****
Semilir angin sayup-sayup terasa membelai lembut wajah mulus Tiara yang terlihat redup sembari kedua mata hazelnya menatap lurus pada sebuah batu nisan yang berdiri kokoh di hadapannya. Bentangan langit pagi yang menaunginya tidak jauh berbeda bahkan begitu serupa dengan langit yang meneduhkan dunia tempat ia tinggal nun jauh di sana. Langit yang sama, biru cerah dengan semburat kuning keemasan dari sang surya yang berpendar malu-malu, juga beberapa gumpalan awan putih yang berarak di sana-sini . Tidak ada yang terasa berbeda, suasana pagi yang terasa sama seperti pagi yang biasa dilewati Tiara di dunia sebelumnya, seakan ia tak pernah pergi jauh ke dunia asing yang sekarang ditempatinya. Pun tidak ada yang menarik dari batu nisan yang nampak masih kokoh dan tampak bagus lantaran baru beberapa hari lalu ditancapkan untuk menandai tempat bersemayam seorang wanita tua berhati mulia yang namanya kini abadi dalam ukiran yang dipahat dengan indah oleh ahlinya di permukaan batu tersebut.
Tiara tersenyum kecut, tiba-tiba saja ia teringat momen semalam bersama Wildan dan Wilona yang menyatakan bahwa dirinya ditakdirkan untuk mengakhiri riwayat hidup Marvin, penyihir yang tamak hingga gelap mata mengotori tangannya dengan membunuh kedua orang tua Wilona dan Wildan demi kekuasaan yang didambakannya. Kendati hati nurani Tiara ikut merasa tersayat setelah mendengar kisah derita memilukan yang disampaikan oleh Wilona dan Wildan, namun ia merasa berat menerima kenyataan bahwa ia ditakdirkan untuk membunuh seseorang meskipun orang tersebut memang layak untuk dibunuh karena dosa-dosanya.
Tapi, memangnya siapa Tiara berhak menjadi hakim bagi kehidupan seseorang?
Tiara kembali menatap lekat-lekat pada batu nisan yang sedari tadi dipandanginya dengan rasa iba bercampur amarah. Itu adalah batu nisan milik Bibi Meredith yang dianggapnya bertanggungjawab atas takdir aneh yang menimpanya. Semalam setelah mendengarkan Wilona dan Wildan dengan saksama hingga sampai pada berita mengenai takdir Tiara untuk membunuh Marvin, maka Tiara segera bergeming untuk beberapa saat sembari amarah mulai membuncah dalam dirinya sebagai bentuk penolakan mentah-mentah terhadap apa yang disampaikan Wilona dan Wildan. Tiara teringat semalam ia benar-benar merasa kesal hingga tanpa pikir panjang Tiara bermaksud untuk melangkah pergi dari rumah bahkan ingin kembali ke Taman Rosetta di mana ia pertama kali muncul ke dunia yang aneh ini dan berharap bisa segera kembali ke dunianya sendiri entah bagaimana caranya, ia pikirkan nanti setelah berhasil merangsek pergi dari rumah tersebut. Semalam jika bukan Wilona yang menenangkan Tiara, mungkin Tiara akan lepas kendali menyerang Wildan yang sejak awal memang memancing Tiara untuk kesal lalu ia berpikir lari secepatnya meski Tiara tahu itu tidak ada gunanya. Wilona berusaha membujuk Tiara untuk istirahat dan berpikir dengan lebih tenang, malam juga sudah begitu larut, Wilona berjanji esok hari apapun yang menjadi keputusan Tiara, maka Wilona tidak akan menghentikannya lagi. Pada akhirnya Tiara menuruti bujukan Wilona untuk beristirahat di sebuah kamar kecil dengan jendela menghadap ke pekarangan belakang rumah. Tiara menyerah, memilih untuk tidur sejenak. Bagaimanapun juga Wilona benar, Tiara sangat lelah dan perlu istirahat.
Jika semua ini hanyalah mimpi, Tiara hanya ingin segera terbangun dengan harapan esok pagi ia kembali ke kehidupannya yang normal.
Dan pagi itu, Ketika Tiara terbangun dan mencoba melihat suasana pagi di luar rumah melalui jendela, ia melihat batu nisan itu, batu nisan milik Bibi Meredith yang ada di pekarangan belakang rumah milik Wilona dan Wildan. Terbersit perasaan kecewa dalam dirinya setelah menyadari ia masih berada di kamar yang sama dan dunia yang semalam dikenalnya masih menjadi tempatnya berpijak. Akhirnya hal pertama yang dilakukan Tiara setelah bangun dari tidurnya adalah mendatangi batu nisan tersebut, terdiam sepanjang waktu hanya untuk merutuk atas takdir yang menimpa dirinya. Tiara sudah beberapa kali bertanya “kenapa” pada batu nisan yang hanya membisu dalam keheningan pagi, berharap batu nisan yang bungkam secara ajaib akan menjawab entah setelah sekian kali ia bertanya mulai dari mendesis, bergumam, hingga memekik karena begitu kesal tak ada jawaban yang muncul. Pada akhirnya Tiara hanya bisa menangis sesenggukkan karena tak berdaya, rongga dada nya begitu berat oleh beban yang bergelayut tanpa pamrih.
Tiara yang sudah lelah berdiri di atas kedua kakinya kini mulai berlutut. Kedua lututnya yang tak tertutup kain rok miliknya bertumpu pada hamparan rerumputan berwarna hijau subur yang membentang di pekarangan belakang rumah tersebut. Ia masih sesenggukkan, mecoba meredakan tangisnya perlahan sembari mengusap kedua matanya dari air mata yang membasahi seluruh wajahnya dengan kedua tangannya. Dalam keheningan yang menyelimutinya, samar-samar ia mendengar suara dari belakang punggungnya.
“Apa yang kau tangisi?”
Tiara terkesiap, sepasang bahunya terjungkat sepersekian detik karena terkejut, matanya terbelalak untuk sesaat sembari tetap menatap lekat-lekat pada batu nisan dihadapannya lalu memberanikan diri menoleh kearah suara yang berasal dari belakang punggungnya. Perasaan takut merayapi sekujur tubuhnya lantaran Tiara sadar bahwa dirinya sedang berada di sebuah makam di mana hal-hal mistis mungkin saja terjadi tanpa peringatan untuk waspada. Tiara juga menyadari bahwa sedari tadi dirinya hanya sendirian dan sejak semalam manusia yang ditemuinya hanya Wilona dan Wildan. Setelah Tiara menoleh dengan derajat putaran yang sempurna, tampaklah sosok seorang lelaki asing berdiri di sana dengan tubuhnya sedikit bersandar pada pohon besar yang memang berdiri kokoh tanpa pesaing di halaman belakang rumah itu.
“K-k-kau, siapa?” gumam Tiara lirih.
Pria itu tersenyum tipis, wajahnya terlihat cerah dan tampak tak berbahaya. Tiara memindai lekat-lekat pada pria tersebut mulai dari ubun-ubun hingga ujung kakinya. Pria yang saat ini berdiri beberapa hasta darinya terlihat tak terganggu akan sikap menilai yang dilakukan Tiara bahkan ia sengaja berdiri dengan tegap dan diam sejenak untuk memberi waktu kepada Tiara menyelesaikan apapun yang sedang dilakukannya.
Wajah pria itu sedikit samar karena berdiri di bawah pohon besar yang rimbun namun Tiara menyadari pria itu tengah tersenyum dan menunjukkan mimik wajah yang ramah. Tiara memicingkan kedua manik hazelnya meski sebenarnya Tiara tak memiliki gangguan penglihatan. Ia merasa perlu melakukannya untuk membuat dirinya fokus memindai sosok manusia di depan matanya saat ini.
Pria itu memiliki garis wajah yang tegas namun sepasang matanya memancarkan aura yang ramah dengan manik matanya yang memiliki nuansa hijau zamrud pada pupilnya dengan sklera putih yang jernih dan segaris bulu mata yang lebat dan lentik. Bibirnya tipis dan berwarna merah ranum segar dan alisnya tidak terlalu tebal namun memiliki lekukan yang indah berwarna kecokelatan. Kulitnya putih kekuningan, Tiara dapat melihat dari wajah dan punggung tangannya dengan jari jemari yang panjang dan lentik. Pria itu memiliki rambut yang bergelombang berwarna kecokelatan serupa alisnya, belah tengah tanpa poni yang mengekspos seluruh wajahnya dan rambutnya terjuntai panjang menyentuh bahu. Rambut kecokelatannya terlihat kontras dengan mantel putih tulang yang digunakannya. Mantel dengan bahan kain yang lembut menutupi seluruh tubuhnya, beberapa kancing besar berwarna putih serupa tampak menghiasi bagian dadanya. Atasan berwarna putih tersebut dipadankan dengan celana berwarna cokelat terang dan sepatu booth yang berbentuk ramping sebatas tungkai kakinya. Pria itu menegakkan tubuhnya yang sedari tadi bersandar pada batang pohon dan maju beberapa langkah untuk memangkas jarak diantara dirinya dan Tiara. Pada saat itulah perhatian Tiara tertuju pada kedua kaki milik pria asing itu, memastikan keduanya melangkah dengan tapak yang jelas pada hamparan rumput yang membentang di antara mereka.
“K-k-kau, bukan hantu?” celetuk Tiara kemudian ketika menyadari pria tersebut berpijak pada bumi namun ia tetap bergerak mundur beberapa langkah untuk tetap menjaga jarak.
Pria itu menghentikan langkahnya sejenak, sedikit terkejut atas apa yang didengar dari mulut mungil Tiara yang memancarkan sorot mata ketakutan meski ia begitu yakin tidak perlu ada rasa takut tercipta terhadap dirinya, sebab ia sangat percaya diri menjamin bahwa dirinya berpenampilan sangat baik tanpa cela, tidak menyeramkan sedikitpun, bahkan ia sangat yakin dirinya lebih mirip pangeran tampan yang muncul tiba-tiba.
“Apa aku seperti hantu untukmu?” tanyanya dengan senyum tergelitik.
Tiara membisu, tak bisa menjawab apa yang ditanyakan kepadanya. Tiara memang meragukan tanda tanya dalam dirinya atas pria yang berada di depan matanya sebab ia pun menyadari daripada seperti hantu, pria tersebut lebih seperti pangeran tampan yang keluar dari buku-buku cerita bergambar yang dibacanya sejak kecil. Tiara untuk sesaat memang terpesona akan ketampanan pria di hadapannya, namun ia belajar dari pengalaman singkat semalam yang membuatnya tetap perlu waspada terhadap siapapun.
“Perempuan cantik, siapa namamu?” tanyanya lagi membuat Tiara tersadar dari kependiamannya.
“A-a-aku, Tiara.” ucap Tiara singkat dan mulai menurunkan rasa takutnya.
“Halo, Tiara yang cantik. Boleh aku mendekat?” izinnya.
“Tunggu! Kau siapa?” sergah Tiara tak mengizinkan pria tersebut untuk melangkahkan kakinya lebih dekat kepadanya sebab ia Tiara tak tahu apakah yang di depan matanya adalah lawan atau kawan.
“Aku?” tanyanya lagi.
Pria itu tetap diam mematung di titik posisinya berdiri lalu membuang pandangannya dari Tiara dan menatap nanar pada batu nisan yang menjadi panggung utama di halaman belakang rumah tersebut, lantas menjawab pertanyaan Tiara dengan nada yang lugas tapi misterius, “Aku adalah anak semata wayang dari ibuku.”
Tiara tercenung, ia tak mengerti apa yang telah disampaikan pria asing di depan matanya saat ini. Pria itu juga tak lagi tertarik untuk mendekati Tiara, melainkan mengubah haluannya untuk melangkah mendekati batu nisan dan memunggungi Tiara. Tiara memperhatikan pria tersebut dengan saksama, mendapati pria itu mengangkat tangan kanannya lantas membuka telapak tangannya ke atas lalu dari telapak tangannya yang terbuka memancarkan cahaya berwarna putih terang.
Tiara terkejut melihat apa yang ada ditangannya pria itu dan segera berlari menghampirinya, bergegas dan mengabaikan rasa takutnya untuk meraih tangan itu. Tiara tak bisa memikirkan apapun kecuali rasa curiga bahwa akan terjadi penyerangan terhadap batu nisan milik Bibi Meredith. Tiara menarik tangan tersebut dengan paksa, mencoba menurunkan agar pria itu tak dapat melakukan apapun.
“Hentikan!” hardik Tiara sembari memeluk tangan kanan yang kokoh milik pria itu tanpa ragu.
“H-h-he-hei, apa yang kau lakukan?” Pria itu terlihat panik mendapati Tiara memeluk tangannya dan memancarkan sorot mata penuh peringatan dan permusuhan dari wajahnya yang padahal sebelumnya terlihat tak waspada terhadap apapun.
“Jangan merusak makam Bibi Meredith!!!” hardik Tiara tanpa ragu.
Pria itu terkejut dan sorot mata Tiara yang tadinya terasa menakutkan kini terlihat lucu baginya. Tiara terlihat seperti kucing kecil yang sedang mencoba mengaum seperti singa dan itu membuatnya tak bisa menahan diri untuk tak tertawa terbahak-bahak.
“HAHAHAHAA! Apa yang kau pikirkan?” pria itu tertawa lepas membiarkan tangan kanannya masih dipeluk Tiara dan tangan kirinya menutupi wajahnya yang memerah karena tertawa tanpa henti.
Tiara hanya tertegun mendapati reaksi dari pria yang dipikirnya akan melakukan sesuatu yang berbahaya. Pada akhirnya Tiara berangsur-angsur melonggarkan cengkeramannya pada tangan kanan pria itu dan melepasnya dengan sempurna. Tiara meluruskan kedua tangannya dengan tegang di setiap sisi tubuhnya, sebab ia kesal. Tiara mendengkus kesal karena merasa sedang dipermainkan.
Pria itu masih terus tertawa dari terbahak-bahak hingga terkekeh dan terbatuk karena terlalu banyak tertawa. Sedangkan Tiara sendiri mematung dengan raut wajah cemberut yang masih kesal dan takkan mereda jika pria itu tak minta maaf padanya.
“Hei, maafkan aku.” ucap pria itu tiba-tiba yang membuat Tiara terperangah.
“Aku hanya ingin memberkati makam ibuku, karena baru hari ini aku bisa kemari.” ucapnya lagi dengan tenang.
Suasana di antara mereka Kembali hening seketika karena Tiara begitu terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan pria itu. Tanpa mempedulikan reaksi Tiara yang Tengah mematung, pria itu kembali mengangkat tangan kanannya dan membentangkan telapaknya lantas dari telapak tangannya mulai memancarkan sinar putih terang yang sama seperti sebelumnya. Tiara yang terlanjur mengalami krisis kepercayaan terhadap siapapun di dunia asing itu tanpa terencana segera kembali menghampiri pria itu dan menangkup telapak tangan kanan milik pria itu dengan kedua telapak tangannya yang mungil.
“Sial! Aku tidak bisa percaya begitu saja!” gumamnya dengan lirih.
“Hei, aku benar-benar hanya ingin memberkati makam ibuku. Aku ini anaknya, namaku Norman.” ucap pria itu dengan kesabaran yang terpampang nyata dalam menghadapi sikap curiga Tiara.
“Nona manis, seharusnya aku yang curiga kepadamu. Memangnya kau siapa sampai sejak tadi kau hanya terus menatap tajam kepada batu nisan ibuku? Aku bahkan membiarkanmu beberapa waktu dan hanya mengawasimu dari balik pohon tanpa berpikir sedikitpun untuk mengganggumu.”
Mendengar semua yang dikatakan Norman membuatu Tiara merasa malu hingga ia tak bisa menutupi raut wajahnya yang memerah dan terasa panas, tidak sepertinya kedua telapak tangannya yang terasa dingin dan masih menangkup telapak tangan kanan Norman.
Tiara perlahan-lahan menurunkan lagi kedua telapak tangannya. Wajahnya tertunduk malu dan kali ini ia menahan dirinya untuk tak menghalangi apapun yang akan dilakukan Norman. Tiara memperhatikan dengan saksama yang sedang dilanjutkan Norman. Ternyata dari telapak tangannya yang bercahaya, muncul sebuah buket bunga dengan sekumpulan bunga mawar putih yang aromanya semerbak dan terlihat indah. Saat itu Tiara merasa semakin malu lantaran ia benar-benar menampakkan kecurigaan terhadap seseorang yang tak sepantasnya ia curigai.
“Nona manis, terima kasih karena tadi menahanku dengan tujuan melindungi makam ibuku. Meskipun itu sebuah kesalahpahaman, namun aku menyukai niatmu.” Ucap Norman dengan nada lemah lembut dan ditutup dengan senyuman manis untuk Tiara.
Tiara tercengang, ia mengangkat wajahnya perlahan dan memperhatikan dengan saksama langkah kaki Norman yang kini menghampiri batu nisan, berlutut, lantas meletakkan buket bunga miliknya dengan perlahan. Norman mengucapkan beberapa kata dengan lirih yang tak begitu terdengar oleh Tiara sebab Indera pendengaran Tiara sedang terganggu oleh hawa panas yang membuat kedua telinganya memerah. Wajahnya pun tak kalah merah merona lantaran tersanjung atas ucapan terima kasih yang diucapkan Norman. Pria itu seperti tahu bagaimana menyenangkan hati Perempuan dengan kata-kata manis dan didukung oleh wajahnya yang tampan dan senyumannya juga sangat menyentuh hati. Pada akhirnya Tiara terlupa sejenak bahwa ia sedang di tempat asing dan tadinya ia sedang sangat kesal hingga sampai berpikir untuk menyalahkan batu nisan yang tak tahu apa-apa. Bertemu dengan pria seperti Norman membuat Tiara merasa untuk pertama kalinya ia bertemu manusia yang sesungguhnya. Tiara diam-diam jadi membuat perbandingan di mana ia tersadar bahwa Wildan dan Wilona itu seperti penyihir dalam buku-buku dongeng, sedang Norman adalah manusia sesungguhnya. Bukan cuma sekadar manusia biasa melainkan pria tampan mempesona yang membuat mendung di pagi buta pun lenyap seketika dan berubah menjadi cahaya fajar berpelita indah nan hangat sempurna. Tiara tersenyum kecil menikmati apa yang sedang berkecamuk dalam ruang pikirannya.
Tiara segera menghapus senyum kecil yang tampak dari bibir mungilnya lalu memasang wajah datar namun telah menghilangkan sikap waspada yang tinggi ketika mendapati Norman menoleh ke arahnya. Tiara tetap berdiri mematung lantaran tak tahu apa yang sebaiknya ia lakukan sekarang. Haruskah ia pergi menjauh atau cukup menunggu Norman menghampirinya kembali?
Seakan mengerti apa yang ada dalam pikiran Tiara, Norman segera bangkit dari sikap berlututnya lalu menghampiri Tiara yang kini berdiri tegang sembari sibuk memilin jari-jemarinya dengan gelisah.
“Tiara, benar?” tanya Norman memastikan ia tak salah mengingat nama perempuan manis di hadapannya setelah ia berhasil memangkas jarak yang membentang di antara mereka berdua.
Tiara hanya mengangguk cepat dengan kedua tangannya masih sibuk saling memilin jari-jemarinya.
Kali ini giliran Norman yang menangkup kedua tangan Tiara. Telapak tangan Norman terasa hangat dan karena ukurannya yang sedikit lebih besar dari kedua tangan Tiara maka rasanya seperti sedang ditenangkan oleh sarung tangan hangat.
“Apa kau merasa tak nyaman? Apa aku membuatmu takut? Sudah kubilang aku bukan hantu.” Norman menjelaskan dengan lambat-lambat kepada Tiara sembari tetap menangkup kedua tangan Tiara untuk menenangkan.
Berhadapan terlalu dekat dengan Tiara membuat Norman jadi memperhatikan penampilan perempuan tersebut. Tiara terlihat sedikit berantakan mulai dari anak-anak rambutnya hingga pakaian yang dikenakannya juga terlihat agak kumal. Tiara memang hanya menggunakan pakaian yang dipakainya sejak semalam sedang rambutnya yang terlihat berantakan itu karena ia segera beranjak ke makam Bibi Meredith setelah bangun dari tempat tidur yang ditumpanginya semalaman. Tiara tak berpikir panjang bahwa bisa saja ia bertemu seseorang lantaran semalam dari cerita yang disampaikan Tiara menangkap keadaan bahwa di rumah terasing dari kota itu hanya ada Wilona, Wildan, dan Bibi Meredith. Tak terpikir bahwa akan muncul Norman di hadapannya.
Norman mengernyitkan dahinya setelah memindai penampilan Tiara. Kedua manik matanya yang berwarna hijau zamrud cerah tertuju pada kalung yang digunakan Tiara. Norman sangat mengenali kilat merah darah yang ada pada bandul kalung itu. Bukan hanya karena sinar kilauan dan bentuknya, Norman sangat tidak asing dengan aura kuat yang memancar pada bandul permata merah tersebut. Sejak masih kecil Norman terbiasa menatap kilatan merah dari sepasang mata milik Wildan dan Wilona. Kilatan yang sama persis dari bandul kalung yang dikenakan Tiara.
“Apakah itu… Ratnaraj?” tanya Norman lirih dengan tatapan matanya yang menghunus tajam pada kalung milik Tiara.
Tiara dengan sigap melepaskan kedua tangannya dari genggaman Norman dan segera menggenggam erat bandul kalung miliknya.
“Benarkah?” tanya Norman lagi untuk memastikan.
Tiara hanya tetap menggenggam erat bandul kalungnya dengan wajah cemas hingga Norman tersadar bahwa dia tidak salah terka. Untuk sesaat Norman merajut benang-benang merah kusut di dalam kepalanya. Siapa perempuan bernama Tiara yang ditemuinya sekarang? Kenapa perempuan itu menggunakan kalung permata merah serupa ratnaraj? Bagaimana perempuan itu bisa muncul di rumah ibunya bahkan berdiri di depan batu nisan ibunya? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Tiara melangkah mundur dengan cepat dan ketika Norman mencoba melangkah maju untuk menjaga jarak yang dekat di antara mereka berdua, Wildan menghampiri dengan kasar, mendorong Norman menjauh dari Tiara. Norman sedikit terkejut dan terhuyung meski ia masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Tiara melihat Norman tetap tersenyum ramah seakan ia tak peduli dengan sikap Wildan yang tak sopan. Sedangkan Tiara saat ini tak bisa menebak bagaimana raut wajah Wildan yang Tengah memunggunginya dan memutus bentangan jarak antara Tiara dan Norman.
“Sedang apa kau di sini?!” tanya Wildan dengan tegas dan nadanya begitu tajam.
“Tentu saja mendatangi ibuku.” jawab Norman dengan tetap ramah.
Tiara hanya bisa diam membisu di balik punggung Wildan dan sebelum dirinya berprasangka buruk terhadap Norman yang disikapi ketus oleh Wildan, Wilona menghampiri dan menenangkan Wildan.
“Wildan! Apa yang kau lakukan?” tanya Wilona dengan nada penuh teguran.
“Apa?! Aku bahkan tidak membuatnya terjatuh! Kenapa kau memarahiku?!” celetuk Wildan dengan ketus.
“Wilona, aku tidak apa-apa.” ucap Norman dengan tetap ramah untuk menenangkan Wilona.
Wilona yang bingung dengan situasi yang terjadi mendadak pada akhirnya memilih untuk menarik Tiara masuk ke dalam rumah. “Norman, datanglah lain waktu, aku akan menjelaskan semuanya.” ucap Wilona dengan lembut dan mengisyaratkan tangannya agar Norman pergi.
Norman menghela nafas panjang sebelum akhirnya ia memilih pergi tanpa memperhatikan sikap tak bersahabat yang ditunjukkan Wildan.
Tiara sendiri meskipun mematuhi ajakan Wilona untuk masuk ke dalam rumah, kejadian yang tampak di depan matanya membuatnya bertanya-tanya.
“Kenapa sikap Wildan begitu kasar kepada Norman?”
“Tapi kenapa Wilona seakan peduli dengan Norman dan Norman pun patuh pada Wilona?”
Namun yang paling menganggu Tiara adalah sekelibat ingatan tentang tatapan nanar Norman terhadap bandul permata ratnaraj yang ia kenakan.
****
Bersambung~
Ty, for coming.
Ka rosseta??
Iya, hadir kak. Maaf lagi hectic di rl jadi tipis2 aja ke PSA.