Akhirnya hari ini tiba juga. Sidang pertama perceraian kami.
Sempat kupikir suamiku tidak akan datang. Tapi ternyata dia datang.
Hatiku sakit melihat keadaannya. Penampilannya memang rapi seperti biasa. Tapi bakal janggut didagu dan rahangnya dibiarkan tumbuh bebas. Matanya merah dengan rambut acak-acakan. Bahkan ujung hidungnya memerah menandakan bukan hanya aku yang melewati malam-malam dengan tangis.
Aku ingin sekali berlari ke arahnya lalu bersimpuh di kakinya. Memohon maaf atas semua kebohonganku. Memohon maaf atas semua ketidakjujuranku. Dan terutama memohon maaf atas semua luka yang kutorehkan di hatinya.
Tapi aku menahan diri.
Setelah sidang selesai, aku keluar tanpa menoleh ke arahya. Kini aku sudah berada di lobi dan sedang menuju pintu keluar gedung pengadilan. Mendadak seseorang mencekal pergelangan tanganku hingga membuatku memekik kaget.
Ternyata orang itu adalah suamiku. Dia tidak berhenti untuk menjelaskan maksudnya, tapi malah menarikku masuk ke salah satu ruangan.
“Apa yang kau lakukan, Mas? Kita masuk tanpa izin.” Tegurku sambil berusaha melepaskan tangannya.
“Aku sudah mendapat izin.” Jelasnya singkat.
Genggaman tangannya semakin kuat hingga akhirnya aku menyerah.
“Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Seharusnya kau biarkan aku pergi.” Ucapku dengan suara lemah.
Dia diam dengan mata tajamnya menelusuri wajahku. Tak kusangka tetesan air mata jatuh membasahi pipinya hingga akhirnya dia menangis.
Lalu yang lebih membuatku kaget, dia menekuk kedua lututnya di hadapanku tanpa melepas genggaman tangannya.
“Mas, berdiri! Aku tidak suka kau seperti ini.” Air mataku juga bergulir deras.
Begitu dalamkah luka di hatinya hanya karena perceraian ini?
Lalu bagaimana caranya dia bisa melewati kehidupan selanjutnya setelah mengetahui kenyataan yang kusembunyikan darinya?
“Mas, kumohon!” rengekku di antara isak tangis.
“Apa kau tahu bahwa aku menikah lagi?”
DEG.
Aku tidak menyangka dia akan menanyakan itu. Aku juga tidak tahu bagaimana seharusnya aku bersikap.
“Jadi itu alasannya kau meminta cerai dariku?” dia menyimpulkan karena aku tidak kunjung bersuara.
“Tidak, aku—”
“Seharusnya kau marah, sedih atau kecewa. Bukannya malah berkata ‘tidak’ dengan nada seperti itu. Berarti tebakanku memang benar.” dia mendongak menatap wajahku dengan mata yang berlumur luka dan rasa bersalah. “Baiklah, aku akan bercerai. Tapi bukan denganmu. Katakan saja aku egois. Namun aku memang tidak sanggup berpisah darimu. Seluruh hatiku telah kuserahkan padamu. Aku akan mati tanpa dirimu.”
“Tidak, kita akan tetap bercerai.”
“Kau memang benar-benar ingin berpisah dariku?” dia bertanya dengan suara bergetar.
Aku mengangguk mantap. Aku tidak sanggup lagi berkata ‘ya’ dengan bibirku.
“Baiklah.” Ucapnya dengan nada kalah. Senyum manis terukir di bibirnya di antara air matanya yang masih mengalir. “Aku melepasmu, cintaku. Pergilah dan raih kebahagiaanmu. Maaf karena aku telah membuatmu terluka.”
Dia berbalik membelakangiku sebagai isyarat agar aku pergi. Tapi sebaliknya, tubuhku malah membeku. Aku merasa ada yang salah dengan ucapannya.
Perlahan aku mendekatinya lalu menarik jaketnya dengan kasar hingga dia kembali menghadap ke arahku.
DEG.
Pistol? Dia memegang pistol?
“Kau mau apa, Mas?” tanyaku setengah berteriak. Segera tanganku menepis dengan kasar pistol itu hingga terlepas dari genggamannya.
Dia hanya tertunduk. Seperti tidak punya tenaga untuk melawanku. Lalu tubuhnya ambruk ke atas lantai. Layaknya anak kecil, kedua lututnya ditekuk dan dia menangis tersedu di atas kedua tangannya yang terlipat.
Akhirnya aku menyerah.
Aku berlutut di sampingnya lalu menarik kepalanya ke dalam dekapanku. Kini dia menangis di dadaku untuk pertama kalinya. Karena biasanya dia tidak pernah menangis.
Perih hatiku ketika melihatnya menangis dan tampak begitu rapuh. Rasa bersalahku yang semakin besar karena aku tidak sanggup melukainya semakin jauh jika berkata jujur.
Semua itu membuat kepalaku terasa amat nyeri hingga pandanganku menjadi gelap.
End of Miranda’s POV
TBC.
~~>> Aya Emily <<~~
Wow cinta sekali yaa
tapi kok si Alin hamil lagi?
Hayooo
Entahlah :beranilawansaya
Perpisahan