Vitamins Blog

MERITOCRACY 5 : Ceasefire

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

36 votes, average: 1.00 out of 1 (36 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

 

Berkali-kali Anna mencoba untuk tidak meringis, namun tetap saja tidak bisa. Kepalanya serasa habis ditabrak dengan kereta barang, pusing bukan main. Tetapi Anna tetaplah Anna dengan segala watak keras kepalanya, dengan gerakan perlahan ia bangkit dari posisi berbaringnya.

“Apa kau serius?” Bentak seseorang.

Anna mendongak, melihat apakah bentakan itu ditujukan untuknya. Dan ketika melihat orang yang membentak itu, Anna langsung menyesal. 

“Chero? Apa yang kau lakukan di sini?” Gumam Anna, matanya menyipit ke arah laki-laki yang tertanya memang membentaknya barusan.

“Pertanyaannya adalah apa yang sebenarnya kau lakukan hingga kau pingsan, Sis?” Chero bertanya, kakinya melangkah mendekati ranjang Anna. 

“Berapa lama aku pingsan?” Melihat matahari yang menyorot dari luar, Anna tebak hari sudah menjelang siang—atau lebih buruknya menjelang sore. 

“Hampir seharian,” ujar Chero.

Anna memejamkan mata sejenak. “Apa Ibu tahu aku di sini?” 

“Kau bahkan belum menjawab—”

“Apa yang lain tahu aku di sini?” Tuntut Anna.

Chero mengehela napas kasar. “Kau benar-benar tidak mendengarku, ya? Berhentilah berbicara, kau dehidrasi.” 

Ya, Anna baru sadar sekarang. Kerongkongannya perih, ia tak akan terkejut kalau seseorang mengatakan wajahnya kini seputih kertas. 

Anna memang kelelahan sejak pulang dari pelariannya. Ia tidak makan atau istirahat dengan terartur, kemudian dengan ditambah merawat orang lain yang sekarat membuat ia bergerak ekstra di saat waktunya ia harus beristirahat. 

Chero duduk di pinggir ranjang kemudian ikut menarik Anna untuk mendekat padanya. Tubuh Anna diputar hingga memunggungi kakaknya tersebut. 

Anna menurut tanpa banyak bicara ketika rambut panjangnya dirapikan dengan lembut oleh Chero. Tangan besar yang terampil itu mengikat rambut Anna dan mulai membuatnya menjadi satu kepangan. 

Ia masih tak menyangka harus bertemu dengan kakaknya dalam kondisi yang seperti ini. Walaupun bukan hal aneh mengingat Chero adalah seorang tabib kerajaan. 

“Apakah Brane tahu? Seharusnya ia sudah tahu, kan? Namun aku belum melihatnya sejak aku tiba di sini.” Kata Anna, suaranya pelan dan serak. 

“Brane sedang ditugaskan keluar wilayah. Percayalah, jika ia sudah mendengar kabar bahwa kau kembali, kepalamu akan digunduli.” 

Anna terkekeh berat. “Bagaimana dengan Arwen?” 

“Bedebah kecil itu telalu sibuk melukis gadis-gadis telanjang di Plaza Sprevest.” 

Anna bersumpah bisa merasakan seringai di wajah Chero dari suaranya. Ya, Entshona dan segala kebebasannya. Anna jadi membayangkan sebrutal apa kondisi di utara, apakah lebih buruk dari kerajaan barat itu atau sebaliknya. 

“Arwen ada di Entshona?” Anna sontak berbalik menatap kakaknya.

Chero mengedikkan bahu dan menarik garis tipis di bibirnya. “Dia bertahan satu bulan sejak kepergianmu, setelah itu ia ikut meninggalkan rumah. Dan dari surat terakhir yang ia kirimkan, rupanya anak itu tengah berada di sana.” 

“Sejak kapan?”

“Sekitar beberapa minggu yang lalu,” 

Anna terdiam sejenak sebelum kembali memunggungi Chero. “Aku heran ia tidak menemukanku,” 

“Memangnya kenapa?” 

“Aku ada di Plaza Sprevest sehari sebelum melakukan perjalanan pulang,” ujar Anna. 

“Benarkah?” 

“Ya, tapi hanya sebentar. Askar menemukanku dan kami pergi makan malam di istana.” 

“Luar biasa, calon pengantin Putra Mahkota Dienvidos kabur untuk pergi makan malam dengan Pangeran Entshona.” 

Anna berdecak kesal. “Dia bukan sekadar pangeran, kau tahu.” 

Chero menyelesaikan kepangan rambut Anna dan menyampirkannya ke pundak gadis itu. “Ya, aku tahu. Jadi kau lebih memilih calon raja Entshona yang seksi itu?” 

Anna mengedikkan bahu santai dan berbalik menghadap Chero. “Kau sendiri yang bilang, dia seksi. Dan aku tidak bisa menolak yang semacam itu.” 

Chero terbahak. Bukan tipikal yang membuat telinga berjengit tidak nyaman. Suara Chero berat dan halus, Anna bersumpah bahwa suara Chero mendayu-dayu, membuat siapa pun betah untuk terus mendengarnya. Dari ketiga saudara laki-laki Anna, hanya Chero yang memiliki kepribadian lembut—tetapi bukan berarti ia tidak bisa membentak dan memarahi Anna. Dia benar-benar pria idaman para gadis. Dan bukan hanya sekali ia melihat gadis-gadis melemparkan diri pada Chero. 

“Berhentilah sejenak dari pikiran-pikiran yang membebanimu, kepalamu yang kecil itu tidak akan sanggup menanggungnya.” Ujar Chero ketika melihat Anna yang tiba-tiba saja melamun. 

“Kau tidak bermaksud mengaturku, kan?” 

“Tentu saja tidak, aku hanya mengkhawatirkanmu.” 

Anna mendesah. “Ya, mereka juga mengatakan hal serupa, namun aku merasa bahwa mereka mengatur hidupku.” 

“Anna—”

“Kukira aku bisa memilih—aku memang bisa memilih, tetapi aku tidak bisa memilih untuk keluar dari pilihan-pilihan itu dan mewujudkan apa yang sebenarnya ingin kupilih.” 

“Kau tidak—Anna, percayalah bahwa apa pun pilihan yang ada, dan pilihan yang kau ambil—sekalipun itu terpaksa, adalah suatu hal yang baik.” Chero mengusap punggung Anna pelan. 

“Meskipun menurutku hasilnya bukan hal baik?” Anna bergumam. 

“Selalu ada proses di balik hasil, dan menurutku tidak semuanya akan berjalan buruk. Kau hanya perlu memahami dan mengambil hal yang baik-baik. Aku tahu ini bukan hal bagus tapi…” Chero terdiam sejenak. “Entah baik atau buruk, keduanya terkadang sama-sama memiliki keuntungan.” 

Anna menghela napas panjang mendengar penjelasan Chero. 

“Mereka hanya masih kesal denganmu, secara tidak langsung kau menghina mereka—kau beruntung karena tidak langsung menerima hukuman.” Ujar Chero.

Mendengar kata hukuman, tiba-tiba kepala Anna dihantam suatu pemikiran. “Keluarga kita baik-baik saja, kan?” 

“Raja bukanlah orang yang seperti itu. Apa pun yang kau lakukan, kau satu-satunya yang akan bertanggung jawab.” 

Anna mendengus. “Senang rasanya mengetahui bahwa aku satu-satunya yang menerima tiket gratis menuju neraka.” Senyum kecil tersungging di bibir tipisnya.

“Kupikir itu surat rekomendasi untuk menemui malaikat maut.” Balas Chero.

Anna meringis mendengar humor kakaknya itu.

“Omong-omong, mereka akan membebaskanmu selama akhir pekan ini sebelum memintamu kembali ke sini—aku pikir itu sebuah gencatan senjata. Apa kau ingin tinggal di rumah? Aku yakin Ibu akan senang.” 

“Siapa yang memberitahumu?” 

“Seorang prajurit membawakan pesan dari Jenderal.” 

Anna memutar bola matanya. “Dia benar-benar membenciku rupanya.” 

“Selain karena kau menghina keluarga kerajaan? Dia marah karena kau meninggalkan tugasmu.” 

Anna berkilah. “Secara teknis aku tidak meninggalkan tugasku, sebelum pergi aku memberi perintah kepada beberapa prajurit untuk menggantikanku.” 

Chero mendesah. “Ya, anggap saja aku percaya pada semua alasanmu.” 

“Berengsek.” Desis Anna sambil menyikut rusuk kakaknya itu.

“Setelah akhir pekan berakhir dan kau kembali ke sini, kurasa selain untuk mendiskusikan Purvation, mereka juga akan membuatmu melakukan salah satu tugas Brane selama ia masih di luar wilayah.” 

Anna mendengus. “Yang benar saja, mereka ingin aku melakukan apa? Mereka tidak akan membiarkanku dekat-dekat dengan Javias setelah semua ini. Lagi pula calon raja itu hanya akan membuatku terbunuh dengan cercaannya.”

Chero tertawa pelan mendengar keluhan Anna. “Mungkin memberi pelatihan pagi hari pada prajurit?” 

Astaga, jangan itu! Itu sama saja menyiksanya. Kalau begitu kapan Anna memiliki waktu untuk tidur?

Kemudian Anna menatap kesal pada kakaknya ketika menyadari sesuatu. “Dan lagi, mengapa kau menganggapnya sebagai gencatan senjata? Satu-satunya pihak yang tegang di sini adalah mereka, kau pikir aku kembali untuk meledakkan mereka semua karena sudah membuatku merasa terkurung?”

Chero melipat kedua tangannya sambil berkata, “Kau bisa saja melakukannya. Jadi, bagaimana? Sudah memutuskan untuk kembali ke rumah?” 

Anna terdiam, matanya menerawang. 

“Tidak, kalau memang aku hanya memiliki akhir pekan untuk merasakan kebabasanku yang tersisa, kupikir aku akan tinggal di tempat lain.” 

•••

Setelah dipaksa untuk istirahat dan makan berbagai macam makanan oleh Chero, Anna pergi membersihkan diri dan keluar dari istana ketika langit sudah menggelap. Sakit kepalanya sudah mereda dan wajahnya sudah tidak sepucat sebelumnya. Kakinya terus melangkah hingga sampai ke tempat tujuannya. 

Kedai Lozard memang nyaman dan menyenangkan, tetapi kedai Frittman benar-benar menakjubkan. Tidak mengherankan karena memang terletak di Plaza. Berbagai macam makanan dan minuman ada di sana, tempat yang cocok untuk melepas penat. 

Seperti kedai minuman pada umumnya, tempat ini dipenuhi kaum adam. Beberapa wanita juga ada, setia tertawa nakal dan menggelayut pada para pria. 

Ia hanya tersenyum kecil menanggapi sapaan dari orang-orang yang mengenalnya—rata-rata rekan sesama prajurit dan beberapa Cuvari yang lain, serta beberapa pria bangsawan yang tidak melepaskan pandangannya dari Anna. Termasuk pria bangsawan yang tengah duduk di salah satu sudut ruangan. 

Anna memberi isyarat pada salah satu pelayan Frittman yang mengenalnya untuk membawakan pesanannya selagi kakinya berjalan menghampiri laki-laki yang kini mulai sadar akan kehadirannya. 

“Apa-apaan—kau di sini?” Pekik laki-laki itu. 

Anna tahu maksud dari ‘di sini’ adalah di ibu kota. Ia memang tidak mengatakan pada laki-laki itu beberapa hari yang lalu tentang niatnya kemari.

Rei tidak berhenti memelototi Anna bahkan sampai perempuan itu kini duduk di depannya. 

“Bola matamu akan jatuh ke dalam gelas jika kau terus seperti itu,” ujar Anna.

“Apa kau baru saja tiba?” 

Anna mengangguk berterima kasih pada seorang pelayan yang membawakan pesanannya sebelum membalas, “Aku tiba kemarin pagi,” 

Rei kembali memelotot. “Dan kau baru menemuiku sekarang?” 

Anna mengernyit. “Apa seharusnya aku menemuimu terlebih dahulu ketika tiba di sini?” 

“Tentu saja! Lagi pula kenapa kau baru menemuiku sekarang?”

“Ada hal yang lebih penting untuk dilakukan dari pada itu,” cetus Anna. “Percayalah, aku berniat menemuimu kemarin malam,” 

“Lalu?” 

“Tetapi Jenderal memanggilku untuk membawakan laporanku.” 

“Itu tidak bisa jadi alasan, kau punya semalaman penuh untuk menemuiku setelah itu. Tidak mungkin enam bulan di pulau kecil bisa merubah kebiasaanmu yang tidak tidur di malam hari.” 

Kini Anna mendelik kesal. “Aku pingsan sepanjang hari karena ia memberi perintah untuk membacakan laporan sialan itu! Bayangkan berapa banyak laporan yang kutulis selama enam bulan melarikan diri, dan aku harus membacakannya satu demi satu. Dan itu belum termasuk dengan tanya jawab di setiap laporannya!” 

“Kau pingsan hanya karena membacakan laporan?” 

“Sialan, Rei. Ia tidak memberiku kesempatan untuk minum dan sialnya lagi belum ada makanan sedikit pun yang masuk ke dalam perutku hari itu.” 

“Jadi, maksudmu Jenderal menyiksamu dengan menahanmu semalaman untuk membacakan laporan tanpa makan, minum, apa lagi istirahat. Dan kau pingsan?”

Anna memejamkan mata dan menghela napas beberapa kali seakan mencoba menenangkan diri. 

“Kau sudah menemui Zee?” Tanya Anna pada akhirnya. Ia harus keluar dari pembicaraan itu sebelum ia murka dan membuat keributan di sini.

Rei kini enggan menatap Anna. “Belum, aku tidak tahu harus mengatakan apa jika bertemu dengannya.” 

Anna mengangguk pelan. “Kupikir kita harus menemuinya bersama-sama, mungkin dengan begitu ia akan kebingungan untuk memilih siapa yang akan ia bunuh terlebih dahulu.” 

“Aku bertaruh dia akan membunuhmu lebih dulu,” ujar Rei. 

“Dia harus mengantre kalau begitu.” 

Rei tertawa. “Itu jelas sekali.” 

Hening. Bukan suasana kedai, hanya meja yang mereka tempati. 

“Apa kau baik-baik saja jika Zee mengikuti Purvation?” Tanya Anna pelan.

Rei menegang. “Purvation? Pemilihan Putri Mahkota Voreia?” 

Anna mengangguk. “Ya, walaupun aku yakin kita tidak akan menang, bukankah itu tetap terasa tidak nyaman?”

Rei berjengit. “Aku tidak punya hak untuk ikut campur tentang hal itu,” 

“Maksudku, dia kekasihmu. Aku hanya ingin mendengar pendapatmu.” 

Rei tertawa pelan, nyaris tak terdengar. “Kekasihku? Aku bahkan tak tahu apakah ia juga menyukaiku.” 

“Kau bercanda? Tentu saja dia menyukaimu,” sergah Anna.

Topik sensitif, Anna tidak seharusnya melakukan itu. Tetapi hal itu tak bisa ia simpan begitu saja di kepalanya. Ia juga tengah kebingungan akibat percakapan di ruang rapat kerajaan tempo hari. 

“Maafkan aku, Rei. Hanya saja kepalaku rasanya hampir pecah.” Lirih Anna. Sebelah tangannya mengusap sepanjang kening hingga pelipisnya.

Rei menatap iba. “Apa kau akan menghabiskan akhir pekan di sini untuk melakukan masa hukumanmu?”

Anna mengerjap dan kembali menatap Rei. “Tidak, mereka membiarkanku bebas selama akhir pekan ini, dan memintaku kembali setelahnya.”

“Aku yakin mereka melakukannya untuk merencanakan pelaksanaan hukumanmu,” 

Anna menyeringai. “Apakah enam bulan bukan waktu yang cukup untuk merencanakan hal itu?” 

“Jangan terlalu menyanjung dirimu, kau tidak sepenting itu untuk mereka pikirkan selama enam bulan.” Hilang sudah rasa iba untuk Anna dari raut wajah tampannya.

Anna menghela napas. “Yah, walaupun begitu setidaknya aku punya kenangan musim panas yang bagus.” Ujarnya santai. “Ingat baik-baik karena aku hanya mengatakan ini sekali, hal terbaik yang bisa dilakukan untuk menghabiskan musim panas adalah dengan pergi berwisata ke pantai.” 

Rei mendengus. “Secara harfiah kau menjadi penduduk lokal di sana, bukan hanya sekadar berwisata.” 

“Berengsek.” 

“Berhentilah mengumpat. Kau seorang Lady bukan bandit.” 

Gerakan Anna yang mengangkat gelas ke mulutnya berhenti ketika mendengar perkataan Rei. Pikirannya melayang jauh ke tempat tinggal persembunyiannya di dalam hutan. 

“Tidak ada bandit di Dienvidos,” gumam Anna. Entah mengapa ia tak mampu menaham senyumnya. 

“Memang, tapi itu tak termasuk di perbatasan.” 

“Benar-benar kerajaan kecilku yang sangat damai.” Ujar Anna. “Aku membayangkan bagimana keadaan Voreia jika dibandingkan dengan wilayah yang lain. Entshona juga termasuk buruk, kan?” 

Rei mendengus. “Entshona jauh lebih baik dari pada utara.” 

Anna melipat kedua tangannya di meja dan sedikit mendekatkan jaraknya pada Rei. “Kau belum bercerita tentang itu padaku, kau tahu. Mengingat akan ada Purvation, bukankah sebaiknya kau memberikan sedikit cerita pengalaman?”

“Aku serius, setelah kupikir-pikir kau mungkin tidak ingin mendengarnya.” 

“Apakah itu sebabnya kau bilang aku tidak akan percaya dengan apa yang akan kau ceritakan?” Ingatan percakapan Anna dengai Rei di hutan tempo hari tiba-tiba kembali.

“Kau tidak akan percaya karena itu memang jauh dari apa pun yang kau bayangkan.” 

“Coba saja,” tantang Anna. 

Rei terdiam sejenak. “Sebenarnya tak banyak yang aku ketahui karena secara teknis aku tidak berada di Voreia,” 

Ya, Anna ingat. Rei dan kelompoknya melakukan pekerjaan di Alnord, salah satu kota besar milik Voreia yang terletak di daerah yang sebelumnya merupakan ibu kota kerajaan Arathra. Anna tak begitu memahami mengapa Voreia menghapus kerajaan Arathra dan menggantikannya dengan kota Alnord. Sudah cukup buruk kerajaan itu hancur, namanya pun ikut dilucuti dan diganti, benar-benar para bedebah opurtunis.

Hal itu juga sedikit menyadarkan Anna. Itu berarti hanya ada enam perwakilan yang akan mengikuti Purvation mengingat kerajaan Arathra yang sudah kehilangan eksistensinya. 

“Tapi bisa jadi keadaan di Voreia jauh lebih baik karena—kau tahu, Alnord baru berdiri sekitar satu dekade. Masih butuh beberapa penyesuaian yang harus dilakukan untuk bisa menjadi salah satu bagian kekaisaran Voreia seutuhnya.” Lanjutnya. “Sebenarnya, itu yang membuatku sedikit heran. Mengapa harus banyak penyesuaian? Bukankah pada awalnya kerajaan Arathra memang sudah menjadi bagian dari utara?” 

“Arathra memang bagian dari utara tetapi bukan bagian dari Voreia.” Ucap Anna tegas. “Layaknya kerajaan yang lain, mereka punya prinsip dan kebiasaan sendiri untuk menjalankan pemerintahan. Aku yakin sebelum ditaklukan oleh Voreia, Noarden dan Zuvnich juga punya ideologinya masing-masing.” 

Alis Rei terangkat menatap Anna. 

“Apa?” Tanya Anna datar. “Aku suka sejarah.” 

“Aku tidak ingat kau suka sejarah.” 

Anna memutar mata malas. “Lanjutkan ceritanya. Apa benar mereka memaksa masyarakat miskin untuk diperbudak?” 

“Di Alnord? Benar. Itu sungguh mengerikan. Aku terbiasa hidup dengan melihat wajah-wajah bahagia para rakyat kecil, bahkan perbudakan di Entshona tidak seburuk itu, jadi aku benar-benar meringis ketika melihat mereka yang ada di sana. Tetapi sekali lagi, aku tak tahu bagimana yang ada di Voreia atau kerajaan-kerajannya utara lainnya.” 

Tidak, Rei. Mereka semua mengalami hal serupa. Anna meringis dalam hati. 

“Aku tahu kau pasti akan menemani Zee ke sana, jadi berdasarkan cerita pengalamanku, kupikir kau tidak perlu begitu takut pergi ke Voreia.” Rei memajukan tubuhnya ke arah Anna. “Mereka masih manusia, dan sebagai manusia mereka juga punya aturan. Selama kau mengikuti peraturannya, kau akan baik-baik saja. Buktinya aku bertahan selama setahun dan pulang dalam keadan utuh serta baik-baik saja.”

Keadaan mentalmu yang tidak baik-baik saja, bodoh.

Anna jadi teringat sesuatu. “Sebenarnya apa yang kau lakukan di sana? Demi Halstead, kau tinggal di sana selama setahun.” 

“Membantu mengembangkan pertanian gandum mereka. Tahun ini memang sudah bagianku, apa aku tidak memberitahumu sebelumnya?” 

“Tidak, kau tidak memberitahuku.” 

Rei tersenyum masam. “itu berarti aku hanya mengatakannya pada Zee. Memangnya apa lagi yang kulakukan di sana selain melakukan pekerjaan keluargaku?” 

Benar, keluarga Rei adalah salah satu bangsawan yang memiliki usaha pertanian gandum yang cukup besar di Dienvidos. Hampir separuh penduduk desa di sebelah kediamannya menjadi pekerja keluarganya. Hubungan perdagangan antar wilayah memang masih berjalan cukup lancar sebenci apa pun selatan pada utara. Memutus hubungan dengan mereka hanya akan membawa petaka, dan bukan tidak mungkin bagi Voreia untuk menjadikan Dienvidos seperti Arathra. Walaupun akan ada pertimbangan karena hanya orang-orang Dienvidos yang berbakat dalam salah satu bidang pangan, tetap saja faktor itu tidak cukup membantu menyelamatkan mereka dari kehancuran yang diciptakan Voreia. 

“Omong-omong, untuk ukuran orang yang akan ditinggal kekasihnya untuk jadi calon milik orang lain kau terlihat baik-baik saja.” 

“Aku tidak mungkin mengajak Zee untuk melarikan diri, itu sama saja menghina keluarga kerajaan dan sayangnya aku tidak sebodoh itu untuk melakukannya.” Ujar Rei.

Anna menyipitkan mata sambil berpikir. Ini hanya perasaanya saja atau Rei memang tengah menyindirnya? 

“Aku menawarkan diri untuk menggantikannya asal kau tahu” 

Rei nyaris terjungkal dari kursinya. “Kau serius?” 

Anna mengangguk. “Tapi mereka mengancam akan mencabut jabatanku sebagai Cuvari jika aku benar-benar ingin pergi menggantikan Zee.” 

Rei terkesiap. “Aku tahu Javias membencimu, tapi aku tak menyangka ia sekejam itu.” 

Anna tertawa pelan penuh ironi. “Sebenarnya, itu saran dari Jenderal. Aku bersumpah melihat Javias sedikit berjengit ketika mendengarnya. Mungkin ia tiba-tiba teringat neraka macam apa yang harus kulalui untuk mendapatkan itu.” 

Rei mengangguk penuh pemahaman. “Itu menjelaskan kenapa kau bisa pingsan seharian.” 

“Bedebah.” 

Kemudian mereka tertawa. Sebelum Rei pergi melakukan tugasnya, inilah malam-malam yang mereka lewati untuk menemani Anna—walaupun terkadang Rei tiba-tiba tertidur karena tak mampu menahan kantuknya. Lebih sering di kedai Lozard yang terkadang ikut ditemani Valos, dan terkadang mereka membuat api unggun di tepi danau yang jaraknya cukup jauh dari pondok Anna. 

“Kau berniat mengahabiskan akhir pekan ini di rumah?” Tanya Rei. 

“Entahlah,” 

“Kau bisa ke rumahku jika kau mau.” 

Anna menyeringai dan memberikan senyum menggoda pada Rei. “Apakah itu sebuah undangan?” 

“Tentu saja itu sebuah undangan. Ibuku mungkin akan menangis saat melihatmu.”

“Bawa Ibumu ke rumahku, kupastikan ia dan Ibuku akan bersahut-sahutan menjerit saat melihatku.” 

Rei tertawa sebelum kembali bertanya, “Jadi kau akan kembali ke pondok.” 

Anna mengedikkan bahu. “Kupikir begitu.” 

Rei mendesah, seakan sudah tahu jawaban yang akan diberikan Anna. “Baiklah, kau mau berkuda atau harus kucarikan tumpangan?” 

“Aku belum lama sadar setelah seharian pingsan, kurasa kembali dengan mengendarai kuda hanya akan mempercepat kematianku.” 

Kernyitan muncul di dahi Rei. “Kau ingin kembali malam ini?” 

Anna mengangguk. “Kalau bisa jangan lewat tengah malam, kau akan jadi sulit mencarikan tumpangan.” Ia bangkit dari kursinya. “Kalau begitu temui aku di tempat biasa, aku harus kembali ke barak untuk mengambil barang-barangku.” 

Anna memang meninggalkan semuanya di barak tempatnya  jatuh pingsan sekaligus beristirahat—tentu saja kecuali sabuk belatinya. Ia melepas seragam prajurit miliknya dan berganti dengan pakaiannya sehari-hari. Rambutnya masih berbentuk seperti terakhir kali Chero merapikannya. 

“Mengapa harus malam ini?” Rei masih menatap Anna heran sekaligus khawatir. Ia sadar bahwa sahabatnya itu masih terlihat sedikit pucat. “Kau tidak ingin beristirahat lebih lama? Kau bisa kembali besok pagi.” 

Anna menghela napas. “Astaga, itu hanya beberapa jam perjalanan, Rei.” 

“Banyak hal yang bisa terjadi dalam beberapa jam,” 

“Seperti?” Anna mengangkat sebelah alis, menantang.

“Kau bisa saja mati dalam perjalanan ke sana, aku tidak mau kau mati tanpa tersiksa dengan masa hukumanmu.” 

“Berengsek.” Anna mendesis sambil menendang kaki meja.

“Kenapa harus malam ini?” 

Anna berhenti mengganggu Rei dan menatap pria itu. Matanya sedikit beralih ketika berpikir sebelum akhirnya kembali menatap Rei.

“Aku harus segera membersihkan lintah di ranjangku.”

©️MERITOCRACY, 2020

12 Komentar

  1. Nemu cerita ini dan sukaaaaaaaaa ceritanya
    Suka nih karakter perempuannya yg tangguh gini hihihi
    Dan msh penasaran siapa Eric🤔🤔🤔 :happy :happy :happy :happy

    1. nabillaruwahastuti menulis:

      aku juga penasaran ahahahaha :ngakakabis

  2. Semakin dibaca semakin ketagihan. Aku suka banget sama alur dan detail ditiap bab :kisskiss :kisskiss :kisskiss

    1. nabillaruwahastuti menulis:

      thanks a lot for reading :kisskiss

  3. Ayo semangat lanjutkan ceritanya, karakternya kuat dan alurnya sangat menarik

    1. nabillaruwahastuti menulis:

      Thanks for reading❣️ Silakan ditunggu yaaa huhuhuu

  4. Sriramadhani144 menulis:

    Udah berapa kali bolak balik tpi belum liat ada update’annya :berkacakaca
    Pleaseeee update dong :sebarcinta

  5. Ide ceritanya keren. Masih nunggu lanjutannya nih! Semangat ya!

  6. Mungkin ngga sih kalo Erick itu pangeran dari Voreia??? Kalo bener, alasannya dia melarikan diri kenapa ya??? Btw, aku kangen berat sama cerita ini, susah banget nemuin cerita berlatar belakang kerajaan dengan alur yang bagus. Ohiya lupa, salam kenal kak, dari aku fans baru kakakkk. Semangat terus ya kakkk, semoga bisa sering update hehehe, aamiin… :iloveyou :iloveyou :iloveyou

  7. :kumenangismelepasmu suka banget ceritanya

  8. ArinaRisaDewi menulis:

    Penasaran apa ada cerita lain/prequel sebelum cerita ini

  9. Semakin ketagihan bacanya