Vitamins Blog

Oh My Fake Bo(ss)yfriend || Uuuuuupsssssssii!!

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

32 votes, average: 1.00 out of 1 (32 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

TTS: TekaTekiSial. Pertanyaan Menurun: Super hero yang cintanya ditolak terus sama gebetan. Jawab: SUPERMAN a.k.a SOPOORMAN.” @A_Inay

Aku lempar map yang sedari tadi kuremas dengan emosi membuncak.
“Sontoloyo!” umpatku.
“Kenapa lo?” Jeje melongkok dari atas kubikelku.
“Menurut lo?!” sungutku.
“Si Ivah lagi PMS kali, makanya mukanya kayak mau makan orang gitu.”
Aku lihat Rayhan ikut nimbrung di depan kubikelku. Heran lagi sama manusia yang satu ini. Kerjanya apa sih selain nimbrung ke bagian BO?
“Enggak butuh bacot lo, koplok!”
“Makan tuh koploknya si Ivah.”
Rayhan mengedik bahu tidak peduli. “Kalian mau makan di mana?”
“Nasi padang dong plis.”
“Sori guys, kayaknya gue deliv aja. Si bos gak mau banget ditinggal sama gue,” sesalku.
“Doi kesurupan apa lagi emang?” tanya Rayhan mendadak tolol.
Aku mendengus. “Kalo lo tanya doi kesurupan apa, banyak lah. Lo gak usah pura-pura amnesia.”
Si korban malah ketombean sambil nyengir kuda lumping.
“Emang si bos beneran tetangga lo, Vah? Gak salah orang lo? Kok sentimen banget sih ke elo.”
Hmm, kenapa aroma-aromanya Jeje lagi coba korog-korog informasi  soal bos baru ya.
“Itu namanya ‘profesional’, Jengkol.”
Jeje mendelik pada Rayhan seolah-olah akan menerkamnya. “Gagal paham gue sama manusia yang satu ini. Coba lo pikir, pagi ini doi minta nama-nama nasabah yang udah lunas buat nambah target, pas ditanya minimal plafon? Doi bilang berapa aja ya gue kasih kan tuh. Gak banyak cuma sepuluh. Sepuluh doang gue kasih. Tapi kalian tau doi jawab apa?”
Keduanya kompak menggeleng ala boneka kucing di dasbor mobil.
“Doi bilang, ‘Kok maksimal lima puluh sih. Memangnya lima puluh bisa nutup target satu miliar lebih?’ Ya udah gue balik lagi dong, ganti nama-namanya. Pas gue kasih lagi doi malah bilang, ‘ini plafon sampe 300 juta? Udah di follup lagi usahanya sampe sekarang? Kenapa ini ada temponya? Harusnya kamu update terus dong, biar bisa kita ajukan lagi. Jangan cuma duduk mantengin layar komputer sambil haha hihi!'”
Jeje meringis ngeri sedangkan Rayhan … tidak pernah jelas apa gunanya ini manusia di sini.
“Gue bukan anak marketiiiing!!” seruku ke arah pintu laknat tempat neraka terkutuk itu berada.
Saya dengar!” sahut si bos dari dalam.
Kami serempak melotot ke arah pintu, tapi aku lebih dulu sadar lalu menggerang frustrasi.
“Vah, mending lo makan dulu deh….”
Kutepis saran Jeje, aku lebih yakin bahwa makhluk yang satu ini hanya ingin balas dendam prihal kejadian kemarin.

Bicara soal kejadian kemarin–well, dua minggu lalu–setelah pak bos mengeluarkan pernyataan yang membuatku menanggung malu. Doi memberikan ultimatum ke dua;
“Oh, iya. Toilet buat urusan pribadinya, bukan buat ngurus urusan orang apa lagi ngedumelin orang.” JEDEEEER!!
Mulai dari sana, manusia satu ini mulai membuatku naik darah setiap pagi. Segala macam hal sepele dikomentarinya, suka nongol tiba-tiba persis setan.
“Oke, jadi lo mau main-main sama gue? Fine! Gue ladenin! Kita liat … siapa yang minta ampun duluan?”
Aku menyeringai jahat ala-ala pemain antagonis sinetron yang sedang booming abad ini.
“Gak usah drama deh lo, kita gak lagi di novel drama khayalan lo, jadi gak usah alay! Udah lah, kalo lo gak mau makan gue aja yang makan. Lo mau ikut gak, Jengkol? Apa lo mau ikutan drama juga kayak manusia yang satu ini?” kali ini Rayhan yang buka suara.
Astaga, kenapa aku baru sadar kalau manusia satu ini ternyata hidup?
“O.M.G! Ya gue ikut lah! Males banget gue duaan sama makhluk beda kasta ini! Gak level, eewwwh.” Jeje qween mode on.
Rayhan mengela napas dramatis, menatap prihatin pada kami. Kemudian ia mendongak sambil menengadah tangan. “Ampuni teman-teman Rayhan yang alay dan drama qween ini, ya Allah.”

***

Kuketuk pintu tiga kali sampai terdengar sahutan dari dalam. Aku masuk untuk ke tiga kalinya ke ruangan laknat ini, tiga kali pula si bos ganti pacar. Pertama, si bos kencan dengan kertas. Kedua, doi selingkuh dengan komputernya, dan sekarang ia sedang ngecengin printer di pojokan.
“Kenapa, In?”
FYI, guys! Gue udah tumpengan tiga kali setelah masuk ini ruangan.
Selain suka mendadak amnesia, si bos ini tidak konsisten orangnya. Sudah tiga kali ia memanggil namaku dengan panggilan berbeda; Ariv, Yayat, sekarang Iin?!
“Ini nama-nama nasabah yang bapak minta.”
“Taro aja di meja.”
“Kalo begitu permis….”
“Eet!”
Set dah, nape lagi sih nih orang? “Kenapa pak?”
“Kata siapa kamu boleh keluar? Saya belum selesai periksa.”
“Periksa? Emangnya puskesmas apa pake acara periksa segala,” gerutuku sambil menyeret salah satu kursi di depan meja bos.
Baru kudaratkan pantatku di kursi, pak lurah yang satu ini mulai meluncurkan amunisi perangnya. “Saya belum suruh kamu duduk kok kamu udah duduk duluan, Riv.”
Hai, guys, nama gue Riv, Rivet Amat nama panjang gue.
“Insting manusia, Pak. Kalau saya berdiri terus, saya curiga butuh balsem pulang kantor nanti. Makanya saya duduk.” Aku pura-pura picek walau tahu si bos melotot padaku.
Lima menit kemudian si bos meninggalkan gebetannya, alias si printer, dan kembali ke singgahsananya. Dalam diam ia mengambil selembar kertas yang kubawa tadi, membacanya sebelum akhirnya meletakkannya kembali.
“Nanti saya minta, Ardian buat follup semuanya. Terima masih, Ari. Sekarang kamu boleh kembali ke tempat.”
Meski kode-kode usiran sudah dikeluarkan, tapi aku masih bertahan di sana.
Si Bos mendelik dengan alis terangkat. “Kenapa masih di sini?”
Aku memasang senyum semanis gula bibit, gumoh-gumod dah tuh. “Misi, Pak. Perasaan bapak dari tadi salah manggil saya terus deh. Ya Ariv lah, Yayat lah, Iin, Riva’i, sekarang Ari.” Aku mendengus terang-terangan. “Kalo bapak lupa nama tetangga bapak sendiri, biar saya kenalin diri la….”
“Saya tau kok,” tukas pak bos. “Saya tau dan ingat betul nama kamu.” Pak bos mengaitkan tangan di atas meja, menatapku lurus-lurus. “Arivah Inayati.”
Saat itu juga, alam dedemit gonjang-ganjing, dan aku mendadak amnesia setelahnya. Alhasil, kalimat paling bego keluar dari mulutku.
“Gimana pak?”

***

Pulang cepet itu, enaknya mempir dulu ke tempat tongkrongan, sambil isi perut plus cuci mata dan sedikit sombong dengan duit gajian yang rasa-rasa air comberan. Hari ini masih wangi, besok-besok udah bau busuk. Kehilangan kaporitnya.
Berhubung sekarang masih puluk tujuh malam, rasa-rasanya tidak adil kalau harus pulang tanpa memberikan reward untuk diri sendiri setelah seharian penuh berjibaku dengan bos kamvret. Jadi, setelah dari Grand Indonesia aku melipir ke Rooftop Cinema.
Nonton tidak harus di dalam ruangan, sesekali cobain di luar ruangan. Biar ada sensasinya gitu, toh zaman dulu sebelum ada bioskop orang-orang juga kalau nonton film di luar. Pasnya gerimis datang, pada lari-larian deh kayak di film India. Tapi itulah asyiknya misbar.
Beruntung sekali aku masih menemukan tempat seperti ini di tengah kota Jakarta yang padatnya minta digulung, tempat ini menyajikan suasana nonton film di tahun 90-an. Bedanya kalau dulu nonton lesehan atau mesti manjat di atas pohon, yang ini lebih millenials.
Pukul tujuh tiga puluh aku sampai di Rooftop Cinema, tempat tersebut berada di bagian atas gedung….
Ya, namanya juga rooftop, Vah. Kalo di bawah ya namanya basmen!
Live music sedang dimainkan selagi acara belum dimulai. Sebenarnya, film baru mulai pukul setengah sembilan, hanya saja kalau aku datang pukul delapan aku curiga jalanan makin menggila. Aku memilih duduk di meja bar yang di sediakan di sana, sementara stage sedang di isi oleh seorang penyanyi pria diiringi permainan gitar akustik yang syahdu.
Sayup-sayup lagu Galway Girl-nya Ed Sheeran dilantunkan oleh si penyanyi, orang-orang mulai berdatangan, mengisi tempat sesuka hati. Rata-rata mereka datang berpasangan atau dengan teman-teman mereka.
‘Lah, lo pasangannya mana, Vah? Sesingle itu lo sampe ke acara misbar aja lo alone gitu?’
Serah apa kate lu, Tan, Setan!
Aku memilih duduk di barisan kedua dari belakang, jadi pasnya hujan datang aku bisa lari duluan.  Mana tau kan? Cuaca sedang tidak menentu. Kuposisikan diriku senyaman mungkin, popcorn dan minuman soda sudah aku kantongi di dalam pangkuan hangatku, dan film dimulai.
Seperempat film dimulai aku mulai bosan, Misbar memang menyajikan film-film lokal baik itu hasil tanggan dingin sutradara ternama atau sineas muda yang baru berkarya, dari film lawas hingga film baru, seperti malam ini misalnya. Film yang ditayangkan adalah film lawas, aku mulai sering menguap sedangkan mas dan mbak yang punya acara mulai memainkan intermezo pencair suasana.
Aku mengambil ponselku, bermaksud mengecek notifikasi, saat sudut mataku yang peka ini menangkap sesuatu yang janggal di arah jam dua. Begitu aku menoleh yang kudapati hanya sepasang kekasih yang sedang asyik–what the hell! Berciuman di tengah keramaian ini!!
‘Gue tau lo iri, Vah. Tapi ya gak ngintipin orang lagi seneng-seneng juga kali. Kalo lo kepengen terus lo mau ciuman sama apa? Tiang gawang?’
Shut the hell up!
‘Vah, Vah, apes banget sih lo.’
Go to the hell! Setan bukan tempatnya di sini!
‘But, I’m here, I’m here with you.’
Aku menggeleng kuat hingga imajinasi si setan itu hilang, begitu aku menoleh lagi ternyata mereka sudah menjauhkan diri. Sekarang malah terganti adegan menye-menye, dimana si wanita bersandar di bahu si pria. Kemudian dalam gerak lambat, si pria berhasil menoleh ke belakang, mata kami berseloroh bertemu dan detik itu juga aku menyesalinya.
Uuuuupsssssi!!

TBC? ?

4 Komentar

  1. Al-Humayra Raudatul menulis:

    kapan ni lanjutannya si arivah..ditunggu ditunggu…

  2. Kok ini mirip episode sebelunnya ya?apa salah uploud?

    1. Sorry, ini emng ep sblumnya. Karena di catatan sendiri enggak ada jadi saya mau copy dari sini. Ternyata copy langsung tanpa pencet edit enggak bisa jadi mesti masuk edit dulu baru copy dan saya enggak tau kalo ternyata malah naik ke atas ??? harusnya jangan pencet post lagi langsung kmbali aja ?‍♀??

  3. Ivahhh