Vitamins Blog

Kasih Yang Tak Terucap – Bab 2

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register


9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Beberapa Tahun Lalu

***

“Ibu mau ke mana?” tanyaku sambil membuntuti Ibuku yang berpakaian rapi dan indah. Aku jadi ingat seorang tetangga pernah berkata bahwa baju-baju Ibu seindah putri tapi bajuku seperti pembantu. Dia tidak menjawab pertanyaanku malah sibuk menekan-nekan benda kecil yang kata teman-temanku namanya Hp.

Aku hanya berdiri memperhatikannya lalu kembali mengikutinya ketika ia beranjak ke pintu depan. Dia belum jawab pertanyaanku dan aku tidak ingin ditinggal lagi olehnya. Aku menggenggam rok cantiknya untuk mencegahnya pergi.

“Astaga Ana!!!” kata Ibuku sambil menepis tanganku. “Kamu sudah kelas 2 SD, masa belum ngerti juga. Ibu mau kerja, cari uang buat makan dan buat kamu sekolah. Sampai kapan Ibu harus mengulangnya terus, hah!!” Air mataku tumpah mendengar Ibu marah. Aku tidak mau Ibu marah. Aku hanya tidak ingin ditinggal.

“Kata teman-teman, kalau orang kerja di siang hari. Kalau malam waktunya tidur.” Kataku sambil sesenggukan.

“Jangan dengarkan kata teman-teman kamu, mereka semuanya bodoh.” Tegasnya masih sambil memencet Hp. Aku ingin merasakan pelukan hangatnya apalagi saat aku sedih seperti sekarang.

Sebuah mobil biru terang berhenti di depan rumah kami. Ibuku tersenyum lebar dan berlari kecil ke mobil itu. Aku sudah sering melihatnya pergi dengan mobil bagus, tapi aku tidak pernah diajak ikut.

Ibu berbalik menatapku sebelum masuk mobil, “Jangan lupa kunci pintunya dan matikan lampu! Dan jangan bukakan pintu kalau bukan Ibu.” Aku hanya mengangguk samar mendengar pesannya. Pesan yang selalu diulangnya tiap hendak pergi, siang ataupun malam.

Aku menunggu hingga mobil biru itu tidak terlihat lagi. Lalu aku masuk dan menutup pintu. Aku menarik kursi kayu ke depan pintu. Naik ke atasnya lalu mengunci pintu. Selanjutnya seperti tiap malam jika Ibu tidak ada, aku menarik kursi ke tiap sekelar lampu dan mematikannya satu persatu. Dan dengan lelah aku meringkuk di balik selimut, membayangkan pelukan hangat Ibuku.

***

Aku melompat dengan gembira ketika Tante Ninis datang dan membawakanku sepeda. Katanya sudah saatnya aku belajar mengendarai sepeda. Warnanya merah muda dan cuma punya dua roda. Tante Ninis mengajariku cara mengendarainya dengan sabar. Ternyata susah sekali, tapi sangat menyenangkan.

Tak terasa sudah waktunya Tante Ninis pergi. Aku menatapnya dengan kecewa. Dia menghiburku dan mengatakan bahwa Ibu juga bisa mengajariku. Aku tersenyum mendengarnya.

Setelah kepergiannya, aku langsung menemui Ibu dan memintanya mengajariku. Tapi dia malah memarahiku dan mengatakan kalau Tante Ninis terlalu memanjakanku. Aku sedih dan sejenak hanya berdiri mematung menatap pintu kamar yang baru saja ditutupnya dengan kasar.

Aku kembali ke halaman dan belajar mengendarai sepeda sendirian. Sambil duduk di sadel, kakiku sudah bisa menapak tanah, tinggal bagaimana cara menjalankannya. Berkali-kali aku terjatuh hingga beberapa luka yang tampak mengerikan menghiasi sekujur tubuhku terutama di bagian lutut dan siku. Tapi aku tidak merasakan sakit, malah bahagia dan bertekad untuk segera bisa mengendarainya.

Tak terasa hari sudah sore. Ibu keluar dan sepertinya baru bangun tidur. Dengan bangga aku menunjukkan padanya bahwa aku sudah mulai bisa mengendarai sepeda. Tapi dia malah mendelik dan membanting sepedaku. Sambil mengomel bahwa aku mirip gembel, dia menyeretku dan memandikanku dengan kasar. Aku menangis keras merasakan perih yang mendera seluruh tubuhku, tapi dia tidak peduli.

***

Sudah tiga hari aku memamerkan kalung dan sepasang anting cantik yang di belikan Tante Ninis padaku. Ini adalah kalung pertamaku dan sudah lama aku hanya memakai tangkai buah cabai untuk mengisi lubang antingku agar tidak tersumbat.

Hari itu, dengan wajah sedih Ibu memanggilku ke kamarnya. Dia mengeluarkan lembaran-lembaran kertas dari lemari dan memperlihatkan padaku sambil berlinang air mata. Aku tidak mengerti apa yang tertulis di atas kertas-kertas itu.

“Ini surat tagihan hutang Ibu,” jelasnya membuatku makin bingung. “Kalau Ibu tidak segera melunasinya, Ibu akan masuk penjara.” Aku mengerti arti penjara. Seperti di film-film, itu adalah tempat seperti kandang dan penjaganya adalah polisi yang membawa pistol sungguhan. Aku menangis membayangkan Ibu akan dikurung di penjara dan tidak bisa bertemu denganku lagi. Aku langsung memeluknya dan berharap bisa menolongnya.

Selang beberapa saat, Ibu melepaskan pelukanku. “Ana mau kan membantu Ibu supaya Ibu tidak dipenjara?” Aku langsung mengangguk. “Ibu mau pinjam kalung sama anting Ana untuk bayar hutang Ibu. Kalau hutang Ibu lunas, Ibu tidak akan dipenjara.”

Sejenak aku ragu. Bagaimana caranya aku menjelaskan pada Tante Ninis nanti? Sepertinya Ibu memahami kegelisahanku.

“Kalau Tante Ninis tanya, bilang saja perhiasannya hilang. Tante Ninis pasti akan menggantinya dengan yang baru.” Aku makin ragu mendengar penjelasan Ibu, “Kalau kamu tidak mau, ya sudah. Mungkin besok Ibu tidak bisa pulang lagi.” Tangisku makin keras. Akhirnya aku mengangguk bersedia menyerahkan perhiasan itu.

Esoknya aku mengalami demam tinggi. Tante Ninis menjengukku dan sambil menangis aku menjelaskan tentang hadiahnya yang hilang. Tante Ninis bilang tidak apa-apa, dan dia menemaniku hingga tertidur. Hal terakhir yang kudengar hanya suara Tante Ninis dan Ibu yang saling berteriak.

***

Hari ini Ibu mengantarku ke rumah Nenek. Katanya Ibu tidak bisa pulang ke rumah selama beberapa hari karena pekerjaan. Jadi aku harus menginap bersama Nenek.

Sekarang Ibu sudah berangkat sedangkan Nenek sedang tidur siang. Nenekku sudah sangat tua, jadi tubuhnya cepat lelah dan harus sering tidur. Aku duduk sambil bermain kerikil di depan rumah dengan perasaan bosan. Aku kaget ketika Tante Ninis juga datang ke sini dan langsung mencari Nenek. Lalu dia menyuruhku berpamitan pada Nenek dan langsung mengajakku pergi. Aku tidak berani bertanya setelah melihat matanya yang bengkak dan merah. Aku tahu dia habis menangis.

Ternyata aku di ajak ke rumahnya dan dia mengatakan mulai saat itu aku akan tinggal bersamanya. Barang-barangku juga sudah tertata rapi di kamar yang katanya untukku.

Seiring bertambahnya usia, aku makin mengerti. Sebenarnya tiap bulan Ibu memiliki tunjangan pensiunan Almarhum Bapak. Walau Ibu tidak bekerja, kami masih bisa hidup berkecukupan. Tapi Ibu malah menggunakan uang itu untuk bersenang-senang. Mencari hiburan ke sana-sini bersama Pria-pria yang kebanyakan sudah beristri. Dan yang paling buruk, dengan gampangnya Ibu menebar hutang hingga akhirnya rumah warisan Almarhum Bapak juga dijualnya. Sekarang Ibu tidak lagi memiliki harta bahkan rumah pun tidak punya.

Semua kenyataan tentang Ibu seolah menghantamku. Aku amat kecewa selama bertahun-tahun Ibu mengabaikanku hanya untuk memenuhi hasratnya sendiri. Hatiku lebih hancur lagi setelah tahu kenyataan ketika Ibu menitipkanku di rumah Nenek hanya agar dia bisa ikut liburan bersama salah satu kekasihnya. Saat itu aku sadar kalau Ibu tidak pernah mencintaiku. Dia hanya mencintai harta dan semua hasrat duniawi. Aku membencinya, tapi dia tetap Ibuku. Aku berhutang karena dialah yang melahirkanku. Dan aku bertekad sebisa mungkin melunasi hutangku dengan apa yang dia suka, yaitu harta. Setidaknya aku akan membuatkan rumah untuknya.


TBC.

~~>> Aya Emily <<~~

Aya Emily

HIDUP untuk MENULIS dan MENULIS untuk HIDUP

1 Komentar

  1. Ya ampun tak bisa berkata kata