“Alva!!! Sayang, kenapa kamu kotor-kotor gini?” Wanita itu berseru pada anak kecil yang kini hanya bisa menunduk menerima omelan sang ibu. Bajunya dipenuhi lumpur pun dengan rambut ikal serta wajahnya, ia betul-betul tertutupi lumpur.
“Sayang, jangan ngomel mulu, kamu nakutin tahu.” Tiba-tiba saja suara itu muncul dari pintu masuk sana, memperlihatkan sosok suami yang juga cukup belepotan dengan lumpur yang memenuhi celana dan bajunya.
“Ayah.” anak kecil itu berseru, berlari menuju sang ayah. Dengan sigap pria itu mendekap sang anak, mengendongnya.
“Ini nih rajanya. Kakak bukannya jagain anak malah ikut-ikutan ngelumpur!” Lami masih mengomel, memandang pria di hadapannya, yang hanya memandangnya dengan senyum lebar.
“Kok kamu makin cantik aja kalau lagi ngomel kaya gini.” Bukannya menanggapi istrinya, Kafi malah tersenyum semakin cerah dan mengoda sang istri. Lami mendengus begitu mendengar rayuan pria itu. Kebiasaan, kalau Lami mengomel seperti ini pasti si pria akan mengalihkan perhatian dengan memberikannya rayuan tak bermutu seperti tadi.
“Ngak mempan! Kakak kebiasaan deh ngalihin pembicaraan.” Lami bersedekap, mendengus sebal.
“Ibu, maafin Alva.” Anaknya berbicara mengalihkan perhatian. “Alva janji ngak bakal nakal-nakal lagi.” Anaknya itu masih tertunduk, bersembunyi dalam dekapan sang ayah, takut dimarahi sang ibu.
“Sayang, ibu ngak marah.” Lami mendekat, mengelus pipi yang berlumuran lumpur itu dengan sayang. “Anak ibu yang ganteng, ibu sayang banget sama Alva.” Lami tersenyum tulus, mengecup hidung itu sayang yang membuat sang anak tertawa geli. Anaknya langusung mendekapnya sayang, hingga tubuh mereka bertiga berdekatan, mendekap bersama. Tak dipedulikannya lagi tubuhnya yang juga ikut terkena lumpur, semuanya terasa membahagiakan. Lami yang kini berada dalam dekapan sang suami dan juga buah hati mereka.
“Waduh kayanya kita gangguin nih, kak.” Seruan itu mau tak mau membuat Lami mendongak dan tersenyum begitu melihat siapa pemilik suara itu.
“Tante Lena, Om Henry!” Sang anak berseru senang melambai-lambaikan tangan kepada om dan tantenya yang disambut senyum senang.
“Lenaaa” Lami berseru kekanakan, memeluk sang adik senang penuh kerinduan. Membuat Kafi serta Henry hanya mampu terkekeh geli melihat tingkah mereka berdua.
“Aduh kak lumpurnya jadi kena di aku juga nih.” Lena pura-pura merajuk, tapi tak urung juga membalas pelukan sang saudari dengan tak kalah erat, tersenyum senang dengan kerinduan yang sama.
Lami tertawa begitu melihat adiknya juga terkena lumpur karena ia memeluknya. Dengan sengaja ia menambah lumpur di wajah sang adik, tangannya sengaja mencubit gemas pipi Lena hingga lumpur juga belepotan di wajah itu.
“Kak Lami!!!” Lena berseru jengkel pura-pura, mempoutkan bibirnya kesal. Kali ini para pria tak lagi terkekeh, mereka tertawa melihat tingkah lucu kedua saudari kembar ini. Hingga akhirnya ruang tamu ini dipenuhi gelak tawa.
“Ayah! Alva mau mandi!!” Alva yang tak mengerti dengan apa yang ditertawakan para orang tua menyela. Memeluk leher sang ayah, ingin mandi. Sehingga keempat orang dewasa ini kembali tertawa mendengar celotehan kesal sang anak.
“Sayang, kamu juga ngak mau mandi? Aku juga siap kok mandiin.” Lami melotot begitu mendengar ucapan sang suami, mencubit lengan pria itu hingga Kafi sedikit meringis. Lena dan Henry hanya mampu tersenyum geli melihat tingkah keduanya.
“Sana, kakak mandiin Alva.” Lami berseru cepat, menepuk pundak pria itu agar segera naik untuk membersihkan diri.
“Kalau kamu berubah pikiran, kamu tinggal naik, oke?” Pria itu berkedip jenaka. Ia dengan cepat memberikan kecupan kilat di bibir sang istri, terkekeh geli begitu melihat wajah shock sang istri untuk beberapa detik. Melenggang pergi sebelum ia mendapat omelan lagi dari sang istri.
“Kak Kafi!!!” Lami berseru kencang begitu tersadar dari keterkejutan, namun sosok itu sudah terlihat lagi.
Lami memandang kesal begitu Lena dan Henry malah tertawa geli melihat dirinya. Mereka pasti menertawakan wajah shocknya itu.
“Udah ah ketawanya.” Lami berseru kesal, namun kedua pasangan di hadapannya tak berhenti tertawa juga, sengaja membuat Lami kesal. Pada akhirnya gadis itu juga hanya bisa tertawa geli, menertawakan dirinya, ikut larut dalam kebahagiaan.
Pada akhirnya seorang Laminata Verania dapat menyatukan takdirnya, berdamai dengan kehidupannya, merangkul takdirnya, seluruh takdir yang membawanya pada kebahagiaan, Kepada kehidupannya yang sangat berharga.
Terima kasih takdirku, karena membiarkanku merangkulmu kembali, karena membiarkanku menjalanimu lagi, terima kasih karena telah berdamai denganku. Kali ini aku akan menjalaninya sepenuh hati, kali ini aku akan hidup di dalamnya, berjalan bersamanya hingga ujung yang engkau tentukan.
Laminata Verania
END
❤❤❤❤❤
Manissss