“Rich, apa kau tahu di mana Dania? Dia tak mengangkat panggilan Mama sejak tadi malam. Mama takut sesuatu terjadi padanya.”
“Mungkin hanya terlalu sibuk dengan skripsinya.” Richard melepas jas putihnya dan menggantungkannya di punggung kursi.
“Benarkah?”
“Ya, kami ada janji untuk makan malam. Richard akan menanyakannya.”
Desahan lega berembus dari seberang.
“Ma?” Panggilan Richard memecah keheningan yang sempat muncul. Mungkin ini waktu yang tepat untuk memberitahu mamanya tentang kabar gembiranya dengan Zaffya, atau tidak.
“Ya?”
“Euhm,” Richard mencoba menimbang-nimbang lagi. Duduk di kursinya dan mencari posisi yang nyaman. Ya, mungkin ia melakukan hal gila dengan menikahi Zaffya secara sembunyi-sembunyi. Ia terlalu terlarut dengan kebahagiaan yang di tawarkan wanita itu hingga kehilangan akal sehat. Namun, jujur ia tak menyesal. Tak akan menyesal dan seandainya ia dihadapkan pilihan yang sama di masa lalu atau pun masa depan ia akan tetap memilih pilihan yang sama.
“Kami. Maksudnya Richard dan Zaffya.” Richard berhenti sejenak, mengusap wajahnya sekali. Takut akan reaksi yang diberikan mamanya. “Kami bertemu dan sepakat untuk menjalin hubungan kembali.”
Raya terdiam selama beberapa saat. “Mama tidak akan berkomentar apa pun, Rich. Kau tahu hal yang paling Mama inginkan untukmu adalah bahagia entah dengan siapa pun itu. Tapi, apa kau yakin dengan pilihanmu?”
Richard mendesah perlahan. Tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja kaca. “Richard yakin dengan pilihan Richard kali ini. Termasuk dengan pernikahan kami.”
Terdengar suara tersekat, lalu Raya bertanya dengan terbata, “Aa … apa?”
“Kami menikah. Sebenarnya sudah. Kemarin.”
“Richard?” Panggil Raya dengan penuh peringatan dalam nada suaranya yang mulai naik.
“Maafkan Richard, Ma. Sesuatu terjadi dan kami … ya, kami berakhir saling mengucap janji di depan pendeta.”
“Apa kau tahu apa yang kaulakukan?”
“Richard sadar.”
“Lalu?”
“Richard yakin tak akan pernah menyesali keputusan Richard kali ini.”
“Tapi apa kau tahu apa yang kauhadapi?”
“Kami berdua tahu apa yang akan kami hadapi.”
Hening, cukup lama hingga suara deheman dari arah pintu menarik perhatian Richard dari panggilan sang Mama. “Richard berencana bertemu dengan Mama. Dalam waktu dekat, tapi jadwal Rich terlalu penuh.”
Zaffya berjalan masuk dengan kikuk. Membalas senyuman dan lambaian tangan Richard dengna senyum yang tak kalah lebarnya. Lalu duduk di sofa panjang, berusaha merasa tak terganggu dan tak terlalu penasaran dengan seseorang yang berbicara dengan Richard.
“Mengapa mama merasa khawatir? Mungkin mama yang harus menemuimu.”
Richard membelalak. “Mama tak perlu sekhawatir itu.”
“Tidak, mama akan menemuimu. Mungkin dalam waktu seminggu ini. Mama ingin kalian menjelaskan semuanya dengan lebih mendetail.”
“Ta …”
“Apa papamu tahu?”
“Richard belum sempat menemui papa.”
“Huh? Kau tidak sempat menemui papamu tapi kau punya banyak waktu untuk merusak hubungan pasangan yang akan menikah dan malah menikahi calon istri orang lain. Ini sama sekali bukan Richard yang mama kenal.”
Richard terdiam. Bahunya turun dengan lunglai dan mencoba menghindar dari tatapan penuh ingin tahu yang Zaffya lemparkan dari seberang sana. Ia tak berharap reaksi mamanya akan seserius ini. Sekecewa itukah mamanya terhadap keputusan yang ia ambil?
“Bagaimana pun, setidaknya biarkan mama menemui calon … oh tidak. Astaga Richard, menantu mama.”
“Richard akan menunggu Mama.”
“Oke, mama akan menghubungimu secepatnya.”
“Hmm, baiklah.”
“Sampai jumpa.”
Richard mengangguk.
“Oh, jangan lupa memastikan Dania menghubungi mama,” tambah Raya sebelum benar-benar mengakhiri panggilan.
Richard mengurut keningnya dua kali sebelum berdiri dan menghadapi Zaffya. Duduk di samping wanita itu setelah mendaratkan kecupan ringannya di bibir.
“Ada apa?” Pertanyaan Zaffya menahan Richard untuk tak melakukan hanya sekedar kecupan ringan di bibir.
“Mama akan menemui kita.”
Mata Zaffya melebar dan mengulang, “Mamamu?”
Richard mengangguk. “Sekarang mama mertuamu.”
“Kapan?”
“Belum pasti, tapi dalam waktu dekat.”
“Lalu?”
“Lalu?” Richard balik bertanya.
“Apa yang harus kupersiapkan? Apa yang harus kulakukan?”
“Zaff!” Richard memegang kedua bahu Zaffya dengan kepanikan yang mulai muncul. “Bukankah kau sudah pernah bertemu dengan mamaku sebelumnya?”
“Ya, dengan kesan buruk yang mungkin masih membekas di ingatannya.” Zaffya mengetuk-ngetukkan telunjuknya di paha. Menyalurkan kegugupan yang mulai merayapi hatinya. Ya, pertemuan terakhirnya dengan mama Richard bukanlah hal yang bagus untuk diingat. Belum dengan hal buruk yang dilakukan mamanya pada Richard, pasti mama Richard mengetahui semua itu.
“Bukan berarti mamaku harus membencimu, bukan? Mungkin kau harus mengenal mamaku lebih dekat.”
Zaffya terdiam, meskipun kegugupan itu masih tersisa.
Tok … Tok … Tok …
Perhatian keduanya teralih pada pintu.
“Masuk,” jawab Richard.
Pintu terbuka dan sosok Luna yang terkejut dengan keberadaan Zaffya membuatnya berdiri dengan kikuk. Zaffya pun terkejut, tapi kegugupan tentang pertemuannya dengan sang mama mertua masih lebih besar
“Hai, Lun. Ada apa?”
“Apa aku mengganggu?”
Panggilan Richard pada wanita yang berdiri canggung di dekat pintu terbuka mengalihkan perhatian Zaffya sepenuhnya. Lun? Mungkinkah wanita itu … Zaffya mengamati lekat-lekat wajah wanita itu. Pantas saja wajah wanita itu sangat familiar, wanita itu adalah Luna. Teman dekat Richard.
Jadi, selama delapan tahun berpisah, hubungan Richard dan Luna tak pernah berakhir? Bahkan mereka sama-sama menjadi seorang dokter. Di rumah sakit miliknya.
Richard menggeleng. “Kemarilah.” Richard menarik tangannya dari pundah Zaffya serta menatap Luna dan Zaffya bergantian. Kejadian tadi pagi pasti cukup membuat udara di sekitar mereka bertiga dipenuhi kecanggungan. “Zaf, ini Luna. Lun, ini Zaffya. Kalian pernah saling mengenal sebelumnya, bukan.”
Luna mengangguk sekali mengiyakan. “Hai, Zaf,” sapa Luna dengan suaranya yang hampir tak terdengar oleh Zaffya. Senyum Luna tampak dipaksakan. Tatapannya juga masih sendu meskipun make up menutupi sebagian kepucatan wajahnya. Rasa sakit yang menghimpit dadanya semakin tak tertahankan dengan kemesraan Richard dan Zaffya di tempat tertutup seperti ini. Namun, sepuluh tahun persahabatan yang ia jalin dengan Richard tak akan ia putuskan begitu saja. Semua hal yang sudah ia korbankan untuk Richard tidak akan berakhir begitu saja.
Zaffya merasa Richard tak perlu memperkenalkan mereka berdua seperti ini. Zaffta tetap mengangguk pelan dan berusaha tersenyum meskipun setipis kulit ari. Bayangan tentang bibir Luna dan Richard yang bersentuhan masih begitu membekas di ingatannya. Sekuat tenaga ia menahan sikap sinisnya dan memilih membuang wajah ke samping, memberikan Richard dan Luna sedikit privasi. Dan hanya sebatas ini yang bisa ia berikan pada Luna.
Well, tiba-tiba saja godaan untuk menyuruh Vynno memecat Luna terasa sangat menggiurkan. Bagaimana ia bisa hidup dengan tenang jika waktu Luna dan Richard lebih banyak dibandingkan dengan dirinya di apartemen Richard.
Richard tersenyum masam dengan sikap dingin Zaffya yang tak mau repot-repot membalas sapaan Luna. “Ada apa?” tanya Richard mengalihkan perhatiannya sepenuhnya pada Luna.
“Aku hanya sebentar.” Luna menunduk dan menyodorkan dua berkas dengan map berwarna merah kepada Richard. “Kau perlu melihat berkas ini. Hasil CT scan pasien yang kau minta.”
Richard membuka berkas teratas dan melihatnya sekali sebelum kembali menutupnya. “Terima kasih.”
“Ya, kurasa aku harus segera pergi,” pamit Luna.
“Kau tak perlu bersikap sedingin itu, Zaf.”
“Seharusnya memang tak perlu. Jika kau bisa menjaga jarak dengan siapa pun dan masih ingat kau suami seseorang dua puluh empat jam yang lalu.”
“Dia sahabatku.”
“Bagiku dia tetaplah seorang wanita yang mencintai suamiku.”
“Zafff …”
“Apa aku salah?”
“Kami … Apa kau tak memercayaiku?”
“Aku tak ….”
“ … tak percaya orang disekitarku?” Richard menyelesaikan kalimat Zaffya lebih dulu.
Zaffya mengangguk mantap.
Richard mengembuskan napas pelan. Memutar tubuhnya menghadap Zaffya dan menggenggam kedua tangan istrinya. Mengecup kedua punggung telapak Zaffya bergantian sebelum mengunci tatapan istrinya.
Zaffya merasakan cinta yang begitu besar dan tak terhingga di mata Richard untuknya. Akan tetapi, semua itu masih tak cukup menekan rasa cemburu yang selalu ada ketika ada wanita lain menatap Richard lebih dari seharusnya. Ya, fisik dan wajah Richard memang selalu mengundang wanita mana pun menolehkan kepala dua kali. Ditambah kebaikan dan kelembutan pria itu. Zaffya kehilangan ide untuk menjauhkan mereka dari miliknya.
“Luna, dia tak punya siapa pun selain diriku.”
“Sayangnya aku tak suka berbagi, Richard. Apa lagi harus membagi suamiku.”
“Hubungan kami tak pernah seperti yang kau bayangkan.”
“Apakah itu yang kaupikirkan ketika Dewa menciumku?”
Richard merasa ditarik paksa menembus ingatannya delapan tahun yang lalu. Lalu, dia mengangguk dan menjawab, “Karena aku memercayaimu.”
Bibir Zaffya membeku.
“Hanya itu yang kubutuhkan untuk tetap bertahan selama delapan tahun ini.”
Zaffya diam dalam kebisuan. Di antara rentang waktu delapan tahun ia tenggelam dalam kerinduan dan penantian yang panjang, tak pernah sekalipun ia berpikir bahwa Richard juga tengah merindukannya. Bahwa masih ada dirinya di hati pria itu meskipun hanya sebuah kenangan yang patut disimpan. Merasakan keputusasaan dengan semua cinta yang masih tetap memilih tinggal di hati. Jika suatu saat mereka bertemu dan berpapasan di jalan, Zaffya berpikir Richard sudah melanjutkan hidupnya dan bahagia dengan pengganti dirinya. Meskipun dia masih tetap di tempat dan pasti akan tenggelam dalam kecemburuan dengan sosok lain yang menggeser dirinya di hati pria itu.
Akan tetapi, pria itu masih tetap di tempat. Tak melanjutkan hidup seperti dirinya. Perbedaannya, jika dirinya selalu dipenuhi ketakutan dan keraguan tentang Richard, Richard memilih percaya bahwa cintanya untuk pria itu tak pernah hilang atau pun berkurang sebagai pelipur lara dalam kerinduan dan kesunyian pria itu.
Hati Zaffya tertohok. Kepercayaan Richard padanya terlalu besar, membuat Zaffya merasa menciut kecil dan tak berdaya. Tiba-tiba merasa tak pantas.
“Tidakkah kau merasa bahwa kau bertanggung jawab dengan hidup dan cintanya?”
“Apa kau berpikir aku tak bisa membedakan antara cinta dan sayang?”
“Sejujurnya, bagiku tak ada bedanya.”
“Bedanya, seperti kau melihatku dan Ryffa atau Vynno.”
Zaffya sudah membuka mulutnya untuk memprotes, tapi Richard lebih dulu membungkam protes Zaffya dengan bibirnya.
****
“Ada apa, Tania?” tanya Dewa saat langkah sekretarisnya terhenti dan ia hampir menabrak tubuh mungil itu. Jika tidak ingat tentang kesetiaan wanita itu menemaninya selama bertahun-tahun ini, Dewa yakin akan memecat Tania detik ini juga hanya karena tidak bisa mengontrol emosinya. Sejak Dewa tahu bahwa dirinya benar-benar kehilangan Zaffya, ia selalu dalam mode siap tempur. Tak ada yang berani mengusiknya sedikit pun, dan itu lebih baik.
“Tuan, mu … mungkin kita bisa ….” Tania tergagap.
Dewa melirik melewati Tania yang berdiri di depannya. Wanita itu seakan ingin menutupi sesuatu di belakangnya dengan tubuhnya yang mungil. Sungguh tindakan yang konyol dengan badannya yang menjulang tinggi besar.
Amarah itu sangat besar, hingga rasanya Dewa tak sanggup menahannya lebih lama. Mendapati dua sosok yang dengan mesranya berdiri tak jauh di ujung lorong rumah sakit.
Ternyata hanya butuh satu minggu bagi Zaffya untuk meraih kebahagiaan wanita itu dan memamerkan pada dirinya. Seakan tidak ada lagi kepingan-kepingan hatinya yang tersisa untuk Zaffya hancurkan, dengan senyum tanpa dosa wanita itu tersenyum pada pria di sebelah, yang membalas tatapan Zaffya dengan penuh binar cinta. Sejak awal senyum dan tatapan berseri penuh cinta itu memang bukan miliknya. Tujuh tahun memiliki tubuh Zaffya nyatanya tetap tak mampu membuat Dewa memiliki tatapan itu.
Dewa dibuat terkejut untuk kedua kali ketika tatapan matanya terarah pada kedua tangan Richard dan Zaffya yang saling terpaut. Terpusat pada cincin yang terselip di jari manis mereka. Saat itulah hatinya benar-benar hancur lebur dan udara direbut paksa dari paru-parunya.
Ini versi yang ada dewa dania ya?
Can’t wait for the next chapter ?
yuppp
Richard