“Hidup yang menyedihkan, membosankan.” Suara anak kecil itu memecah keheningan panjang yang terbentang.
Setelah Lami melihat kilasan-kilasan hidupnya di panti setelah kematian bibinya, kilasan dimana wanita jahat itu menyiksanya, secara tiba-tiba kesadarannya terenggut lagi dan kini telah kembali berada dalam ruang putih dan gelembung itu lagi.
Lami hanya terduduk untuk waktu yang lama, merenung dalam diam. Sebelum akhirnya anak kecil tadi memecah keheningan yang terjalin. Mau tak mau Lami mengiyakan apa yang dikatakan anak kecil tadi. Hidupnya memang menyedihkan, apalagi setelah kematian sang bibi. Rasanya hidupnya tak pernah mudah lagi. Setidaknya sampai ia bertemu dengan Alva, kebahagiaannya yang ditunggu untuk waktu yang lama. Akan tetapi tetap saja semuanya terenggut lagi dari dirinya.
“Ah, benar. Kita harus melihat kilasan mengenai percintaanmu.” Tiba-tiba saja gadis itu telah duduk disampingnya, berujar antusias.
“Maksudmu kehidupanku dengan Kak Alva?” Lami menyeruakan pertanyaan.
“Bukan.” Anak kecil itu memutar bola mata bosan. “Kisahmu dengan Kafiansya Geovian.”
Ketika nama itu disebutkan oleh anak kecil di hadapannya dengan senyum ceria. Lami tercekat. “Aku tak punya hubungan apa-apa dengan dirinya.” Lami menggeleng menolak. Perkataan itu malah membuat anak kecil di sampingnya tertawa cekikikan, sebuah ekspresi baru dari anak kecil yang tadinya hanya berekspresi datar dan dingin.
“Kau lucu.” Anak kecil itu berujar dengan masih menyisahkan tawa. “Jelas-jelas pria itu adalah orang yang spesial, bahkan terdapat satu ruang yang hanya dipenuhi dirinya dalam hatimu.”
Lami tak dapat mengendalikan wajah shock pun dengan mata yang mengerjap tak percaya dengan apa yang dikatakan anak kecil ini. Sebuah perkataan yang mau tak mau sedikit mencubit dirinya dengan sengatan kebenaran. Walaupun ia terus menggeleng menolak segala kebenaran yang terdapat dalam hatinya.
“Ini pasti menyenangkan!” Anak kecil itu berujar girang, tak dapat menahan senyum manis yang tersungging jelas dari raut wajahnya. Dengan bersemangat menggerakan jari-jarinya sehingga sebuah gelembung melambung ke arahnya, melayang perlahan.
“Aku suka sekali kisah cinta anak remaja, cinta pertama yang manis.” Anak kecil itu begitu girang, bahkan ia bertepuk-tepuk tangan senang, senyum bahkan tak pudar dari bibirnya.
“Ayo kita melihatnya!” Seru anak kecil itu dengan girang. Lami bahkan tak mampu berkata-kata lagi dan dalam sekejap semuanya kembali menggelap, Lami kembali terlelap dalam kegelapan.
***
Ketika netra kelam itu kembali terbuka, dirinya telah berada di sebuah gedung SMA tempatnya dulu menimba ilmu. Sekolah ini begitu ramai dipenuhi oleh siswa-siswi baru yang berdiri berbaris di lapangan sekolah.. Dirinya juga berdiri di barisan para murid baru itu, dibaris yang paling belakang, hanya termenung dalam diam.
Lami remaja menghela nafas perlahan begitu kepala sekolah telah selesai memberikan sambutan. Kini di podium itu, ketua osis sedang memberikan sambutannya. Setelah memberikan instruksi-instruksi bahwa murid baru membentuk kelompok-kelompok baru sesuai dengan nama-nama yang ditayangkan pada slide yang terpampang di atas, semuanya mulai berpencar menemukan kelompok yang lain.
Lami berjalan belakangan, sedikit mengerinyit menahan sakit di punggungnya. Tadi pagi sebelum bersekolah wanita jahat pemilik panti itu memukulinya lagi dengan rotan di punggung karena Lami kesiangan dan tak sempat membuat sarapan pagi untuk penghuni panti. Wanita itu yang dalam mood tidak baik memukulnya tak tanggung-tanggung. Dengan menahan sakit Lami tetap harus bersekolah, menahan perih di punggungnya.
Lami menghela nafas berat begitu menemukan kelompoknya. Murid-murid itu mulai saling bercakap-cakap memperkenalkan diri. Seperti biasa Lami hanya berdiri mematung dengan jarak yang cukup kentara, berdiri sendirian.
“Hei lo anak baru yang di sana!” Semua mata langsung tertuju kepada Lami begitu seorang anggota osis, senior perempuan menunjuk ke arahnya dengan menyeru menggunakan mic yang dapat didengar semua orang.
Lami menelan ludah begitu si senior tadi memandangnya sinis dan tajam menghujami. Merutuki dirinya karena sudah mendapat masalah bahkan di hari pertamanya bersekolah.
“Ngapain lo bengong aja? lo ngak denger disuruh gabung sama kelompok lo? budeg, yah?” Suasana langsung jadi tegang begitu si senior perempuan berucap pedas, masih memandangnya tajam. Lami langsung berjalan mendekat ke kelompoknya patuh. Sedikit bernafas lega karena si ketua osis melerai senior perempuan tadi begitu ia kembali ingin berkata.
Suasana kembali berjalan kondusif begitu ketua osis memberikan serentetan kegiatan yang akan mereka laksanakan untuk tiga hari ke depan. Untuk hari ini mereka sudah diminta untuk mengumpulkan tanda tangan para anggota osis dan sebagai gantinya kelompok yang mengumpulkan tanda tangan paling banya esoknya akan dibebaskan dari segala pemakaian atribut aneh-aneh khas masa orientasi sekolah.
Tentu saja semua murid baru sangat senang dan bersemangat, mereka mulai riuh satu sama lain. Berbeda dengan Lami yang hanya berdiri kaku seperti biasa. Ketika ketua osis mulai memberi aba-aba bahwa mereka boleh memulai permainan tanda tangan itu. Otomatis semua murid baru mulai bersiap berlomba-lomba untuk meminta tanda tangan.
“Khusus buat lo, anak baru.” Si senior perempuan tadi, yang bernama Giselle, menghadang langkah kelompoknya, lebih tepatnya menghadang Lami dan memandangnya sinis. “lo harus ambil tanda tangan cowok yang ada di balkon atas, cowok yang namanya Kafiansya Geovian.” Giselle kini tepat berdiri di hadapannya, membuat murid-murid lain yang tadi sudah bersiap untuk meminta tanda tangan ikut berhenti ingin mendengar apa yang dikatakan senior mereka.
“lo dan kelompok lo bakal bebas dari segala atribut kalau lo berhasil.” Senior itu kembali berucap. “Kalau lo gagal, lo dan kelompok lo juga yang bakal kena hukuman.” Giselle menyelesaikan perkataannya, melenggang pergi dengan senyum sinis.
Lami hanya mampu menghela nafas. Sepertinya senior tadi sudah menaruh dendam tak langsung karena masalah di lapangan tadi. Pada akhirnya Lami hanya bisa menurut, melangkah menjauh menuju balkon.
***
Lami menarik nafas yang dalam, menghembuskannya perlahan. Kini dirinya telah berdiri di ujung tangga menuju balkon sekolah ini. Ia perlahan melangkah ragu, pandangannya langsung disapukan menuju balkon, dan terlihatlah di sana sosok bernama Kafiansya Geovian.
Lami melangkah mendekat tanpa suara, berdiri kaku menimbang-nimbang dengan gugup. Sosok itu duduk membelakanginya, sedikit membungkung sepertinya sedang membaca. Buku-buku sedikit berserakan di dekatnya, sosok itu terlihat begitu serius dan tenggelam dalam bacaannya.
“Kak Kafiansya..” Setelah mengumpulkan keberanian, Lami menyapa dengan gugup. Membuat sosok pria itu yang tadi begitu fokus dengan bacaannya refleks menoleh.
Pria itu mengerinyit, memandang gadis di hadapannya bingung. Gadis yang memandangnya dengan gugup dan takut-takut, berdiri dengan kaku.
“Siapa lo?” Kafi berucap datar membuat Lami semakin gugup. Cepat-cepat ia menyodorkan kertas di genggamannya ragu. “Saya..saya mau minta tanda tangan.”
“Gue bukan anggota osis, lo salah orang..” Kafi berujar tak peduli, kembali berbalik untuk membaca. Sepertinya gadis itu hanya anak baru yang nyasar.
“Saya disuruh untuk minta tanda tangan kakak.” Gadis itu kembali berujar masih dengan nada yang gugup. Membuat Kafi menghembuskan nafas kasar. “lo disuruh? sama siapa?” Kafi berujar, kali ini tak menoleh.
“Kak Giselle..” Lami kembali menyahut pelan, menautkan jari-jarinya, kebiasaan ketika sedang gugup.
“Giselle.” Kafi menggumam jengkel, merutuk pelan. Ia kembali berbalik, memandang gadis di hadapannya kini yang masih berdiri gugup sambil menautkan kedua tangannya.
“Bilangin ke dia, gue ngak mau.” Kafi berucap datar. “lo pergi aja.” Ia kembali berbalik, memfokuskan dirinya kembali dengan buku bacaannya.
“Kak saya minta tolong..” Lami memberanikan diri, kali ini berucap lebih jelas dengan menyodorkan kertas itu kembali. “Saya butuh tanda tangan kakak, tolong…”
Kafi berdecak kesal, menghembuskan nafas kasar. Perlahan ia bangkit, merapikan buku-bukunya bersiap melangkah pergi.
Tanpa berfikir panjang, Lami mencekal tangan seniornya, menahannya dengan gugup. Dalam hati Lami merutuki sikapnya yang implusif dan nekat seperti ini. Namun ia harus mendapatkan tanda tangan itu. Ia tak mau menjadi sasaran pembullyan oleh kakak kelasnya, ia hanya ingin menjalani masa SMA-nya dengan tenang, sama sekali tak ingin menjadi objek perhatian.
Lami langsung melepaskan cekalannya begitu pria di hadapannya kini tegang menahan amarah. Lami kembali menyodorkan kertas itu takut-takut, menunduk dalam-dalam tak berani memandang pria dengan tatapan tajam yang siap untuk mengulitinya.
Lami merasakan hembusan kasar serta umpatan yang sepertinya tertahan dari pria itu. Hanya beberapa detik, pria itu sudah siap kembali melangkah, tak menghiraukan gadis di hadapannya.
Sebelum Lami kembali melangkah untuk mengejar langkah pria itu, gadis itu tiba-tiba terhenti. Mengerinyit menahan sakit yang langusung menyerangnya tepat di punggung, bekas pukulan wanita itu tadi pagi. Pandangan gadis itu berkunang-kunang, menahan sakit yang tiba-tiba menyerangnya tanpa ampun.
Hingga pada akhirnya gadis itu oleng, terjatuh tak mampu manahan beban tubuhnya. Memaksa dirinya menutup mata dengan kesadaran yang perlahan semakin menggelap.
“Hei, anak baru, ada apa dengan lo!? Hei sadarlah.” Sebelum kesadarannya hilang total, Lami masih mendengar suara kakak seniornya yang tadi, mengguncang tubuhnya perlahan. Kemudian ia merasa terayun-ayun seolah diangkat. Namun ketika Lami berusaha membuka matanya untuk melihat apa yang terjadi, kesadarannya semakin kabur. Hingga pada akhirnya semua menjadi gelap dan Lami tak mampu merasakan apa-apa lagi.
***
Lami perlahan mengerjap mengumpulkan kesadaraan. Pandangannya perlahan menjelas sehingga ia dapat melihat langit-langit putih tepat di atasnya. Ia mengerinyit begitu merasakan sakit di punggungnya, walaupun tak sesakit yang tadi. Ini bukan yang pertama ia kehilangan kesadaran karena menahan sakit.
Ketika wanita pemilik panti itu sedang sangat kalap, biasanya dia akan memukuli dirinya berkali-kali lipat kuatnya. Sehingga terkadang Lami yang tak mampu menahan sakit akibat pukulan itu akan jatuh pingsan tak berdaya. Seperti saat ini sepertinya ia kembali tak mampu menahan kesakitan dan akhirnya kehilangan kesadaran.
“Lo sudah sadar?” Lami tersentak begitu mendengar suara itu. Di sisi ranjang, kakak seniornya, Kafiansya Geovian terduduk di sebuah kursi dalam diam. Mengamati Lami yang kini telah sadar sepenuhnya.
“Lo sakit, yah? sampe bisa pingsan kaya tadi.” Pria itu kembali bergumam. “Kalau emang masih sakit sebaiknya lo pulang aja.”
Lami perlahan berusaha bangkit, menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang, sedikit mengerinyit begitu merasakan kembali sakit di punggungnya.
“Terima kasih, kak. Sudah nolongin saya.’’ Lami menunduk perlahan, mengucap terima kasih dengan tulus. Pria itu hanya mengangguk seadanya, kemudian bangkit dari duduknya.
“Istirahat aja dulu di sini, setelah udah baikkan lo bisa pulang.” Pria itu berdehem pelan. “Gue udah izinin lo.”
“Kalau gitu, gue duluan.” Kafi mengangguk perlahan, membalikkan badan. sebelum keluar dari ruang UKS, pria itu kembali menoleh. Memandang gadis yang kini sentengah terbaring yang juga balas memandangnya.
“Terima kasih, kak.” Sebelum Kafi kembali melangkah keluar, ia dapat mendengar kembali lirihan gadis itu, ucapan terima kasih yang terdengar begitu tulus. Pria itu kembali terdiam, namun sedetik berikutnya ia kembali melangkah, menutup pintu ruang UKS pelan, menghilang dibaliknya.
Lami menghela nafas dalam begitu pintu itu tertutup. Menyadarkan tubuhnya lelah. Rasa sakit masih merayapinya, sepertinya dia memang harus segera pulang dan mengoleskan salep pada luka di punggunnya yang terasa berdenyut sakit.
Ia kembali menghela nafas berat begitu mengingat dirinya tak berhasil mendapatkan tanda tangan seniornya. Sepertinya ia harus menyiapkan diri untuk kemarahan senior perempuan tadi, Giselle. Semoga saja setidaknya kemarahan itu cepat berlalu dan ia kembali dilupakan.
Lami tanpa sadar menoleh ke arah kertas yang terdapat di atas nakas samping ranjang. Itu adalah kertas tempat tanda tangan tadi. Gadis itu meraihnya dan langsung terpaku begitu melihat coretan tinta pena di kertas yang tadinya kosong itu.
Ini adalah tanda tangan kakak seniornya, tanda tangan Kak Kafiansya….
***
Lami tanpa sadar tersenyum begitu melihat dirinya yang remaja tersipu dan tersenyum memandang kertas di genggamannya. Saat itu memang adalah hal yang membahagikan, entah mengapa. Padahal itu hanya sebuah tanda tangan seniornya, sebuah tanda tangan yang terasa sangat berarti baginya.
“Bukankah Kafi begitu manis? Ia mengangkatmu ke sini, mengizinkanmu, menungguimu hingga sadar, bahkan memberikan tanda tangannya..” Anak kecil yang sedari tadi juga memperhatikan berujar dengan senang, tersenyum manis.
Memang benar apa yang dikatakan anak kecil itu. Pria itu mengangkatnya ke UKS dengan panik. Menungguinya hingga sadar, bahkan memberikan tanda tangannya yang tadi tak ingin diberikan.
Memangnya kenapa?
Senyum hilang dari raut wajah Lami. Memangnya kenapa jika pria itu melakukannya? Wajar saja ia meggendongnya ke UKS, banyak orang yang akan melakukan hal yang sama begitu melihat seseorang yang pingsan. Pria itu menungguinya juga hanya karena kasihan pun dengan tanda tangan itu, semuanya hanya murni karena kasihan.
“Murni karena kasihan? Benarkah? Apa kau yakin?” Anak kecil itu bergumam misterius. “Kau yang paling mengetahuinya, Lami.”
“Tentu saja, semuanya hanya karena kasihan.” Lami berseru datar, memandang sinis kepada anak kecil di hadapannya.
“Teruslah berbohong, Lami.” Anak itu kembali menyahut. “Baiklah, ayo kita melihat yang lain.”
Dan seperti yang sudah-sudah mereka kembali berpindah, menuju kilasan yang lain.
***
Lami remaja memandang sosok itu diam-diam, memperhatikannya dari kejauhan. Pria itu sedang bercakap-cakap dengan dua temannya, sesekali tersenyum tipis mendengar celoteh kedua temannya. Mereka sedang duduk di tribun penonton lapangan basket di sekolah, menyaksikan beberapa siswa-siswa anak basket sedang berlatih.
Sebenarnya pasti Kak Giselle lah yang minta ditemani untuk menonton permainan anak basket. Sedangkan Kak Kafi jelas lebih memilih untuk membaca di balkon dari pada membaca di tempat riuh seperti ini. Dan Kak Andre yang juga anak basket tentu juga ada di sana, berceloteh dengan bersemangat.
Belakangan ini, memperhatikan kakak seniornya diam-diam sudah menjadi kebiasaannya. Ia mengetahui bahwa pria itu besahabat dengan Kak Giselle, senior yang melabraknya dulu. Kakak kelas yang begitu cantik dan modis, sekertaris osis, walaupun begitu memiliki mulut yang cukup tajam dan pedas. Namun ia bukan tipe kakak kelas pembully, hanya saja memang perkataannya cukup sinis dengan wajah yang jutek. Kak Andre sahabatnya yang lain, adalah seorang anggota basket, suka bermain games dan berceloteh ria. Sedangkan Kak Kafi adalah pria yang tenang, menyukai membaca buku-buku ilmu apapun dan novel terjemahan thriller ataupun detective. Walaupun begitu pria itu bukan tipe pria geek yang menghabiskan waktunya hanya untuk membaca, ia juga suka bermain basket. Namun ketika disuruh memilih antara basket dan buku, jelas ia lebih memilih membaca buku di balkon sekolah.
Lebih sering menjadi pendengar celotehan kedua temannya, dan menjadi penengah ketika kedua sahabatnya beradu mulut. Pria itu juga suka ketenangan, menyukai kesendirian yang menenangkan. Gara-gara memperhatikan pria itu terus menerus, Lami jadi hafal kebiasaannya bahkan kebiasaan kedua sahabatnya pun juga ia tahu.
Seperti sekarang, Kak Giselle ingin menonton pertandingan anak basket karena ingin melihat gebetan barunya, si kapten basket, Kak Rico. Dan memaksa kedua sehabatnya untuk menemaninya. Ia bahkan mengetahui rahasia bahwa Kak Andre sudah lama menyukai Kak Giselle, namun karena gadis itu yang sepertinya tak memiliki perasaan yang sama, Kak Andre tak berani bilang, takut mengacaukan persahabataan mereka.
Lihatlah Lami, kau sudah seperti peguntit…
Lami merutuki dirinya. Sepertinya ia memang telah menjadi penguntit, memperhatikan pria itu bahkan hingga kebiasaan sahabat serta rahasia-rahasia mereka.
Seharusnya ia menghentikan dirinya dari hal seperti ini. Ia seharusnya fokus terhadap sekolahnya, fokus belajar demi masa depannya. Namun seperti magnet, ia terus tertarik oleh kakak seniornya itu. Dan untuk pertama kalinya, hanya karena sebuah tanda tangan itu tempo hari, ia ingin mengenal sosok itu lebih jauh, walaupun mungkin hanya seperti ini, memperhatikannya dari jarak jauh.
***
“Gue udah cantik, ngak?” Giselle bertanya kepada kedua temannya, Kafi dan Andre, tersenyum cantik sambil mengibaskan rambut dark brown-nya percaya diri. Kafi hanya mengangkat kepala sekilas dari bacaannya, mengangguk sekilas. Sedangkan Andre hanya memandang malas, ikut mengganguk malas-malasan.
Giselle yang melihat kedua sahabatnya yang hanya memberikan respon sambil lalu, mendengus sebal. Ia perlahan bangkit, mengambil sebuah minuman isatonik, memandang sebal ke arah dua pria ini yang masih duduk.
“lo, lo pada emang ngak guna.” Giselle berucap pedas, namun kedua pria itu hanya memandang tak peduli, sudah kebal dengan mulut tajam gadis itu. “Gue pergi, lebih baik gue nemuin Rico!” Giselle berlalu, melangkah menjauh menuju Rico yang tengah duduk beristirahat bersama teman-temannya. Gadis itu mulai melancarkan aksinya, tersenyum manis dan ikut duduk di dekat Rico sembari menyodorkan minuman isatonik, modus ke gebetan barunya.
“Sakit hati gue, man!” Andre mengacak rambutnya frustasi. “Baru aja dia putus dari pacarnya, eh..udah gebetin cowok baru, Si bajingan Rico lagi.” Pria itu mendengus kesal. “Kapan coba gue dapat kesempatan? Sial amat gue..” Andre memang sudah lama menyukai Giselle, untuk masalah kode-mengkode ia sudah memberikan berbagai kode, kode smaphore sekalian! Namun tetap saja cewek dengan muka jutek itu ngak pernah peka-peka atau lebih tepatnya emang ngak ngelirik Andre. Andre juga cuma mau main aman, bisa-bisa kalau dia nyatain perasaannya blak-blakan, persahabatan mereka bakal berantakan.
“Lo kurang lincah kali.” Kafi berucap santai, masih memfokuskan dirinya dengan buku di tangannya.
“Ya elah, gue udah ngekodein Si Giselle berkali-kali. Dianya aja yang ngak peka-peka.” Pria itu mendengus. “Kurang apa gue coba? Gue ganteng maksimal, rajin ibadah, tidak sombong, dan rajin menabung. Kurang apa gue coba?” Kafi terkekeh geli mendengar celotehan sahabatnya yang agak ngaur. Mungkin karena pria di sampingnya ini agak miring jadi Giselle ogah sama dia, mungkin. Tapi tentu saja Kafi tak akan mengatakan hal tersebut, bisa-bisa cowok di sampingnya ini makin frustasi dan makin miring.
“Giselle ngak pernah serius sama cowok-cowok yang dia pacarin. Nanti lo juga bakal dapat kesempatan.” Kafi kembali berujar, kali ini telah berfokus penuh pada pembicaraan mereka.
“Tapi bro, Giselle aja pernah naksir lo pas kelas satu, nah gue dari kelas satu sampai tiga ngak pernah dilirik!” Kali ini Kafi tak dapat menahan tawanya. Namun segera berhenti begitu Andre sok-sokan merajuk. “Najis lo.” Kafi menoyor kepala cowok di sampingnya, membuat cowok itu setengah meringis.
“Sekarang kita bahas tentang lo.” Andre memperbaiki duduknya, memasang tampang sok seriusnya. “lo ada kemajuan ngak sama anak baru itu?” Andre tersenyum menggoda, menaik-turunkan alisnya jahil.
Kafi berdecak kecil begitu si Andre yang rese kurang kerjaan tanya-tanya hal ngak penting kaya gitu. Memang setelah kejadian tempo hari dimana ia membantu anak baru yang pingsan itu serta mengizinkannya langsung pada ketua osis, Giselle dan Andre langsung merecokinya dengan berbagai pertanyaan.
Pasalnya Kafi memang orangnya paling tidak ingin berurusan dengan hal-hal ngak penting, ia paling cuek dengan sekitar dan ngiizinin secara langsung seorang yang dia tak kenal sama sekali bukan gayanya. Hidupnya terlalu fokus pada pelajaran, dan buku-buku yang menyertainya. Bersahabat dengan Andre dan Giselle pun merupakan suatu paksaan pada awalnya. Saat kelas satu Andre menjadi teman sebangkunya, serta Giselle yang terus merecoki hidupnya, jadilah mereka jadi akrab dan bersahabat.
Apalagi ditambah dengan Kafi yang memberikan tanda tangannya kepada si anak baru. Meladeni keisengan Giselle yang menggangu ketenangannya tak pernah ia tanggapi. Tadinya Giselle sudah yakin bahwa si anak baru akan pulang dengan kekecewaan dan ketakutan karena tak berhasil mendapatkan tanda tangan Kafi, namun keesokan harinya gadis itu memberikan tanda tangan Kafi, jelas saja Giselle sangat kaget. Gimana bisa coba Kafi yang paling anti meladeni keresean serta keisengannya malah memberikan tanda tangannya secara cuma-cuma. Dan jadilah Giselle dan Andre terus menyangkut pautkan hal tersebut, bahwa si anak baru itu spesial baginya.
“Berapa kali gue udah bilang, gue cuman kasihan sama tuh anak baru.” Kafi berujar sedikit jengkel. Jelas pria itu hanya kasihan. Tiba-tiba saja anak baru itu pingsan di hadapannya, menahan kesakitan yang seolah menggerogotinya. Ia akan jadi orang yang paling tak berperasaan jika tak menolong gadis itu. Dan lagi mengenai tanda tangan, gadis itu sudah memohon berkali-kali, apa salahnya ia memberikan tanda tangannya?
“Nyangkal aja terus, nanti kisah cinta lo bakal kaya ftv-ftv. Dari benci, nyangkal, eh..jadinya cinta mati..cie,,cie.” Andre tertawa jahil, beberapa orang yang duduk di tribun bahkan menoleh saking besarnya suara Si Andre ketawa. Kafi menghela nafas sambil menggeleng-gelengkan kepala, kayanya si kunyuk satu ini memang udah miring, miringnya udah ngalahin menara pisa.
“Terserah lo aja.” Kafi mulai bangkit, membereskan beberapa buku-bukunya, siap melangkah menuju balkon tempat kesukaannya. Andre berseru memanggil namanya, bertanya mau kemana dirinya. Kafi hanya mengangkat satu tangan, pertanda bahwa ia ingin ke balkon. Andre mengangkat bahu, Kafi dan kebiasaannya, membaca di balkon.
***
Salah satu kebiasaan Lami yang lain adalah menghabiskan waktunya di perpustakaan sekolahnya yang cukup lengkap. Ia lebih memilih untuk menghabiskan waktunya menyendiri di dalam perpustakaan dan mendalami berbagai buku-buku. Ia memang cukup kesulitan untuk bergaul dan mencari teman, jadilah ia lebih akrab dengan buku-buku di perpustakaan.
Seperti saat ini, ia sedang mencari sebuah buku tentang rasi bintang, salah satu buku favoritnya. Gadis itu mulai melangkah melewati rak-rak buku yang menjulang tinggi tertata rapi. Ia tersenyum begitu telah sampai ke rak dimana buku tentang astronomi yang terletak di paling ujung ditemukan. Namun senyum itu langsung hilang begitu ia melihat sosok yang sangat ia kenali terduduk disana, menselonjorkan kakinya dengan buku di pangkuannya, tenggelam dalam bacaan tersebut. Sosok itu adalah kakak senior yang ia perhatikan dari jauh selama ini dan sekarang hanya berjarak beberapa meter darinya, Kak Kafiansya Geovian.
***
Lami menelan ludah, tanpa diminta jantungnya langsung berpacu lebih cepat, membuat irama pukulan yang bersahut-sahutan. Sejenak ia ingin langsung berbalik pergi, namun keinginannya untuk membaca buku rasi bintang itu jauh lebih besar dari kegugupannnya bertemu dengan sosok kakak kelasnya.
Ia hanya perlu mencari buku itu dengan cepat, kemudian segera berbalik. Itu hal yang mudah, Lami membatin dalam hati. Setelah menetralkan detakan jantungnya yang berirama cepat, gadis itu mulai melangkah pelan tanpa suara, berusaha tak menarik perhatian. Gadis itu dengan cepat memindai buku yang ia inginkan, namun kesialan sedang memihaknya karena buku yang ia inginkan berada di rak teratas, jauh dari jangkauannya. Gadis itu berjinjit, dengan tangan yang direntangkan tinggi-tinggi berusaha meraih buku itu.
Sedikit lagi…ayolah….
Lami melirik pria yang tak jauh disampingnya, syukurlah sepertinya pria itu tidak terpengaruh dengan keberadaan dirinya. Buku itu tak terjangkau juga, hanya sedikit keluar dari barisannya, namun Lami sama sekali tak bisa menjangkaunya.
Lami tersentak begitu rak buku itu tiba-tiba bergoyang dan buku yang ia inginkan terjatuh dengan dentaman yang cukup keras. Lami memandang sosok di sampingnya kaget, sosok yang menendang rak itu hingga bergoyang dan menjatuhkan buku itu. Namun seolah tak terpengaruh, kakak kelasnya itu sama sekali tak bergeming dari duduknya, mendalami buku di pangkuannya.
“Terima kasih, kak.” Setelah tersadar dari keterpakuan, Lami berucap lirih, memungut bukunya dengan gugup, berlalu dengan cepat.
***
Seperti biasa Lami melakukan kebiasaannya dengan memandang dari jauh sang kakak kelas yang duduk bersama kedua sahabatnya di tribun penonton lapangan basket. Setelah kejadian di perpustakaan tempo hari, dimana kakak kelasnya itu membantunya secara tidak langsung mengambil bukunya, Lami semakin memikirkan pria itu. Ia juga sangat bingung dengan perasaannya sendiri, mengapa dirinya bisa seterpaku itu pada kakak kelas yang sudah dua kali menolongnya? apakah hanya murni karena sang kakak kelas menolongnya? atau karena hal yang lainnya..?
Kau menyukai kakak kelasmu
Jawaban dari dalam dirinya yang entah dari mana muncul langsung terngiang-ngiang. Lami tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepalanya menolak segala pemikiran di dalam dirinya.
Jika kau tak menyukainya, lalu mengapa kau selalu memeperhatikannya? mengungtitnya seperti ini?
Dalam dirinya kembali menyahut, memberikan pertanyaan yang Lami sendiri tak tahu jawabannya. Gadis itu mendesah kasar, apa sih yang ia lakukan dengan memperhatikan pria itu dari jauh? Apa yang ia dapatkan? Seharusnya tidak seperti ini, ia tak semestinya berlaku bodoh dan aneh seperti ini. Gadis itu berbalik, melangkah pergi menjauh.
Aku tak boleh seperti ini, aku harus pergi. Benar, aku hanya perlu untuk pergi.
***
Lami berjalan pelan menuju panti asuhan. Pikirannya mengelana jauh, berbagai pikiran berkecamuk silih berganti. Andai saja bibinya masih ada bersama dirinya, mungkin bebannya akan menjadi lebih ringan, setidaknya ia memiliki seseorang untuk berbagi keluh kesah dan tempat untuk bersandar. Ia sangat merindukan bibinya, wanita jahat itu melarangnya untuk berkunjung ke makam sang bibi. Melarangnya untuk pulang terlambat sedikit saja, kalau tidak wanita itu bisa menjadi sangat marah dan kalap memukulnya tanpa ampun.
Ia ingin bertemu dengan bibinya, memeluk bibinya, menyampaikan keluh kesahnya, perasaannya yang saat ini tak menentu, perasaannya tentang kakak kelasnya. Ia juga sangat takut untuk pulang ke panti dimana semuanya hanya penderitaan yang ia dapatkan, dari wanita jahat itu yang melampiaskan semua amarahnya dengan pukulan keras kepadanya dan juga pada suami wanita jahat itu. Entah mengapa suami wanita itu sangat menyeramkan, memperhatikannya dengan tatapan mengerikan seolah menemukan mangsa yang siap diterkam seperti dirinya. Ia takut, sangat takut suami wanita itu melakukan sesuatu padanya.
Lami selalu berfikir untuk pergi dari panti asuhan itu. Namun dimana ia harus tinggal dan mendapatkan makanan jika bukan di sana? Ia tak punya harta apapun dan hidup bergantug pada pekerjaannya sebagai pembantu di panti asuhan, ia tak tahu harus kemana, ia juga tak tahu dunia luar seperti apa. Bisa saja akan jauh lebih kejam dari panti asuhan itu.
Walaupun Lami harus menerima kesakitan serta ketakutan berada di panti, tetap saja ia bertahan. Setidaknya ia masih punya teman-teman panti untuk saling menguatkan dan melindungi. Ia harus bertahan, setidaknya sampai ia lulus SMA dan mendapatkan ijazah, sampai ia bisa mencari pekerjaan di luar. Dia hanya perlu bertahan sedikit lagi.
Bibi, tolong bantu aku…..
Gadis itu merapalkan doa, berharap dengan seperti itu setidaknya bibinya menolongnya, setidaknya ia mendapatkan kekuatan dari sang bibi.
“Hei kau!” Lami langusung menoleh begitu mendengarkan suara yang tidak asing itu dari belakang. Itu suara wanita jahat itu, ia melangkah cepat, memandang marah pada Lami yang hanya bisa menunduk.
“Kenapa kau jalan lamban sekali, huh?” Wanita itu menghardik. “Kau sengaja bermalas-malasan lagi, huh? Pekerjaan di panti banyak sekali dan kau beraninya malas-malasan?” Wanita itu menoyor kepala Lami keras, hingga beberapa kali gadis itu merasa oleng.
“Bisakah anda berhenti memukul saya?” Tanpa disangka-sangka Lami berucap dingin, memandang wanita itu dengan tak gentar.
“Kau berani melawanku, gadis bodoh?” Wanita itu menarik rambut Lami, hingga gadis itu setengah meringis. “Kau gadis sialan! Tak tahu diuntung! Kau harus ingat tempatmu gadis sialan!” Wanita itu mengeluarkan kemarahannya yang meluap. Semakin menyakiri gadis di hadapannya, dengan menarik rambut gadis itu keras tak tanggung-tanggung pun dengan menendang gadis itu dengan tak kalah kerasnya.
“Kau harus sadar siapa dirimu, kau hanya anak pelacur rendahan yang bahkan tak menginginkanmu! Ingat itu!” Wanita itu berucap kejam, mendorong Lami sekuat tenaga hingga gadis itu tersungur di aspal. Wanita itu tersenyum jahat, melengang pergi seolah tak terjadi apa-apa. Menyisahkan Lami yang tersungkur berusaha mati-matian menahan tangisnya yang terasa akan meledak di kepalanya.
Bibi tolong kuatkan aku…tolong bi…tolong kuatkan aku…….
“Anak baru!” Lami kembali dibuat terpaku begitu mendengar seruan yang tak disangka-sangkanya. Di ujung sana, kakak kelas yang ia sudah berjanji untuk tak memikirkannya lagi ada di sana, Kak Kafiansya.
Kakak kelasnya itu langsung menopangnya yang berusaha berdiri, tak memberinya kesempatan untuk berkata apa pun. Pria itu menopangnya menuju kursi taman yang tak jauh dari sana, mendudukkannya pelan yang masih menahan sakit.
“Siapa wanita gila tadi yang mukul lo?” Pria itu langsung bertanya to the point, ekspresinya mengeras. “Dia penghuni panti? kita harus lapor polisi, dia udah menganiaya lo.” Pria itu berujar serius membuat Lami menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ngak kak, dia pemilik panti tempat saya tinggal. Dia..dia tadi cuman dikuasai amarah, semuanya baik-baik saja.” Gadis itu berucap pelan menjelaskan, sedikit mengerinyit menahan sakit di lututnya yang sepertinya tergores aspal cukup dalam.
“Ini pasti bukan yang pertama, kan?” Kafi bergumam pelan, memperhatikan Lami dengan seksama. Kemudian tanpa di sangka-sangka sedikit menunduk melihat luka goresan yang cukup dalam dibagian lutut gadis di hadapannya ini.
“Lutut lo berdarah.” Pria itu bergumam, merogoh saku tasnya yang biasa di tempati obat merah, ia merasa lega Andre meninggalkan obat merah ini tadi saat dia juga tergores sewaktu bermain basket. Pria itu tadinya ingin langsung mengobati luka di lutut gadis itu, namun mengetahui bahwa gadis itu sepertinya tak nyaman dengan sigap ia memberikan obat merah itu pada, gadis yang hanya memandangnya gugup sambil mengamblil obat di tangannya dan bergumam terima kasih. Pria itu kemudian ikut duduk di samping Lami, memperhatikan gadis itu mengobati luka di lututnya sendiri.
“Lo pasti ditindas sama wanita psycho tadi.” Kafi kembali berujar, memperhatikan penampilan kacau adik kelasnya ini, juga beberapa bekas luka yang telah mengering di wajah serta kakinya. Entah apa yang terjadi, namun Kafi meyakini bahwa ini bukan yang pertama gadis itu dipukuli, mungkin ia bahkan telah mengalami pemukulan yang lebih dari ini. Tanpa sadar Kafi menggeretak menahan kemarahan yang tiba-tiba merayapi hatinya. Seharusnya ia datang lebih cepat sehingga bisa mencegah kejadian ini dan melihat dengan jelas wajah wanita psycho tadi, setidaknya ia akan memukulnya jika perlu, dan tentu saja harus dilaporkan ke pihak yang berwenang.
“Kakak kenapa bisa ada di sini?” Lami berujar mengalihkan perhatian, menyerahkan obat merah yang telah ia pakai dan sekali lagi bergumam terima kasih pada pria di sampingnya.
“Aku ingin memberikan ini, terjatuh di perpustakaan.” Pria itu bergumam dan menyodorkan sebuah buku note.
“Bukuku..terima kasih kak.” Lami mengambil itu perlahan, kembali berterima kasih. Tadinya ia sudah mencari-cari buku ini dimana-mana, ternyata terjatuh saat ia terburu-buru menghindari pria ini tempo hari.
“Terima kasih, kak” Lami kembali bergumam. “Sebaiknya kakak pulang.” Gadis itu bangkit dari duduknya. “Dan saya mohon kepada kakak untuk melupakan kejadian ini. Saya harap kakak melupakan semuanya dan kita tak pernah bertemu di sini.” Lami berujar, memandang pria itu sekilasnya yang juga hanya memandangnya tanpa kata. Lami kemudian berbalik, melangkah menjauh, meninggalkan pria itu yang hanya mampu memandang punggungnya menjauh tak terbaca.
***
Lami merutuk pelan atas pertemuannya dengan kakak kelasnya disaat dia dipukuli oleh wanita itu tempo hari. Sekarang bukannya pria itu melupakannya, ia malah mengawasinya dalam diam, bahkan pria itu beberapa kali mengikutinya ketika ingin pulang. Tadinya Lami berharap bahwa itu hanya kebetulan semata, namun setiap hari pria itu terus memperhatikannya dan mengekorinya saat pulang.
Lami mendesah kasar, seperti kali ini di perpustakaan, pria itu duduk tak jauh dari tempatnya duduk untuk membaca, namun secara terang-terangan pria itu mengawasinya, memandangnya lurus-lurus.
Lami berusaha fokus pada buku bacaannya, menenggelamkan diri dalam bacaannya. Namun tetap saja pikirannya sedikit terpecah belah karena merasa diawasi.
Apasih maunya kakak kelas itu?
Kurang jelaskah Lami berkata bahwa pria itu tak perlu berurusan dengan kejadian yang menimpa dirinya. Bahwa seharusnya semua itu dilupakan saja agar semuanya kembali seperti semula. Bukankah kakak kelasnya itu tak suka ikut campur dalam permasalahan orang-orang? Lalu mengapa pria itu terus mengawasi dan mengekorinya seolah peduli?
Apa yang sebenarnya diinginkan kakak kelasnya itu?
***
“Lo kemana aja bro?” Andre berseru begitu melihat Kafi memasuki kelas dan duduk di bangkunya, di sampingnya. Tadi saat jam istirahat pria itu hilang lagi, ia tak mengatakan apa-apa dan jelas saja Andre penasaraan karena pria itu belakangan ini terus menghilang-hilang.
“Gue habis ngawasin si anak baru.” Kafi berujar datar, sepertinya sudah saatnya untuk memberitahu semuanya pada sahabat satunya ini.
“Lo apa? ngawasin si anak baru itu? yang pernah lo tolongin dulu?” Sesuai dugaan, Andre terkejut dengan perkataan Kafi, sedikit menggebrak meja hingga beberapa murid berbalik ke arah mereka. Kafi menegur sedikit kesal dengan keterkejutan Andre, yang membuat cowok itu nyengir bersalah.
Dan akhirnya Kafi menceritakan semuanya pada sang sahabat, bahwa anak baru itu tinggal di sebuah panti, bagaimana pemilik panti itu tak segan untuk melakukan penyiksaan pada anak baru tersebut, memukulnya tak tanggung-tanggung tanpa perasaan. Dan Kafi yang ingin melaporkan wanita itu namun si anak baru menolak, beralasan bahwa si wanita jahat hanya sedang kalap. Bahwa Kafi terus mengawasi dan mengekori anak baru itu terus-menerus hingga ia menyerah dan melaporkan semua kekejaman yang ia alami.
“Astaga.” Hanya itu yang mampu terucap dari Andre ketika Kafi selesai menjelaskan. “Gue ngak nyangka ternyata hidup anak baru itu berat banget.” Andre mendesah prihatin. Kafi hanya menangguk mengiayakan. Ia juga tak menyangka bahwa kehidupan gadis itu begitu menyedihkan dan menyakitkan, Kafi bahkan tak berani membayangkan entah apalagi kesakitan yang gadis itu alami, dan hatinya selalu membisikan untuk membebaskan gadis itu, untuk menolongnya, dan Kafi melakukannya, menolong gadis itu.
***
Kafi menunggu dengan tenang, menunggu gadis itu pulang menaiki angkutan umum dan setelahnnya berjalan beberapa meter memasuki area panti tempatnya tinggal. Biasanya gadis itu akan lewat gerbang belakang yang memang di sebrang jalannya adalah halte angkutan umum. Pria itu terduduk di atas motornya, menunggu tak jauh dari halte. Sebentar lagi gadis itu akan keluar, ia hanya perlu menunggu beberapa menit lagi.
Dan benar saja, tak lama kemudian gadis itu keluar dari gerbang, berjalan sendirian. Lami mendongakan kepala dan netra kelamnya langsung bertubrukan dengan netra tajam di sebrang sana yang menunggunya.
Lami menghela nafas, kemudian dengan perlahan menyebrang. Namun ia tak menuju halte seperti biasanya ia mengabaikan pria itu. Ia melangkah ke arah pria itu yang tak jauh dari halte sana, duduk di atas motornya dengan tenang. Ketika Lami telah berdiri di hadapan pria itu, ia hanya memandang datar, mengangkat satu alis seolah bertanya mengapa gadis ini berada di hadapannya.
“Apa sebenarnya mau kakak?” Lami berujar, berusaha untuk berbicara dengan sopan. Pasalnya ia sudah merasa pria di hadapannya ini berlaku seenaknya.
“Gue?” Pria itu tersenyum miring. “Gue pengen lo laporin wanita psycho itu ke polisi. Gue pengen lo berani untuk ngelawan dia” Kafi berucap datar langsung tanpa berbasa-basi.
“Dan saya menolak.” Lami berujar. “Saya ngak mau kakak ikut campur dalam hidup saya, kakak bahkan tak tahu apa-apa.” Lami melanjutkan dengan nada dingin.
“Ngak apa-apa kalau lo nolak” Pria itu bersedekap. “Dan yah..memang gue ngak tahu apa-apa tentang hidup lo.” Kafi hanya memandang tak terbaca pada gadis yang kini juga memandangnya dengan netra kelamnya. “Tapi gue bisa pastiin, wanita gila itu nyiksa lo dan lo juga pasti pengen bebas dari belengunya. Dan gue akan nyeblosin wanita psycho itu ke penjara”
Lami untuk beberapa saat terpaku begitu mendengarkan penuturan pria itu yang mau tak mau ia benarkan. Ia selalu berpikir untuk melaporkan perlakuan wanita jahat itu, namun ia juga ketakutan karena wanita itu sudah mengancamnya, jika ia melapor maka anak-anak panti tak akan lagi memiliki rumah karena tanah panti itu adalah miliknya dari warisan.
“Kakak tak punya hak untuk itu semua.” Lami kembali berucap menantang.
“Lo yang ngak punya hak buat nentuin apa yang gue bakal lakuin.” Pria itu mendengus. “Gue lakuin apa yang gue mau.”
“Tapi ngak dengan ngikutin saya, ngawasin saya kaya gini..”
“Terserah gue dong. Emangnya gue yang mukul lo? Gue yang nyiksa lo? Kalaupun ada yang harus lo takutin yah wanita psycho itu.”
Lami hanya mampu mendesah kasar mendengar penuturan kakak kelasnya ini. Berbalik cepat melangkah menjauh tanpa kata, kali ini tak peduli lagi dengan kesopanan. Terserahlah pria itu mau melakukan apa, Lami tak peduli. Palingan ketika pria itu bosan ia juga akan berhenti sendiri. Gadis itu hanya perlu menutup mulut dan pria itu tak akan bisa berbuat apa-apa.
***
Lami tak bisa menahan senyum kecilnya begitu melihat diri remajanya merajuk kesal meninggalkan pria itu menuju halte. Dia selalu ingat saat-saat ini, dimana Kafi terus mengawasi serta mengekorinya hingga pulang, bahkan terkadang pria itu menunggu beberapa lama sebelum pergi, seolah memastikan bahwa dirinya akan baik-baik saja.
Dan sejujurnya Lami merasa begitu aman, seolah dilindungi. Wanita jahat itu menjadi sedikit menahan diri melihat Kafi terus mengawasi panti asuhan, juga merasa takut pria itu berbuat sesuatu. Otomatis wanita itu hanya memarahinya dan tak memukulnya semaunya lagi.
“Kau mendapatkan pelindungmu.” Anak kecil itu berujar memecah lamunan Lami. ikut mengamati Lami yang kini telah melangkah masuk kedalam angkutan dan Kafi yang juga bersiap mengikuti gadis itu.
“Iya, dia melindungiku.” Lami berujar mengiyakan, tanpa diminta perasaan hangat terindungi itu kembali menyusupi hatinya, menimbulkan getaran yang sudah lama ia tak rasakan, getaran menyenangkan dan menenangkan hatinya.
“Kita akan melihat kilasan yang lainnya.” Anak kecil itu berujar lembut, menggengam tangan Lami pelan, yang diterima gadis itu tanpa penolakan. Semuanya kembali menggelap dan dalam sedetik mereka berdua telah berada di tempat yang berbeda.
***
Lami menautkan jemarinya gugup, merasa tak nyaman berduaan dalam satu ruangan dengan suami wanita jahat itu yang memandangnya seolah seperti daging yang siap disantap. Suami wanita jahat itu menyadari kecantikan alami yang belum terjamah dari Lami yang kini mulai bertumbuh. Dan sungguh Lami begitu ketakutan dan badannya mulai bergetar.
Tadi dia disuruh oleh pria itu untuk memindahkan berkas tak terpakai ke gudang, dan Lami terpaksa menurutinya. Dan kini terjebak dalam ruangan ini bersama suami wanita jahat itu. Ini bahkan lebih menakutkan dari wanita itu yang memukulinya.
Pria itu perlahan mendekat, membuat Lami ketakutan setengah mati. Pria itu menuju arah pintu dan menguncinya.
“Ke..kenapa pintunya dikunci?” Lami berujar ketakutan namun pria itu tak menjawab, malahan mendekati dirinya yang ketakutan. Perlahan menangkup kepala gadis itu hingga mendongak ke arahnya.
“Jika kau berteriak, kau akan tamat.” Pria itu mendesiskan anacaman mengerikan, membuat Lami semakin ketakutan. Gadis itu mengeleng-gelengkan kepalanya berusaha mundur ketika pria itu mulai menyentuh bahunya pelan.
“Jangan…” Gadis itu berucap lirih, masih berusaha memundurkan tubuhnya, walaupun sia-sia karena pria itu masih menahannya.
Ya Tuhan tolong aku..kumohon…
Lami merapalkan doa dalam hati, berharap ada orang yang setidaknya akan muncul di lorong ujung ini
“Diamlah, jangan bergerak.” Pria itu kembali mendesiskan ancaman ketika Lami tetap melakukan perlawanan. Menjambak rambut gadis itu hingga ia dapat melihat wajah gadis itu yang diliputi ketakutan.
“Kau cantik, setidaknya aku harus berterima kaih kepada ibu pelacurmu yang telah melahirkanmu.” Pria itu terkekeh bengis, mulai mendorong Lami menuju sofa yang di tolak habis-habisan oleh Lami.
“Sayang kau di dalam?” Gerakan ingin menjambak gadis itu yang memberontak langsung terhenti begitu mendengar ketukan serta suara sang istri. Pria itu langsung memperbaiki posisinya.
“Kalau kau berani melapor, aku akan langsung membunuhmu, ingat itu!” Pria itu berbisik mengancam kemudian mendorong gadis itu cepat untuk mengambil tumpukan berkas di sana sebelum membuka pintu untuk istrinya.
Lami menghembuskan nafas lega luar biasa, dan untuk pertama kalinya ia merasa bersyukur mendegar suara wanita jahat itu.
***
Lami berdiri di ujung tangga menuju balkon dengan gugup penuh pertimbangan. Ia berkali-kali ingin melangkah ke atas namun kembali diurungkan di detik terakhir.
Ia ingin bertemu dengan kakak kelasnya, Kafi. Ia ingin meminta bantuan untuk melaporkan wanita jahat itu dan suaminya. Setelah kejadian kemarin dimana suami wanita itu telah berbuat nekat, ia menjadi ketakutan sentengah mati. Mungkin ia terbebas hari itu, namun ia tak berani membayangkan entah apa yang akan terjadi padanya di kemudian hari.
Namun ia juga masih memikirkan konsekuensi jika ia melapor. Jika ia melapor maka wanita itu dan suaminya sudah dipastikan tak akan lagi menjalankan panti asuhan itu. Maka anak-anak yang tinggal di panti tak lagi mendapat tempat tinggal dan bisa saja menjadi anak jalanan.
Namun jika ia melaporkan bisa saja anak-anak panti tetap akan terurus dengan di pindahkan ke panti yang lebih baik, walaupun mungkin mereka akan menyebar. Dan pada akhirnya Lami memutuskan untuk menemui pria itu. Ia akan melaporkan wanita itu dan suaminya, sebelum mereka melakukan hal yang lebih buruk dari ini semua.
Lami melangkah perlahan, menuju pria itu yang terduduk membaca membelakanginya. Pria itu memang tak lagi mengawasinya di sekolah, namun masih mengikutinya ketika pulang dan bahkan tinggal untuk beberapa waktu yang lama sebelum memutuskan pulang.
“Kak Kafi..” Lami berujar lirih, namun sudah cukup untuk membuat pria itu berbalik ke arahnya, memandang dirinya.
“Kenapa?” Pria itu menyahut pelan, memfokuskan dirinya pada gadis yang ada di hadapannya kini yang sedang gugup dan takut-takut.
“Saya..saya ingin melaporkan wanita itu..” Gadis itu akhirnya berucap setelah mengembuskan nafas. Masih memandang gugup menunggu reaksi pria di hadapannya.
“Bagus, akhirnya lo ingin melaporkannya.” Kafi berucap dan mengangguk setuju. “Kenapa tiba-tiba lo berubah pikiran? Apa ia sudah melakukan sesuatu yang lebih kejam?” Pria itu kembali bertanya, bangkit dari duduknya, memandang penuh selidik ke arah gadis itu yang malahan menunduk menghindari pandangannya.
“Saya hanya ingin terbebas.” Gadis itu memutuskan untuk tak mengatakan tentang suami wanita jahat itu, biarlah nanti ia mengatakannya setelah wanita serta suaminya itu ditangkap.
“Jangan takut..” Kakak kelasnya itu berucap lembut. “lo telah ngelakuin hal yang benar. lo akan baik-baik aja, oke?” Pria itu kembali berucap menghibur, tersenyum simpul terlihat begitu tulus. Mau tak mau senyum itu menular kepada Lami. Gadis itu mengangguk berharap memang ini adalah keputusan terbaik.
“Kalau bisa kita melaporkannya di malam hari.” Lami kembali bersuara. “Mereka sudah tertidur jadi saya bisa keluar tanpa dicurigai.”
“Baiklah, gue akan menunggu di sana.” Kafi mengganguk menyetujui.
“Terima kasih, kak. Kakak sudah banyak tolong saya. Dan maaf saat di halte saya sangat tidak sopan”
“Semuanya ngak gratis.” Lami melongoh begitu mendengar ucapan kakak kelasnya. “Lo harus traktir gue. Tenang gue makan apa aja kok” Pria itu terkekeh geli membuat Lami juga ikut tertawa geli ketika pria itu ternyata hanya menjahilinya. Hingga akhirnya tawa mereka berdua memenuhi area balkon ini, menimbulkan suasana yang terasa hangat bagi mereka berdua.
***
Lami mengendap-ngendap dengan jantung berdebar-debar penuh antisipasi. Malam ini ia akan melaporkan wanita serta suaminya itu bersama kakak kelasnya. Ia berusaha berjalan tanpa suara di malam yang tentram ini. Ia memutuskan untuk lewat belakang, tempat ini jarang dikunjungi jadi kemungkinan ia ketahuan akan semakin kecil.
Lami memperhatikan sekeliling, sejauh ini tak ada orang-orang yang terlihat. Tanpa sadar gadis itu mempercepat geraknya, Kafi pasti sudah menunggunya di luar dan dia harus cepat sebelum ketahuan.
Lami terus berjalan, tinggal sedikit lagi . Ia hanya perlu melewati lorong gudang dan pintu gerbang belakang ada di sebrangnya. Mungkin dia harus memanjatnya, namun tak apa karena pagar ini cukup mudah dijangkau. Gadis itu setengah berlari menuju pintu belakang, menyeret langkah kakinya cepat.
“Mau kemana kau?” Lami memekik begitu tubuhnya di tangkup dari belakang oleh sosok yang sangat ia takuti, suami wanita jahat itu.
“Lepas..lepas.” Gadis itu meronta kuat, ia tak boleh tertangkap, apalagi oleh pria itu, ia tak mau.
“Kau mau kabur, huh? Tak akan bisa gadis bodoh!” Pria itu terkekeh jahat, membekap mulut Lami hingga hanya bisa meneriakan gumaman-gumaman. Gadis itu terus di seret menuju gudang. Pria itu membanting kasar Lami hingga gadis itu langsung merasakan kesakitan di punggungnya.
“Kau begitu bodoh.” Pria itu berucap jahat, memerangkap Lami. Yang dibalas gadis itu dengan jeritan sekuat tenaga serta tendangan dan pukulan penolakan.
“Kau pria bajingan, menjauh dariku.” Gadis itu terus meronta, hingga pria itu tak dapat menahan kesabaran dan menampar gadis itu keras.
“Diamlah, gadis sialan. Kau mau mati,huh?” Pria itu mendesis kejam, mencengram leher gadis itu hingga hanya menyisahkan nafas terputus-putus. Pria itu menindih gadis kasar. Lami terus meronta, mempertahankan diri. Air mata membasahi dirinya mana kala pria itu membuka kancing bajunya satu persatu. Gadis itu menendang dan memukul brutal, masih tak mau menyerah begitu saja.
Tolong aku…kumohon siapa pun tolong aku…
“Apa yang kau lakukan!?” Suara itu, suara wanita jahat itu kembali terdengar penuh keterkejutan. Pria itu langsung bangkit, dengan keadaan acak-acakan mendekati istrinya.
“Sayang aku bisa jelaskan.” Pria itu berucap cepat. “Ia ingin kabur, gadis sialan itu ingin kabur. Dan aku melihatnya. Ia malah menggodaku dan menyodorkan tubuhnya agar aku tutup mulut. Aku menolaknya tapi dia memaksa, dia–”
“Diam kau!” Wanita itu menghardik, memandang tajam ke arah pria itu. “Pergilah” Pria itu langsung pergi tanpa kata. Meninggalkan wanita itu serta Lami yang masih dalam keadaan terduduk dan shock.
“Berani-beraninya kau menggoda suamiku!” Wanita itu berucap murka, kemarahan membara di kedua bola matanya. “Kau gadis sialan, pelacur sialan sama seperti ibumu!” Wanita itu menjerit, menendang perut Lami telak tak tanggung-tanggung, berulang kali hingga darah menyembur dari mulut gadis itu mengenaskan.
“Sialan kau..gadis sialan!!!” Seolah kesurupan wanita itu menjerit keras, masih menendang gadis yang kini telah tak berdaya dimana-mana sangat brutal.
Wanita menghela nafas begitu ia telah menguasai dirinya. Ia memandang Lami yang terbaring mengenaskan setengah sadar, tersenyum sinis tanpa perasaan.
“Ka..fi” Lami tanpa sadar mengucap nama kakak kelasnya, di tengah kesadaraannya yang diambang batas, ia berucap nama itu berharap sebuah keajaiban pria itu ada di sini menolongnya.
“Apa? Kafi?” Wanita itu tersenyum remeh. “Oh..itu nama pria yang mengikutimu itu? Kau berharap ia menolongmu? Hahahah…” Tawa wanita itu menggema. “Kasihan kau. Lihatlah pria itu tak ada di sini. Ia tak menolongmu. Tak akan ada yang menolongmu, sialan.”
“Jika kau bertingkah lagi, akan kupastikan menyiksamu lebih dari ini. Dan juga anak-anak panti sialan itu.” Setelah mengucapkan ancaman mengerikan, wanita itu meninggalkannya meringkuk mengenaskan sendirian. Lami tanpa sadar menangis, mengeluarkan tangis yang telah terpendam lama. Benar kata wanita itu, pria yang ia harapkan menolongnya tidak ada di sini, ia tak menolongnya. Tak akan ada yang menolongnya.
Sampai disaat yang terakhir, pria itu tak datang juga, ia tak pernah datang…..
***
“Pria itu tak pernah datang.” Lami ikut berjongkok, memandang terluka pada diri remajanya yang kini meringkuk kesakitan dan sangat mengenaskan. Menggerakan jari-jarinya seolah membelai ubun-ubun dirinya. Setetes air mata tanpa sadar mengalir dari netra kelam itu menyaksikan untuk kedua kalinya bagaimana wanita jahat itu menyiksanya sampai akhir, bagaimana dirinya hampir diperkosa oleh pria bejat itu, dan bagaimana pria yang ia harapkan menolongnya tak datang, tak pernah datang.
Pada akhirnya Lami remaja tetap kabur seorang diri. Ia berusaha bangkit dari kesakitannya. Memaksakan kakinya untuk melangkah keluar dari gudang ini. Sepertinya wanita itu tak mengunci gudang karena mengira Lami terlalu mengenaskan untuk bahkan bergerak saja.
Namun dengan sekuat tenaga gadis itu melangkah. Menyeret langkahnya sangat berat. Ia juga berusaha mengumpulkan tenaga terakhir untuk memanjat pagar itu. Menyeret langkahnya terus-menerus menembus hujan deras hingga sampai ke rumah warga untuk meminta pertolongan.
Pada akhirnya wanita itu serta suaminya dijebloskan kepenjara dalam waktu yang lama dengan berbagai kejahatan. Panti ini ditutup dan anak-anak dipindahkan di yayasan yang jelas jauh lebih baik. Begitu juga dengan Lami yang dipindahkan di yayasan di kota lain. Memulai kehidupan barunya di sana, tanpa menoleh lagi.
“Benar pria itu tak datang.” Anak kecil itu berucap pelan. “Ia tak dapat datang.” Lami langsung mendongak begitu mendengar ucapan anak kecil ini.
“Apa maksudmu?”
“Sepertinya kita harus melihat kilasan yang lain.”
Dan mereka kembali berpindah.
***
Kafi bersiap melangkah keluar, menuju panti tempat Lami berada. Malam ini hujan turun dengan cukup keras, namun tak menyurutkan keinginannya untuk menjemput Lami. Pria itu mengambil dua pasang mantel dan memakai salah satunya. Ia bersiap menuju parkiran Keluarga Nasution. Namun sebelum melangkah keluar, handphonenya berbunyi menandakan panggilan masuk.
Ayah
Tertera nama itu dan Kafi langsung mengangkatnya.
“Halo Ayah?” Kafi berbicara pelan, sedikit mengerinyit begitu mendengar suara asing yang meneleponnya.
“Halo, apakah ini dengan anak Pak Hendra?” Suara disebrang sana menyahut. Kafi tanpa sadar mengangguk dan bergumam mengiyakan.
Perkataan selanjutnya dari suara itu membuat Kafi membeku seketika, handphone itu terjatuh begitu saja, membuat dentaman yang cukup keras. Pria itu langsung merasakan sesak di dadanya, berlutut menahan denyut sakit yang semakin menyakitinya. Tangis mulai menguasainya, pria itu menangis dalam diam, dengan gemetaran terduduk tak berdaya. Beberapa saat, Keluarga Nasution telah tiba, mereka dengan panik mendekati Kafi yang terduduk gemetaran penuh dengan tangis.
“Sayang, ada apa? kenapa, nak?” Mama Natasha merangkulnya perlahan, dengan penuh kasih ibu menenangkan Kafi yang menangis bergetar terkulai lemah. “Ma..Ayah..ayah..meninggal..” Perkataan penuh isak itu mampu membungkam semuanya, Mama Natasha langsung memeluk erat Kafi memberikan kekuatan, membisikan berbagai kata penguat. Ruangan ini menjadi saksi bisu kesedihan Kafi yang telah kehilangan ayahnya, kedua orangtuanya telah tiada.
***
Setelah pemakaman, Kafi mengurung dirinya. Ia hanya terduduk dalam diam di ujung ranjang menatap kosong ke satu titik, yang pasti sosok itu seolah lari dari raganya. Ia membentengi dirinya dengan tembok diri yang tak tersentuh.
Natasha dan Nasution bahkan tak tahu lagi harus berbuat apa, begitu juga dengan Alva. Mereka bertiga tak tahu harus berbuat apa untuk menembus tembok yang dibangun dengan sangat kokoh itu.
Hingga pada akhirnya Natasha serta suaminya memutuskan untuk membawa Kafi keluar negeri untuk menengangkan diri. Untuk melewati masa-masa traumatisnya kehilangan kembali sosok orang tua, kehilangan ayahnya setelah kepergian ibunya dua tahun yang lalu.
Hari itu juga, segala urusan untuk keberangkatan Kafi menuju Jerman diurus dengan cepat. Natasha akan ikut serta menemani Kafi untuk menetap serta melanjutkan sekolahnya di sana. Semua berlangsung cepat, siang harinya Kafi dan Natasha telah ada di dalam pesawat yang akan membawa mereka ke Jerman.
Kafi tak menolak, ia hanya tetap terdiam dalam kekosongan. Ia akhirnya meninggalkan Indonesia dan menetap lama di Jerman, memulai hidup barunya di sana. Kafi hanya menyesali satu hal selama ini, ia tak dapat menepati janjinya dengan Lami, ia tak sempat memberi tahu Lami mengenai kepergiannya, Ia tak dapat meminta maaf pada gadis itu, maaf karena tak menepati janjinya, maaf karena meninggalkan gadis itu sendirian.
Maaf Lami, maaf karena aku mengingkari janjiku…..
To be Continued
Yey Yey Yey
Sudah update
Lope lope dlu yak
Yaampun complicated sekali :PATAHHATI
sedih banget part ini……… :PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI
BAPER :PATAHHATI
:MARAHNANGIS :beruraiairmata
:LARIDEMIHIDUP :LARIDEMIHIDUP :LARIDEMIHIDUP
Ya ampuuunnn aku bapeerrr :PATAHHATI
:PATAHHATI :PATAHHATI Kasian bgt
:PATAHHATI :KAGEET
:PATAHHATI
kok nggak ada tanda lope lopenya ya ? :PATAHHATI :PEDIHH :nangisgulinggulingan :pingsan! :MARAHNANGIS :dragonnangis :dragonbaper :beruraiairmata :wowkerensekali :bearkantongkosong :owlbersedih :anakayamnangis :aaaKaboor
Ini ya yang ngebuat Lami jadi dingin sama Kafi,,
Yah kan baperrr :PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI
Haii ka,aq bru lanjut lgi bca cerita dikau ini
Dan part ini bikin hati sakitttt,kasian bngt Lami dan kafi, huaaa sedihhhhhhhh
Hidup Lami tuh dri kecil tersiksa gtu, aduhhhhhhh huhuhu
Cuzz bca part berikutnya
Semangat trs yak
nah ketauan deh masa lalunya Kafi sama Lami, hmmm firs love kayaknya ya,, first love yang belum berakhir atau bahkan belum sempat dimuali #eaaaaaaaa
Benar benar rumit sekali
:TERHARUBIRU …. :PEDIHH ….. kisah hidupny làmi hampir sm
Jadi begitu. Kafi pergi tanpa pamit
Keren :berharapindah
Kasihannn…?
Baper deh akunya