Kuparkir mobilku di halaman rumah. Rumah mungil tanpa pagar, hanya dikelilingi rimbunan tanaman terutama tanaman bunga yang terawat. Sangat jauh berbeda dari rumah megah dengan halaman bak taman kerajaan yang kutempati bersama suamiku. Tapi anehnya rumah ini selalu menimbulkan rasa iri yang mengiris hatiku.
Wanita yang tadi hendak memasuki rumah, berbalik karena mendengar suara mobilku. Senyum lebar merekah di bibir mungilnya ketika ia bergegas menyambutku.
Kutahan rasa sakitku lalu berusaha menampilkan senyum yang sama cerahnya sebelum keluar dari mobil. Wanita itu memelukku dengan tiba-tiba bahkan sebelum aku berdiri tegak.
“Astaga, Kak Ira! Aku tidak percaya ini kau. Sungguh, kukira kau sudah melupakanku atau pindah rumah ke tempat yang sangat jauh sehingga tidak bisa mengujungiku lagi. Padahal aku sangat merindukanmu.”
Aku tersenyum sayang walau rasanya aku bisa jatuh terjengkang sewaktu-waktu. “Alin, aku juga merindukanmu. Tapi pelukanmu membuatku tidak bisa bernafas.”
“Ups!”
Alin menyeringai dengan raut bersalah sambil melepaskan pelukannya. Dia mundur menjauh tapi jemari mungilnya tetap merangkul lenganku.
“Kebetulan sekali karena aku baru saja mau membuat kue. Kakak harus mencicipinya.”
Alin berkata dengan riang sambil menuntunku masuk ke rumah.
“Apa aku jadi kelinci percobaan?” tanyaku menggoda.
“Tentu saja tidak. Aku yang akan mencicipinya duluan.”
Aku hanya terkekeh sebagai tanggapan.
Sesampainya di dapur, Alin mulai sibuk mengeluarkan bahan-bahan pembuat kue. Aku tersenyum melihat betapa antusiasnya dia jika berhubungan dengan kegiatan dapur.
“Apa Ardian tidak sekolah hari ini?” tanyaku ketika tidak melihat bocah empat tahun itu.
“Astaga, sifat pelupaku kambuh. Tadinya aku hendak membangunkan Ardian. Tapi kedatangan kakak membuatku lupa.”
“Bagaimana kalau kau lanjutkan membuat kuenya. Biar aku yang akan membangunkan dan mempersiapkan Ardian berangkat sekolah.” Saranku dengan tenang. Padahal dalam hati aku sangat berharap Alin setuju.
“Baiklah. Maaf merepotkan padahal kakak baru datang.”
“Tidak masalah.” Sahutku tenang lalu segera menuju kamar Ardian yang sudah sangat kuhafal dimana letaknya.
Aku menarik nafas panjang di depan kamar Ardian. Selalu seperti ini tiap aku akan bertemu dengannya. Sama gugup dan senangnya seperti jika aku akan bertemu Papa Ardian, walau pernikahan kami sudah hampir sepuluh tahun.
Perlahan aku mendorong pintu hingga terbuka. Kamar itu masih sama seperti saat terakhir kali aku melihatnya. Hanya ada tambahan beberapa mainan.
Lalu seperti biasa, jantungku berdegup kencang melihat bocah duplikat suamiku yang masih terlelap di atas ranjang. Aku tersenyum melihat Ardian tidur bertelanjang dada. Itu salah satu kebiasaan suamiku.
Aku mendekati ranjang lalu duduk di tepinya dengan perlahan. Ingin rasanya aku menatap wajah itu dengan lama tapi aku harus segera membangunkannya.
“Ardian,” bisikku sambil membelai rambut tebalnya yang agak kemerahan seperti rambut suamiku.
Entah karena sudah cukup tidur atau merasa tidurnya terganggu, satu kali panggilan itu sudah berhasil menarik Ardian dari tidur lelapnya padahal setahuku dia sangat sulit dibangunkan.
Begitu kelopaknya terangkat, bocah itu langsung menatapku lekat. Sedetik kemudian senyum lebar menghiasi bibir mungilnya lalu secara tiba-tiba dia bangkit dan mengalungkan lengannya di sekeliling leherku.
“Bunda!”
DEG.
————————
TBC.
~~>> Aya Emily <<~~
Bunda