Vitamins Blog

Kasih Yang Tak Terucap – Bab 3

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register


13 votes, average: 1.00 out of 1 (13 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Beberapa Tahun Kemudian

***

Sepanjang perjalanan aku tersenyum bahagia. Aku mengucap syukur sambil memegang erat amplop tebal berisi gaji pertamaku. Setelah lulus dengan predikat Summa Cum Laude aku langsung mendapat tawaran pekerjaan dari sebuah Perusahaan yang cukup bergengsi. Aku mendapat gaji yang lumayan besar sebagai Programmer. Dan seperti yang sudah aku impikan selama ini, gaji pertamaku akan kugunakan untuk membuatkan Rumah Ibu.

Aku sudah membicarakan hal ini kepada Tante Ninis. Seperti dugaanku, Tante Ninis yang memang berhati Malaikat langsung setuju. Aku membayangkan wajah kaget Ibu dan binar kebahagiaan akan kembali menghiasi wajahnya.

Rumah Tante Ninis mulai tampak dari becak yang aku tumpangi. Yang membuatku heran, banyak sekali orang yang berkeliaran di sekitar bahkan keluar masuk rumah Tante Ninis. Setelah aku turun dari becak dan membayar, aku berjalan perlahan sambil diliputi keheranan dan anehnya, juga perasaan gelisah.

Makin mendekati rumah, perasaan gelisah dan cemas makin meremas dadaku. Dan entah bagaimana, aku tahu.

Aku terus berjalan perlahan melewati orang-orang yang lalu lalang. Hatiku terasa hampa, benakku kosong. Tangan yang menggenggam amplop tebal, lunglai di samping tubuhku. “Tidak ya Allah, tidak. Kumohon Jangan. Tidak, tidak, tidakkkkkk!!” jeritku dalam hati. Kuulang-ulang kalimat itu seperti mantra.

Tampaknya orang-orang memperhatikanku yang melewati ambang pintu dengan gontai, tapi aku tidak peduli. Aku juga tidak peduli ketika orang-orang bermata sembab memenuhi ruang tamu. Pandanganku hanya tertuju ke ruang tengah yang tampak jelas dari ambang pintu karena kebanyakan perabot rumah sudah dikeluarkan. Sebuah tikar terhampar di ruang tengah dan sesosok tubuh terbaring kaku di atasnya.

Aku terduduk dengan lunglai di samping tubuh itu. Menatap kosong wajah keriput itu sambil terus merapalkan mantra, berharap bahwa aku akan segera terbangun dari mimpi buruk ini. Sebuah tangan memegang bahuku lalu menyandarkan kepalaku ke bahunya. Aku tidak menoleh, hanya terus menatap wajah keriput Ibu yang tampak lelap.

“Dia sangat mencintai kamu, Ana.” Suara Tante Ninis membelai telingaku. “Mungkin karena dia menikah dan menjadi janda di usia yang terlalu muda membuatnya gagal menjadi Ibu yang baik. Walau dia berpikir kamu tidak akan mungkin memaafkannya, dia tetap ingin meminta maaf atas semua kesalahannya di masa lalu. Dia juga minta maaf karena tidak bisa lagi menemani kamu di masa depan.” Tante Ninis berusaha menghiburku di sela tangisnya.

Kenapa dia harus menghiburku? Aku hanya bermimpi.

Tiba-tiba telingaku terasa sakit akibat suara jeritan yang menyayat hati. Aku baru sadar itu suara jeritanku ketika aku mengangkat kepala Ibu dan merangkulnya dengan keras. Aku mengayunkan tubuhnya seperti Ibu yang menimangku ketika bayi. Aku menatap wajahnya, mengusap rambut dan pipinya untuk menghilangkan dingin yang tidak normal di sekujur tubuhnya. Mataku buram oleh air mata yang tidak mau berhenti mengalir.

Ya Allah, kenapa aku terlambat? Kenapa tidak Kau berikan sedikit waktu lagi. Aku belum mengatakan bahwa ‘Aku Mencintainya’. Aku belum mengatakan bahwa aku sudah memaafkannya. Aku bahkan belum sempat memberikan hadiahku. Aku belum sempat memberinya apapun kecuali rasa sakit karena aku telah mengabaikannya. Padahal dia sudah menahan rasa sakit demi mengandung dan melahirkanku. Dia juga yang telah mengajarkanku berbicara, berjalan.

Ya Allah, tolong jawab aku. Kenapa aku terlambat?

END


Cerita Ay yang lain bisa dibaca di wattpad @AyaEmily2

~~>> Aya Emily <<~~

Aya Emily

HIDUP untuk MENULIS dan MENULIS untuk HIDUP

1 Komentar

  1. Next time