Post Views: 1,111
(15 votes, average: 1.00 out of 1)You need to be a registered member to rate this post.Loading...
BAB 1
Pagi hari yang panas di Pekanbaru membuat Alfares enggan untuk keluar
dari rumahnya. Ia memilih untuk berdiam diri sejenak di kamarnya
sambil mengatok-atik komputernya. Suatu hal yang biasa yang dilakukan
oleh Alfares Ivandi. Pria itu mengurung diri di Penthousenya sambil
mengurus blog dan juga programme yang ia jalankan.
Hari minggu yang biasa untuknya. Enam hari kedepan ia harus bekerja
sebagai guru Bahasa Inggris di salah satu sekolah swasta yang bertaraf
internasional di Pekanbaru. Bukanlah hal yang menyenangkan dan
terdengar membosankan menurut Alfares Ivandi. Orang-orang mengatakan
dirinya adalah guru yang pendiam, dingin, irit bicara, dan lebih
memilih komputernya dari pada orang lain. Hanya guru-guru tertentu
yang dapat memahami dirinya.
“Bagaimana dengan wajahnya?”
Seseorang pernah menanyakan hal ini kepadaku saat aku akan menulis
cerita hubungan terlarang ini. Sebuah karakter harus mempunyai wujud
yang terlihat nyata dan realistis bagi pembaca.
Alfares Ivandi mempunyai rahang tegas dengan bulu-bulu halus di ujung
dagunya. Ia berkaca mata, bagiku itu adalah hal yang umum bagi orang
yang suka mengotak-atik komputer. Seperti yang kalian tahu, layar
komputer dapat merusak mata. Rambutnya panjang sebahu dan sedikit
ikal. Saat ia pergi ke sekolah, Alfares Ivandi selalu menguncir
rambutnya agar terlihat rapi. Tubuh berotot yang indah bagaikan Dewa
Yunani. Dan yang terakhir, mata hijaunya yang tajam bagaikan elang.
Semua guru wanita sangat menyukai dirinya, berharap-harap bila ia akan
menjadi istri Alfares Ivandi dan mendapat gelar Nyonya Ivandi
nantinya. Tapi, itu hanyalah khayalan semata.
Alfares Ivandi mempunyai gangguan psikologis yang membuat dirinya
merasa panik tiba-tiba dan terkadang emosional. Karena gadis itu…
“Mata hijau besar bagaikan emerald,” Alfares selalu menggumamkan hal
itu sebelum ia jatuh tertidur.
Mengenai mata hijau, semua orang beranggapan pastinya seseorang itu
adalah gadis dari luar negeri yang mempunyai ras kaukasoid. Entah apa
yang di pikirkan Alfares, pria itu tidak bisa bangkit dari masa
lalunya.
Alfares selalu memimpikan sesuatu hal mengenai gadis itu tiap malam.
Ia berkata: ombak, aman, kabin, malaikat, dan juga gadis kecil. Hanya
kata-kata itu yang selalu ia keluarkan setiap malam. Bagi orang awam,
mereka pasti akan bingung dengan mimpi Alfares. Tapi, bagi orang
dengan kepintaran yang tinggi, ia pasti akan tahu bila mimpi buruk itu
adalah awal dari trauma masa kecilnya.
“Tuan Alfares Ivandi,” Ia menoleh saat wanita dengan pakaian khas
hotel datang menghampirinya.
“Ada apa?”
Wanita yang bekerja sebagai resepsionis itu memberikan sepucuk surat
kepada Alfares. Surat dengan amplop padi dengan bentuk amplop coin.
Melihatnya sekilas orang-orang pasti tahu bila itu berasal dari dinas
pemerintahan kota setempat.
“Siapa yang mengantarnya?”
“Seorang kurir dinas, Tuan.”
PENGADILAN TINGGI NEGERI KOTA PEKANBARU.
Alfares mengerutkan keningnya. Apa ia pernah melanggar hukum
sebelumnya? Apa ia akan disidang karena melanggar rambu-rambu lalu
lintas? Pria itu memilih untuk duduk di lobinya dan membaca surat
tersebut.
Surat itu menceritakan mengenai hak asuh anak dan juga wali. Alfares
kembali mengerutkan keningnya dengan dalam saat membacanya. Hal yang
sangat ia tak mengerti. Pria ini telah berumur tiga puluh tahun dan
sudah menginjak kepala tiga, tetapi ia belum menikah sama sekali.
Seperti rumusan masalah pada skripsi atau pun jurnalmu, Alfares
menulisnya di dalam hati: Siapa yang akan menjadi anakku?
Di barisan isi surat tertulis, Senin, 26 Desember 2017, dan itu
menandakan hari esok adalah hari dimana ia harus pergi ke pengadilan.
Ia merasa ragu akan hal ini, Alfares tidak pernah pergi kesana
sebelumnya. Mengenai hak asuh anak dan wali, ia rasa hal itu hanyalah
pertemuan dengan pengacara mereka.
Alfares kembali melipat surat tersebut dan memasukkannya ke dalam
amplop. Langkahnya berjalan kearah pintu masuk yang berputar di lobi
dengan penjaga pintu yang terus berdiri disana. Hawa panas dan juga
cahaya matahari segera menyambutnya disaat ia melangkahkan kaki keluar
dari bayang-bayang teras hotel.
Di sebelah hotelnya terdapat sebuah minimarket dan ia ingin membeli
perlengkapannya yang telah habis. Surat itu masih ada dalam
genggamannya, masih utuh dengan sedikit robekan di ujungnya. Ia
memasuki minimarket tersebut dan di sambut oleh kasir yang berjaga di
depan pintu. Hanya sebentar, lebih kurang tiga menit untuk membeli
barang kebutuhannya.
Alfares bukanlah tipe berbasa-basi. Ia hanya ingin tujuannya tercapai
dengan cepat. Apa tujuannya? Tentu saja ingin membeli beberapa
keperluan sehari-hari dengan cepat dan segera kembali ke dalam
penthousenya yang nyaman. Ia tidak ingin lama-lama berada di luar.
“Delapan puluh empat ribu tiga ratus rupiah,” Kasir itu menyebutkan
nominal yang harus dibayar.
Alfares merogoh dompetnya dan mengeluarkan uang seratus ribu kepada
kasir. Kasir tersebut mengembalikan dengan pecahan uang sepuluh ribu,
lima ribu, dua ribu, dan beberapa uang receh. Setelah transaksi itu
selesai, ia segera pergi menuju keluar mini market. Ia melangkahkan
kakinya dengan santai hingga ia melupakan sesuatu yang telah lama ia
pegang beberapa waktu ini. Mungkin saja benda itu akan hilang sebelum
seorang gadis menghampirinya.
“Excuse me, Sir….”
Bahasa Inggris, hal itu yang pertama kali Alfares pikirkan. Tidak ada
orang lain selain dirinya di tempat itu. Tanpa memikirkan prasangka
apa pun, ia langsung memutar tubuhnya menghadap seseorang tersebut.
Dalam hitungan sepersekian sekon, mungkin saja Alfares menyesali
keputusannya untuk memutar balik, atau sebaliknya tidak.
Bila gangguan psikologisnya kembali muncul, itu akan membuat heboh
orang yang berlalu-lalang di sekitarnya. Bila memori indahnya di masa
lalu kembali muncul, Alfares bisa menjadi patung sejenak di antara
kerumunan orang dan juga deru kendaraan disekitarnya. Sang Author
memilih untuk menghadirkan pilihan nomor dua, berubah menjadi patung
sejenak. Tatapan tercengang Alfares membuat gadis lawan bicaranya itu
mengerutkan keningnya. Tangannya masih terulur untuk memberikan
sepucuk surat itu kepada Alfares.
“Sir…”
Suaranya bagaikan lantunan harpa. Matanya yang sama persis seperti
dirinya menjadi magnet tersendiri untuk Alfares. Pria itu tidak
berkutik untuk beberapa saat. Alfares ingin memeluk gadis yang berada
di hadapannya. Dalam hati, ia berharap ini bukanlah mimpi. Mimpi
selalu membuat dirinya kesal dengan menghadirkan kebahagiaan dan di
akhiri dengan keindahan yang menggantung, membuatnya mengumpat disaat
terbangun dari mimpi.
Apa dia seorang malaikat? Pertanyaan yang sama yang ia ajukan dua
belas tahun yang lalu. Oh, malaikatnya telah tumbuh dewasa sekarang.
Tangannya dengan kaku mengambil sepucuk surat itu dari tangan gadis
tersebut. Ini masih nyata, gumamnya dalam hati. Ia dapat memegang
sepucuk surat itu dengan jari-jarinya.
Ini masih nyata…
Ini masih nyata…
Ini nyata….
Ini nyata….
Nyata…..
Ini masih nyata. Kata-kata terakhir itu yang terus mengiang di
telinganya, terutama disaat ia bangun dari tidurnya. Alfares semakin
keheranan disaat ia menyadari bila ia berada di kamar miliknya.
Pertanyaan yang biasa ia ajukan kembali muncul.
“Apa aku kembali bermimpi?”
Setiap orang yang panik pastinya akan segera melakukan sesuatu gerakan
dengan cepat dan spontan. Begitu juga dengan Alfares, ia tidak ingin
mimpi indahnya itu kembali menjadi khayalan. Dalam hati ia terus
mengatakan bila hal itu masih nyata. Gerakan spontannya membuat ia
menyadari sesuatu yang tergantung dari samping ranjang. Cairan infus
berwarna bening menetes-netes menuju selang dan terus mengalir ke nadi
miliknya.
Alfares terpaku sejenak, menatap kearah perban putih di punggung
tangannya. Lalu, ia menggerutu kesal. Apa dia panik? Apa penyakitnya
kembali kambuh? Semua itu kembali ia pertanyakan.
“Jadi, semua ini benar-benar mimpi?”
Alfares merasa kecewa, putus asa, dan frustasi. Mimpi mengerikan dan
juga penyakit menyebalkan miliknya membuat dirinya selalu berada dalam
khayalan. Ia tidak bisa melupakan gadis itu. Disaat ia melihat untuk
pertama kalinya setelah sekian lama, jantungnya berdebar dengan
kencang. Apa ini semua hanya mimpi dan khayalannya semata?
“You have wake up, Sir?”
Suara itu— Alfares kembali tercekat. Dalam hatinya, ia mulai
menegarkan dirinya bila itu hanyalah suara halusinasinya saja. Ia
tidak ingin kembali di bohongi oleh mimpi sialannya.
Sikap Alfares mengabaikan suara itu membuat seseorang yang berdiri di
depan pintu tersebut berjalan menuju nakas di hadapan Alfares. Tidak,
kali ini bukanlah khayalan. Hatinya bergejolak saat tubuh ramping
gadis itu lewat di hadapannya. Ekspresinya menunjukkan keterkejutan,
seperti yang ia tunjukkan saat gadis itu memanggil dirinya dengan
Bahasa Inggris beberapa waktu yang lalu.
Apa yang dirasakan oleh Alfares saat ini adalah perasaan yang tidak
beraturan. Tubuhnya kembali menjadi patung seperti sebelumnya.
Kata-kata seperti “Apakah ini nyata?” kembali ia ucapkan dalam hati.
Oh, ia terus menahan perasaan panik bila hal itu kembali timbul.
“Are you okay, Sir?”
Gadis kecil itu menunduk menatapnya. Matanya yang hijau jernih masih
terngiang jelas di ingatannya. Alfares tersenyum, untuk pertama
kalinya. Dalam hati ia mengucapkan syukur yang mendalam kepada Tuhan
bila hal ini bukanlah bunga mimpi yang mengganggu hidupnya.
“Dia benar-benar nyata.”
Pagi hari yang panas di Pekanbaru membuat Alfares enggan untuk keluar
dari rumahnya. Ia memilih untuk berdiam diri sejenak di kamarnya
sambil mengatok-atik komputernya. Suatu hal yang biasa yang dilakukan
oleh Alfares Ivandi. Pria itu mengurung diri di Penthousenya sambil
mengurus blog dan juga programme yang ia jalankan.
Hari minggu yang biasa untuknya. Enam hari kedepan ia harus bekerja
sebagai guru Bahasa Inggris di salah satu sekolah swasta yang bertaraf
internasional di Pekanbaru. Bukanlah hal yang menyenangkan dan
terdengar membosankan menurut Alfares Ivandi. Orang-orang mengatakan
dirinya adalah guru yang pendiam, dingin, irit bicara, dan lebih
memilih komputernya dari pada orang lain. Hanya guru-guru tertentu
yang dapat memahami dirinya.
“Bagaimana dengan wajahnya?”
Seseorang pernah menanyakan hal ini kepadaku saat aku akan menulis
cerita hubungan terlarang ini. Sebuah karakter harus mempunyai wujud
yang terlihat nyata dan realistis bagi pembaca.
Alfares Ivandi mempunyai rahang tegas dengan bulu-bulu halus di ujung
dagunya. Ia berkaca mata, bagiku itu adalah hal yang umum bagi orang
yang suka mengotak-atik komputer. Seperti yang kalian tahu, layar
komputer dapat merusak mata. Rambutnya panjang sebahu dan sedikit
ikal. Saat ia pergi ke sekolah, Alfares Ivandi selalu menguncir
rambutnya agar terlihat rapi. Tubuh berotot yang indah bagaikan Dewa
Yunani. Dan yang terakhir, mata hijaunya yang tajam bagaikan elang.
Semua guru wanita sangat menyukai dirinya, berharap-harap bila ia akan
menjadi istri Alfares Ivandi dan mendapat gelar Nyonya Ivandi
nantinya. Tapi, itu hanyalah khayalan semata.
Alfares Ivandi mempunyai gangguan psikologis yang membuat dirinya
merasa panik tiba-tiba dan terkadang emosional. Karena gadis itu…
“Mata hijau besar bagaikan emerald,” Alfares selalu menggumamkan hal
itu sebelum ia jatuh tertidur.
Mengenai mata hijau, semua orang beranggapan pastinya seseorang itu
adalah gadis dari luar negeri yang mempunyai ras kaukasoid. Entah apa
yang di pikirkan Alfares, pria itu tidak bisa bangkit dari masa
lalunya.
Alfares selalu memimpikan sesuatu hal mengenai gadis itu tiap malam.
Ia berkata: ombak, aman, kabin, malaikat, dan juga gadis kecil. Hanya
kata-kata itu yang selalu ia keluarkan setiap malam. Bagi orang awam,
mereka pasti akan bingung dengan mimpi Alfares. Tapi, bagi orang
dengan kepintaran yang tinggi, ia pasti akan tahu bila mimpi buruk itu
adalah awal dari trauma masa kecilnya.
“Tuan Alfares Ivandi,” Ia menoleh saat wanita dengan pakaian khas
hotel datang menghampirinya.
“Ada apa?”
Wanita yang bekerja sebagai resepsionis itu memberikan sepucuk surat
kepada Alfares. Surat dengan amplop padi dengan bentuk amplop coin.
Melihatnya sekilas orang-orang pasti tahu bila itu berasal dari dinas
pemerintahan kota setempat.
“Siapa yang mengantarnya?”
“Seorang kurir dinas, Tuan.”
PENGADILAN TINGGI NEGERI KOTA PEKANBARU.
Alfares mengerutkan keningnya. Apa ia pernah melanggar hukum
sebelumnya? Apa ia akan disidang karena melanggar rambu-rambu lalu
lintas? Pria itu memilih untuk duduk di lobinya dan membaca surat
tersebut.
Surat itu menceritakan mengenai hak asuh anak dan juga wali. Alfares
kembali mengerutkan keningnya dengan dalam saat membacanya. Hal yang
sangat ia tak mengerti. Pria ini telah berumur tiga puluh tahun dan
sudah menginjak kepala tiga, tetapi ia belum menikah sama sekali.
Seperti rumusan masalah pada skripsi atau pun jurnalmu, Alfares
menulisnya di dalam hati: Siapa yang akan menjadi anakku?
Di barisan isi surat tertulis, Senin, 26 Desember 2017, dan itu
menandakan hari esok adalah hari dimana ia harus pergi ke pengadilan.
Ia merasa ragu akan hal ini, Alfares tidak pernah pergi kesana
sebelumnya. Mengenai hak asuh anak dan wali, ia rasa hal itu hanyalah
pertemuan dengan pengacara mereka.
Alfares kembali melipat surat tersebut dan memasukkannya ke dalam
amplop. Langkahnya berjalan kearah pintu masuk yang berputar di lobi
dengan penjaga pintu yang terus berdiri disana. Hawa panas dan juga
cahaya matahari segera menyambutnya disaat ia melangkahkan kaki keluar
dari bayang-bayang teras hotel.
Di sebelah hotelnya terdapat sebuah minimarket dan ia ingin membeli
perlengkapannya yang telah habis. Surat itu masih ada dalam
genggamannya, masih utuh dengan sedikit robekan di ujungnya. Ia
memasuki minimarket tersebut dan di sambut oleh kasir yang berjaga di
depan pintu. Hanya sebentar, lebih kurang tiga menit untuk membeli
barang kebutuhannya.
Alfares bukanlah tipe berbasa-basi. Ia hanya ingin tujuannya tercapai
dengan cepat. Apa tujuannya? Tentu saja ingin membeli beberapa
keperluan sehari-hari dengan cepat dan segera kembali ke dalam
penthousenya yang nyaman. Ia tidak ingin lama-lama berada di luar.
“Delapan puluh empat ribu tiga ratus rupiah,” Kasir itu menyebutkan
nominal yang harus dibayar.
Alfares merogoh dompetnya dan mengeluarkan uang seratus ribu kepada
kasir. Kasir tersebut mengembalikan dengan pecahan uang sepuluh ribu,
lima ribu, dua ribu, dan beberapa uang receh. Setelah transaksi itu
selesai, ia segera pergi menuju keluar mini market. Ia melangkahkan
kakinya dengan santai hingga ia melupakan sesuatu yang telah lama ia
pegang beberapa waktu ini. Mungkin saja benda itu akan hilang sebelum
seorang gadis menghampirinya.
“Excuse me, Sir….”
Bahasa Inggris, hal itu yang pertama kali Alfares pikirkan. Tidak ada
orang lain selain dirinya di tempat itu. Tanpa memikirkan prasangka
apa pun, ia langsung memutar tubuhnya menghadap seseorang tersebut.
Dalam hitungan sepersekian sekon, mungkin saja Alfares menyesali
keputusannya untuk memutar balik, atau sebaliknya tidak.
Bila gangguan psikologisnya kembali muncul, itu akan membuat heboh
orang yang berlalu-lalang di sekitarnya. Bila memori indahnya di masa
lalu kembali muncul, Alfares bisa menjadi patung sejenak di antara
kerumunan orang dan juga deru kendaraan disekitarnya. Sang Author
memilih untuk menghadirkan pilihan nomor dua, berubah menjadi patung
sejenak. Tatapan tercengang Alfares membuat gadis lawan bicaranya itu
mengerutkan keningnya. Tangannya masih terulur untuk memberikan
sepucuk surat itu kepada Alfares.
“Sir…”
Suaranya bagaikan lantunan harpa. Matanya yang sama persis seperti
dirinya menjadi magnet tersendiri untuk Alfares. Pria itu tidak
berkutik untuk beberapa saat. Alfares ingin memeluk gadis yang berada
di hadapannya. Dalam hati, ia berharap ini bukanlah mimpi. Mimpi
selalu membuat dirinya kesal dengan menghadirkan kebahagiaan dan di
akhiri dengan keindahan yang menggantung, membuatnya mengumpat disaat
terbangun dari mimpi.
Apa dia seorang malaikat? Pertanyaan yang sama yang ia ajukan dua
belas tahun yang lalu. Oh, malaikatnya telah tumbuh dewasa sekarang.
Tangannya dengan kaku mengambil sepucuk surat itu dari tangan gadis
tersebut. Ini masih nyata, gumamnya dalam hati. Ia dapat memegang
sepucuk surat itu dengan jari-jarinya.
Ini masih nyata…
Ini masih nyata…
Ini nyata….
Ini nyata….
Nyata…..
Ini masih nyata. Kata-kata terakhir itu yang terus mengiang di
telinganya, terutama disaat ia bangun dari tidurnya. Alfares semakin
keheranan disaat ia menyadari bila ia berada di kamar miliknya.
Pertanyaan yang biasa ia ajukan kembali muncul.
“Apa aku kembali bermimpi?”
Setiap orang yang panik pastinya akan segera melakukan sesuatu gerakan
dengan cepat dan spontan. Begitu juga dengan Alfares, ia tidak ingin
mimpi indahnya itu kembali menjadi khayalan. Dalam hati ia terus
mengatakan bila hal itu masih nyata. Gerakan spontannya membuat ia
menyadari sesuatu yang tergantung dari samping ranjang. Cairan infus
berwarna bening menetes-netes menuju selang dan terus mengalir ke nadi
miliknya.
Alfares terpaku sejenak, menatap kearah perban putih di punggung
tangannya. Lalu, ia menggerutu kesal. Apa dia panik? Apa penyakitnya
kembali kambuh? Semua itu kembali ia pertanyakan.
“Jadi, semua ini benar-benar mimpi?”
Alfares merasa kecewa, putus asa, dan frustasi. Mimpi mengerikan dan
juga penyakit menyebalkan miliknya membuat dirinya selalu berada dalam
khayalan. Ia tidak bisa melupakan gadis itu. Disaat ia melihat untuk
pertama kalinya setelah sekian lama, jantungnya berdebar dengan
kencang. Apa ini semua hanya mimpi dan khayalannya semata?
“You have wake up, Sir?”
Suara itu— Alfares kembali tercekat. Dalam hatinya, ia mulai
menegarkan dirinya bila itu hanyalah suara halusinasinya saja. Ia
tidak ingin kembali di bohongi oleh mimpi sialannya.
Sikap Alfares mengabaikan suara itu membuat seseorang yang berdiri di
depan pintu tersebut berjalan menuju nakas di hadapan Alfares. Tidak,
kali ini bukanlah khayalan. Hatinya bergejolak saat tubuh ramping
gadis itu lewat di hadapannya. Ekspresinya menunjukkan keterkejutan,
seperti yang ia tunjukkan saat gadis itu memanggil dirinya dengan
Bahasa Inggris beberapa waktu yang lalu.
Apa yang dirasakan oleh Alfares saat ini adalah perasaan yang tidak
beraturan. Tubuhnya kembali menjadi patung seperti sebelumnya.
Kata-kata seperti “Apakah ini nyata?” kembali ia ucapkan dalam hati.
Oh, ia terus menahan perasaan panik bila hal itu kembali timbul.
“Are you okay, Sir?”
Gadis kecil itu menunduk menatapnya. Matanya yang hijau jernih masih
terngiang jelas di ingatannya. Alfares tersenyum, untuk pertama
kalinya. Dalam hati ia mengucapkan syukur yang mendalam kepada Tuhan
bila hal ini bukanlah bunga mimpi yang mengganggu hidupnya.
“Dia benar-benar nyata.”
Hai semua^^ ini cerita ketigaku setelah Pandora dan Queen Cursed. Yah memang sedikit aneh latarnya berada di Pekanbaru. Saya sengaja memilih latar di Pekanbaru karena saya lebih mengenal Pekanbaru daripada kota kota lainnya. Hanya ingin menggabungkan suasana Pekanbaru dan Kebaratan sedikit. Di Pekanbaru banyak orang keturunan Cina. Disini Alfares mempunyai darah Melayu dan barat.
Saya ingin mencoba hal baru dalam menulis dan semoga kalian suka. Makasih^^
Jangan pantang menyerah