Vitamins Blog

Destiny of Cyber (2)

Bookmark
Please login to bookmark Close

Devanna menghabiskan waktu berjam-jam dalam perpustakaan hanya untuk menatap layar laptop dengan pikiran kalut dan tatapan kosong layaknya menunggu waktu eksekusi mati untuk terdakwa. Raganya memang sedang duduk disana, tapi pikirannya melalang buana mencari solusi untuk menghindari pertemuan yang tidak dia inginkan sama sekali. Devanna hanya ingin hidupnya damai, dan segera lulus tahun ini. Ya itulah yang diinginkannya dan selalu menjadi problema setiap mahasiswa tingkat akhir, yang masa esksistensinya hampir kadaluarsa. Wajar saja,  jika ia ingin segera lulus karena memang sebagian besar dari temannya sudah di wisuda. Dan beberapa sudah mulai meniti karir selepas kuliah.  Namun apa yang dia lakukan sejak 6 jam yang lalu adalah sebuah penistaan untuk dirinya, yang telah berniat untuk lebih rajin dalam melakukan riset dan lebih sering berada di perpustakaan untuk mencari  beberapa referensi yang diperlukan.

Beberapa kali Devanna mengecek dan  melihat notifikasi pesan di ponselnya. Terlintas dalam benaknya untuk memblokir nomor lelaki itu atau bahkan mengganti nomornya untuk sementara waktu. Namun lagi-lagi perasaannya yang menang. Ia tak mampu melakukan itu.

Devanna hanya bisa berdoa, agar pesawat yang ditumpangi lelaki itu mengalami kendala, sehingga jadwal terbangnya tertunda. Atau jika perlu, biar saja pesawatnya kecelakaan.  Jahat memang, tapi hanya itu yang bisa Devanna lakukan. Terkadang pikiran kacau dan terdesak, bisa membuat seseorang berpikir nekat.

Jarum jam kian mendekati waktu sore. Satu per satu dari mahasiswa kembali menuju ke rumah masing-masing atau tempat sementara yang biasa disebut dengan kost-kost-an. Harganya lebih terjangkau untuk kalangan mahasiswa. Begitu juga dengan Devanna yang memilih tinggal berdua dengan teman satu Universitas namun beda fakultas itu, dalam sebuah kamar berukuran sedang, di sekitar lokasi kampus.

Devanna menoleh dan memperhatikan keadaan perpustakaan yang lengang. Hanya tersisa dirinya seorang. Temannya yang bernama Anggun itu juga sudah pergi entah kemana.

Ia menghela nafas untuk mengusir bayang-bayang tentang lelaki sialan itu yang telah mengacaukan tugas, dan konsentrasinya hari ini. Devanna yakin hari-harinya akan lebih kacau lagi dengan keberadaan lelaki asing itu nantinya .

Devanna melihat jam di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan 15:45 sore. Sudah saatnya untuk Devanna pulang. Devanna mulai merapikan buku beserta laptop miliknya, namun di tengah kesibukannya, suara dering ponsel mengejutkannya. Hingga hampir saja laptopnya yang berharga itu terjun ke lantai. Ya jika itu terjadi, bukan hanya soal harga laptop yang mahal saja, tapi juga tugas skripsinya yang hampir setengah jalan ia kerjakan dengan susah payah, akan hilang tak membekas. Bagai tulisan di atas pasir pantai yang dilahap air laut. Yang artinya semua usaha dan perjuangannya itu berakhir dengan tragis dan sia-sia.

Devanna membaca nama kontak pemanggil yang muncul di layar ponselnya. “ Tika”

Devanna memutar bola matanya malas. Jangan salahkan ia yang benar-benar terkejut dengan suara dering ponselnya. Karena semenjak lelaki asing itu memberi kabar akan datang, Devanna menjadi sensitif pada bunyi suara ponselnya sendiri.

Devanna berdecak pelan dan memutuskan untuk menerima panggilan telepon dari teman satu kamarnya itu.

“Halo”

“Halo Dev, lo dimana? Gue nungguin lo dari tadi. Jadi kan nganterin gue belanja bulanan?

Belum sempat Devanna berucap ‘iya’, suara nyaring dari teman kamarnya itu langsung memenuhi telinga Devanna. Sehingga ia menjauhkan ponselnya dari telinga.

“ Aduh. Telinga gue pengang nih Tik, dengar suara lo yang cempreng itu” protes Devanna sambil mengusap-usap telinganya.

“  eh iya sorry, gue cuma takut lo gak jadi nganterin gue belanja. Tau sendiri kan, alat-alat make up dan yang lainnya udah habis.”

“bukan gak jadi Tikaku yang cantik, tapi gue lupa mau nganterin lo hari ini. Ada hal yang bikin pikiran gue gak fokus. Jangankan janji sama lo, tugas gue aja terbengkalai. Ya udah gue tunggu lo di gerbang kampus ya.”

“ Duh, Nenek mikirin apaan sih?”

“ Nanti gue cerita. Sekarang lo cepetan ke sini atau gue berubah pikiran ” ancam Devanna yang hampir habis kesabarannya pada teman satu kamarnya karena sifat cerewet-nya melebihi mpok-mpok di kantin ketika menagih hutang pada mahasiswa.

“Ok. Siap meluncur. Tunggu ya”

“ Ingat gak pake dandan!. Kita Cuma mau belanja bukan kondangan”. Ucap Devanna yang langsung mematikan sambungan telepon.

Devanna yakin jika ia tidak berkata seperti itu, ia akan menunggu Tika hingga 15 menit. Karena temannya itu selalu memakai make up. Bahkan jika ingin ke warung terdekat. Minimal bedak dan polesan lipstick merah akan dipakainya. Devanna tidak punya banyak waktu hanya untuk menunggu temannya selesai berdandan. Devanna justru heran jika mengingat tingkah Tika. Entah ke-feminiman Tika yang berlebihan atau memang dirinya yang tomboy. Tapi Devanna yakin dirinya tidak tomboy. Ia juga suka dengan bedak dan alat make-up lainnya. Namun ia lebih menyukai tampilan sederhana, baik dari pakaian ataupun riasan di wajahnya. Bisa dikatakan Devanna hanya menggunakan dua alat make-up untuk kesehariannya. Ia hanya memakai bedak dan lip cream yang warnanya menyerupai warna bibir.

Meski Devanna satu kamar dengan ratu make-up, dan Tika juga sering memaksanya untuk berani memakai alat make-up lain. Devanna tetap tidak pernah mau, karena hal itu membuatnya nyaman. Nyaman dengan kesederhanaan dan tidak menjadi perhatian banyak orang akan selalu jadi pilihan utama Devanna.

2 Komentar

  1. Bagusnya..

  2. Indah Narty menulis:

    Kenyamanan yang utama