Flavia duduk dengan canggung di kursinya. Kedua matanya menatap sosok Onyx yang saat itu sedang berdiri di depan meja pemesanan untuk makan siang mereka. Perempuan itu tak mengerti, lelaki yang mengaku bernama Henry itu tampak aneh dengan tiba-tiba meminta bantuannya agar diterima di toko baju tempatnya bekerja. Lebih anehnya lagi, saat ini, ia mau-mau saja duduk di sini menyanggupi ajakan makan siang bersama lelaki itu.
Flavia mengerjap dan menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Ia terus berusaha berpikir positif dengan terus membimbing benaknya untuk berpikir jika mungkin saja Henry baru saja di PHK dan segera membutuhkan pekerjaan untuk mencukupi hidupnya. Itu adalah satu-satunya alasan paling masuk akal yang dipikirkannya berkali-kali.
“Maaf membuatmu menunggu.” Onyx berkata sopan sembari menarik kursi dan duduk di seberang Flavia.
“Waktu istirahat siangku cukup lama. Tak masalah.” Flavia tersenyum tipis.
Mereka telah memutuskan untuk menanggalkan sikap resmi dengan panggilan Anda, Saya setelah keduanya sempat berbincang singkat hingga Onyx memutuskan untuk mengajak perempuan itu makan siang berdua.
Onyx mengangguk dengan senyum tipisnya yang sama. Ia tak habis-habisnya menarik napas panjang saat melihat sekilas ruangan kafe tempatnya berada bersama Flavia saat ini. Kafe ini adalah kafe yang sama ketika dirinya mengajak Azure untuk bertemu malam itu saat ia menyamar sebagai Brick. Bayangan perempuan biru itu masih terpatri jelas di pikirannya dan sulit untuk pergi. Ia telah berusaha merelakan semuanya dengan memeluk hal-hal pahit yang dialaminya akhir-akhir ini dengan hati lapang, tetapi ternyata memang tak semudah ucapan, kenangan-kenangan tentang Azure justru membanjir hebat dan membuatnya seperti makhluk linglung yang terus mendatangi tempat-tempat penuh kenangan Azure di dunia manusia ini.
Lamunan Onyx buyar ketika salah seorang pelayan kafe datang mendekat membawa pesanan. Secangkir espreso dan segelas matcha latte dingin.
Onyx meyeruput kopi panasnya sejenak dan membuka percakapan. “Aku tahu kau mencurigaiku,” ucapnya datar.
Flavia menengadahkan pandangannya dan menelan ludah. “Aku tak mencurigaimu, maaf. Hanya saja … ada beberapa hal yang membuatku sepertinya patut bertanya padamu,” sergahnya dengan wajah masam.
Onyx mengembuskan napas panjang. Dia tahu jika wanita di depannya ini memiliki hati yang tulus serta tak mudah berprasangka kepada orang lain. Dia paham jika selama di dunia manusia, wanita inilah yang menjadi sahabat baik perempuan biru itu dan sekarang Onyx mengerti alasannya. Flavia adalah wanita keibuan yang senang menolong.
“Aku adalah pendatang dan membutuhkan pekerjaan untuk menghidupi diriku sendiri. Apakah itu cukup?” Onyx menjelakan singkat lantas bertanya kembali.
Flavia mengulas senyum. “Kenapa kau memilih pekerjaan di toko itu? Bukankah ada begitu banyak pekerjaan di negara ini yang lebih layak kaukerjakan ketimbang hanya bekerja di toko baju?” tanyanya sembari menyeruput minuman dinginnya.
Onyx tersenyum tipis. “Karena seorang teman.” Tanpa sadar lelaki itu berucap sesuai dengan kata hatinya, membuat Flavia menaikkan sebelah alisnya. “Aku berniat menyusul seorang teman yang bekerja di tempatmu, tapi sepertinya temanku telah memutuskan untuk pindah ke tempat lain,” jelasnya lagi membuat perempuan itu kini mengernyitkan dahi.
“Temanmu? Yang telah pindah?” Flavia membeo sembari mengingat-ingat siapa rekan pegawai di toko itu yang baru-baru ini mengundurkan diri. Saat tak menemukan jawaban dan justru dadanya berdesir ketika ia teringat Carissa, Flavia membeku. Kedua matanya sejenak menatap Henry penuh penilaian. “Temanmu itu … laki-laki ataukah perempuan?” tanyanya perlahan.
Ada rona merah yang tampak selintas di wajah Onyx, tapi buru-buru lelaki itu memasang ekspresi datar. Onyx kemudian mengembuskan napas panjang untuk menenangkan penyesalannya yang kini tak ada gunanya lagi. Flavia telah membuat kesimpulan yang tepat tentang siapa orang yang dirinya maksud.
Flavia ternganga melihat ekspresi Onyx seolah tanpa lelaki itu berbicara, ia bisa tahu jika memang benarlah Carissa yang lelaki di depannya ini cari. Astaga … sebenarnya apa yang terjadi? Ingatan-ingatan yang berputar di benak Flavia tentang kebersamaannya dengan Carissa itu membuat perasaan rindu yang selama ini ia tahan mendadak banjir begitu saja menggenangi kedua matanya.
“Kau … mengenal Carissa? Dia … dia perempuan yang sangat tertutup dan tak pernah becerita apa pun tentang kehidupan pribadinya sebelum bertemu denganku. Dia … dia tak pernah bercerita jika ternyata memiliki teman laki-laki ….” Flavia berkata masih dengan ekspresinya yang tak percaya.
Onyx memasang ekspresi kecut. “Tentangku dan Carissa memang tak pantas untuk diceritakan, Flavia. Dia juga mengalami masa lalu yang buruk dan … entah saat ini,” ucapnya dengan wajah keruh, merujuk pada kehidupan perempuan itu yang kini tertahan oleh kekuatan merah Reddish nan kejam yang tentu saja tak akan segan-segan mengungkung Azure dalam kuasanya sesuka hati.
“Oh ….” Flavia menutup mulutnya dengan sebelah tangan, menahan perasaan. “Dia pergi begitu saja tanpa memberiku kabar. Apakah … kau juga tak mendapat kabar apa pun darinya sehinga kau terlambat menyusulnya kemari?” Flavia bertanya dengan kening mengernyit.
Onyx mengangkat bahu. “Begitulah,” jawabnya dengan senyum kaku. “Mari lupakan sejenak tentang … Carissa karena aku membutuhkan segera pekerjaan di tempatmu bekerja. Jadi, berkas-berkas apa saja yang harus kupersiapkan untuk melamar kerja di toko itu?”
***
“Kau senang?” Reddish bertanya sembari menunduk, menatap Azure yang sedang bersandar di dadanya.
Azure tersenyum damai. “Ya, Reddish. Terima kasih. Aku tak pernah berpikir jika aku bisa mengikuti upacara sakral itu lagi bahkan ….” Dada Azure terasa kembang kempis menahan perasaan hingga ia tak sanggup melanjutkan perkataannya. Kedua mata birunya memindai perlahan dengan tatapan haru pada hamparan kastil biru yang kini nyata terhampar di depan mata. “Bahkan aku ….”
Reddish mengecup pelipis Azure dengan penuh sayang, mengerti benar apa yang saat ini sedang bergolak di hati istrinya. “Apa pun untukmu, Azure. Lagi pula … ini untuk kebaikanmu. Kekuatan tubuhmu akan berangsur-angsur membaik lebih cepat jika kau berada di kastilmu sendiri,” ucapnya dengan sebelah tangan Reddish mengusap lembut perut istrinya.
Azure mendongak. “Kau sungguh-sungguh tak keberatan … berada di sini? Lihat, kastil ini tampak sepi karena sepertinya hewan-hewan biru yang biasanya berkeliaran di tempat ini takut padamu,” godanya dengan terkekeh kecil.
Reddish menaikkan sebelah alisnya dengan ekspresi heran. Ingatannya kembali pada beberapa waktu lalu saat ia dan rombongan pemimpin klan mendatangi tempat ini untuk melakukan kunjungan meski tak mendapatkan hasil apa pun. Waktu itu kondisi kastil biru ini terlihat lengang dengan nuansa khas bangunan kosong yang lama tak dihuni. Benarkah sebenarnya masih ada makhluk-makhluk penghuni wilayah biru lain yang masih bertahan dan mereka pergi karena kedatangannya?
Ekspresi Reddish yang sedang berpikir itu membuat Azure tak tahan untuk tak mengusap pipi suaminya. Di saat yang sama, keduanya dikagetkan oleh suara kepakan burung yang begitu keras di atas selasar bangunan kastil tempat mereka menghabiskan waktu di kastil biru itu. Reddish seketika mendongak pun juga Azure yang buru-buru menegakkan punggung demi memastikan suara apa yang sebenarnya melintasi mereka.
Tiba-tiba saja, dari arah kanan selasar, seekor burung berwarna biru terbang rendah lantas turun persis di depan tempat duduk Reddish dan Azure saat ini. Burung itu menurunkan kepakannya perlahan dan beceker-ceker, memperlihatkan bentuk tubuhnya yang ramping dengan sayap panjang menjuntai dihiasi gradasi warna biru bening seperti air di pucuk-pucuk sayapnya yang panjang.
“Longclaw!” Azure berseru dan beranjak berdiri.
Burung itu menyambut dengan terbang ke arah Azure yang menjulurkan tangannya. Azure tertawa renyah saat burung itu menyentuh-nyentuhkan kepala ke pergelangan tangannya.
“Dan sekarang hewan-hewan langit itu datang lagi setelah kau kembali.” Reddish menyambung perkataan Azure tadi dan turut berdiri. Secara ajaib, burung Longclaw berwarna biru yang semula bergerak aktif di tangan Azure tersebut seperti mengerti kedatangan lelaki merah itu hingga membuatnya anteng dan menunduk.
“Aura warna kalian saling memanggil dan saling menguatkan satu sama lain.” Reddish berucap menyemangati.
“Benarkah? Apakah kastil merah tidak memiliki hewan peliharaan?” Azure bertanya kemudian.
“Hewan-hewan langit di kastil merah terlatih untuk bertarung. Mereka tak akan sempat bermanja-manja seperti itu,” ujar Reddish angkuh yang membuat Azure menarik napas panjang.
Burung Longclaw itu mengusap-usapkan kepalanya di tangan Azure sejenak sebelum kembali terbang, meliuk-liuk dengan bahagia di udara. Azure melepas burung itu dengan tersenyum. Kepalanya yang masih tertengadah lantas menatap langit negeri yang tampak terang di sore hari itu.
“Klan merah memang selalu berhubungan dengan apa-apa yang terkuat. Aku percaya itu.” Azure tersenyum sembari memandang ke arah Reddish yang masih menatap ke arah burung biru itu terbang.
Reddish lantas mendekat dan memeluk Azure dari belakang, mengecup sisi kepala istrinya sekali lagi dengan ciumannya yang penuh perasaan. “Tapi aku bukan lagi yang terkuat saat ini karena nyatanya, aku membutuhkanmu untuk menyelesaikan semuanya,” bisiknya parau dengan suara lirih di sisi telinga Azure.
Azure seketika membalikkan badan dan meletakkan kedua tangannya di dada lelaki itu dengan pandangan menatap ke kedalaman mata Reddish yang memandanginya pula dengan tatapan teduhnya. “Aku membutuhkan Tuan Reddish untuk bersamaku dan aku tak peduli gelar apa pun yang ada padamu. Keberadaan Tuan Reddish di sisiku dan anak-anakku nanti itu sudah cukup.” Azure berkata dengan matanya yang berbinar.
Reddish menatap Azure dalam sebelum pada akhirnya mengulas senyum tipis di bibirnya. “Akan kupastikan istriku mendapatkan apa yang dia mau.”
Azure mendekap Reddish lekat, merasakan bagaimana suara jantung Reddish yang bertalu-talu di telinganya itu menentramkan hatinya. Azure hanya ingin begini saja, berada dekat dengan makhluk-makhluk yang ia cintai tanpa merasa terbebani lagi oleh masa lalu dan segala hal pahit yang pernah dilaluinya.
Reddish mengencangkan pelukannya sejenak sebelum berkata pelan, “Apakah istri dan anakku masih menginginkan jus buah anggur? Atau kita bisa meminum yang lainnya?” tanyanya menggoda yang membuat Azure menengadah dengan wajah memerah, mengingatkan perempuan itu pada keinginannya yang tak biasa setelah setengah hari ini mereka menghabiskan waktu untuk bersama-sama berkunjung ke kastil biru milik Azure dan belum sempat menikmati jamuan siang mereka.
“Ah, ya. Tentu. Sepertinya hanya minuman itu yang menggoda selera minumku saat ini.” Azure menjawab dengan senyum malu-malunya yang manis.
Reddish menengadah sejenak. “Waktu masih menjelang sore di dunia manusia. Sepertinya belum terlalu terlambat untuk menikmati minuman itu.”
“Sepertinya begitu.” Azure menjawab bersemangat. “Ayo, akan kutunjukkan padamu di mana gerai jus paling enak di sekitar lokasi tempat tinggalku dulu,” ajaknya sembari menggamit sebelah tangan Reddish dan memimpin berjalan, membuat lelaki merah itu menurut dengan senyum terkembang.
Keduanya lantas terjun bersama-sama ke dunia manusia dengan tubuh mereka yang perlahan-lahan berubah menjadi wujud manusia mereka di masa lalu, Alan dan Carissa.
***
Dunia manusia masih dilanda cuaca mendung ketika Reddish dan Azure tiba. Langit yang muram membuat siang itu tampak lebih sore dari waktu seharusnya. Meski begitu, udara terasa lembap dan panas seolah waktu sedang mau bekerjasama dengan baik untuk Reddish dan Azure pergi menikmati minuman dingin yang begitu menggoda itu.
Keduanya menyaru di antara pedestrian setelah sebelumnya menginjakkan kaki di salah satu sisi pepohonan lebat yang berada di samping taman kota. Mereka berjalan bersisian dengan kedua tangan bertaut, berusaha untuk tak tampak mencolok dengan pakaian kasual seperti penampilan mereka sebelumnya.
Azure terlihat begitu menikmati udara sekeliling. Kedua matanya memindai ke segala arah, tampak mengenali dan sejenak mengenang perjalanannya di masa lalu. Hampir satu tahun ia bertahan hidup berbaur dengan manusia di tempat ini. Ada banyak hal yang tak ia temukan di dunia langit saat berada di dunia manusia ini, satu di antara yang paling sulit bagi Azure untuk beradaptasi adalah kebiasaan manusia untuk memenuhi energi tubuh mereka dengan makanan, sementara Azure bahkan hanya perlu meminum beberapa gelas air di pagi hari untuk memenuhi energinya, walau setelah beberapa lama, perempuan itu pada akhirnya membawa botol air mineral dan meminumnya secara berkala seperti yang ia lakukan bersama Flavia.
Reddish merangkulkan sebelah tangannya di pundak Azure hingga Azure seolah baru teringat jika ia saat ini sedang bersama Reddish. “Sepertinya kehidupan lamamu cukup baik. Kau mengenang tempat ini sepenuh hatimu.” Reddish mengedarkan pandangannya sebelum membalas tatapan Azure.
“Tempat ini sempat menjadi rumah.” Azure tersenyum tipis.
Reddish hanya mengangguk dan menarik napas panjang. “Aku tahu rasanya … bagaimana mengenang sebuah rumah,” komentarnya dengan kalimat implisit, merujuk pada kebersamaannya dengan Candy. Bagaimanapun, Candy adalah orangtua kedua baginya setelah orangtuanya tiada. Candy adalah tempatnya pulang meski saat ini ia harus menyakiti hatinya sendiri dengan menuruti keinginan perempuan itu untuk memasukkannya ke dalam ruang tahanan.
Azure menatap Reddish dengan wajah prihatin lantas memeluk pinggang lelaki itu. Reddish menipiskan bibir lalu balas merapatkan dekapannya di pundak Azure dan berucap kemudian, “Jadi, di mana kita bisa menemukan jus berwarna ungu itu?”
Azure tersenyum. “Di seberang toko tempatku bekerja. Aku biasanya menikmati minuman dingin di tempat itu. Ayo,” ajaknya lalu melangkah diikuti Reddish yang turut menjangkahkan kaki jenjangnya mendekati penyeberangan, bersama-sama dengan pejalan kaki lainnya menyeberangi jalanan penuh dedaunan kering itu dan berjalan beriringan di sepanjang trotoar bangunan toko yang berjajar di jalan tersebut.
“Itu toko tempatmu bekerja, bukan?” Reddish menghentikan langkah dan memiringkan badan demi melihat jika di seberang jauh dari blok bangunan ini, terdapat pula bangunan pertokoan yang berjajar, terpisah oleh jalan besar yang pada beberapa titiknya terdapat tiang-tiang tinggi yang berbaris di sepanjang pemisah jalan.
Azure mengangguk.
“Kauingin bertemu dengan teman manusiamu itu ….” Reddish mengerutkan kening, mengingat-ingat apakah ia pernah tahu nama manusia perempuan itu atau tidak.
“Flavia.” Azure menarik napas. “Kau mengizinkanku bertemu dengannya?” Azure memastikan.
“Tentu saja.” Reddish menjawab ringan lantas mengalihkan pembicaraan mereka dengan kembali mengusap pundak perempuan itu dan menghelanya memasuki pintu gerai. “Kita bisa menemui temanmu setelah ini,” tambahnya yang membuat Azure mengangguk antusias dengan tersenyum.
Keduanya kemudian melangkah ke set meja terdekat di sisi dinding kaca yang dihiasi oleh dedaunan dan aneka buah-buahan artifisial warna-warni di ujung-ujungnya. Salah seorang pelayan datang membawa buku catatan kecil dan pulpen, mengatakan ucapan selamat datang dan menanyakan menu minuman yang dipesan.
Azure terlihat antusias saat pelayan itu pergi dan mengucapkan kata-kata ramah khas pelayan jika pesanan akan tiba dengan cepat, membuat Reddish tak bisa menahan senyuman di sudut bibirnya melihat tingkah Azure itu.
***
“Baik. Saya akan segera kembali dengan segala persyaratan yang diperlukan. Terima kasih.” Onyx bangkit bangkit dari duduknya setelah menghabiskan waktu beberapa menit untuk melakukan wawancara singkatnya dengan pemilik usaha.
Lelaki setengah baya itu mengangguk dan tersenyum, mempersilakan Onyx yang membungkukkan badan meminta izin keluar ruangan.
Astaga. Tak semudah yang dibayangkan olehnya sebelum ini. Onyx mengira jika ia akan dengan mudah berbicara kepada manusia seperti yang dilakukannya dengan Flavia, tetapi entah mengapa saat ia memasuki ruangan lelaki setengah baya itu, kekuatan dirinya seolah tersirap hingga membuatnya menunduk pada manusia kharismatik yang mewawancarainya tadi.
“Hei.” Flavia memanggil perlahan membuat lelaki klan hitam itu sedikit terlonjak kaget. “Bagaimana? Apakah bos menyambutmu baik?” tanyanya dengan nada selidik penuh harap.
Onyx menarik napas panjang. “Ya seperti itulah, aku akan datang lagi kemari untuk mengantar berkas-berkas yang diperlukan,” jawab lelaki itu sembari terus melangkah meninggalkan lorong panjang di lantai tiga dari bangunan toko tersebut, diikuti Flavia di sebelahnya. “Terima kasih.” Onyx menengok dan tersenyum tipis ke arah perempuan itu.
“Senang bisa membantumu.” Flavia mengangguk singkat. Ia telah menyelesaikan pekerjaan shift pertamanya hari ini sehingga bisa meluangkan waktu untuk menemui atasannya serta memintakan jadwal temu untuk lelaki bernama Henry yang tiba-tiba saja melamar pekerjaan di tempatnya bekerja. Flavia yakin jika atasannya itu pastilah tak menilai dua kali pada calon pegawainya dengan latar belakang seperti Henry karena memang sebagian besar pegawai yang bekerja di sini adalah perantau yang tak memiliki keluarga, seolah-olah lelaki setengah baya itu bukannya sedang berniat mendirikan toko untuk berbisnis, tetapi juga menampung orang-orang dari berbagai negara yang berniat mencari kerja dan membantu perekonomian mereka.
“Kau sudah selesai bekerja?” Onyx bertanya ketika mereka pada akhirnya berjalan bersama-sama menuju pintu keluar.
“Ya, aku mendapat jatah separuh waktu pagi hari ini-“
“Flavia!” Suara panggilan dari arah kanan membuat Onyx dan Flavia menghentikan langkah dan menoleh bersamaan.
Flavia terpaku sejenak dengan keterkejutan yang menghantam dada mengetahui siapa yang memanggil namanya. Carissa. Perempuan itu berdiri tak jauh dari tempatnya, bersama seorang laki-laki yang merangkulnya rapat. Lebih dari itu, satu hal yang tak pernah Flavia lihat selama mereka bersama adalah senyuman bahagia Carissa yang saat ini ditujukan kepadanya. Selama ini, Carissa yang Flavia kenal adalah sosok perempuan dingin yang sangat tertutup dengan kehidupan serba misteriusnya yang tak punya teman. Namun sekarang, setelah beberapa waktu mereka tak bertemu, ia menjadi ragu apakah benar sosok yang kini sedang menghampirinya itu adalah Carissa-nya yang dulu.
Lidah Flavia terasa kelu bahkan untuk sekadar balas menyebut nama sahabatnya itu. Ada rasa bahagia tak terkira dan haru yang menyeruak tanpa ampun di dada Flavia, membuat kedua matanya terasa panas. Di sisi lain, ada nuansa tercengang yang membuat Onyx memundurkan langkahnya tanpa sadar melihat bagaimana mesranya Azure dan lelaki di sisinya … siapa lelaki itu? Apakah itu Reddish yang sedang menyamar? Kedua tangan Onyx tanpa sadar mengepal dengan kepalanya yang menunduk. Sementara itu, mengikuti Azure yang melangkah mendekat ke arah temannya, Reddish tak putus memindai laki-laki mencurigakan yang kini berdiri di sisi Flavia itu.
“Astaga. Kau pergi ke mana saja?” Flavia memeluk Carissa yang juga tengah mendekapnya rapat dengan mata memejam.
“Maafkan aku.” Azure berucap perlahan, melepas pelukannya hingga kini dapat memandangi wajah sahabatnya yang tengah berurai air mata itu.
Teringat sesuatu, Flavia menoleh ke belakang. Henry berkata jika Carissa adalah teman lamanya, tetapi, saat tak ada tanda pengenalan dari Carissa kepada lelaki yang bersamanya tadi ….
“Ada apa, Flavia?” Azure mengernyit ketika perempuan itu termangu sejenak.
“Henry-“
“Hai. Lama tak bertemu, Sobat. Mari kita berbincang sesama laki-laki dan biarkan para perempuan mengambil waktu mereka sendiri.” Reddish mendadak maju tanpa diduga dan berakrab dengan Onyx, menepuk pundaknya lantas dengan cepat menghela lelaki klan hitam itu ke sudut lain.
Flavia yang semula tegang itu tersenyum lantas mengalihkan perhatiannya ke arah Azure lagi dan menggandeng tangannya ke arah bangku di sisi dinding. “Siapa laki-laki itu, Carissa? Kalian … tampak sangat dekat,” tanyanya dengan antusias, berkebalikan dengan Azure yang saat ini masih memandangi ke arah Reddish dan lelaki manusia itu pergi. Tak biasanya Reddish yang angkuh itu mau berakrab dengan sembarang makhluk apalagi manusia yang baru pertama kali ditemui. Apakah Reddish sedang berbaik hati memberinya waktu untuk berbicara sejenak dengan Flavia? Ataukah lelaki itu memiliki tujuan lain?
Mendapat guncangan sentuhan di punggung tangannya, Azure menoleh cepat. Flavia menoleh kembali ke arah pandang Azure sejenak dan bertanya lagi, “Lelaki itu … kekasihmu?”
Azure berdeham dengan pipinya yang merona. “Dia … suamiku, Flavia,” jawabnya dengan tersenyum malu-malu.
Jawaban itu sontak membuat Flavia menutup mulutnya karena ternganga. “Suami? Astaga … kau menghilang selama ini karena diculik pria tampan?” tanyanya dengan mata membulat sempurna diiringi kalimat godaan yang berhasil membuat Azure terkekeh sembari mengingat-ingat dan membenarkan kalimat Flavia itu dalam hati karena memang seperti itulah ia bertemu dengan Reddish. Lelaki itu membawanya paksa pulang ke negeri langit dan menikahinya.
“Kau tampak bahagia, Carissa.” Flavia menatap Azure dengan penuh haru. “Aku turut senang,” imbuhnya sembari menepuk-nepuk punggung tangan Azure yang masih digenggamnya.
“Terima kasih, Flavia. Eh, lelaki yang bersamamu tadi … siapa dia?” Azure balik bertanya.
Ekspresi Flavia berkerut penuh tanya. “Kau tak mengenalnya?”
“Aku?” Azure menunjuk dirinya sendiri lantas mengernyit memutar ingatan di benaknya. “Aku belum pernah bertemu dengan laki-laki itu sebelum ini. Apakah dia pegawai toko yang baru? Ataukah … ah, dia kekasihmu?” Azure melebarkan mata saat dugaan terakhir tentang lelaki itu sebagai kekasih Flavia membuatnya berdebar. Apakah ia melupakan sesuatu? Apakah Flavia telah menceritakan tentang lelaki itu padanya dahulu dan Azure tak memperhatikan?
“Sungguh kau tak tahu siapa dia?” Flavia menyelidik, merasa ada yang ganjil dengan identitas laki-laki yang baru ditemuinya itu.
“Ya, aku tak ingat jika pernah bertemu dengannya. Ada apa, Flavia? Apakah ada yang salah?” pandangan Azure teralih kembali ke tempat di mana Reddish dan laki-laki tadi berbelok dan menghilang di sana.
Firasat buruk seketika menyergap Azure tanpa ampun. Perempuan itu seketika berlari diikuti teriakan Flavia yang memanggilnya dan turut pula berlari mengejarnya.
***
Reddish melangkah tanpa suara dengan ekspresi gelap. Berjalan di sisinya Onyx yang masih mengepalkan kedua tangannya dengan perasaan campur aduk. Onyx yakin jika lelaki yang menggiringnya ke tempat ini adalah Reddish si pemimpin klan merah yang sedang menyamar dan mengawasi sekeliling, tak sabar untuk menyerbu dan menghajarnya tanpa membuat keributan. Namun, di sisi lain atas ketakutannya pada sikap lelaki ini, hal yang membuat dada Onyx berdebar kencang adalah karena ia bisa melihat Azure lagi meski dalam wujudnya yang sedang menyamar menjadi sosok manusia. Lebih dari itu, ia tak menyangka jika Azure akan dengan rela hati diperlakukan manis oleh lelaki di sampingnya ini. Apakah kehidupan pernikahan mereka benar-benar bahagia? Bagaimana mungkin bisa itu terjadi?
Tanpa aba-aba, Reddish bergerak cepat memelintir leher Onyx sembari menghantamnya ke sisi dinding bangunan di lorong dua bangunan yang cukup sepi itu. Reddish seakan hanya menyentuh saja karena lelaki itu bersikap santai dengan menyakukan sebelah tangannya ke saku celana, walau Onyx merasakan jika lehernya seolah akan putus saat Reddish mengencangkan cengkeramannya sedikit saja.
“Kau masih hidup.” Reddish menggeram perlahan dengan kilatan merah di kedua bola mata birunya saat ini. “Apa yang kaulakukan di sini, hm? Ingin memperdaya teman istriku?” tanyanya dengan kedua mata menyipit penuh perhitungan. Ia tak peduli pada Onyx yang meronta dengan segenap tenaga dan terus menggerak-gerakkan tubuhnya untuk melepaskan diri. Mulut lelaki klan hitam itu terasa terkunci saat ini dan dadanya seolah akan meledak.
Ada senyum mengejek di sudut bibir Reddish ketika berucap kemudian, “Ternyata kau telah kehilangan seluruh kekuatan makhluk pewarnamu. Bagus,” pujinya dengan seringaian keji saat melihat jika lelaki klan hitam itu begitu kepayahan saat hendak melepaskan diri dari tangannya tanpa bisa mengeluarkan aura warnanya setitik saja. Reddish lantas melempar tubuh Onyx ke tanah, menimbulkan suara berdebum keras. Onyx merintih sembari mengusap-usap lehernya yang memerah.
“Aku tak ada urusan denganmu.” Lelaki hitam itu terbatuk-batuk dan berusaha tak menghiraukan Reddish yang sedang marah. Onyx berusaha berdiri.
“Tapi kau berurusan denganku jika itu ada hubungannya dengan Azure,” sahutnya angkuh dengan berseru, menunjukkan kemurkaannya.
Onyx tertatih berpegangan pada sisi tembok di sebelahnya saat berhasil bangkit, mencoba melangkah dengan kakinya yang terhuyung. “Apakah selain angkuh, pemimpin negeri langit kini juga gemar menyakiti sesama makhluk hanya karena sedang cemburu?” tanyanya dengan tersengal, berusaha mengonfrontasi Reddish dengan menekan harga dirinya.
Reddish hampir-hampir tak bisa menahan untuk tak mengeluarkan aura merahnya jika saja ia tak mendengar suara derap lari dari arahnya tak jauh dari lokasinya dengan Onyx saat ini. “Kau tak akan bisa menggerakkan lidahmu untuk berbicara setelah ini jika kau berani sekali lagi menampakkan wujud sialanmu itu di depan istriku. Camkan itu!” ancamnya lantas membalikkan badan dan melangkah cepat.
“Kau bisa tenang.” Onyx berseru sembari meraba lehernya yang terasa nyeri. “Aku sudah melepas Azure dengan seluruh kerelaanku.”
Tampak Reddish mengatupkan gerahamnya dengan ekspresi dingin.
“Aku tak memiliki rencana apa pun pada siapa pun. Aku datang kemari karena urusanku sendiri,” Onyx berkata dengan ekspresinya yang getir. “Kau bisa menjaga Azure dengan tenang. Aku senang karena dia bahagia bersamamu,” tutupnya sembari membalikkan badan, berjalan pelan memunggungi Reddish yang bergeming di tempatnya.
Reddish menjangkahkan kakinya perlahan dan menemukan jika Azure tengah berlari gusar sembari mencari dirinya dengan menolehkan kepalanya ke sana kemari. Begitu Azure melihatnya, Reddish dengan senang hati membuka sebelah tangannya lantas merangkul istrinya tanpa memedulikan jika saat itu Flavia memalingkan wajah dengan rona merah melihat tontonan kemesraan lelaki itu dengan Azure.
“Apa yang terjadi?” Azure berusaha mengatur napasnya yang terengah.
“Lelaki itu telah terlebih dahulu pergi dan ….” Reddish memandang tajam ke arah Flavia kemudian. “Dia berpesan kepadamu jika ia harus pulang,” imbuhnya lagi dengan suara lantang, sengaja mengeraskan suaranya agar bisa didengar pula oleh Onyx yang saat ini masih berada tak jauh di sisi dinding di sebelah barat bangunan.
“Oh, oke.” Flavia mengangguk-angguk tipis.
“Dan kami juga harus pergi.” Reddish melangkah sembari terus mendekap Azure dalam rangkulannya, mendekat ke arah Flavia, memberi kesempatan kepada Azure untuk mengucapkan selamat tinggal.
“Aku harus pulang, Flavia. Jangan khawatir ….” Azure menengadah sejenak, meminta persetujuan kepada Reddish. Saat lelaki itu hanya menipiskan bibir dan mengangguk singkat, Azure kemudian melanjutkan ucapannya. “Aku akan datang lagi suatu hari nanti,” pamitnya yang disambut anggukan senang oleh Flavia.
Reddish mengusap pundak Azure lembut untuk menghelanya berjalan, meninggalkan Flavia yang berdiri terpaku di belakang mereka, memandangi hingga keduanya menghilang di sudut lorong.
***
“Reddish!” Azure terkesiap saat tiba-tiba saja lelaki itu terbang dan membawanya ke tempat ini. Ke sebuah kamar penginapan bintang 5 yang entah bagaimana caranya lelaki itu bisa membuka pintunya dengan mudah dan merangsek masuk.
Pengawal yang diam-diam mengikuti keduanya turun ke dunia manusia ini sepertinya telah menjalankan tugas dengan baik. Mereka mengubah diri mereka menjadi manusia dan memesankan ruang kamar di lantai puncak ini sesuai keinginan tuan mereka.
Reddish membaringkan Azure di ranjang dan menindihnya perlahan, membuat jantung Azure bedebaran tak keruan dengan napasnya yang tersengal. Reddish memandanginya dengan tatapan tak terbaca sebelum kemudian memimpin ciuman di antara mereka dengan panas.
“Tubuhmu harus dibersihkan dari tatapan manusia bedebah yang mencuri-curi pandang kepadamu.” Reddish menggeram. “Sialan karena wujud manusiamu ini sangat cantik, Azure sementara kau tak menyadari juga jika dirimu secantik ini dan mudah dikagumi oleh para makhluk laki-laki.”
Azure merasakan tubuhnya gemetar. Entah apa yang dilakukan lelaki ini saat tak bersamanya tadi. Yang pasti, Azure merasakan jika aura kemarahan Reddish menguar sangat pekat saat ini. Azure memberanikan diri menyentuh kedua pipi Reddish yang panas dengan telapak tangannya yang dingin dan tersenyum. “Kita sudah sedekat ini dan aku sudah menjadi milikmu jiwa dan raga. Apakah itu masih kurang untuk membuktikan jika aku adalah punyamu?”
“Aku tak suka ada makhluk lain yang memandangmu seperti aku memandangmu.” Reddish mengerutkan alisnya dan menyentuh tangan Azure yang dingin di pipinya dan memejam. “Maafkan aku,” ucapnya parau dengan embusan napas panjang.
Azure tersenyum. “Aku mencintaimu, Reddish.”
Reddish membuka matanya yang sayu dan balas berucap, “Aku mencintaimu lebih dari yang kaukira, perempuan, ” ucapnya merendahkan kepala ke wajah Azure dan mengecup bibirnya. “Aku ingin.” Reddish berbisik.
Azure melebarkan mata. “Tap-tapi ….,” ujarnya gagap. Sejujurnya Azure benar-benar ingin menikmati waktu mereka di dunia manusia ini dengan mengunjungi berbagai tempat yang bisa menyegarkan pikirannya. Sudah bisa ditebak akan seperti apa akhirnya jika Reddish menguncinya di dalam kamar seperti ini.
Semilir angin berkat embusan Air Conditioner di ruangan itu menyapu-nyapu rambut keduanya. Reddish mengangkat kedua alisnya saat Azure tak juga menyelesaikan kalimatnya itu.
“Ada apa? Bukankah kencan manusia selalu diselingi dengan bercinta? Tak ada yang melebihi ungkapan cinta ketimbang berpelukan dan saling memberi cinta seperti ini, bukan? Aku akan memberikan kencan tak terlupakan untukmu, Istriku.” Reddish tak memberi kesempatan Azure berbicara dan melanjutkan kecupan-kecupan mesranya di mulut Azure, memberikan sentuhan-sentuhan tubuhnya yang membuat Azure tak kuasa menolak, menikmati sepanjang sore hingga senja yang gerimis di kota itu dengan kehangatan cinta keduanya yang meluap-luap.
Thanks author,, manizzzz ending nya
Teteeuup…
Ngamar yak trakhirnya🤭
Maklum nganten baru🤫
Kencan ala reddish..lanjut ngamar..
dasar reddish…
Tks y kak udh update.
Tks ya kak udh update.
Selalu ya akhirnya