“Bukan gebetan sih, apa lagi pacar, cuman kalo komunikasi pake ‘sayang’. Hmmmn, gimana dong?” @kodoktidur21
Enggak banyak bacot ah, happy reading π
Aku keluar pukul delapan tepat, sengaja aku berlama-lama berdandan agar membuat Dimas menunggu lebih lama.
Suruh sapa lo maksa gue ikut.
Sebelum masuk ke dalam mobil Dimas, aku sempat menyapa pak Dorman yang tengah ngopi ditemani dengan suara syahdu biduan dari acara tv nasional.Β Mobil Dimas melaju lancar di jalanan Jakarta yang cukup lengang di malam Rabu ini.
“Nanti mampir dulu ke minimarket ya,” kataku ketika kami baru melewati gerbang tol Tanggerang.
“Mau apa?”
“Mau ngecengin mamas minimarketnya. Ya mau nyari cemilan lah, biar gak dikata kurang makan apalagi kurang kasih sayang,” celetukku gemas.
“Oh….”
Well, percuma juga sih gue ngomong panjang kali lebar kali Jonggol sama papan tulis kayak Dimas.
“Bisa tolong ambilin kantong plastik di belakang?”
“Duuh, bisa gak sih lo nyuruh-nyuruhnya pas di kantor aja. Gak pasnya kita lagi keluar gini?”
Meski aku mendumal, anehnya aku tetap melakukan apa yang Dimas suruh.
Barangkali nanti aku didepak keluar dari mobil Dimas dengan konyolnya kalau-kalau aku tidak mau nurut sama papah Dimas. Papah Dimas? Hueeek!
Aku meraih kantong plastik yang dimaksud, yang ternyata memuat isi cukup banyak. Kuacungkan plastik tersebut pada Dimas yang kemudian diacuhkan dengan ogah-ogahan.
“Tolong bukain, Naya. Saya kan lagi nyetir.”
“Tuhaaaan!! Dosa apa sih gue sama elo, Dim!”
Dengan kesal aku setengah merobek membuka kantong plastik di pangkuanku. Begitu kubuka mataku langsung berkilauan, isinya adalah sebungkur roti sobek, dua bungkus potato cips, minuman bersoda, kopi kalengan, dan sebotol air mineral. Aku mengedip-ngedip takjub. Aku mendelik pada Dimas cepat yang ditatap malah memasang tampang muka papan.
“Kenapa kamu? Enggak suka?”
“Enggak sih,” sahutku seperti orang linglung. Sebenarnya bertanya-tanya, kapan ini orang beli beginian? Gue sih curiga dibagasi belakang doi buat minimarket.
“Ya sudah makan.”
“Ini nyuruh apa nitah?”
Dimas tidak menanggapi, ia tampak fokus menyetir. Didorong oleh rasa lapar, aku mengambil bungkusan roti sobek yang menggiurkan. Aku melahap dua pertiga roti bagianku, aku mencoba menyodorkan roti pada Dimas namun di sopir yang satu ini menolak.
Aku menghabiskan seperempat roti yang ada kemudian minum setengah botol kecil minuman bersodaku ketika kami sudah setengah perjalananΒ menuju Tanggerang. Selama perjalanan suasana menjadi hening, jalanan hanya dihiasi oleh kendaraan dan lampu jalan, kami tidak banyak bicara hanya ada suara samar dari musik player di mobil yang mengalun sendu. Dimas nampak tidak akan mengajukan topik obrolan apapun untuk … mungkin, sampai di tempat tujuan. Dan aku mulai bosan dan mengantuk karena terlalu banyam diam.
Ingatkan? Ada yang bilang kalau orang yang terlahir berisik dan tiba-tiba dihadapkan di situasi yang memaksanya diam makan ia akan lebih sering lelah dan mengantuk.
Dan gue termasuk orang-orang tersebut!
Halo? Gue lagi sama orang apa sama pinokio sih? Perasaan kayu aja bisa ngomong kok, lah ini malah sebaliknya.
Kemudian sebuah pertanyaan iseng melintas di kepalaku.
“Kenapa sih lo enggak minta balikan sama … siapa mantan pacar lo?”
“Farah.”
“Iya, Farah. Kenapa lo enggak minta balikan aja?”
Dimas menghela napas berat. “Banyak yang enggak suka Farah.”
Well, gue enggak heran-heran amat. Dari awal aja udah keliatan; arogan, serakah, sebelas dua belas sama nenek lampir.
“Ya lo yakinin lah!”
Jujur gue enggak mau sok bijak!! Tapi gue gemes aja gitu, hidupnya gak enak banget gitu kalo gak nyusahin orang?
Dimas yang tampak tidak berminat menanggapi topik tersebut memilih diam dan fokus pada kemudi. Sampai kami keluar dari jalan protokol dan masuk ke jalan pemukiman penduduk. Aku melilih memainkan game di hpku selagi mengisi kekosongan. Setelah itu aku merasa mobil akan berbelok memasuki kompleks perumahan elit, mobil kemudian berhenti disebuah rumah berhalaman cukup luas dengan beberapa mobil terparkir di depannya.
Selagi Dimas memarkirkan mobilnya, aku tanpa sadar memperhatikan rumah di depanku.
Gilak. Gue baru tau ini anak punya sodara tajir juga. Nah kan, jiwa julid dan norak gue aja sampe keluar. Gue curiga sebenernya Dimas ini masih keturunan konglomerat yang bernasib sial karena jadi turunan ke delapan jadi gak dapet warisan dari kakeknya.
“Ayo.”
Aku tersadar dari lamunan bodohku tentang Dimas. Hell, ternyata dari tadi gue ngelamun? Norak banget si lu, Vah!!
Kalo dipikir-pikir, om Rama Sulaeman itu merupakan keponakan dari Lukman Rasyad, salah satu pengusaha propert terbesar di Indonesia, yang juga cucu dari Omar Sahril Rahsyad, si kakek konglomerat yang bisnisnya tidak bisa terhitung lagi–sabodo, gue gak ngafalin itu kakek sebenarnya kerja apa.
Tunggu! Berarti benar dong Dimas masih ada keturunan konglomerat, sayang aja dia cicit yang terbuang jadi gak diakuin gitu.
Ketika di depan pintu setelah Dimas memijit bel aku tanpa sadar mengumamkan sesuatu yang–setelah dipikir-pikir itu adalah pernyataan paling norak dalam hidupku.
“Kok lo gak pernah bilang kalo lo masih keturunan Omar Sahril Rahsyad.”
Aku berusaha terkesan biasa namun malah jadi orang paling norak seIndonesia. Terkutuk kau mulut laknat!
Dimas melirik dari ujung matanya. “Kenapa? Ada yang salah sama kakek buyut saya?”
“Emang enggak ada yang salah. Cuman….”
Aku menggantung kalimatku, lebih pada aku bingung apa yang harus aku katakan. Sambil berpikir, tidak seharusnya aku berada di sana.
“Cuman?” Dimas mengulang kalimat terakhirku yang menggantung.
“Cuman … mau bilang gitu doang,” ucapku asal.
Terdengar dengus tawa dari Dimas, dari arah dalam terdengar suara ribut dan langkah-langkah cepat menuju pintu. Dalam kesempatan itu aku merasa sebelah tanganku diraih dan digenggam oleh Dimas.
“Karena kamu tidak pernah bertanya, Naya.”
Dug!!
Kalimat Dimas diucapkan dengan biasa dan wajah sedatar papan penggilesan, namun entah kenapa menyimpan sebuah ultimatum di dalamnya.
Dimas menoleh dengan tatapan tidak terbaca, tangan yang menggegam tanganku pun semakin terasa nyata, seolah-olah hendak mengatakam sesuatu.
“Sedikitpun kamu tidak berinisiatif untuk sekadar bertanya.”
Aku masih diam, bahkan setelah Dimas melayangkan kecupan di punggung tanganku, aku masih berubah jadi arca prambanan.
“Untuk itu saya bawa kamu ke sini, jika kamu mau, sedikit mengenal saya, tidak apa-apa kan?”
Ketika aku hendak membuka mulut untuk bertanya, pintu di depan kamu terayun dan kami segera disambut oleh keramahan si pemilik rumah.
***
Hal yang paling aku benci selain kecoak yang tiba-tiba terbang dan cicak yang tiba-tiba jatoh dengan bunyi “telak” dilantai adalah acara keluarga. Yups! Acara sosialita keluarga.
Sepele tapi susah dilakukan, percaya atau tidak, kita harus memasang kedok sepanjang acara sambil menahan segala gejolak emosi di dalam hati, pikiran dan jiwa. Jujur saja, aku lebih baik pergi dan mengurung diri di kamar ketika hari-hari besar seperti lebaran, acara arisan, syukuran, apa lagi hajatan.
Mending gue kerja deh, baku hantam sama semrawut kerja lebih baik daripada baku hantam sama bu ibu mulut lemes, yang ada nambah dosa gue.
Makanya, begitu Dimas yang seenak jidat menyeretku masuk ke dalam lingkaran kerabat dan segala tetek bengeknya, membuatku sangat kesal. Aku sudah membayangkan segala kemungkinan yang ada. Dikucilkan? Sudah pasti! Ya jelaslah, aku hanya orang luar yang tiba-tiba diseret masuk kedalam zona mereka.
Ingin sekali sekali waktu aku menyentil ginjal Dimas.
Namun, yang aku hadapi sekarang adalah sebaliknya. Biar dikata arisan keluarga yang ada dalam bayanganku adalah kumpulan tante-tante dan om-om beserta pengikutnya alias aliansi keponakan Dimas. Tapi yang kulihat sekarang justru sebaliknya, yang hadir pada acara tersebut adalah para sepupu Dimas, tidak ada om-om dan tante-tante yang akan mengintrogasinya, hanya ada om Rama dan tante Rita si pemilik rumah, itu pun yang mengadakan adalah anaknya, Deana Putri Sulaeman.
Yang aku pikir akan dikucilkan dan merasa canggung sendiri justru berbaur begitu saja dengan para sepupu dan keponakan Dimas.
“Mba Naya udah makan? Kalo belum nanti diambilin sama Irham. Ham, lo ambilin gih apa kek selagi nunggu barbequenya mateng,” kata Zahra.
Wanita cantik ini berumur tidak jauh beda denganku, Zahra Rayana Rusman bekerja di perusahaan konsultan cukup ternama di Jakarta. Meski ayahnya merupakan pengusaha hotel ternama, Zahra tidak mengikuti jejak orang tuanya ia berpikir ingin merasakan prosesnya dari bawah hingga bisa mencecap manis di puncak dengan usahanya sendiri.
Jujur aku kagum, pembawaannya yang dewasa, cara bicaranya yang lues dan lugas membuat siapa saja tidak bisa memandang remeh Zahra.
“Lah kok gue, elo aja! Gue lagi seru nih,” celetuk Irham. Gusti Irham Rusman tidak lain adalah adik Zahra, Irham yang terpaut empat tahun dengan Zahra merupakan mahasiswa pertanian semester tujuh salah satu Universitas di Bogor. Meski masih berstatus mahasisawa Irham tengah merintis usaha sendiri, meski belum berjalan selancar jalan tol, namun pundi-pundi yang dihasilkan cukup untuk memenuhi kehidupannya sendiri selama kuliah. Meski tingkahnya selengean dan terkesan ogah-ogahan sebenarnya Irham adalah sosok yang peduli dan penurut, begitu sih kata Zahra.
“Enggak usah, Ra. Saya udah makan kok,” ucapku bohong.
“Tuh, mbanya aja enggak mau, lo malah maksa makan.”
Mulut ini bocah pedes juga ternyata.
Zahra serta merta menjewer Irham yang seketika berteriak kesakitan.
“Duuu, duuuuh, sakit teh!”
“Biarin! Makanya kalo ngomong tuh pake otak!”
“Duuuh, kenapa sih? Perasaan berisik banget, mba Nayanya jadi bingung tuh liatin kakian berantem,” sahut seorang wanita menengahi keduanya. Wanita berusia empat puluh akhir itu tersenyum ramah begitu mata kami berseloroh. Kalau bukan tahi lakat di bawah matanya aku pasti sudah tidak kenak bahwa itu adalah si pemikik rumah, tante Rita.
“Onoh, sih teteh….”
“Main ngeles lagi ini bocah!”
“Udah-udah daripada berantem, mending kalian bantuin a Aris sama teh Dea nyiapin makanan.”
Keduanya beranjak, aku yang hendak mengikuti jejak mereka malah ditahan oleh tante Rita.
“Naya mau kenana?”
Aku yang ditegur demikian mendadak kikuk dan kebingungan. “Eh … emm, mau ikut bantuin, Tan.”
“Enggak usah, mending kamu duduk di sini nemenin tante.”
Hmmn, bau-baunya bakal ada interview dadakan nih. Mana si Dimsun Neraka pake ngilang lagi.
FYI, pemirsa. Begitu kami memasuki rumah dan aku diseret masuk oleh Dea, si Dimsun Neraka sudah menghilang entah kemana. Sampai sekarangku aku masih tidak melihat batang hidung itu orang, jangan-jangan dia ditelen bumi, mungkin gue perlu manggil agen J dan agen K buat nyari Dimas, manatau kan kalau-kalau Dimas diculik alien.
Mungkin karena aku tanpa sadar berkeliling mencari sosok Dimsun Neraka, aku malah kepergok tante Rita. “Nyari siapa, Nay?”
“Ha? Eh, enggak … itu….”
“Kalo nyari Dimas, dia lagi mandi. Paling sekarang lagi siap-siap.”
Oke, terjawab sudah misteri menghilangnya Dimas. Yah, enggak jadi deh gue manggil Will Smith dan Tommy L Jones buat nyari Dimas.
“Dimas gimana?”
“Hah?”
Mungkin karena tiba-tiba ditodong pertanyaan yang unfamiliar aku sampai-sampai menunjukan jurus kebegoanku di depan tante Rita. Barulah setelah loading beberapa lama aku memahami maksud dan tujuan si penanya.
“Eh, oh, Dimas baik kok, Tan.” Tidak lupa kutambahkan senyum pepsoden di akhir kata.
“Baiknya itu kayak gimana? Dia enggak macem-macem atau aneh-aneh kan sama kamu?”
Refleks aku menggeleng. “Eng, enggak kok, Tan. Dimas enggak ngapa-ngapain, saya. Baiknya ya … perhatian, selalu ingetin makan, tidur jangan kemaleman nanti telat dateng ke kantor … gitu gitu lah.”
Tuhaaaaaaan!!!! Gue enggak tau mesti ngomong apaan?!
Kalo aja bukan tante Rita yang nanya, gue udah teriak. “Dimas itu setan dalam wujud manusia tampan! Enggak ada hal baik yang dia lakuin tuh enggak adaaaa!! Asal lo tau! Dia itu lebih sering nyiksa gue ketimbang nyenengin gueee!!”
Tapi barangkali nanti gue langsung di depak keluar dari perusahaan sedangkan cicikan motor dan bayaran kostan masih dibayarin sama diri gue sendiri, jadi gue tahan makian gue dalam hati.
“Syukur lah. Tante tuh khawatir, dulu waktu Dimas pacaran sama model abal-abal itu Dimas jarang banget ke pertemuan keluarga kayak gini, alasannya ada aja, sibuk lah, Farah mau ke sini lah, lagi nemenin Farah nyalon lah, lagi di luar kota lah, macem-macem. Sampe tante tuh gemes banget. Waktu si Farah dibawa ke sini juga, enggak ada mesem-mesemnya.
Malah sok-sokan sibuk sama hp, padahal enggak jelas urusannya apa. Sampe pernah juga si Irham tanya iseng sama Farah, mungkin karena dia saking keselnya kali ya, jadi dia nyeletuk, ‘Mba model ya? Model di mana, Mba? Kok saya belum pernah liat muka mbanya di majalan sama tv.’ langsung kan tuh mukanya merah. Sejak itu, Farah enggak pernah lagi dateng ke acara keluarga.”
Sebisa mungkin aku menahan tawa yang hampur lolos dari mulutku, tau-tau di sodori keluh kesah si tante terhadap pacar keponakannya. Enggak salah sih gue, si Irham mulutnya sebelas dua belas sama sambel, pedes bener.
“Tante tuh heran, kok bisa sih Dimas kepincut sama yang begituan?”
Sama, Tan, saya juga heran, kenape manusia model begitu bisa jadi keponakan Tante? Mukenye aje yang pendiem, tapi kelakuan sebelas dua belas sama setan.
“Tapi tante seneng sih, sekarang Dimas sadar dan dapet pengganti yang secantik kamu.”
Aku tidak menjawab hanya tersenyum lebar.
Aduh, ini belum emaknya loh yang mongong tapi gue udah deg-degan setengah jalan, apa lagi kalo mak bapaknya yang nanya-nanya?! Eh bentar! Kek gue mau jadi aja sama si Dimaun Neraka, idiiih!!
“Jangan lebar-lebar senyumnya nanti dikira kembarannya Semar.”
Begitu mendongak aku langsung bertemu dengan wajah jenaka Ambar. Segera saja senyumku luntur.
“Hai … calon kakak ipar,” sapa Ambar sambil cengegesan.
Monyet!
***
“Bwahahahaa!!! Coba lo liat muka lo tadi, Vah! Sumpah muka lo maksa banget, enggak ada manis-manisnya, sampe kasian gue liatnya.”
“Anjing! Puas lo, puas ngetawain gue?!”
Aku menarik Ambar ke dapur agar bisa memaki sepuasnya, sementara tante Rita aku tinggalkan dengan Zahra yang kembali sambil membawa baki berisi makanan.
“Gue udah tau sih bakalan begitu jadinya waktu tante Rita nyuruh abang gue buat ngajakin elo. Tapi muka bego elo diluar ekspetasi gue!”
Ambar tertawa terbahak-bahak sampai-sampai memegang perutnya.
Ini bocah kalo gue slepetin cabe juga bakal langsung ditelen sana dia.
“Emang ya, enggak abang enggak adek sama aja bangkek!”
“Wits! Nape lu? Sentimen gitu sama pacar lo sendiri. Lagi berantem ya?!” kemudian Ambar tertawa lagi.
“Anjing emang lo! Siapa yang lagi berantem? Dan siapa juga yang pacar abang elo?!” sungutku marah.
Seketika Ambar berhenti tertawa malah mengganti mukanya dengan wajah terheran-heran.
“Lah? Gimana-gimana?”
Aku mendengus. “Gue, sama abang elo itu, enggak pacaran.”
“….”
“Kenapa lo?”
“Jadi … kalian cuman lagi gimic gitu alias pacaran setingan kek artis-artis dadakan itu? Gilak, man!”
“Serah lo deh contohnya kayak apaan, yang jelas. Gue sama Dimas enggak punya hubungan apa-apa! Gue cuman disuruh doang, sialanya gue mau-mauan lagi jadi pacar boongan si Dimsun Neraka itu!”
“Jadi … elo enggak pernah naksir atau cinta sama abang gue gitu?”
“Ya enggak lah!” semburku.
“Bwahahahahaaaaaa!!!!”
Langsung saja Ambar tertawa terpingkal-pingkal, kali ini benar-benar lepas. Wajahnya sampai merah saking senangnya. Aku sampe takut barangkali si kunyuk ini kerasukan setan lewat.
Kalo beneran kesurupan bakal gue tabok pake teflon ini bocah, puyeng-puyeng dah lo.
“Tuhaaaaaan!!! Kocak parah asli! Hahahaaa!!”
“Kenape sih lo?” karena Ambar tidak menunjukan tanda-tanda akan berhenti tertawa dan orang-orang di luar mulai menoleh ke dapur, aku segera menutup mulut Ambar dengan apel yang ada di meja makan.
“Anjir! Sembarangan aja lo! Untung enggak ke selek gue!”
“Makanya diem! Segitu lucunya apa cerita gue sampe lo ketawa kayak orang kesurupan gitu!”
“Cerita lo kagak lucu, Vah. Cuman miris aja gitu! Kesian bet dah abang gue!” kemudian Ambar mulai tertawa lagi.
Aku menyumpal kembali mulut Ambar dengan tangaku sendiri. “Apa sih! Lo lama-lama gue slepetin cabe nih!”
“Buset dah sadis bener dah lu….”
“Makanya lo jangan kenceng-kenceng ketawanya, kalo ada yang denger gimana?!”
“Ya enggak apa-apa, tinggal jelasin aja. Palingan pada ketawa.” Ambar terbahak lagi, aku mencobit pinggangnya keras-keras sampai ia menjerit ampun. Aku tidak melepaskan cubitanku biar tau rasa si kunyuk ini. Namun, tidak hilang akal, Ambar mengapit leherku dengan lengannya hingga posisinya berbalik aku yang dipiting oleh Ambar.
Saking ributnya, kami sampai tidak sadar dengan kehadiran orang lain di sana. Sampai akhirnya sura dalam dan tajam itu mengintrupsi kami.
“Ekhmmm!”
Sontak kami menoleh dan di sana berdiri Dimas yang tampak segar sehabis mandi tengah menatap kami sambil bersedekap.
Ukh!
“Ooopsss!”
Ambar yang tiba-tiba melepaskanku membuatku terkejut dan hampir-hampir terjerembab kalau saja aku tidak sigap berdiri.
“Sorry. Gue … mau ambil makanan dulu, bye, Ivah. Hati-hati ya.”
Aku melotot begitu Ambar berbisik demikian sebelum akhirnya kocar-kacir kabur ke taman belakang. Ditinggal berdua dengan Dimas yang menguarkan atmospir gelap membuatku tidak nyaman. Mata tajam Dimas masih menelanjangiku, sesangkan aku berdiri kaku di depan kompor.
Sialan! Ini orang kenape lagi sih? Heran dah ah!
“D, duuuh, gue haus! Lo mau minun enggak? Gue ambilin deh….”
“Tidak usah, saya mau buat kopi aja.”
“G, gue bikinin ya.”
Dengan cekatan aku mengambil gelas dan menyeduh air, sempat kebingungan mencari toples kopi namun Dimas dengan mudah menenukannya, aku mengutuk air yang mendidih sangat lama, sampai-sampai keheningan menyelimuti kami kembali. Sementara air masih lama, aku menyiapkan filter dan memasukkan tiga setengah sendok kopi.
Aku terkesiap begitu tangan panjang Dimas mengurungku dari belakang, sekarang posisiku terjebak antara meja pantri dan Dimas.
Damn! Situasi macam apa ini?
“Nga, Ngap….”
“Kenapa kau mudah sekali ketawa kalo sama orang lain tapi terus-terusan cemberut kalo sama saya?”
Napas hangat Dimas berambus tepat di telingaku membuatku meriang, aku ingin melepaskan diri namun Dimas menahan sebelah tangaku.
“Saya juga mau liat kamu ketawa kalo lagi sama saya, Naya.”
Aku merasa tengkukku disentuh oleh sesuatu yang lembut. Shit! Gue nyesel gulung rambut gue sekarang, begini kan jadinya!
Tepat pada saat itu air di kompor mendidih, itu adalah kesempatanku lepas dari kungkungan Dimas. Pria tersebut terkejut namun tidak memprotes, aku menuang airΒ sedikit demi sedikit ke dalam teko dengan filter sampai uapnya mengepul dan aroma khas dari kopi menguar ke dakam indra penciumanku, menjadi candu yang tidak terlupakan.
Dimas masih diam di tempat, namun aku merasakan matanya masih mengawasiku. Begitu selesai aku segera menuang kopi ke dalan gelas satu persatu sebelum menyerahkannya pada Dimas.
Aku duduk di kursi dapur dengan kopiku sendiri, mengambil potongan buah yang ada di atas meja tanpa suara, begitupun Dimas yang tidak tampak ada niatan untuk beranjak dan bergabung dengan orang-orang di luar sana.
Ditengah keheningan yang aneh itu Dea datang bak dewi penyelamat. “Loh? Kalian masih di sini? Makanannya udah mateng tuh. Naya, ayo makan dulu.”
Karena saking ingin keluarnya aku sampai terburu-buru bangkit, hingga meja dan kursinya berbunyi cukup keras. Aku mengambil sepotong apel di meja kemudian membawa gelas bekas kupoku ke bak pemcuci piring. Begitu aku hendak melewati Dimas tiba-tiba tangan besar itu menarik lenganku dan dalam sekejap wajah Dimas sudah ada di depan wajahku, menciumku.
Rasa kopi, dari mulut Dimas menguar bersamaan dengan rasa apel yang tertinggal di mulutku, aku melotot namun tidak bisa bergerak, lama kemudian Dimas baru melepaskanku. Wajahnya masih sedatar jalan ketika aku berhasil melihatnya, tanganya yang besar mengusap sudut bibirku dengan hati-hati.
“Lain kali … saya tidak akan menahan diri untuk ini, Naya.”
Setelahnya ia melenggang pergi, meninggalkanku di depan kompor yang siap menertawakanku dengan girang. Rasa kopi dan apel berjubal di mulutku, meninggalkan rasa manis misterius lain di sana. Belum pernah sebelumnya merasakan bibir Dimas semanis ini.
“Naya?”
Aku terkejut oleh suara Zahra yang juga menyusulku. Aku segera tersadar dari lamunan bodohku. Sialan! Kenapa Dimsun Neraka itu selalu berhasil buat gue kayak orang bego sih!
Bangkek! Bangkek!
“Tadi, diapain sama abang Dimas?”
“Hah?!”
Zahra tersenyum jahil sambil mengedip sebelah mata.
“Enggak usah malu, semua orang nonton kok. Si Irham aja sambe ngerekam.”
“HAH!!”
“Selamat datang di keluarga kami.” Dengan bangga Zahra tersenyum lebar dan mengapit lenganku untuk bergabung bersama yang lainnya.
Sementata yang lain tersenyum penuh arti, bahkan Ambar bersorak kayak orang gila, tapi si tersangka malah pura-pura jadi orang suci sedunia yang tidak tahu apa-apa.
Bangkek!!
Kamvret momen emang!!!
TBC π
:nyengirlebar :nyengirlebar :nyengirlebar
akhirnya up date
bang dimas mulai bar bar ..kasian si ivah malu,sampai direkam segala lagi
Awas, mungkin kebar baran si Dimsun Neraka bakal meningkat
Demen nih kl ke bar2 annya meningkat,lebih seru kayaknya
Suka sama bagian akhir nya
Thanks udah mau baca
salah satu yg di tunggu. Thanks sdh update
salah satu yg ditunggu.
Makasih udh update thor..
Wkwkwkwk thanks udah nunggu dengan sabar
Wkwkwkkw thanks udah nunggu dengan sabar
Yeyeye,kena kecjup π₯³π₯³π₯³
Yeyeyeeee kena tipu muslihat
Dinsum mulai iseng…perpaduan kopi & apel…ahhh akhirnya up juga,jgn lama2 lg up_nya ya…
Ti ati, nanti isengnya nambah menjadi :nyengirlebar :nyengirlebar :nyengirlebar
yang di tunggu akhirnya up lagi,makin gemes jadinya….
Thanks udah mampir
Manis bangetttt πππ
Thanks updatenya.. ditunggu next nya. Makin seru
Thanks udah mampir ππ
kapan up lagi ni chocovado..saya sudah menungggu lamaaaaaa sekali :huhuhu
Syudah up ya kakak :nyengirlebar :nyengirlebar :nyengirlebar
Gokil keluarga nya