Gadis itu perlahan mengerjap, membuka matanya . Kini mereka berada di sebuah taman di malam hari. Cahaya rembulan menghiasi malam itu dengan beberapa lampu dengan nyala sedikit berpendar ikut menerangi pun dengan angin malam yang menusuk dingin.
“Aku hamil, kak.”
Lirihan seorang gadis di malam yang sunyi ini mau tak mau terdengar dan memaksa Lami berbalik mengikuti sumber suara itu. Semakin ia melangkah dapat dilihatnya seorang gadis berdiri gugup di hadapan pria yang Lami hanya dapat lihat punggungnya. Lami mendekat dan begitu melihat wajah gadis gugup itu ia tercekat. Walaupun ingatannya tentang sosok itu ingin dilupakan, namun sosok itu tak bisa disangkal adalah wanita yang melahirkannya, ibu yang tak menginginkannya.
“Lalu apa masalahku?” Ucapan pria itu dingin dan tak peduli, membuang muka seolah muak dengan gadis di hadapannya.
“Tapi kak..ini anak kita…” Si gadis berusaha meraih tangan sang pria, namun ditepis dengan kasar. “Kau bahkan bersedia tidur denganku, bagaimana dengan pria lain di luar sana, huh? Aku tak yakin hanya aku yang menyentuhmu!”
Tamparan keras telak mengenai pria itu, si gadis memandang terluka, setetes demi setetes air mata mulai membanjiri dirinya.
“Kak..kau yang paling tahu bahwa aku hanya mencintaimu, aku bahkan rela memberikan hartaku yang paling berharga..mengapa kau tega mengatakan itu..?” Gadis itu terisak pelan, begitu terluka mana kala pria yang dikira mencintainya juga tega mengatakan hal sekejam itu pada dirinya.
“Kau pikir aku akan menikahmu begitu? Kau yang seorang gadis rendahan, huh? Jangan bermimpi!” Pria itu mendengus merendahkan. “Kau adalah gadis yang bodoh.”
Gadis itu hanya bisa memandang nanar pria di hadapannya. Menahan gejolak untuk menangis histeris. Ia memang bodoh menyerahkan segalanya pada pria brengsek yang menginjak-injak dirinya serendah mungkin.
“Aku akan memberikanmu uang, setelah itu gugurkan kanduganmu dan jangan pernah menemuiku lagi.” Pria itu kembali berucap sinis, membalikan badan siap untuk meninggalkan gadis di hadapannya.
Lami tercekat begitu pria itu berbalik dan berdiri tepat di hadapannya. Udara di sekitarnya seolah menipis meihat dengan jelas sosok pria biadab yang telah berkontribusi dalam kehidupannya yang menyesakan dada.
“Benar, dia adalah ayahmu.” Anak kecil yang sedari tadi ikut memperhatikan berucap datar, duduk di sebuah ayunan tak jauh dari tempat Lami juga menyaksikan.
“Dia tak pantas disebut seperti ayah.” Lami berucap tajam, memandang dengan penuh kebencian sosok di hadapannya ini.
Pria itu dengan tiba-tiba kembali berbalik, berdiri tepat di hadapan gadis yang kini hanya memandangnya penuh amarah dan kesedihan. Jemarinnya perlahan menyentuh dagu gadis itu, hingga pandangan mereka akhirnya bertemu.
“Jika kau berani macam-macam mengancamku dengan kandungan sialanmu itu, maka aku akan membunuhmu.” Pria itu memandang bengis. “Tak hanya dirimu, aku juga akan membunuh kakakmu, aku akan menghancurkan hidupmu lebih dari ini. Kau mengerti, huh?”
Cengkraman pada dagu gadis itu semakin mengeras, menyakitinya tanpa ampun pun dengan ancaman yang mengerikan diucapkan tanpa belas kasihan oleh pria itu. Hingga pada akhirnya gadis itu hanya bisa mengganguk dengan gemetar tak mampu berkata-kata. Setelah merasa puas, pria itu menyetak pegangannya dengan kasar, tersenyum meremehkan dan merendahkan.
Pria itu kembali berbalik, kali ini melangkah tanpa menoleh lagi. Menembus tubuh Lami yang hanya bisa terpaku memandang gadis di hadapannya yang tak mampu lagi menahan emosi dan menangis sejadi-jadinya. Gadis itu menangis tersedu-sedu, hanya mampu menyesali kebodohannya jatuh pada cengkraman pria biadab yang hanya memaanfaatkannya.
“Ibumu adalah gadis bodoh.” Anak kecil itu bergumam pelan. “Baiklah, kita akan melihat hal lainnya.”
Kali ini Lami kembali tertarik, hanya sedetik ia telah berpindah ke dalam sebuah rumah, rumah yang terasa asing namun pernah menjadi tempatnya dulu.
Ini adalah rumah bibi dan wanita itu…
***
“Kamu hamil!?”
Lami tanpa sadar menoleh ke arah sumber suara di dalam sebuah ruangan yang tertutup setengah. Ia melangkah mendekat, dan seperti dugaannya itu adalah suara sang bibi dengan keterkejutan yang tak dapat ditutupi pun dengan gadis itu, yang Lami tak ingin akui sebagai ibunya hanya mampu terduduk di pinggiran ranjang menahan tangis.
“Aku harus gugurin kandungan ini.” Gadis itu berucap dengan cepat. “Aku ngak mau berakhir kaya gini.”
“Kamu gila?” Suara bibinya meninggi. “Apa kamu mau jadi pembunuh? Bayi yang ada dalam kandunganmu berhak untuk hidup.”
“Mau hidup pake apa, kak?” Gadis itu menghela nafas. “Emangnya pria brengsek itu yang mau ngidupin? Ngak kan. Kita juga orang miskin kak…aku ngak mau ngorbanin kuliah, masa depan aku, kak.”
“Vera, bayi itu ngak salah apa-apa. Kamu tetap harus bertanggung jawab. Kita bisa cari uang sama-sama.” Bibinya kembali berucap, ikut duduk di samping sang adik, menggengam tangannya menguatkan.
“Cari uang sama-sama?” Gadis itu menyentak kasar tangan kakaknya. “Emang apa pekerjaan kakak? Kakak cuman pembantu di panti asuhan.” Gadis itu berdiri. “Kak, aku punya masa depan, dan ngak akan kuhancurkan cuman untuk bayi pria brengsek itu”
“Vera! Itu juga bayi kamu! Kamu juga harus bertanggung jawab!”
Lami hanya memandang miris pada pertengkaran bibi dan gadis itu. Semuanya sama saja, pria brengsek dan wanita yang ada di hadapannya ini, semuanya hanya orang-orang egois yang ingin lari dari tanggung jawab. Memangnya Ia dan Lena ingin dilahirkan dari orang tua yang bahkan ingin membunuhnya? Mereka berdua hanya ingin berbuat dan setelahnya lari dari tanggung jawab. Kalau pun masa depan gadis itu hancur, itu semua adalah kesalahannya yang begitu bodoh terperdaya oleh pria brengsek itu.
Sebelum gadis itu membuka suara, terdengar ketukan di luar sana. Bibinya pun berdiri, berjalan untuk membuka pintu, meninggalkan gadis itu yang hanya berdiri mematung. Lami dengan cepat ikut mengikuti langkah sang bibi, dirinya bahkan merasa tak sanggup berada berdua saja dengan wanita itu.
Bibinya membuka pintu, menyambut tamu itu dengan ramah, seorang pria. Ketika pada akhirnya ingatan masa kecil samar-samar Lami perlahan menjelas. Lami tersenyum cerah ikut menyambut pria itu.
“Ayah.” Ucap Lami dengan riang, tak dapat menyembunyikan perasaan sangat bahagianya begitu melihat lagi pria di hadapannya.
***
Lami tak dapat menahan senyumnya mana kala ayahnya, pria yang lebih pantas disebut ayah kini berada di hadapannya. Pria ini adalah sosok ayahnya. Lami juga tak dapat mengetahui dengan jelas bagaimana hubungan ayah dan gadis itu maupun bibinya karena usianya yang masih belia. Tapi pria ini yang menjadi sosok ayahnya. Ayah yang sangat menyanginya, bermain bersamanya dan Lena serta menjaga mereka dengan penuh kasih sayang. Namun diusia yang ke 4 tahun pria itu pergi, dulu Lami hanya mengira ayahnya pergi bekerja jauh di sana, barulah ketika ia semakin dewasa ia mengerti bahwa ayahnya telah meninggal dalam sebuah kecelakaan, pergi dan tak akan kembali lagi. Sepertinya memang orang-orang baik terbiasa pergi terlebih dahulu. Dan pada akhirnya ia pun juga mengetahui bahwa pria yang ia anggap sebagai ayah bukanlah ayah kandungnya.
Walaupun begitu bagi Lami, saat-saat 4 tahun masa kecilnya adalah masa yang begitu indah untuk ia kenang. Sebuah ingatan yang walaupun semakin samar seiring berjalannya waktu, ingin dikenang selamanya oleh Lami.
“Sepertinya kau izin dari panti, yah? Tadi aku datang ke panti dan kau tak ada di sana.” Ayahnya berucap pelan. Ia yang bekerja sebagai petugas pemadam kebakaran juga sering mengunjungi, lebih tepatnya menjadi relawan di panti asuhan tempat bibinya bekerja.
“Ah..iya. Aku memang mengambil cuti hari ini.” Bibinya berucap pelan, pikirannya seperti terpecah dan itu dapat dibaca oleh pria di hadapannya.
“Terjadi sesuatu?” Pria itu bertanya khawatir, sepertinya firasatnya benar, bahwa gadis di hadapannya ini tengah dirundung masalah.
Sebelum gadis itu membuka suara, terdengar suara erangan kesakitan dari arah kamar Vera, adiknya. Ia dan pria itu saling melempar pandangan khawatir yang sama.
Lisa berbalik cepat, segera menuju ke kamar adiknya disusul oleh Rehan. Lami pun sama terkejutnya ketika mendengar suara erangan kesakitan itu, ia pun mengikuti langkah bibi dan ayahnya ke kamar itu.
Mereka bertiga sama-sama terkejutnya begitu melihat Vera terbaring di ranjang menahan kesakitan. Terdapat pil-pil yang sepertinya telah diminum gadis itu berserakan di lantai. Lisa menyeru kaget segera mendekat ke arah adiknya, pun dengan Rehan yang juga mendekat dengan kekhawatiran yang sama.
“Kak, kita harus segera bawa Vera ke rumah sakit!” Lisa berseru cepat, kepanikan seolah menguasainya mana kala melihat adiknya menahan kesakitan pun dengan darah yang mulai mengalir di bawah sana menembus gaun yang ia kenakan. Dengan sigap Rehan mengangkat tubuh itu, bergegas menuju rumah sakit diikuti Lisa.
“Ayo kita ke sana.” Sebelum Lami sempat berkata, anak kecil yang tadinya hanya memperhatikan di ujung ruangan berucap pelan, menjentikan jarinya dan dalam sedetik mereka telah berada di sebuah ruang UGD rumah sakit dengan wanita itu terbaring serta bibi dan ayahnya yang berdiri menunggu.
***
“Jadi Vera hamil?” Rehan bergumam pelan tak dapat menyembunyikan keterkejutannya setelah mendengar semuanya dari Lisa. Vera meminum sebuah pil yang entah dari mana didapatkannya, sebuah pil keras yang mampu menggugurkan kandungan. Untung saja dirinya cepat di bawah ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan, kalau tidak mungkin bukan hanya bayi dalam kandungannya yang mati tapi dirinya juga bisa mati karena mengalami pendarahan hebat.
Akhirnya Lisa menceritakan semuanya, kehamilan Vera dan pria brengsek yang tak ingin bertanggung jawab, juga betapa Vera tak mengingkan kandungan itu dan ingin menggugurkannya. Pada akhirnya mereka hanya terdiam untuk waktu yang lama, sama-sama larut dalam pemikiran masing-masing.
Lami perlahan melangkah mendekat, terpaku pada wanita yang kini terbaring lemah di ranjang dengan infus yang membantunya. Wanita ini sepertinya memang sama sekali tak menginginkan dirinya dan Lena. Walaupun ia memang telah mengetahui bahwa ibunya tak menginginkannya, tetap saja rasanya sakit ketika melihat langsung dengan mata kepalanya sendiri bahwa wanita ini dengan tega meminum sebuah pil untuk membunuh kandungannya, membunuh dirinya dan Lena.
“Aku akan bertanggung jawab.” Rehan berucap mantap, memecah keheningan. Lisa memandang terkejut pada pria di hadapannya, mencari kebercandaan dalam perkataannya, namun pria itu memandang tepat di matanya, dengan keseriusan yang tak terbantahkan.
“Kak, ini masalah serius..kakak jangan bercanda.” Lisa menghenbuskan nafas kasar. “Kakak juga harus memikirkan diri kakak.”
“Apa aku terlihat bercanda, Lisa?” Pria itu berucap datar “Dengan aku menikahi Vera, ia akan tetap melanjutkan kuliahnya tanpa menanggung malu. Ia akan tetap mendapatkan masa depannya.” Pria itu kembali berucap dengan sangat serius. Lisa hanya memandang tak percaya.
Lami pun juga tak dapat menutupi keterkejutannya mendengar penuturan ayahnya. Jadi itulah mengapa pria di hadapannya menjadi ayahnya, ia bertanggung jawab atas kesalahan yang sama sekali tak ia perbuat.
“Apa kakak kasihan? Kasihan melihat Vera jadi kakak lebih memilih mengorbankan perasaan kakak….dan juga perasaanku?” Lisa memandang terluka, tanpa sadar air mata menetes dari netra coklat itu, sebuah kesedihan nyata terpatri jelas, menyesakan hati.
“Lisa..” Rehan berucap lirih, merasakan kesakitan yang sama “Vera adik kamu..apa kamu tega ia seperti ini? Apa kamu ingin melihat dia menderita seperti ini? Bahkan dengan tega ia ingin membunuh bayinya…jika ia punya seseorang untuk bertanggung jawab maka ia bisa melanjutkan hidupnya.”
“Lalu bagaimana denganku, kak? Apa aku tidak menderita? Pria yang kucintai ingin menikahi adikku? Apa aku tak menderita?” Kali ini Lisa tak mampu lagi menahan tangisnya, walaupun ia berusaha meredamnya sekalipun.
Lami memandang tak percaya pada apa yang ia lihat, tanpa sadar membekap mulutnya terkejut. Jadi ayah dan bibinya saling mencintai? Tak hanya berkorban untuk kesalahan yang tak diperbuat, mereka juga harus rela berkorban perasaan? Lami pun tanpa sadar terisak dalam diam. Bibinya kini juga terisak dalam diam pun dengan ayahnya yang hanya bisa memandang dengan kesakitan yang sama, tak tahu harus berbuat apa.
Gerakan di ranjang itu perlahan memecah kesedihan yang terbentang di antara mereka. Gadis itu perlahan mengerjapkan matanya, mengumpulkan kesadaraan. Ketika pada akhirnya kesadaran telah menguasainya, ia memegang perutnya. Bukan mengkhawatirkan keadaan kandungannya, melainkan mengharapkan kandungan itu telah lenyap dari perutnya.
“Vera, kau tak apa?” Rehan berucap memecah keheningan. Memperhatikan gadis di hadapannya yang sepertinya telah sadar sepenuhnya.
“Apa kandunganku sudah lenyap?” Vera berkata cepat, tak peduli dengan kekhawatiran pria itu. Hanya berharap bahwa kandungannya lenyap tak membekas.
“Vera! Jangan berkata seperti itu!” Rehan mendesah kasar. “Kau tak seharusnya berusaha membunuh kandunganmu, itu adalah bayimu!”
“Tak usah sok peduli denganku” Vera mendengus tak peduli. “Seharusnya kalian tak membawaku ke sini, menyebalkan.” Vera bergugumam marah. Kandungannya nyaris saja lenyap, kalau bukan karena mereka berdua yang membawa mereka ke sini. Seharusnya ia meminum pil itu ketika sendirian, tetapi keinginannya untuk melenyapkan kandungan ini terlalu besar, ia ingin segera melenyapkannya.
“Jangan berucap seperti itu, Vera!” Lisa menghardik tegas. “Bukan hanya kandunganmu, kau juga bisa mati kehabisan darah jika kita tidak segera membawamu ke rumah sakit. Kau seharusnya tidak melakukan tindakan bodoh.” Lisa melanjutkan ucapannya dengan dingin.
Vera hanya memandang tak peduli, membuang muka muak. Memang siapa yang ingin diselamatkan? Kalau pun ia mati juga tak ada masalahnya, semuanya sama saja.
“Kerumitan manusia.” Anak kecil yang juga ikut memperhatikan di sisi lain ranjang, tepat di hadapan Lami berucap misterius. Setelahnya pandangan netra jingga dan kelam itu bertemu, dan sedetik kemudian mereka kembali berpindah, kali ini kembali ke rumah bibinya. Ruang tamu sederhana yang kini telah berada bibi, ayah, dan wanita itu.
***
“Apa? Aku harus menikahinya?” Vera menunjuk pria di hadapannya. “Yang benar saja.” Gadis itu mendengus kasar, membuang muka.
“Kamu tidak dalam kapasitas untuk menolak,
Vera!” Lisa berucap dingin. “Ini satu-satunya cara agar kamu tetap kuliah dan menjaga kandungan kamu.”
“Munafik!” Vera balas berkata dengan dingin. “Ah..jadi kakak sekarang ingin aku nikah sama cowok kakak buat nutupin aib aku, gitu?” Vera berucap mencemooh. “Munafik banget”
“Vera, ini juga demi kebaikan kamu.” Kali ini Rehan yang kembali berucap. “Kalau kamu memang terbebani dengan pernikahan ini, kamu bisa mengakhirinya kapan saja.” Pria itu menghela nafas “Tapi setidaknya untuk sekarang, kamu bisa tetap kuliah dan menjalani hidup kamu.”
“Sekarang kalian berdua ingin berkorban perasaan gitu? Jadi pahlawan untukku?” Vera bangkit dari duduknya, memandang tajam. “Aku ngak butuh belas kasihan kalian.” Vera mendengus kasar, bersiap melenggang pergi. Namun sebelum gadis itu memegang knop pintu kamar, lirihan kakaknya yang menyahut namanya sanggup membuat dirinya membeku sesaat.
“Kakak mohon, Vera….Kakak sayang sama kamu, kakak ngak mau kamu berakhir kaya gini..”
“Baiklah kalau itu mau kakak.” Vera berucap tanpa menoleh. “Aku harap kalian ngak akan menyesal.” Pintu itu kembali tertutup, berdentum keras. Menciptakan keheningan yang menyesakan.
***
Lami kemudian melihat kilasan-kilasan. Kilasan pernikahan wanita itu dan ayahnya, bagaimana mereka menjalani hidup mereka setelahnya. Wanita itu terus bersikap dingin, pernikahan yang hanya seperti sebuah ikatan formal tanpa perasaan. Kilasan bagaimana bibinya terkadang menangis dalam diam menahan kesakitan seorang diri. Ayahnya yang hanya bisa memandang wanita yang dicintainya dari jauh pun dengan bibinya yang hanya memandang terluka kepada pria dicintainya.
Kilasan wanita itu yang membenci kandungannya dari hari ke hari, tak ada satu pun kelembutan seorang ibu yang ditunjukannya. Bagaimana marahnya wanita itu begitu mengetahui bahwa bayi yang di kandungnya ternyata ada dua, bayi kembar.
Wanita itu bahkan sengaja untuk tidak makan, sengaja untuk tidak memenuhi kebutuhannya seolah dengan seperti itu bayi-bayi di dalam kandungannya meluruh dengan sendirinya.
Bahkan di hari kelahiran bayi-bayi itu, wanita itu sama sekali tak ingin menyusui bayi-bayinya, sama sekali tak tersentuh hatinya mendengar tangis kedua buah hatinya.
Hanya bibi dan ayahnya yang menjaga mereka berdua, merawat mereka seperti anak sendiri. Hingga Lami dan Lena tumbuh menjadi balita 4 tahun, wanita itu sama sekali tak memperdulikan mereka. Ketika mereka mendekat, hanya ada kemarahan yang didapatkan, seolah wanita itu tak tahan berada dekat dengan anak-anaknya.
Bibi dan Ayahnya pun dengan sabar menghibur ketika mereka menangis merasa tak di perdulikan oleh ibu sendiri. Pengertian bahwa ibu mereka hanya sedang sibuk dan tak ingin diganggu, bukan karena ibu mereka tak mencintai mereka. Dan tentu saja pikiran polos seorang anak kecil percaya akan kata-kata itu, berharap suatu saat ibu mereka tak lagi sibuk dan dapat bermain dengan mereka, harapan polos seorang anak.
Lami hanya memandang miris, nyatanya wanita itu tak pernah mencintai mereka, nyatanya ia tak akan pernah mencintai anak-anaknya. Kadang Lami pun bertanya-tanya bagaimana bisa seorang ibu sama sekali tak tergerak hatinya setitik pun untuk mencintai anak-anaknya, namun wanita itu menjadi bukit bahwa ia adalah ibu itu, ibu yang sama sekali tak tergerak hatinya untuk mencintai anak-anaknya.
Kilasan yang selanjutnya Lami lihat adalah bagimana wanita itu meninggalkan mereka, tanpa belas kasihan.
“Vera, apa kamu tega meninggalkan anak-anakmu? Jangan, Vera. Kakak mohon.” Bibinya menggengam tangan sang adik yang kini tengah memasukan baju-bajunya ke dalam sebuah koper, menghentikan pergerakan tangan itu.
“Vera, Kak Rehan baru saja meninggal, satu bulan yang lalu. Dan sekarang kamu mau pergi? Kamu ngak akan setega ini kan, Vera?” Kali ini suara sang bibi tercekat, memang Rehan meninggal sebulan yang lalu dalam sebuah kecelakaan, dan tentu saja itu menjadi kesedihan yang mendalam. Namun Vera seolah tak peduli, menepis tangan sang kakak kasar, melanjutkan memasukan baju-bajunya dalam koper.
“Aku ngak punya masa depan kalau terus berada di sini. Aku ngak mau terus-terusan berada di sini.” Vera berucap dingin.
“Tak cukupkah masa depan kamu sama kakak dan anak-anak kamu? Kami juga menderita,Vera. Kita seharusnya saling menguatkan, ngak seharusnya kita–”
“Aku ngak mau punya masa depan menyedihkan dengan kalian. Aku ngak mau!” Wanita itu setengah berteriak, menyeret kopernya cepat, melangkah keluar. Menyentak tangan sang kakak kasar tak peduli, terus melangkah.
“Ibu jangan pergi!” Seruan serta tarikan tangan mungil kedua balita itu menahannya yang kini telah memegang knop pintu luar. Kedua balita itu menangis serta memohon kepada ibu mereka untuk tak pergi, memeluk dengan erat sang ibu, berharap sang ibu berubah pikiran.
“Lepas!” Vera membentak kasar, mendorong kedua balita itu hingga terjatuh dan hanya mampu menangis. Kali ini wanita itu kembali melangkah keluar tak memperdulikan lagi tangis menjerit-jerit kedua balita yang ditinggalkannya.
Wanita jahat..kau bahkan tak menoleh kepada putri-putrimu yang menangis menjerit-jerit….wanita jahat…seharusnya kau…seharusnya..kau setidaknya berbalik…wanita jahat..
Lami menahan gejolak tangis yang ingin meledak. Hanya mampu menantap miris pada dirinya dan Lena balita yang menangis meraung memanggil ibu mereka. Rasanya sangat sakit melihat sendiri bagaimana seorang ibu tega meninggalkan putri-putrinya, bahkan tanpa menoleh sedikit pun, tanpa keraguan setitik pun.
“Aku tak ingin berada di sini.” Lami berucap lirih kepada anak kecil yang kini duduk di sebuah sofa tak jauh dari dirinya, tubuhnya gemetaran ketika memohon. “Aku tak ingin di sini, komohon…” Ia tak sanggup lagi merasakan kesesakan ditinggalkan oleh ibu kandungnya sendiri. Selama ini ia ingin melupakan kenangan pahit itu, melihatnya secara lanngsung membuatnya merasakan sakit yang sama, sesak dan pilu yang mengirisnya perlahan-lahan.
Anak kecil itu hanya memandangnya datar tanpa ekspresi. Namun perlahan demi perlahan kesadaran Lami menggelap, semakin gelap hingga akhirnya menutupi segala kesadaran yang tersisa, Lami kembali kehilangan kesadaran.
Ibu……mengapa ibu sejahat ini.?? Mengapa ibu meninggalkanku..???
To be Continued
Part ini sedih bngt sih, ibu ny ga menginginkan mereka berdua, ayahny jg, ayah yg waktu kecil menyayangi trnyata bukan ayah kandung trs trnyta trnyata aihhhh bnyk dah yg bikin sedih
Btw Lami ga meninggal yak, itu dia lgi koma atau gmn hihi, penasaran
Ditunggu kelanjutanny
Semangat trs ya
:PATAHHATI
mama nya bener2 tega yah,,, :PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI
part ini menguras emosi ku
. oalah mak” sungguh tega nya dikau.. :PATAHHATI :PEDIHH :GOOOAWAY
Ihh dasar tu orang tegaan ya
Mamanya jahat banget sih :PATAHHATI kalau engga mau pny anak ngapain mau coba main api sama cowok kayak gitu kasihan anak yg jadi korban
Entah kenapa aku yakin ibu nya gak sejahat itu,ibunya pasti sayang kepada mereka,namun mencoba untuk menutup dan membuang kasih sayang itu,selain itu ibu nya pasti punya alasan kenapa ibu nya tega berbuat seperti itu, (tapigakyakin,sih)
Sejahat itukah Ibunya??
Jahaaattt
:PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI
Ibunyaaaaaaaaaaaaa :ASAHPISAU2
???
Sedih banget siii
Jahaat
:berharapindah sedih
Part ini ya ampun. Aku seorang ibu, mrmbayangkan ibu mereka meninggalkan mereka tanpa belas kasihan.. Tega sekali..
Nyesek sangat