Vitamins Blog

Take Heart 11

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

 

Sedetik Dania berpikir untuk mencoba memperbaiki ponselnya yang hancur dan menghubungi kakaknya. Kakaknya pasti mengkhawatirkan ketidakhadirannya. Namun, ponsel itu diraih dari genggamannya dalam sekejap.

“Apa yang kaulakukan, Dewa?” Dania bangkit dari duduknya

“Membantumu meyakinkan diri bahwa keputusanmu tidak salah.” Dewa melepas baterai ponsel Dania dan melemparkannya ke sofa. “Dia hanya akan membuatmu ragu, Dania. Bukankah lebih baik jika seperti ini.”

“Kak Rich pasti mengkhawatirkanku.”

“Tidak ada kabar berarti baik-baik saja, bukan?” Dewa menangkup wajah Dania. Melirik kepalan tangan Dania dan menyeringai tipis. Ia tahu, wanita itu sedang menahan kemarahan. “Tidurlah, sudah malam. Besok kita harus mempersiapkan pernikahan pagi-pagi sekali. Selamat tidur, Dania.”

Dania menarik tubuhnya menjauh ketika Dewa mencondongkan tubuh akan menciumnya. “Kita benar-benar orang asing sebelum pernikahan kita resmi, Dewa. Bersikaplah sopan pada perempuan.”

Seringai Dewa semakin tinggi. “Tidak masalah. Aku bisa bersabar sampai esok malam.”

 

***

 

Setelah pernikahan itu resmi secara agama dan hukum, pada normalnya pengantin baru akan mendapatkan ucapan selamat dari anggota terdekat. Akan tetapi, sebuah tinju keras mendarat di wajah Dewa ketika pendeta meresmikan pernikahan mereka.

“Apa kau sudah gila?!” Raka berteriak dengan wajah merah padam dibakar amarah. “Kakak tahu kau terluka, tapi bukan berarti kau bisa melakukan apa pun.”

“Hentikan, Raka.” Monica yang menyusul di belakang berusaha menghentikan baku hantam antar saudara itu.

“Apa kaupikir perbuatanmu bisa dimaafkan?!”

“Aku tak meminta permintaan maaf atau pun meminta ijin darimu. Kami menikah atas dasar persetujuan kami, kau bisa menkonfirmasi sendiri pada Dania.”

Raka menoleh pada Dania yang berdiri di belakangnya dalam diam. Ekspresi gadis itu datar, dan sangat aneh bagi Raka. Karena tak pernah tak ada senyum di wajah gadis itu selama awal pertemuan mereka dimulai. Bahkan Raka mengira wajah gadis periang itu dipenuhi oleh senyum abadi.

“Katakan Dania, pernikahan ini terjadi bukan karena keterpaksaan yang kupaksakan padamu. Kau menerima pernikahan ini dengan sukarela dan tanpa syarat.” Dewa mengusap bibirnya yang berdarah. Mendorong Dania untuk bersuara.

“Itu tidak mungkin!” sergah Raka tajam. “Dia tak mungkin mencintaimu.”

“Apakah pernikahan harus terjadi hanya atas dasar cinta?”

“Diam kau, Dewa!” Raka siap melayangkan tinjunya.

Dania tak mampu menangisi setiap adegan di hadapannya dengan kesedihan yang begitu mendalam. Tinju Raka mewakili kemarahannya pada Dewa. Namun, di saat yang bersamaan pernikahannya dengan Dewa menyelamatkan kebahagiaan kakaknya.

Raka memegang bahu Dania dan menggoyangkannya seolah menyadarkan gadis itu dari kegilaan, dari kebodohan, atau dari kekhilafan apa pun itu namanya. “Katakan padaku, Dania? Apa yang terjadi?”

“Maafkan Dania, kak Raka.”

“Jangan katakan itu!” Raka menggeleng.

“Ini pilihan Dania.”

“Pernikahan kalian tidak sah. Kau bisa membatalkan, benar, kan?”

“Raka.” Suara putus asa Monica dari arah belakang Raka. Raka berbalik, melihat Monica yang menunjukkan selembar kertas padanya.

Raka menatap nanar sertifikat pernikahan yang sudah dibubuhi tanda tangan kedua mempelai. Jika saja merobek lembaran tersebut bisa membatalkan pernikahan yang sudah mengikat keduanya di hadapan Tuhan.

Dewa menyeringai di antara darah yang melapisi bibirnya. Ia benar-benar sudah merenggut napas kakaknya. Terasa sangat melegakan.

 

***

 

Richard mulai gelisah. Dania tidak menepati janji seperti biasa. Adiknya itu tidak datang di makan malam yang mereka janjikan. Hanya sekali panggilannya masuk tapi tidak diangkat, setelahnya nomor Dania bahkan tak bisa dihubungi.

Hingga pagi ini pun, nomer Dania masih tidak aktif. Mungkinkah adiknya itu sakit? Terlalu sibuk dengan tugas kuliah hingga tidak memiliki waktu semenit pun untuk menghubunginya? Padahal, selama ini Danialah yang selalu cerewet untuk komunikasi keluarga yang tidak lancar karena kesibukan Richard sebagai seorang dokter. Panggilan tak terjawab belasan kali dari Dania yang masuk ke ponselnya bukanlah hal yang aneh. Bahkan sangat aneh jika sampai nomor Dania tidak bisa dihubungi seperti ini.

Tadi malam. Richard berpikir baterai ponsel Dania habis, tapi seharusnya pagi ini sudah bisa dihubungi, bukan?

“Apakah masih tidak ada kabar dari adikmu?”

Richard mengangguk lesu. Rambutnya yang acak-acakan masih basah karena belum sempat ia keringkan.

“Kita bisa mengunjungi apartemennya sebelum ke rumah sakit.” Zaffya membungkuk sambil memilah pakaiannya yang masih di dalam koper.

“Ya. Tapi … apa kau tidak ke kantor?”

“Aku ada pertemuan di sekitar rumah sakit. Vynno menyuruhku memeriksa beberapa hal sebelum kami bertemu klien.”

“Aku bisa pergi sendiri.” Richard memeluk Zaffya dari belakang. Mencium bahu telanjang Zaffya yang tak terbungkus handuk.

“Aku masih punya cukup banyak waktu. Bahkan empat puluh menit untuk sarapan pagi denganmu.” Zaffya memutuskan memakai kemeja putih dan rok pensil nudenya.

Richard mengerut tak suka dengan belahan tengah rok yang dipilih Zaffya. Ia yakin belahan itu akan menampakkan setengah paha Zaffya di setiap langkah istrinya. “Pilihan yang sangat buruk,” komentar Richard.

“Hmm, mungkin kau perlu mengutuk desainerku. Dia suka memamerkan kakiku.”

“Ahh, apa dia tahu kau sudah bersuami?”

“Dia tak akan peduli. Selama aku masih mengenakan pakaian darinya dan beberapa klienku menanyakan ” Zaffya mengurai pelukan Richard dan berpindah ke depan kaca. Melepas handuk, mengenakan setelannya, dan membiarkan Richard mengamatinya dari pantulan kaca.

Pertama kali melihat Zaffya, kebanyakan orang akan mengira istrinya itu seorang model. Kecantikan, bentuk tubuh, dan tingginya yang semampai. Lelaki akan langsung berbisik dan berdecak kagum. Menjadikan tubuh seksinya sebagai obyek seksual dalam imajinasi liar mereka. Merasa cemburu dengan kesempurnaan yang akan dinikmati laki-laki lain, Richard menghembuskan napas gusar.

“Kau perlu bersiap-siap juga.” Zaffya membungkuk ketika memasukkan kedua kakinya bergantian mengenakan roknya.

Richard berharap hari ini tidak kerja dan mengikuti wanita itu pergi ke mana pun. Memastikan tak ada pria yang melemparkan tatapan sensual dan penuh hasrat pada Zaffya. Memberitahu mereka bahwa hanya dialah yang berhak atas keseksian Zaffya. Namun, ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Sempat terpikir untuk menumpahkan saus di rok Zaffya ketika mereka sarapan nanti. Richard tertawa, ide konyol.

 

****

Setelah menunggu sepuluh menit dan pintu apartemen Dania tetap tak terbuka. Akhirnya Zaffya dan Richard memutuskan ke rumah sakit dan menunggu kabar dari petugas yang berjaga di lobi.

“Kalian sudah datang?” Mereka berdua bertemu Vynno di basement gedung rumah sakit.

Zaffya mengangguk singkat dan Richard tersenyum ramah. Kemudian berpisah di lift karena Richard berhenti di lantai tiga sedangkan Zaffya dan Vynno menuju lantai paling atas.

Vynno memalingkan muka ketika Richard mencium bibir Zaffya sebagai salam perpisahan.

“Apa kau menghitung, berapa kali kau berciuman dengan Dewa di depan umum?” goda Vynno.

“Tidak, tapi aku bisa menghitung berapa banyak uang milikku yang kauberikan pada wanita-wanitamu?”

Vynno mengunci bibirnya rapat-rapat.

“Ehmm …” Vynno berdeham saat pintu lift terbuka. Menengok reaksi Zaffya dengan hati-hati. “Tentang Dewa …”

Zaffya melirik tajam. Sepupunya satu ini masih saja selalu mengungkit tentang Dewa. Urusan pribadinya dengan Dewa telah usai. Namun, jika berbicara bisnis, mereka punya kerjasama yang masih terhubung. Kecuali jika Dewa mencampur adukkan urusan pribadi mereka ke dalam bisnis.

“Apa Richard berhubungan dengan Raka Sagara?”

Zaffya berhenti sejenak, menatap Vynno dan bertanya lewat matanya.

“Aa … ku hanya mendengar gosip.”

“Kak Raka tidak mengenal Richard. Dan aku juga yakin sebaliknya. Richard tidak mengenal kak Raka.”

“Benarkah?”

“Sepengetahuanku.”

Vynno menggeleng. “Mungkin hanya kecurigaanku saja,” gumamnya pelan pada dirinya sendiri.

“Apa kau sudah menyiapkan berkasnya?” Vynno menanyai wanita mudah dengan penampilan rapi yang membukakan pintu untuk mereka.

Wanita itu mengangguk sopan.”Ya, Tuan.”

Vynno masuk lebih dulu. Zaffya mengambil tempat di set sofa dekat jendela, sedangkan Vynno menuju meja. Mengambil tiga berkas yang siap di mejanya dan mengikuti Zaffya.

“Apa yang kau curigai?” Zaffya tak bisa tak memikirkan kata-kata Vynno. Segala sesuatu tentang Richard memang selalu membuatnya tertarik. Takut jika itu gosip atau kabar buruk yang akan membuat Richard terusik.

“Apa kau ingat aku mencari dokter untuk klinik bagian ibu dan anak? Saat itu aku meminta bantuan beberapa kenalannya, dan secara kebetulan … kau tahu, Richard yang mengisi lowongan itu.”

Zaffya tertegun sejenak. Mengambil berkas yang diletakkan Vynno di depannya sambil menjawab, “Mungkin itu hanya kebetulan.”

“Tapi … pada akhirnya tujuan Richard kembali hanya satu, bukan?”

“Aku tahu. Dia tak menyangkal untuk bagian itu.”

Vynno mendesah kecil. Menyandarkan punggungnya sambil menggerutu, “Ya, beginilah cinta. Deritanya tiada akhir.”

Zaffya membuka berkas teratas dan mulai membacanya.

“Dewa sedang berada dalam masa terkelam hidupnya.” Vynno menatap dinding kaca dengan tatapan mata menerawang. Seolah sedang berkabung. “Terpuruk dalam hubungan percintaan dan keluarganya hanya dalam satu waktu.”

Zaffya tak terusik. Mencoba tak terusik sama sekali. Hubungan pertunangannya dengan Dewa memang karena keluarga, tapi urusan hati pria itu. Zaffya sudah berusaha keras, dan sekarang tak akan merasa harus bertanggung jawab.

“Entah apa yang terjadi, hubungannya dengan Raka  memburuk. Kau tahu, dia begitu mengagumi dan menjadikan kakaknya teladan, bukan?” Vynno bertanya pada Zaffya.

Zaffya tak menjawab.

“Tiba-tiba hubungan mereka sedingin es di kutub utara. Tak bertegur sapa dan seperti berada di dua kubu yang berbeda.”

Zaffya mendongak. Ini satu hal yang ia ketahui. “Apa yang terjadi?”

Vynno menggeleng dan sekali lagi desahan keras lolos dari bibirnya. “Seandainya aku tahu.”

Zaffya pikir itu jawaban paling aman yang harus ia dengar. Atau ketenangannya akan kembali terusik dengan Dewa. Ia tahu perasaan bersalah dan penyesalannya tak akan membuat Dewa lebih baik. Dewa tak meminta itu darinya. Karena apa yang diinginkan Dewa, Zaffya tidak bisa memberikannya pada pria itu.

“Apa kau masih tertarik dengan kabarnya?” selidik Vynno.

Zaffya melemparkan berkas dalam pangkuannya ke arah Vynno. “Jelaskan padaku secara gamblang.”

Vynno membelalak dan langsung melipat mukanya. “Zaafff …” rengeknya.

“Kita tak punya banyak waktu.” Zaffya bersandar sambil menyilangkan kedua kaki dan tangannya. “Aku tak akan menandatanganinya sebelum aku memahaminya dengan benar.”

“Aarrggghhhh ….”

 

***

 

 

“Apa aku harus mengkhawatirkan ini?” Zaffya memperlihatkan bekas lipstik berwarna pink yang tertempel di jas putih Richard. Tepat di kerah. Zaffya tak mau membayangkan bagaimana bekas berbentuk bibir itu bisa tertinggal di sana. Ia memang tak pernah bisa mengendalikan rasa cemburunya. Perasaan panas yang tak mengenakkan yang mendera hatinya sejak Richard kembali ke kehidupannya. Perasaan yang sudah lama tertumpuk di lapisan paling bawah dan tak pernah tersentuh sejak delapan tahun terakhir.

Dengan senyum malaikatnya, Richard menyentuhkan hidungnya di hidung Zaffya dengan gemas. Kecemburuan Zaffya selalu menghangatkan hatinya. Menunjukkan cinta wanita itu tak pernah memudar.

“Kau belum menjawab pertanyaanku, Richard.” Zaffya menarik kepalanya mundur.

“Kau tahu jawabannya, Zaf. Kau hanya menunjukkan bagaimana kau cemburu, dan aku tahu itu.”

“Tapi kau tetap membiarkanku melihatnya.” Harusnya Richard tahu, bibir wanita lain menjadi trauma tersendiri baginya setelah kejadian pagi itu.

“Aku hanya tak menyadarinya itu ada di sana,” sesal Richard. “Maaf.”

“Lain kali, perbaiki penampilanmu sebelum menciumku.”

Richard mengangguk.”Bolehkah aku menciummu sekarang?”

“Seolah kau membutuhkan ijin,” ejek Zaffya. Mendahului Richard mempertemukan bibir mereka.

Richard membiarkan serangan sensual Zaffya mengambil alih. Membalasnya dengan lebih dalam. Dan sebelum mereka jatuh terlalu dalam, Richard mengemukakan akal sehatnya dan menjauhkan diri dari Zaffya. “Kita masih di rumah sakit.”

Zaffya mengerut tak suka sasmbil mengurai pelukannya. “Kita pulang sekarang.”

“Kau tunggu di lobi, aku harus berputar dan menyerahkan ini pada Luna.” Richard mengambil tiga map yang ditumpuk dimeja.

Zaffya mengangguk singkat. Berjalan keluar menyembunyikan ketidaksukaannya. Ia tidak suka Richard bertemu Luna, tapi ia lebih tidak suka mengikuti Richard bertemu wanita itu seolah ia menempel pada Richard. Mungkin, ia harus mulai terbiasa menggantungkan kepercayaannya pada Richard. Jika tidak ingin mati berdiri karena kecemburuan yang menggila.

 

****

 

Lampu merah menyala dan Richard menginjak pedal rem. Satu tangannya menarik tangan Zaffya dan menggenggamnya. “Apa yang kaupikirkan?”

Zaffya membalas genggaman dan tatapan Richard dan bertanya kembali, “Apa?”

“Kau menciumku sambil memikirkan sesuatu yang lain.” Richard mengungkapkan ketidaknyamannya. Ya, meskipun hal itu tidak mengurangi hasratnya pada bibir Zaffya, ia merasa ada yang aneh dengan ciuman Zaffya. Richard berpikir mungkin urusan pekerjaan.

Zaffya terkejut. Richard terlalu peka dengan perasaan dan pikirannya yang melayang. Pembicaraanya dengan Vynno ternyata mengusiknya lebih dari yang ia pikirkan.

“Urusan pekerjaan?”

Zaffya menggeleng. “Semua berjalan lancar seperti seharusnya.”

“Lalu?”

Zaffya terdiam sesaat. Menimbang apakah ia harus memastikan hal tersebut pada Richard sendiri.

Lampu berubah hijau dan Richard kembali berkonsentrasi pada jalanan.

“Apa kau mengenal Raka Sagara?”

Richard tampak berpikir. Raka Sagara? Telinganya terasa familiar dengan nama Raka, tapi ia tidak mengenal siapa itu Raka Sagara. “Tidak.”

Zaffya menyamarkan kelegaannya sambil memutar kepala ke depan.

“Kenapa?”

“Tidak.”

“Siapa dia?”

“Bukan siapa-siapa.”

Hening kembali.

“Bagaimana Dania?” Zaffya mengubah topik pembicaraan yang lebih aman sebelum Richard menyadari hubungan Sagara antara Raka dan Dewa kemudian menanyainya lebih lanjut.

Kali ini wajah Richard berubah cerah. “Dia menghubungiku siang tadi, dan akan makan malam di apartemen untuk menjelaskan.”

“Sepertinya kau juga harus menjelaskan sesuatu padanya.”

Richard mengangguk. “Dia sangat antusias tentang kita. Berita ini tak akan mengejutkannya.”

Zaffya tak bisa tak mengungkapkan keterkejutannya. Tak tahu harus senang atau sebaliknya seperti yang ia rasakan tentang reaksi mama Richard saat tahu mengenai pernikahan mereka.

“Apa kita harus mampir ke supermarket membeli sesuatu untuk makan malam?”

Zaffya menengok jam tangannya. Kurang dua jam menjelang jam makan malam dan ia tak bisa mengatasi dapur beserta segala macam bencananya. “Sebaiknya ke restoran langgananku saja.”

“Ya.”

 

3 Komentar

  1. ALriisaDafychi menulis:

    Huwaaaa.. ketemu author @luisanazaffya di siniiiiii :kisskiss

  2. :berharapindah

  3. Ya eaaa