Aku kembali ke tempat Alin berada. Sama sekali tidak ada bekas air mata di wajahku. Aku sudah terlalu sering menangis dan menyembunyikannya hingga tahu dengan tepat cara merias wajahku untuk menutupi jejak air mata. Karena itu, alat make-up lengkap tidak pernah lupa kubawa.
“Kakak sakit?” tanya Alin dengan nada khawatir.
“Mendadak sakit perut. Sepertinya tamu bulananku akan datang.” Dustaku.
Alin mengangguk tanpa curiga. Aku kembali duduk di sebelah Alin di bangku panjang.
“Kak, boleh aku menceritakan sesuatu padamu?” tanya Alin tiba-tiba.
“Biasanya kau selalu bercerita apapun.” Jawabku sambil mengulas senyum.
“Mungkin setelah menceritakan ini, Kakak akan benci padaku.” Ujar Alin dengan wajah tertunduk.
Aku mengerutkan kening tidak mengerti arah pembicaraan Alin.
Dia melirikku sesaat sebelum melanjutkan. “Aku istri kedua. Mungkin juga pantas disebut perebut suami orang.”
DEG.
Apa aku siap mendengarkan semua ini?
Pandanganku jatuh ke arah jemari Alin yang saling menggenggam. Dia terlihat gelisah dan cemas. Pasti butuh keberanian ekstra untuk menyampaikan hal ini.
Aku tidak tahu akan seberapa dalam lagi luka di hatiku. Tapi aku tidak sanggup menahan rasa penasaran.
Bagaimana mereka berjumpa?
Apakah ada rasa bersalah di hati suamiku ketika melakukannya untuk pertama kali?
Dengan tangan gemetar, aku meraih jemari Alin yang ternyata sangat dingin namun berkeringat.
“Apa kau butuh tempat bercerita? Kalau iya, aku siap mendengarkan.”
Alin mendongak menatap wajahku dengan raut terkejut. “Kakak tidak benci padaku setelah aku mengatakan itu?”
“Kenapa aku harus melakukannya?”
“Karena semua orang benci padaku.” Suara Alin bergetar.
Aku trenyuh mendengarnya. Selama ini dia terlihat sebagai wanita yang periang dan bersemangat. Tapi sekarang dia terlihat begitu hancur dan menahan kepedihan. Seperti raut wajahku ketika tidak sedang memasang topeng pura-pura baik-baik saja.
Kini air mataku menggenang. Entah karena apa. Mungkin untuk Alin yang terlihat begitu menderita. Atau mungkin juga untuk hatiku yang sudah koyak.
“Aku membuat kesalahan, Kak. Satu kesalahan yang berakibat fatal dan tak termaafkan.”
Semakin kuat genggamanku di tangan Alin.
Ya, kesalahan.
Katakan padaku siapa yang tidak pernah melakukan kesalahan?
Aku pun pernah melakukannya. Kesalahan yang menurutku tidak fatal. Tapi siapa yang bisa menebak hidup siapa yang hancur karena kesalahanku.
Berhakkah kita menghakimi seseorang karena sebuah kesalahan?
Pantaskah seseorang menjadi tokoh antagonis karena sebuah kesalahan?
Kalau begitu, kenapa manusia bisa memaafkan kesalahan fatal yang dilakukan Hawa? Padahal dialah yang merayu Adam agar memakan buah terlarang hingga manusia harus tinggal di bumi daripada di surga.
Tidak.
Tidak ada seorang pun yang luput dari kesalahan. Yang membuatnya berbeda hanya alasan kesalahan itu terjadi. Sengaja atau tidak?
Aku mengangkat dagu Alin lalu tersenyum lembut. “Ceritakan padaku apapun yang ingin kau ceritakan. Aku siap menjadi pendengar.”
TBC.
~~>> Aya Emily <<~~
Siap menjadi pendengar yang baik