Hari pernikahan, hari itu akhirnya tiba juga. Sebuah aula salah satu hotel berbintang di ibu kota kini telah disulap menjadi sebuah gedung pernikahan yang mewah didominasi oleh warna emas dan putih. Semua ditata sedemikian rupa tanpa cela.
Hal itu jugalah yang sempat menjadi perdebatan panjang antara Lami dan Alva. bagi Lami gedung pernikahan yang didesain dengan sangat mewah ini sama sekali bukan gayanya dan terlalu mewah untuknya. Akan tetapi bagi Alva, pernikahan yang “sedikit” mewah ini rasanya pantas bagi mereka.
“Lami, aku ini Alvaro Nasution, CEO Nasution Group. Wajarlah kalau pernikahan kita harus diadakan dengan sedikit mewah, ngak ada salahnya, kan?”
Itulah yang diucapkan Alva dengan narsis dan penuh canda. Pada akhirnya Lami hanya bisa menurut saja setelah pria itu terus merayu dan membujuknya tanpa henti.
Dan di sinilah Lami berada, di dalam ruang pengantin wanita yang telah disiapkan dengan takkalah mewah serta kesan feminim yang manis. Dirinya telah didandani dengan sedemikian rupa. Gaun pengantin putih bersih yang menjuntai hingga mata kaki dengan pas, rambut yang digulung rapi dengan aksen indah, make up natural yang membingkai wajah cantiknya serta segenggam bunga mawar putih mempercantik sang pengantin wanita.
Beberapa saat lagi acara pemberkatan akan segera dilaksanakan. Hanya tinggal menunggu mempelai pria dan keluarga tiba di aula pernikahan ini. Mau tak mau senyum simpul terlukis di wajah cantik Lami.
Hari pernikahannya..…
Rasanya masih seperti mimpi ia akan segera melaksanakan pernikahannya sendiri. Jangankan untuk menikah, bertemu dengan seseorang yang akan menerimanya Lami tak pernah bermimpi. Namun ternyata tuhan mendengarkan doanya. Ia akhirnya bertemu dengan Alva.
Tentu saja hubungan mereka tak berjalan lancar begitu saja. Mereka adalah dua orang yang hidup dalam dua dunia yang berbeda. Bagaimana mungkin seorang pangeran terpandang jatuh hati pada seorang rakyat jelata? Tak terhitung banyaknya pasang mata yang menggunjing dan bergosip sinis tentang hubungan mereka.
Pada awalnya pun Lami tak yakin dapat menjalani hubungan mereka. Bukan karena pandangan sinis yang terarah padanya, tetapi lebih kepada pandangan orang-orang terhadap Alva. Lami sama sekali tak peduli bagaimana orang melihatnya, toh ia telah melalui yang lebih menyakitkan dari hal tersebut, hatinya sudah cukup kebal menerima segala penghinaan.
Akan tetapi Alva sama sekali berbeda dari dirinya. Pria itu bukan orang yang semestinya dihina karena memilih seorang gadis jelata dari sekian banyak wanita kelas atas lainnya. Jelas saja hal tersebut tak pernah mengusik Alva, baginya orang-orang di luar sana sama sekali tak mengetahui dirinya hingga memiliki hak untuk mengusik pilihannya. Alva berulang kali meyakinkan sang gadis bahwa mereka tak perlu memperdulikan omong kosong yang ditimbulkan oleh orang-orang yang sama sekali tak ada hubungannya bagi mereka.
Masalah lain yang Lami pikirkan adalah keluarga Alva yang kemungkinan besar akan menolak dirinya. Namun semua itu nyatanya tak benar. Tuan Nasution dan Ny. Natasha, kedua orangtua Alva menerima dirinya dengan tangan terbuka.
Pemikiran Lami mengenai keluarga Alva yang mungkin akan menghina dan menolak dirinya menjadi kekasih putra mereka di luar pemikirannya. Malahan mereka menyayangi dirinya layaknya seorang putri sendiri. Mereka bukanlah keluarga kolot yang mengukur derajat dari harta yang dimiliki. Suatu kesyukuran lain karena dengan berada di tengah-tengah keluarga Nasution membuatnya dapat merasakan kasih sayang hangat dari sebuah keluarga yang sesungguhnya.
Bertemu dengan Alva seolah menjadi titik terang bagi dirinya yang merindukan cahaya itu. Alva menyadarkan dirinya bahwa memang benar adanya tuhan tak akan pernah melupakan satu pun hambanya. Bahwa pada akhirnya seorang Lami juga akan mendapat kebahagiannya, kebahagian yang sangat ia rindukan.
“Kak Lami..” Ucapan lemah itu menyadarkan Lami dari lamunannya. Lena berdiri di ujung pintu sana. Ia terlihat tak kalah cantiknya mengenakan sebuah gaun putih gading lembut. Berdiri di ambang pintu dengan kaku. Gadis itu melangkah mendekat, namun tetap memberikan jarak di antara mereka, seolah takut membuat sang kakak kembali menunjukan kemarahannya.
Lami tanpa sadar mengerutkan keningnya. Walaupun kini gadis di hadapannya tersenyum, dirinya terlihat begitu lemah dan lelah, wajah gadis itu sembab walaupun berusaha ditutupi dengan make up.
Apa yang terjadi pada gadis ini?
Tak dapat dipungkiri bahwa bagaimanapun juga Lami tetap merasakan kepedulian pada gadis di hadapannya ini. Bagaimanapun mereka adalah sepasang saudara kembar. Perasaan terikat itu tetaplah ada, walaupun Lami berusaha untuk menghilangkannya sekali pun.
“Kak Lami cantik sekali.” Suara lemah Lena kembali terdengar setelah keheningan yang lama. Gadis itu tersenyum tulus, sebuah senyum tulus tak menutupi raut kesedihan gadis itu. Lami menghela nafas perlahan, berusaha menghilangkan kepeduliannya. Ia hanya memandang Lena datar, tak berniat sama sekali menanggapi.
“Selamat kak, aku turut berbahagia untuk kakak.” Lena kembali berucap dengan riang. Rasanya sakit ketika mengetahui sang kakak sama sekali tak perduli terhadapnya. Namun ia sadar bahwa dirinya memang pantas mendapatkan kebencian. Ia telah menorehkan luka yang sangat menyakitkan pada hati sang kakak.
Lami pantas untuk membencinya
“Aku ingin berpamitan, kak. Besok aku akan ke Amerika, mungkin akan menetap.” Lami hanya memandang dingin. Ia merasa bodoh sempat merasa iba pada gadis ini. Ternyata dia hanya ingin menunjukan kepada dirinya kesombongan dengan pergi kemana pun ia mau, sama seperti dulu ketika gadis di hadapannya ini meninggalkannya.
“Maaf, kak. Mungkin kata saja tak akan cukup, tapi aku sungguh menyesal. aku….maaf kak.” Terpatah-patah gadis itu kembali berucap, menundukan wajah untuk menutupi ekspresinya, gadis ini menyembunyikan tangisnya. Walaupun terlihat jelas bahwa ia berusaha untuk tegar. Kesedihan itu mau tak mau perlahan menyusup ke dalam hati Lami yang tak tersentuh. Bagaimanapun mereka memiliki ikatan darah yang begitu kental, ikatan persaudaraan. Mereka pernah saling menjaga, yang satu bersedih maka yang lain akan merangkul, yang satu tersakiti maka yang lain akan menyembuhkan.
Gerakan tangan Lami tanpa sadar ingin merangkul sang adik yang terlihat begitu menderita. Namun gerakan itu terhenti di udara. Dinding itu kembali terbentuk untuk menahannya, dinding hati untuk menghalau segala luka masa lalu. Kepedihan itu kembali mendinginkan hatinya, mengingat bahwa gadis di hadapannya ini juga merupakan salah satu penoreh luka terdalam bagi dirinya.
Pada akhirnya mereka hanya saling terdiam dengan kesunyian yang menyesakan. Tanpa kata, hanya menyisahkan kebisuaan “Semoga kakak bahagia” Lena mendongak, tersenyum disela tangis yang berusaha ia tutup.
Ada apa dengan gadis di hadapannya ini? Lami terus membatin dengan bingung. Tak dapat menghilangkan rasa penasaran dalam benaknya. Lena bukanlah gadis cengeng yang akan menangis ketika hanya terluka sedikit. Ia adalah gadis yang menghadapi dunia dengan senyum dan keceriaan seolah kebahagiaan tak ingin meninggalkannya sendirian, sangat berbeda dengan dirinya.
Tersenyum kecut, Lami hanya mengganguk seadanya. Merasa semakin tak nyaman dengan suasana yang kian terasa menyedihkan.
Lena memballikkan badannya perlahan, bersiap beranjak dari ruang pengantin wanita sang kakak.
Ini yang terbaik……
Kakaknya telah menemukan kebahagiaannya dan ia hanya perlu melangkah menjuah dari hidup sang kakak, karena jelas ia sama sekali tak berada di dalam kebahagiaan itu.
Brak….
Gebrakan pintu yang cukup keras itu mengalihkan pikiran Lami dan Lena yang sebelumnya berkelana jauh. Di ujung pintu sana Kafi tersenggal-senggal mangatur nafas, wajah pucat pasinya terlihat jelas, sebuah ekspresi yang sangat jarang ditunjukan oleh raut dinginnya.
“Lami, Alva kecelakaan..”
Lena memekik, tak dapat menahan keterkejutannya atas berita yang sama sekali tak terpikirkan olehnya.
Perkataan itu menarik Lami secara paksa, menarik hatinya tanpa ampun.
Tidak mungkin….tidak mungkin…..tidak mungkin….
Lami menutup telinganya, menggeleng kuat-kuat seolah perkataan Kafi tadi hanya manifestasi dari pikirannya. Namun perkataan pria itu terasa semakin nyata, mencekiknya dengan perlahan.
“Tidak…tidak..tidak.” Seperti mantra, Lami terus berusaha meyakinkan hatinya. Dia hanya bermimpi buruk, dia akan segera bangun, dia akan bangun, dia pasti bangun dari mimpi buruk ini.
“Lami..” Pria itu mendekat perlahan, menopang bahu Lami yang gemetaran. Berusaha mengembalikan kesadaran sang wanita yang kini diliputi ketakutan yang tak tertahankan.
“Lami dengar…semuanya akan baik-baik saja, oke?” Kafi mengguncang bahu itu perlahan. Lami tetap memejamkan mata seolah jika ia membukanya maka dirinya akan terhempas. Air mata itu perlahan mengalir semakin deras, Lami tak ingin mendengarkan, ia hanya ingin terbangun dari mimpi buruk ini.
Siapa saja tolong bangunkan aku….kumohon…..
“Lami kumohon dengarkan…Alva adalah pria yang kuat, ia tak akan meninggalkanmu…ia tak mungkin meninggalkanmu. Kau percaya padanya, bukan?”
Kak Alva tak akan meninggalkannya
Lami perlahan membuka kedua bola matanya, bertatapan dengan netra tajam Kafi yang kini berusaha meyakinkannya dengan tulus.
Tanpa sadar gadis itu mengganguk, meyakinkan dirinya bahwa tak mungkin kekasihnya meninggalkannya.
Kak Alva tak akan meninggalkanku..
***
Lami menautkan tangannya dengan cemas, perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu menyiksa detik demi detiknya. Begitu pula dengan Kafi yang kini menyetir dan Lena yang duduk di samping Lami, mereka tak dapat menyembunyikan raut teggang dan khawatir.
Acara pemberkataan pernikahan yang seharusnya membahagiakan menjadi kesedihan dan ironi yang menyakitkan. Berita kecelakaan Alva beserta kedua orangtuanya di perjalanan menuju gedung berhembus cepat. Beberapa keluarga pun ada yang langsung menuju rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Lami dengan setengah melompat keluar dari mobil dan berlari dengan cepat menuju ruangan tempat Alva dan kedua orang tuanya menjalani operasi. Tak dipedulikan lagi pandangan aneh dan ingin tahu orang-orang melihat dirinya yang berlarian dengan gaun pengantin.
Langkah itu terasa berat ketika dirinya telah berada di lorong ruangan operasi. Tante Serena, adik dari ibu Alva meraung dengan kesedihan yang tak tertahankan dengan menyebut nama sang kakak dan kakak iparnya. Ketika akhirnya seorang dokter mengatakan bahwa kedua orang tua Alva tak dapat diselamatkan.
Lami memejamkan kedua netra kelam itu, tetes demi tetes air mata terus mengalir, rasa sesak yang mengiris hatinya mengetahui kedua orang tua Alva, kedua orang tua yang sangat menyayangi dan disayanginya telah pergi. Masih diingatnya dengan jelas betapa Mama Natasha memperlakukannya seperti putri sendiri dengan penuh kasih seorang ibu, serta Papa Nasution yang menjaga dan dengan penuh canda menemani hari-harinya. Mereka berdualah yang membuat Lami dapat merasakan kasih sayang kedua orang tua yang sangat tulus, hal yang ia kira tak dapat dirasakannya lagi, kasih sayang tulus dari kedua orang tua.
Bagaimana dengan kondisi Kak Alva?
Mau tak mau perasaan mencekam itu kembali mencekiknya. Ketakutan akan apa yang terjadi kepada sang kekasih. Degupan jantung yang menderu semakin cepat seolah menipiskan nafas yang semakin lama semakin sesak.
Plak…
Kesadaran Lami seolah ditarik begitu merasakan tamparan keras yang tak tanggung-tanggung diarahkan padanya. Dihadapanya Serena, adik dari Mama Natasha menatapnya nyalang penuh kemarahan.
“Ini semua karenamu, wanita jalang. andai saja kau tak mengusik kehidupan Alva, kakak dan kakak iparku tak akan merenggang nyawa seperti ini.” Kesedihan yang nyata terlihat jelas dari raut wajah Serena. “Dan sekarang Alva berada di sana berjuang menghadapi maut. Apakah ini yang kau inginkan, huh? mengacaukan hidup Alva? Kau wanita pembawa sial..kau yang seharusnya mati..KAU..”
Lorong ruang operasi itu menjadi saksi bisu kemarahan dan juga kesedihan Serena. Rangga, suami Serena serta beberapa sanak keluarga langsung berusaha menenangkan Serena manakalah dirinya kini seolah lepas kendali diliputi kemarahan yang pekat. Berbagai sumpah serapah dari Serena terus terlontar untuk Lami, gadis yang dianggapnya sebagai penyebab kematian tragis sang kakak dan kakak ipar, begitu pula dengan sang keponakan yang kini tengah berjuang untuk selamat dari maut.
Ini kesalahannya….memang kesalahannya
Andai saja pernikahan ini tak terjadi, andai saja Alva tak pernah bertemu dengannya, maka semua ini tak akan terjadi. Seharusnya ia dan Alva tak perlu bertemu, Alva seharusnya tak bertemu dengan gadis pembawa sial seperti dirinya, maka nasib sial tak akan pernah menghampiri pria itu.
Ia seharusnya tak pernah bertemu dengan Alva. Bagaimana mungkin ia berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja? semuanya tidak akan baik-baik saja pada akhirnya, dan semua itu karenanya.
Maafkan aku Kak Alva…maaf……
Dengan sigap Kafi menopang tubuh Lami yang limbung. Melihat gadis itu begitu lemah seolah kehilangan kehidupannya terasa menyakitkan. Pria itu pun sama sekali tak menyangka bahwa sahabat dan kedua orangtuanya mengalami kecelakaan tragis seperti ini. Semakin menyakitkan manakala seharusnya hari ini menjadi hari membahagiakan sang sahabat.
“Lami…kumohon…kuatlah.” Kafi berucap lirih, menguatkan. Walaupun pada dasarnya ia juga merasakan sakit, kesedihan, dan kekacauan yang sama. Mengetahui bahwa kehidupan sahabat yang bahkan sudah menjadi saudara yang sangat disayangi dan menyayanginya berada dalam ruang operasi dingin untuk berjuang hidup setelah mengalami kecelakaan tragis. Namun ia sadar bahwa ia juga tak bisa larut dalam kesakitan ini. Melihat gadis yang kini berada dalam topangannya begitu lemah tak berdaya, gadis ini lebih membutuhkan topangan dan sadarannya.
***
1 jam……
2 jam……
6 jam……
Detik demi detik terasa menyiksa disetiap detakannya, membuat suasana lorong ruang operasi ini semakin dingin. Terlihat Serena yang kini telah jauh lebih tenang menunggu sang keponakan penuh pengharapan. Sang suami kini tak terlihat lagi dikarenakan kesibukannya untuk mengurus segera proses pemakaman kakak ipar dan suaminya. Di ujung yang lainnya dengan harapan yang sama terlihat Lami turut menunggu. Dengan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya.
Begitupun dengan Kafi dan Lena yang juga tetap menunggu jalannya operasi itu. Mereka pun tetap mengenakan pakaian yang sama, menunggu dalam diam dengan kecemasan yang tak terbendung. Hanya suara detakan jam yang mengusir kesunyian lorong ini, detakan yang setiap detiknya terasa menyiksa.
“Kakak minum dulu yah?” Lena berujar pelan memecah keheningan, menyodorkan air mineral kepada sang kakak yang duduk tak bergeming di sampingnya. Ia begitu cemas dengan sang kakak yang untuk minum pun tak bergeming. Namun seperti yang sudah-sudah, sang kakak hanya menggeleng pelan, tetap pada posisinya. Lena hanya mampu menghela nafas perlahan atas penolakan sekian kali sang kakak. Sepertinya sang kakak tak akan bergerak sampai operasi Alva selesai. Pada akhirnya mereka semua hanya terduduk diam, menunggu dalam diam.
Gerakan perlahan pintu ruang operasi yang terbuka itu tanpa sadar membuat mereka menoleh ke arah pintu. Terlihatlah beberapa dokter yang keluar dari ruangan itu dengan raut wajah lelah yang tak dapat ditutupi
“Bagaimana kondisi keponakan saya, dok?”
“Maafkan kami, keponakan anda tak dapat diselamatkan”
Seketika pandangan Lami menggelap, semuanya lenyap.
***
“Kak Alva!?”
Lami berseru cepat, berlari begitu melihat sosok pria itu kini berada di sebrang hamparan rumput hijau yang membentang luas diantara mereka. Lami terus berlari, kebahagiaannya membuncah mana kala sosok Alva terlihat disana, dengan senyum cerah seolah menunggunya.
Namun walaupun terus berlari dan berlari, jarak di antara mereka tak mendekat juga, seolah Lami berlari pada hamaparan rumput yang tak berujung. Hingga sosok Alva dihadapannya pun menghilang begitu saja.
Langkahnya langsung terhenti, netra coklatnya memindai sekitar, sosok Alva yang tersenyum cerah kini tak terlihat lagi dihadapannya. Kecemasan langsung membanjiri dirinya, membuat tubuhnya gemetar penuh ketakutan.
“Lami..” Lami berbalik dengan cepat, suara itu adalah suara Alva, lirihan yang manggilnya. Dan sosok itu kini berada di belakangnya, berdiri beberapa meter tepat di belakangnya. Sosok pria dengan senyum yang sama, senyum yang selalu membuatnya merasa tenang.
“Kak Alva..” Lami berucap tak kalah lirihnya, suaranya tercekat, masih tak menyangka bahwa sosok di hadapannya ini benar adalah Alva, pria yang ia pikir tak akan lagi dilihatnya.
“Kamu sangat cantik, pengantinku yang sangat cantik.”
Alva tersenyum lembut, pandangannya terpaku kepada sosok pengantinnya yang kini terlihat begitu cantik dan bersinar, sangat indah.
Lami balas tersenyum, kebahagiaannya kini terasa begitu nyata melihat kembali sosok kekasihnya berada tepat dihadapannya, tersenyum dan memujinya.
“Aku senang bisa melihat kakak. Kita harus pulang, semua orang mencemaskan kakak.”
Lami mendekat, kini ketakutannya dan kecemasannya telah sirna, Alvanya baik-baik saja, hanya itu yang terpenting saat ini.
Namun gerakan tangan gadis itu yang ingin menggengam tangan sang kekasih tak dapat ia lakukan, seolah sosok dihadapanya tertembus layaknya bayangan yang tak tergapai.
Lami tercekat, seolah apa saja yang baru terjadi membekukannya. Gadis itu terpana, memandang tak mengerti kepada sosok yang kini berada dihadapannya.
“Sayang, aku ingin kamu berbahagia..aku–.”
“Kumohon kak jangan katakan…kumohon ikutlah bersamaku..kumohon kak…” Setetes demi tetes buliran air mata kini mengalir dari netra coklatnya, berusaha untuk mengeyahkan segala pikiran-pikiran buruk yang silih berganti terbayang terus-menerus.
“Lami dengarkan aku..semuanya akan baik-baik saja, oke? Aku janji suatu saat kita akan bertemu dan kembali bersama, kau percaya padaku kan, sayang?”
“Kalau begitu bawa aku pergi, kak. Aku ingin ikut bersamamu, aku ingin bersamamu..kumohon..”
“Aku janji suatu saat kita akan kembali bersama, tapi tidak hari ini sayang, kau punya banyak hal yang menunggumu disana.”
Lami menggeleng, berusaha kembali menggapai sang kekasih, namun hasilnya tetap sama, seolah Alva adalah hanya bayangan tak tersentuh.
Tangis gadis itu semakin menjadi-jadi, menyayat hati siapapun yang mendengarkan. Ketakutan untuk kembali ditinggal oleh sang kekasih, ketakutan mengetahui bahwa mungkin inilah saat terakhir pertemuannya dengan sosok dihadapannya, pria yang dicintai dan mencintainya.
“Jangan menangis…kau adalah gadis yang kuat. Kau pasti bisa menjalaninya. Berbahagialah sayang,…”
Sosok dihadapannya perlahan menghilang, menyisakan luka yang kembali mengirisnya. Kini kekasihnya benar-benar telah pergi, meninggalkannya selama-lamanya.
“Kak Alva jangan pergi!…kumohon jangan pergi…Kak Alva…Kak Alva!!!…..”
***
“Jangan pergi..Kak Alva.. KAK ALVA!!..”
Jeritan histeris memenuhi ruang rawat itu, Lami menangis meraung tak tertahan. Lena yang berada disisi ranjangnya berusaha menenangkan, memeluk sang kakak yang terus menjerit kehilangan kendali.
“Kak, jangan begini..kumohon..kakak harus kuat..” Lena memeluk sang kakak erat, menenangkan. Melihat saudari kembarnya kini menangis meraung dengan luka yang mendalam juga menyayat hatinya, seharunya hari menjadi hari yang penuh kebahagian bagi sang kakak, hari pernikahan yang membahagiakan. Kakaknya tak sepantasnya menanggung kesakitan yang teramat menyiksa seperti ini, seharusnya tidak seperti ini.
Pintu ruang inap itu perlahan terbuka, Kafi berdiri diujung sana. Menatap nanar pada pemandangan di hadapanya, menyaksikan Lami menjerit dalam tangis yang tak terbendung seolah kehilangan kedalinya.
Lihatlah apa yang telah kau tinggalkan, mengapa kau harus pergi seperti ini Alva..?
Pria itu tanpa sadar menutup kedua netra tajamnya, menahan gejolak kesakitan yang ia rasakan seiring tangis gadis itu yang terus menyayat. Demi tuhan gadis di hadapannya kini telah mengalami hari-hari yang berat disepanjang hidupnya, tak dapatkah ia berbahagia sekali saja? Ia juga tak tahu apa yang harus dilakukan sekarang, ia sama pun begitu kacau, sakit, dan terluka. Melihat Alva saudara dan sahabatnya, terbujur kaku mengoyak hatinya. Melihat Lami, menangis meraung dengan kesakitan yang nyata juga menghancurkan hatinya. Ia juga ingin berteriak marah, menyalahkan takdir yang memporak-porandakan kehidupan ini, semuanya terasa begitu salah dan tak adil. Tapi ia bisa apa? Dirinya bisa apa melawan takdir kejam ini? Semuanya memang terasa tak adil, begitu tak adil hingga terasa mencekik, tapi ia bisa apa?
Apa yang bisa ia lakukan…???
***
“Pulanglah Lena, kau juga butuh beristirahat.” Kafi bergumam pelan, mengalihkan perhatian Lena yang terus terpaku kepada sang kakak yang kini tertidur lelap setelah menangis hebat
“Aku tidak apa-apa, aku masih ingin menemani Kak Lami.” Tanpa bergeming Lena berucap lirih, dengan pandangan terpaku kepada sang saudari kembar yang terlelap dengan masih mengenakan gaun pengantin. Lami masih mengenakan gaun yang sama, gadis itu tak ingin mengganti gaun yang ia kenakan, seolah ia masih menyimpan sebuah harapan semu bahwa yang ia alami hari ini hanyalah sebuah mimpi, bahwa sang kekasih pada akhirnya akan tetap berada bersamanya melangsungkan pernikahan sakral mereka.
Tanpa sadar perlahan isakan kesedihan Lena yang ia tahan sedari tadi akhirnya keluar juga, ia sama sekali tak menyangka hari yang seharusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi sang kakak malah menjadi sebuah hari yang penuh dengan ironi yang menyedihkan
“Seharusnya tidak seperti ini..seharusnya Kak Lami tidak seperti ini….” Lena terus terisak, tangisnya semakin terdengar pilu mana kala melihat sang saudari kembar kini terbaring lemah tak berdaya, tak bisakah kakaknya berbahagia? Mengapa tuhan memberikan skenario kehidupan yang begitu menyakitkan kepada sang kakak? Seharusnya tidak seperti ini.
“Memang tidak seharusnya seperti ini..tapi kita bisa apa? Apa yang bisa kita lakukan?..Kau saat ini sangat kacau..kau juga butuh istirahat..pulanglah dan beristirahat..”
“Kalau Kak Kafi ingin pulang, pulanglah. Aku tidak apa-apa. Aku akan tetap disini menjaga Kak Lami.” Lena tetap bergeming, tetap bersikeras dengan keinginannya.
“Lihatlah dirimu sekarang Lena, kau butuh istirahat. Kau butuh menjaga kesehatanmu untuk menjaga Lami.”
“Kakak juga harus melihat diri kakak. Kakak sama kacaunya denganku.” Lena menghela nafas perlahan sebelum melanjutkan perkataannya “Kak..Lami adalah saudariku, keluargaku. Sudah seharusnya aku menjaganya…lagipula sudah cukup aku terus meninggalkannya selama ini…kali ini biarkan aku menjaganya..aku ingin menjaga kakakku.”
“Tapi kau tetap butuh istirahat, Lena. Setidaknya makan dan tidur sejenak.”
Lena memandang sosok pria dihadapannya, sosok yang kini juga terlihat begitu kacau, walaupun berusaha ditutupi dengan raut dingin tak terbacanya. Kami berdua sama kacaunya.
“Baiklah, aku akan pulang.” Ada jeda sejenak sebelum Lena melanjutkan perkataanya. “Aku akan makan dan membersihkan diri, juga mengambil beberapa pakaian untuk Kak Lami, setelahnya aku akan kembali kesini, menginap dan menjaga Kak Lami” Lena memandang pria dihadapannya. “Dan setelah itu Kak Alva juga harus pulang dan berisitirahat, kakak juga membutuhkannya.”
Lena perlahan bangkit dari duduknya, pandangan tertuju pada sang saudari kembar, menghela nafas perlahan. Sebelum akhirnya melangkahkan kakinya untuk keluar dari ruang inap rumah sakit ini.
***
“Kakak lebih baik kembali ke atas, taxi sebentar lagi akan datang.” Lena berucap pelan, memecah keheningan malam yag dingin diantara dirinya dan Kafi. Pria itu bersikeras menemaninya untuk menunggu taxi yang akan menjemputnya. Dan disinilah mereka, menunggu taxi di depan rumah sakit ini.
“Aku akan naik setelah taxinya datang.” Kafi berucap datar, pandangannya tertuju lurus ke depan, walaupun terlihat memperhatikan satu titik, tetapi pikiran itu seolah tak ada disana, sebuah pandangan yang kosong.
Pasti sangat berat untuk Kak Kafi
Tentu hal yang berat buat sosok disampingnya ini. Kehilangan sahabat sekaligus saudaranya. Semuanya terjadi begitu cepat dan tak diduga-duga. Tak ada yang menyangka bahwa hari yang seharusnya menjadi hari yang penuh suka cita dan kebahagiaan malah berakhir tragis seperti ini.
“Taxinya sudah datang.” Lena kembali memecah keheningan, melihat taxi yang ia tunggu telah tiba. “Aku akan kembali segera, aku titip Kak Lami untuk sementara, kak.” Lena kembali berucap sebelum memasuki taxi itu, kembali memandang sosok di sampingnya ini, yang dibalas anggukan sekilas dari pria itu.
***
Kafi termenung sejenak, memandang terpaku pada segelas kopi mengepulkan asap hangat yang kini ada di hadapannya. Ia memutuskan untuk setidaknya meminum segelas kopi sebelum ia kembali ke ruang rawat inap Lami.
Ia kini terduduk disalah satu kursi kantin rumah sakit itu, merenung dalam diam. Perlahan demi perlahan ingatan kembali memutar kenangan dengan Alva dan keluarganya. Ia dulu hanyalah anak seorang supir pribadi serta pembantu rumah tangga Keluarga Nasution. Dari kecil ia dibesarkan dalam lingkungan tersebut.
Keluarga Nasution bukanlah keluarga kolot yang memandang harta sebagai pembatas hubungan manusia. Mereka menyekolahkannya, memperlakukan keluarganya seperti keluarga sendiri. Ia menjadi dekat dengan Alva, sosok teman yang jahil namun bersahabat.
Ibunya meninggal karena sakit diusianya yang ke-15, Ayahnya menyusul dua tahun kemudian, beliau mengalami kecelakaan ketika menyetir di malam dengan hujan deras. Ia kehilangan keluarganya diusia yang masih muda, namun begitu Keluarga Nasution menjaganya dengan penuh kasih sayang. Tn. dan Ny. Nasution bahkan memberikannya kasih sayang selayaknya orangtua kepada anak-anaknya, hal itu membuat ia tak merasa sendirian dan kesepian, membuatnya merasa bersyukur masih bisa merasakan kasih sayang keluarga walaupun ibu dan ayahnya telah meninggal. Alva pun menganggap dirinya sebagai seorang sahabat sekaligus saudara, hal yang ia juga tak menyangka bisa didapatkannya.
Dan kini ia kembali merasakan kehilangan keluarga. Keluarga yang menopang hidupnya dari keterpurukan, dan kali ini ia benar-benar telah kehilangan semua keluarganya.
***
Netra coklat kelam itu perlahan mengerjap, menyesuaikan cahaya yang terasa menembus penglihatannya. Setelah menyesuaikan diri, perlahan ia memandang sekeliling, berusaha mengembalikan ingatannya yang kini tumpang tindih.
Hari pernikahannya
Kak Alva, Papa Nasution dan Mama Natasha kecelakaan…..Semuanya meninggal
Rasa sesak itu kembali mencekat Lami, ketika ingatannya kembali utuh sepenuhnya. Nafas yang ia keluarkan terasa begitu berat pun dengan tubuhnya yang kembali gemetaran menahan sesak yang mencekiknya.
Ia berusaha bangkit dari tidurnya, mengatur nafas yang tak beraturan. Ia melihat tubuhnya yang kini masih dibalut oleh gaun pengantin dengan cincin permata indah yang menghiasi jari manisnya. Tangis itu kembali datang mana kala memori-memori kesakitan itu semakin nyata terpatri di hadapannya. Tangan itu gemetaran berusaha meredam tangis yang tak kunjung berhenti. Berusaha menahan gejolak di dadanya yang terasa semakin menyakitkan.
Perlahan jemarinya digerakan, berusaha membuka jarum infus yang kini menusuk nadinya, tak memperdulikan darah yang mengucur mana kala jarum itu terlepas dari nadinya. Ia perlahan bangkit, sekuat tenaga menopang dirinya untuk tetap berdiri tegak.
Ia berjalan pelan, menggapai knop pintu ruang inap tersebut. Pintu pun terbuka, memperlihatkan lorong rumah sakit yang cukup lenggang. Dengan masih menahan gemetar, Lami melangkah keluar, menutup pintu di belakangnya dengan gemetar. Berjalan terseret-seret tak peduli dengan kakinya kini bersentuhan langsung dengan lantai rumah sakit yang terasa begitu dingin.
Ia ingin segera keluar dari rumah sakit ini, lari sejauh mungkin dari tempat ini. Langkahnya ia percepat, menyeret kakinya untuk melangkah lebih cepat. Tak dipedulikan lagi kakinya yang kini tergores kerikil kecil begitu berada di area luar rumah sakit. Dengan cepat ia menahan sebuah taxi, setengah melompat memasuki taxi tersebut.
“Blue Sky Apartement.” Dengan gemetaran Lami mengucapkan alamat tujuannya, berusaha sekuat tenanga agar tangisnya tak keluar lagi, menggigit bibirnya hingga mengucurkan darah segara agar tangis yang ia tahan tak keluar.
Ia tak tahan berada di rumah sakit itu, ia tak ingin menerima kenyataan bahwa Alva beserta keluarganya tak lagi berada di dunia ini. Lami menggeleng perlahan, berusaha mengenyahkan kenyataan yang seolah menusuk dirinya sekuat tenaga. Ia tak tahan lagi, Ia akan menemui Alva.
Aku akan menemuimu, Kak…
***
Kafi menghela nafas kasar, mengembalikan pikirannya yang tanpa sadar mengenang memori-memori tentang keluarganya. Ia bangkit perlahan, melangkah kembali menuju ruang inap tempat Lami dirawat.
Pandangannya kini terpaku pada pintu ruang inap tempat Lami beristirahat. Sejujurnya ia tak sanggup melihat kondisi gadis itu yang nyaris gila akibat kejadian tragis ini. Mengapa ketika gadis itu ingin menggapai kebahagiannya justrul kesakitan yang ditemuinya. Ia bahkan telah berusaha ikhlas gadis itu meraih kebahagiaan dengan sahabatnya, bukan dirinya. Asalkan gadis itu baik-baik saja dan tersenyum bahagia maka ia tak akan lagi meminta lebih, ia akan sangat bersyukur dengan itu.
Tapi kini gadis itu telah kembali mendapatkan luka yang semakin melebar dalam dirinya. Membuat gadis itu kehilangan separuh jiwanya hingga nyaris kehilangan kewarasannya.
Mengapa seperti ini..?? Apa sebenarnya rencanamu, Tuhan..??? Apa yang harus kulakukan….
Kafi kembali menghebuskan nafas perlahan, berusaha mengembalikan fokus dirinya. Dengan perlahan memutar knop pintu ruang tersebut. Dirinya langsung menegang ketika tak melihat Lami terbaring di ranjang, yang kini hanya menyisakan selimut yang terkisap.
“Lami kau ada di dalam?” Kafi menggedor pintu toilet di dalam ruangan itu, tempat pertama yang terpikirkan olehnya. Namun tak ada sahutan di sebrang sana, hingga Kafi membuka pintu itu cepat, dan hasilnya kosong, Lami tak berada di sana.
Ia berjalan keluar dengan cepat, menuju meja perawat yang berjaga di lorong itu. “Pasien di kamar 302 tidak ada, apa anda melihatnya?” Kafi dengan gusar bertanya. “Maaf, kami tak melihat ada pasien yang keluar dari lorong ini.” Suster itu menjawab sigap.
“Ia mengenakan gaun pengantin, apa anda tidak melihatnya?” Kafi kembali bertanya diliputi kecemasan yang nyata. “Ah..gadis dengan gaun pengantin?” Suster itu terlihat kaget. “Saya melihatnya berjalan dari lorong ini menuju ke arah luar, tapi saya kira bukan pasien karena mengenakan gaun..Astaga maafkan saya seharusnya saya ..-”
Sebelum suster itu menyelesaikan kata-katanya, Kafi sudah berjalan dengan cepat ke area luar rumah sakit. Menuju ke arah parkiran dan dengan cepat menaiki mobilnya.
“Lena, Lami kabur dari rumah sakit.” Tanpa basa-basi Kafi berucap cepat ketika menghubungi Lena, dengan sebelah tangan menyalakan mesin mobilnya.
“Apa!? Lami kabur? Bagaimana bisa?” Dengan tak kalah kagetnya Lena menyahut.
“Aku minta maaf, aku juga tak menyangka Lami kabur.” Kafi memutar mobilnya cepat, melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. “Lami..ia menuju ke apartement Alva..kita harus segera kesana!”
“Aku..aku akan kesana segera” Lena kembali berucap, dan panggilan telepon itu terputus.
Pria itu kembali melajukan mobilnya dengan semakin cepat. Ia harus segera ke sana, ia bahkan tak berani membayangkan apa yang akan dilakukan Lami. Dia tak akan membiarkan gadis itu melakukan suatu yang buruk pada dirinya sendiri, tidak akan.
Kumohon Lami..jangan lakukan hal yang bodoh…kumohon……jangan…
***
Lami kini berdiri tepat di depan pintu kamar apartement Alva, dengan perlahan menekan tombol-tombol password apartement tersebut. Pintu itu perlahan terbuka, dan lampu-lampu dengan otomatis menyala menerangi ruangan itu.
Gadis itu melangkah masuk dan kenangannya langsung menyeruak mana kala melihat figura-figura foto dirinya dan Alva menghiasi dinding-dinding itu, memaksanya untuk kembali dalam memori-memori indah yang pernah mereka lalui.
Jemari lentiknya perlahan menyentuh salah satu figura, dimana memperlihatkan dirinya dan Alva tersenyum bahagia bersama murid-muridnya di taman kanak-kanak. Saat itu ulang tahun sekolah, dan Alva datang membawa berbagai mainan dan makanan yang membuat murid-muridnya begitu dipenuhi keceriaan.
Netra itu kemudian tertuju pada salah satu figura lainnya yang memperlihatkan dirinya dan Alva menikmati kencan mereka dengan piknik di taman berbukit. Saat itu mereka merayakan ulang tahunnya lebih awal. Alva dengan polosnya lupa bahwa ulang tahunnya sebulan lagi dan malah merayakannya sebulan lebih cepat. Pria itu bahkan sudah menyiapkan kue ulang tahun dan makan malam indah di tengah-tengah taman. Lami bahkan berpura-pura ngambek karena Alva melupakan bulan ulang tahunnya yang membuat pria itu kalang kabut membujuknya.
Melangkah perlahan, kni pandangannya kembali tertuju pada sebuah figura yang terlihat lebih menonjol karena memiliki bingkai berbeda, bingkai putih dengan ukiranan yang indah. Di sana hanya ada foto dirinya tersenyum cerah memandang langit yang kini berwarna jingga pertanda matahari sebentar lagi akan terbenam, ia mengenakan sebuah gaun sederhana, membiarkan kakinya menginjak hamparan pasir putih dengan air laut yang bergulung perlahan, itu sebuah pantai.
Foto itu diambil oleh Alva secara diam-diam, bahkan ia baru mengetahuinya ketika foto itu telah terpajang sempurna di dinding ini. Di foto itu terdapat tulisan tangan sederhana tepat diujung kanan bawah, sebuah coretan pena yang selalu membuatnya tersenyum.
Terima kasih karena telah menjadi kebahagiaanku.
Dengan gemetar jemari itu perlahan menyetuh tulisan sederahan pria itu, rasa sesak langsung menghinggapinya, menekan hatinya semakin kuat. Tanpa sadar buliran air mata yang sedari tadi ditahannya untuk keluar akhirnya menetes juga. Untuk pertama kalinya ia menangis melihat tulisan itu.
***
Kafi dengan tegang berusaha memfokuskan dirinya menyetir dengan menambah kecepatan mobil hingga mencapai kecepatan maksimal. Tak dipedulikannya lagi beberapa pengendara yang mengklakson sebagia tanda peringatan kepada dirinya yang mengemudi dengan kecepatan penuh yang bisa membahayakan siapa saja. Yang saat ini ia pikirkan adalah untuk sampai secepat mungkin di apartement Alva tempat Lami kini berada.
Kini moblinya telah berada di area parkir apartement itu, memparkir mobilnya dengan cepat dan bergegas keluar. Ia setengah berlari menuju lift, menekan lantai sembilan kamar Alva. Menunggu dengan cemas, akhirnya lift itu pun terbuka. Dengan cepat ia masuk menunggu dengan tidak sabar. Kafi berlari cepat, melewati koridor-koridor lantai sembilan. Tergesa-gesa menuju kamar apartement Alva.
Kamar 927, kamar 927, kamar 927
Hanya kata-kata itu yang terus terulang di kepalanya, menemukan kamar 927 kamar Alva. Ketika berada di area koridor kamar Alva, langkahnya semakin dipercepat.
Kamar 927
Pria itu menekan tombol password kamar itu, membukanya dengan kasar. Lampu ruangan apartement itu menyala dengan otomatis, memperlihatkan ruang apartement dengan jelas.
Tak ada Lami di sini…
***
Kini Lami tengah berada di dalam ruang kerja Alva, ruang favorit pria itu dimana ia akan memfokuskan dirinya dengan lembaran-lembaran tentang perusahaan. Ketika pria itu berada disini ia akan sangat fokus, bahkan ketika dirinya berkunjung pria akan tetap fokus pada pekerjaannya. Di sinilah Lami akan terus menggangu Alva dengan keributan-keributan yang diciptakannya, mereka bahkan terkadang bermain sebuah permainan dimana Alva harus bertahan dengan tetap fokus pada pekerjaannya dan Lami yang akan terus menggangunya.
Permainan ini lebih sering dimenangkan Lami dengan Alva yang pada akhirnya tak bisa berfokus dan menyerah. Yang pada akhirnya akan membuat Gadis itu tertawa jahil, disusul tawa Alva. Mereka akan tertawa bahagia bersama-sama.
Gadis itu perlahan berbalik, sebuah cermin tepat berada di belakangnya. Kini ia berdiri tepat di depan cermin besar yang memantulkan bayangan dirinya mengenakan gaun indah terjuntai pas di tubuhnya, gaun pengantin cantik yang memancarkan aura gadis sederhana nan anggun. Namun kecantikan gaun itu tak terpancar sama sekali pada paras yang kini menatap kosong ke arah pantulan dirinya, sebuah pandangan kosong yang menyayat hati, tatapan yang hanya dimiliki oleh seseorang yang tak memiliki raga di dalam dirinya. Jemari lentik itu bergerak perlahan, dengan gemetaran gadis itu menyentuh cermin di hadapannya.
“Mengapa kau tega melakukan ini kak?”
Perkataan menyayat hati bergaung di ruangan senyap yang terasa dingin. Seharusnya kini dia berbahagia dengan keluarga barunya, kehidupan barunya. Pandangan kosong itu perlahan berubah menjadi sebuah pandangan kemarahan dan kekecewaan. Takdir ini mempermainkannya, dia sudah melewati takdir kejam yang meremukan jiwa dan raganya, tapi dia bertahan, dengan sebuah harapan bahwa takdirnya akan berubah di kemudian hari. Bukankah kehidupan ini adalah roda yang terus berputar? Lalu mengapa kehidupannya tak berputar juga? Mengapa tuhan selalu membuat hidupnya terasa begitu berat? Kalau memang tuhan itu ada, apakah dia tak melihat dirinya dan menganggap bahwa dia adalah makhluk yang tak penting, sama seperti orang lain yang melihatnya.
Disapukannya pandangan kosong itu ke seluruh penjuru ruangan itu. Sebuah ruang apartement yang menyimpan berbagai kerinduan. Langkahnya perlahan terarah menuju balkon. Hembusan angin malam yang menusuk kulit tak memudarkan langkahnya untuk berdiri berpeganggan pada pembatas balkon yang memperlihatkan gemerlap malam ibu kota dari lantai sembilan ini. Dia sudah bertahan sejauh ini, bertahan dan menjalani kehidupan dimana dia tak punya pilihan lain selain menjalani semuanya.
Jika aku mati apakah aku akan bertemu kakak?
Kaki jenjangnya dengan perlahan melangkah melewati pembatas balkon, berdiri di luar pembatas tanpa terlihat takut atau pun gentar dengan dirinya yang bisa terjatuh kapan saja. Dia sudah muak dengan terus berharap kepada tuhan, dia sama sekali tak menginginkan kemewahan atau pun segala keindahan dunia, dia hanya ingin bersama dengan orang yang disayanginya dan menyayanginya, sesederhana itu. Kalau memang tuhan tak bisa meengabulkan permintaannya yang sederhana itu, dia lebih baik melenyapkan dirinya.
Aku merindukanmu kak……..
Aku ingin menemuimu………
Genggaman pada pembatas itu perlahan meengendur, tubuh itu perlahan terhempas, membawa dirinya ke dasar kegelapan, kegelapan yang begitu indah. Dia akan bertemu dengan sang kakak, pemikiran itu membuatnya tersenyum, senyum indah sang pengantin wanita.
Aku mencintaimu kak………..
***
Dengan cepat Kafi mencari, membuka pintu demi pintu ruang apartement tersebut. Ketika pada akhirnya ia membuka pintu ruang kerja Alva, netra tajam itu dengan cepat memindai. Ruangan itu juga kosong namun pintu menuju balkon terbuka lebar, menghembuskan hawa dingin yang mencekam.
Pria itu berjalan perlahan, jantungnya berdetak semakin cepat seiring dengan semakin dekatnya ia menuju balkon. Dengan gemetaran pria itu menyentuh pagar pembatas yang terasa begitu dingin. Pria itu perlahan menundukan kepalanya, berusaha mengenyahkan segala pikiran buruk yang silih berganti menghantuinya.
Namun pemandangan dibawah sana menamparnya dengan keras. Di bawah sana dari kejauhan terlihat jelas sosok yang terbujur kaku, gaun pengantin putih yang dikenakannya kini menyaru dengan pekatnya merah darah yang mengalir. Terlihat orang-orang mengerubuni sosok tersebut dengan kaget bercampur kepanikan dan kebingungan, menyaksikan kengerian yang mencekam mana kala melihat tubuh mengenaskan tak bernyawa itu.
Ia terlambat…ia tak dapat menyelamatkan Lami…
To be Continued
Lami bunuh diri???? :PATAHHATI :PATAHHATI
Kafi telat dtng nya huhuhu, trs trs gmn dah ini ceritany klo Lami dah meninggal, beralih ke Lena Kafi kah atau bagaimana??aduhhh penasaran huhu
Ditunggu kelanjutanny Semangat trs ya
sedih banget dah klo jadi lami… :nangisgulinggulingan :nangisgulinggulingan :nangisgulinggulingan
sampe beneran bunuh diri? apakah dia selamat? :PEDIHH
Lami bunuh diri?? Aaa tidak :tidakks! Kafi telat datang
Lami bunuh diri? :KAGEET
Terus itu gimanaa :LARIDEMIHIDUP :PATAHHATI
Lami kok bunuh diri c huhuhuhu
:PATAHHATI :PEDIHH :beruraiairmata
Kok bunuh diri sih ?! :PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI
OMG!! Kafi terlambat,,
Lami telah menjadi mayat,,??
:PATAHHATI PATAHHATI :PATAHHATI tidakssss
Sedih bgt jadi Lami :PATAHHATI
kaaaaaann, ini jadi bunuh diri :PATAHHATI
Huhuhuhu???
Sedih banget jadi Lami??
Ya ampuuunn??
Ditunggu kelanjutannyaa
Eduduuh.. nyawa itu neng. Cuma ada 1
Waw
Krnapa cerita ini tragis sekali??
Wedding