihan.
“Apa yang harus kulakukan?” pekiknya dalam hati.
Tiara masih menangis hingga kini mulai tersedu dan sesenggukkan. Sedang Wildan masih memaku dirinya di kursi yang tengah ia duduki di samping ranjang tidur Tiara. Tangan kanannya mengepal dipenuhi keraguan, haruskah ia mengangkat tangannya untuk mengusap wajah Tiara yang terlihat basah atau mengusap punggungnya?
Wildan tak tahu, ia tak biasa.
“Berhentilah menangis. Kau bisa mengganggu Norman yang sedang tertidur pulas di kamar sebelah.” celetuk Wildan tanpa pikir panjang.
Mendengar informasi tentang keadaan Norman yang tiba-tiba membuat Tiara kembali membeku, air matanya seakan ingin masuk kembali ke sudut-sudut matanya. Dengan tergesa Tiara mengusap air mata yang masih membasahi kedua pipinya yang ranum. Tanpa mempedulikan keberadaan Wildan, Tiara segera beranjak dari tempat tidurnya, ingin segera memastikan keadaan Norman setelah mendapati pengetahuan bahwa ternyata Norman hanya berada di sebelah kamarnya.
“Tiara, tiara, kau baru saja sadar.” sergah Wildan menahan Tiara dengan meraih lengan kanan Tiara.
Tiara tak suka, ia menepis tangan Wildan yang untungnya tidak terlalu keras menahan dirinya dan Tiara juga menatap lekat pada wajah Wildan dengan tatapan kebencian yang tajam. Tiara memang tak perlu susah payah melepaskan diri dari Wildan karena Wildan sendiri ragu menahan Tiara dengan kekuatan lebih, sebab Wildan masih ingat Tiara baru saja sadar dari tidur yang panjang. Wildan melepas lengan Tiara dengan memutar kedua bola matanya malas dan bergumam kesal, “Terserahlah, lakukan apapun yang kau mau.”
Tiara segera memalingkan wajahnya tanpa melihat lagi ke arah Wildan. Saat ini ia hanya ingin melihat keadaan Norman dan untuk mengetahui hal itu Tiara harus segera mencapai ruang kamar di sebelah kamar yang ia tempati dan dengan langkah tertatih, Tiara bersusah payah meraih panel pintu kamar yang diduga ditempati Norman. Wildan perlahan mengikuti langkah Tiara dengan tetap menjaga jarak, memberi ruang untuk Tiara berjuang sendiri mencapai kamar Norman.
Dikarenakan tenaganya yang masih belum pulih dengan baik serta sebenarnya Tiara baru saja sadar dari tidur yang sangat panjang sehingga tubuhnya belum terbiasa oleh banyak gerak yang ia lakukan, Tiara sedikit kesulitan membuka pintu kamar tersebut sehingga ia membukanya dengan perlahan.
Pada saat pintu terbuka, tubuh Tiara tertahan diambang pintu, hatinya terluka melihat pemandangan di depan matanya. Dari dalam kamar, di tempat tidur yang berada di tengah ruangan, Norman tengah tertidur lelap dengan wajah yang damai bagai pangeran dari negeri dongeng. Meskipun sangat ingin segera menghampiri, tapi langkah Tiara tertahan melihat Wilona yang tengah duduk di tepi tempat tidur Norman sembari wajahnya begitu sendu. Raut wajah yang baru pertama kali ditemui Tiara di wajah Wilona yang diingatnya selalu ramah dan dipenuhi senyuman manis. Itu adalah raut wajah yang menunjukkan kekhawatiran dan kesedihan mendalam, terpancar dari sepasang mata ambernya yang sembab dan Wilona juga menggenggam tangan kanan Norman dengan erat dan menempatkan punggung telapak tangan Norman di pipinya dengan penuh kasih sayang. Pemandangan yang membuat Tiara ragu untuk merangsek masuk dan mengganggu keduanya. Perlahan Tiara segera mundur dan menutup kembali pintu kamar tanpa meninggalkan bunyi sedikitpun, berusaha mundur dengan senyap.
Tiara terdiam di depan pintu Norman, ia ragu untuk melangkah kembali ke kamar di mana ia tidur. Ia kembali menangis pelan yang tercekat di tenggorokan dan kedua tangannya ia letakkan di dadanya mencoba menahan gejolak yang membuncah di rongga dada oleh emosi yang campur aduk.
“Apa kau cemburu?” tanya Wildan tiba-tiba yang mengejutkan Tiara membuat Tiara merasa Wildan tengah mengejeknya.
Tiara secepat kilat menoleh ke arah Wildan dengan perasaan yang kesal hingga tiba-tiba manik hazel matanya sekelebat memancarkan sinar merah menyala yang membuat Wildan terkejut. Tiara pun ikut terkejut karena menyadari tiba-tiba saja ada rasa kebencian mendalam menyeruak di dalam tubuhnya, menyatu di matanya dengan keinginan membunuh yang melesak sesaat.
Tiara segera mundur perlahan, langkah kakinya menjauh dari Wildan dan berusaha tak menimbulkan suara berisik yang bisa mengganggu tidurnya Norman di dalam ruang kamar. Perlahan lalu semakin Tiara tergesa pergi menuju pintu utama rumah dan segera keluar dengan cepat diikuti Wildan yang segera menyusulnya dengan sama cepatnya.
Tiara segera berlari semakin cepat layaknya serigala di tengah malam menerobos sunyi dan gelapnya hutan hingga sampai di jalan setapak yang akan menuntunnya menuju Taman Rosetta. Tidak ada tempat yang bisa Tiara tuju lagi selain di mana semua bermula. Tiara melesat dengan cepat, hingga Wildan pun harus mengejarnya dengan kesulitan sebab Tiara tengah melangkah dengan kecepatan tinggi, dibantu oleh kilat-kilat merah menyala yang berpendar bergantian di setiap langkah kakinya.
“Tiara!” panggil Wildan namun tak diindahkan oleh Tiara.
“Tiara!!!” teriaknya lagi sambil terus menyeimbangkan kecepatannya dengan Tiara.
“Sial! Dia bisa secepat itu!” rutuk Wildan sembari tak putus asa mengejar Tiara.
Tiara baru berhenti setelah sampai di Taman Rosetta, berdiri mematung menatap kolam air mancur yang tak memancarkan airnya.
Wildan telah berdiri di belakangnya, bersiap untuk lebih mendekati Tiara, meski ia sendiri tak tahu atas dasar apa ia harus menyusul Tiara. Kenapa tidak biarkan saja perempuan itu pergi sendiri? Tiara juga sudah memiliki kekuatan untuk menjaga dirinya sendiri. Namun hati nuraninya bermain peran, membuat Wildan secara impulsif merasa harus membersamai perempuan itu.
“Jangan mendekat!” teriak Tiara tiba-tiba sembari tetap memunggungi Wildan yang langkahnya segera terhenti seketika.
“Kenapa? Memangnya kenapa? Kenapa aku tak boleh mendekatimu? Apa masalahmu?” tanya Wildan bertubi-tubi dengan kesal.
“Apa kau tidak mengerti situasinya?!” teriak Tiara kesal.
“Situasi apa?! Apa karena kau sedang cemburu melihat pemandangan tadi?” tanya Wildan heran yang membuat Tiara tak percaya.
Tiara memutar tubuhnya menghadap ke arah Wildan, tak percaya dengan apa yang dilontarkan oleh Wildan. Tiara merasa Wildan ini terlalu bodoh, apa ia sedang memaksakan diri untuk berusaha berempati tapi malah salah tafsir atas apa yang terjadi di depan matanya?
“Bodoh!” hardik Tiara.
“Tiara, aku berusaha menahan diriku, jangan memancing amarahku!” gertak Wildan yang mulai akan mendekati Tiara.
“Jangan mendekat! Aku ini bencana!” rutuk Tiara kepada dirinya sendiri sembari mulai menangis.
Wildan bergeming.
“Jangan dekati aku! Kau tidak mengerti! Jangan mengejekku dengan pernyataan bodohmu yang terlalu sederhana! Kau pikir ini tentang rasa cemburu hanya karena melihat pemandangan tadi?”
“Lalu apa?” sergah Wildan dengan nada datar dan dingin.
“Kalau rumit, katakan. Bagaimana aku tahu, jika tidak kau katakan?” sambungnya lagi masih dengan nada datar nan dingin.
Hening membentang di antara mereka, sesekali isak tangis Tiara terdengar merobek keheningan malam di Taman Rosetta yang sepi dan remang dan Wildan masih tetap bergeming seakan tak berminat untuk memberi penghiburan yang muluk terhadap tangis Tiara.
“Tiara, katakan yang kau rasakan agar aku mengerti.”
Tiara mencoba sekuat tenaga ditengah isak tangis yang kesulitan ditahannya untuk patuh terhadap perintah Wildan.
“A-a-ku, aku….”
Wildan menunggu dengan tenang, memberi waktu untuk Tiara bisa menyampaikan maksudnya.
“Aku ini bencana.”
Wildan masih tetap bergeming. Tak ada reaksi apapun kecuali wajah dengan ekspresi yang dingin dan masih menatap Tiara dari jarak yang membentang di antara mereka. Tak mendapatkan reaksi apapun membuat Tiara kesal hingga manik matanya kembali memancarkan sinar merah terang yang menyeruak karena emosi yang berantakan.
Tanpa aba-aba Wildan segera melesat maju dan dengan ekspresi tak terbaca serta telapak tangan kanannya yang langsung menyambar leher Tiara, mencekiknya hingga tubuh Tiara sedikit terangkat dari lantai yang dipijaknya sampai-sampai membuat Tiara terkejut.
“W-w-wil-dan,” rintihnya lirih tak menyangka dengan apa yang akan dilakukan Wildan kepadanya.
Wildan mendesis, “Berhentilah menggunakan kekuatanmu tak terkendali,”
Tiara masih merintih kesakitan, tiba-tiba seluruh kekuatan yang sedari tadi bergejolak sedikit demi sedikit di tubuhnya terasa lenyap begitu saja.
“W-w-wil-dan,” rintihnya lagi masih tak percaya Wildan tak berbelas kasihan kepadanya.
“Tiara, jangan terlalu angkuh dengan apa yang baru saja kau raih. Jika kau bencana, maka aku adalah derita terkutuk yang takkan pernah kau inginkan.”
Wildan mengucapkan kata-katanya dengan sangat dingin dan lirih tanpa sedikitpun ingin melepas Tiara yang terus merintih hingga menangis bukan lagi karena emosi yang tak tergambarkan melainkan karena kesakitan.
Wildan berbisik dengan mendesis lirih di telinga Tiara, lalu dengan kilat mata ambernya menatap lekat-lekat pada wajah Tiara, Wildan segera menurunkan Tiara dan membiarkan Tiara tersungkur sambil mengelus lehernya sendiri yang terasa sakit.
Ucapannya terdengar mengerikan di telinga Tiara,
“Bahkan jika kau menjelma menjadi mimpi buruk kematian seluruh umat manusia, aku akan mengimbangimu.”
****
Bersambung~
Ini kenapa isinya ****?
Ohh, nanti yaa kak, terima kasih banyak sudah mampir, maaf karena tulisannya kosong. T_T
Tks ya kak udh update.
Yaaa?