# Prolog
***
Impian semua wanita, terutama yang umurnya sudah menginjak kepala ‘tiga’, yaitu… ‘pernikahan’.
Umur 32 bukan lagi terbilang usia muda, yang akan memberi banyak kesempatan dalam memilih pasangan. Namun, apa daya bila wanita itu lebih mencintai pekerjaannya, dibandingkan harus bangun pagi dan menemukan wujud seorang pria tengah memeluk pinggangnya di sebelahnya.
Seorang wanita dan asistennya duduk di bawah payung parasol, sambil mengawasi lewat monitor kecil di hadapannya dengan ekspresi serius. Wanita berambut keriting medium yang mengenakan kaos bermotif tulisan ‘You’ll die’ itu tiba-tiba berdiri, dan memegang megafon-nya seraya berteriak, “Cut! Cut! Cut!”
Bodoh! Dia ini artis profesional atau kacangan?! Berakting menangis saja tidak becus! Ucap sutradara wanita itu bergema di dalam benaknya. Ia tidak bisa asal mengeluarkan kata-kata makian pada orang lain, bila ingin pekerjaannya cepat selesai, atau masalah baru akan bertambah. Tahu, kan, orang lain juga punya hati? Kalau tidak mampu menyesuaikan dengan keinginan sutradara, maka mau tak mau, sutradara itu sendiri yang harus turun tangan memberi contoh.
Namanya adalah Im Seo Jin, telah bekerja sebagai sutradara selama lima tahun, dan membuat namanya tak luput dari daftar nama sutradara terbaik dalam beberapa tahun terakhir. Setiap drama percintaan yang disutradarainya, mampu melebur perasaan penonton, dan menyebabkan efek samping berupa tangisan tak tertahankan. Rating dramanya juga setiap hari meningkat, terutama penggemarnya dominan adalah ibu-ibu rumah tangga yang seharinya berada di rumah.
“Begini ya caranya… Myeong-ssi,” ucap Seo Jin yang dipaksakan melembut, daripada membuat artis pemenang penghargaan ‘pendatang baru wanita terbaik’ satu ini merengek manja di lokasi syuting.
“Buat kedua tanganmu begini.” Seo Jin mulai memberi arahan, sembari mengepal kedua telapak tangannya.
“Kemudian, taruh di bawah mata.” Myeong mengikuti arahan Seo Jin, biarpun ia merasa sedikit aneh dengan cara Seo Jin mengajarinya.
“Dan ucapkan, hiks… hiks… hiks, sambil tutup kedua kelopak matamu, dan goyangkan kepalan tanganmu layaknya gwiyomi,” lanjut Seo Jin, selesai memperlihatkan cara menangis yang dia inginkan.
“Ingat dengan skenario kalian. Yang pertama menampar adalah Myeong. Myeong akan menampar ayah tirinya saat dia mendapati ayahnya selingkuh di dalam rumah ibunya; kemudian selingkuhan ayahnya menampar balik Myeong, karena kurang ajar; lalu, ayah menampari ibu Myeong, karena tidak bisa mendidik anak dengan benar; diakhiri dengan ibu Myeong menampar selingkuhan suaminya, karena telah menjadi parasit dalam rumah tangganya. Mengerti, semua? Jangan asal menampar ok?!”
Sebab, jika asal menampar, maka akan menyebabkan rating dramaku menurun. Kalau sampai terjadi… akan kuhabisi mereka.
**
Sebuah layar besar di dalam bioskop tengah menyala di dalam kegelapan, dan menampilkan banyak adegan kekerasan dalam sebuah film thriller terpopuler saat ini.
Sebagian besar penonton menutup mata mereka masing-masing, tidak sanggup menyaksikan hal gila yang ditampilkan pada layar besar itu. Adegan dimana sebuah XXX dimutilasi oleh pencurinya. XXX dibagi menjadi beberapa bagian, lalu XXX difermentasikan dan dimasukkan ke dalam sebuah tabung kaca. Sedangkan, di atas sebuah rak besar, telah berjejer beberapa tabung kaca, berisikan bagian organ-organ hewan hasil malapraktik.
Wanita itu menyantap popcorn caramel-nya dengan rakus, seakan dia sedang menonton drama percintaan yang amat menggebu. Tangannya tak berhenti bergerak, menyalurkan biji popcorn ke mulutnya. Matanya yang bulat tak berkedip sama sekali, ketika memasuki adegan mutilasi.
“Oh my God!” serunya, dan tangan yang satunya mencari gelas kertas berisikan minuman bersoda.
Pria di sebelahnya menggelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sahabatnya, Jang Yoo Jin mungkin seorang psikopat, makanya dia tersenyum penuh hikmat saat melihat adegan gergaji membagi XXX itu menjadi beberapa bagian.
Setelah film selesai diputar, satu-persatu orang keluar dari ruangan besar kedap suara, melalui sebuah pintu exit.
“Kau lihat adegan yang tadi?! Luar biasa, sampai sekarang aku tidak menyangka yang kutonton tadi cuma sebuah film!” Yoo Jin terkagum-kagum, dan wajahnya bersinar bahagia setelah mereka keluar dari ruang bioskop. “Akting mereka cemerlang, bahkan suasana di film itu terasa amat mencekam. Lihatlah, bulu romaku sampai berdiri, padahal tadi bukan film hantu loh.”
Pria itu terdiam sesaat, tidak tahu harus merespon bagaimana. Seakan jiwanya hampir melayang, pria itu melihat Yoo Jin dengan tatapan kosong.
“Hei, kau kenapa?”
“Gara-gara kau memaksaku… hooo…” Pria itu berusaha menahannya. Dia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Selama film diputar, hampir setengahnya ia habiskan dengan menutup mata. Jujur saja, ia bukanlah pria yang berani menonton adegan kekerasan seperti tadi, dan justru membuatnya terus kepikiran dengan usus yang terbuyar.
“Ya! Kau kenapa?” Yoo Jin berubah menjadi cemas, melihat wajah temannya yang memucat.
Tidak tahan lagi, pria itu langsung berlari ke toilet, dan memuntahkan cairan dari mulutnya ke dalam kloset.
Sial! Kenapa juga aku harus ditipu, dan ikut bersama wanita psikopat satu ini! Pria itu membatin, lalu mengambil sapu tangannya untuk mengelap bibirnya.
**
‘Pernahkah kau bayangkan,
Langit gelap nan luas tanpa bintang?
Seperti itulah jemunya malamku tanpamu.
Pernahkah kau bayangkan,
Langit siang tanpa terang?
Seperti itulah gulitanya hidupku tanpamu.’
Bagaikan sebuah mesin penghasil kata-kata indah, maka di setiap waktu yang tepat, sebuah rangkaian kalimat puitis dan romantis dihasilkannya dengan mudah.
Bibirnya tipis dan merah merona; wajahnya kecil bagaikan boneka; rambut halus, panjang dan ikal; kelopak matanya yang lebar; bola mata yang berbinar; kulit putih mulus dan awet muda; serta tubuhnya mungil, bagaikan anak kecil yang meminta perlindungan.
Yang Hye Ri tengah berjalan melewati sepanjang koridor universitas, menuju ruang kelasnya. Diam-diam semua mata pria yang tersebar di sana hanya tertuju padanya, bahkan pria yang sudah memiliki kekasih-pun tak luput menghindarkan pandangannya dari Hye Ri.
“Ya! Kau lihat kemana hah?!” seorang wanita memukul kekasihnya, setelah memergoki prianya melirik wanita lain yang jauh lebih cantik.
Merasa begitu banyak pandangan mengarah padanya, dengan tergesa-gesa Hye Ri berjalan melewati mereka semua.
Hye Ri yang cantik sadar, kalau orang-orang sering melirik ke arahnya. Biasanya, wanita pada umumnya senang bila diperhatikan dan dikagumi, namun tidak bagi Hye Ri. Ia bukannya senang, justru lirikan mata mereka membuatnya merasa terganggu.
Bruk!
Tidak sengaja Hye Ri yang tengah menundukkan kepala, menubruk seseorang saat berjalan cepat. Buku yang digendong Hye Ri-pun terjatuh, dan berhamburan di atas lantai.
Mereka berdua bergegas berjongkok. Hye Ri mengumpulkan buku yang terjatuh di sekitarnya, sedangkan orang itu membantu Hye Ri mengambil buku yang jarak jatuhnya cukup jauh.
“Maaf, aku tidak melihat ke depan tadi. Apa kau baik-baik saja?” tanya Hye Ri khawatir.
“Aku baik-baik saja. Kau?” tanya orang itu balik.
Hye Ri mematung sesaat, saat melihat tatapan orang itu. Tatapan orang itu… sungguh berbeda.
Orang itu heran tidak mendapat respon dari Hye Ri, dan Hye Ri justru melongo menatap wajah pria itu. Apakah ada yang aneh dari wajah pria itu?
Dilambaikan tangannya di depan wajah Hye Ri, dan seketika wanita itu sadar dari lamunannya. Perasaan deg-degan tercipta mendadak, membuat Hye Ri menjawab dengan gugup. “Ah, ya, ya. A– aku tidak apa-apa…”
Matahari terbit dari ufuk timur,
Bunga sakura tumbuh di musim semi,
Perasaan deg-degan timbul,
Saat kedua pasang mata saling memandang.
“Baguslah. Lain kali lebih hati-hati ya.” Pria itu melambaikan tangannya sekali lagi, sebelum berjalan meninggalkan Hye Ri.
Jantung Hye Ri berdetak lebih cepat dari biasanya. Pipinya tiba-tiba bersemu merah. Seulas senyuman mengembang di bibirnya. Oh, tidak. Pria itu berhasil menebarkan kelopak bunga di dalam hatinya.
**
Di dalam sebuah ruangan yang terkesan mewah bertaburan lampu kristal, telah berkumpul beberapa anak dari kalangan borjuis sedang menikmati wine.
Acara reuni yang dirayakan setahun sekali, mengumpulkan mereka yang dulu pernah satu sekolah. Tentunya semua berasal dari salah satu sekolah elit yang sama, dan ternama di Seoul.
Para pria dan wanita dipertemukan dalam acara tersebut, dan jika beruntung, yang masih lajang saat pulang akan mendapatkan pasangan.
Mereka terlihat akrab satu sama lain, dan bercengkrama dengan hangat, seakan telah melupakan jika dulu mereka sempat memiliki perselisihan.
Seorang wanita berpakaian seksi, memperlihatkan kakinya yang jenjang; memancarkan aura elegan di sekujur tubuhnya; sekaligus tampak kesepian, sedang duduk sendiri di sudut ruangan. Ia memutar gelasnya, membuat wine di dalamnya menari bagaikan pusaran.
Seakan ada pembatas di antara ia dan kawan-kawannya, membuat orang lain enggan untuk mendekatinya. Sampai…
“Chae Ho Rang?” Terdengar sebuah suara maskulin menyebut nama wanita itu. Akhirnya, ada juga yang mau menyapa si wanita salju.
“Siapa ya?” tanya Ho Rang dengan tampangnya yang datar. Tiada sedikitpun senyuman yang terukir di bibirnya yang menawan.
“Kau sudah lupa denganku?”
Ho Rang meletakkan tangannya di bawah dagu. Sambil meneliti wajah pria itu, ia berusaha mengingat nama-nama teman sekolahnya.
Pria itu cukup terlihat asing bagi Ho Rang. Ia tampan, berpenampilan stylist dengan kemeja, serta suaranya terdengar lumayan berat. Namun, sayangnya Ho Rang tidak tertarik padanya.
Ada sebuah nama dan wujud yang telah dilupakannya sejak empat tahun lalu. Sebuah nama dan wujud, yang dimasukkan ke dalam kotak pandora, dan dikuburnya sedalam inti bumi.
Pria itu menyengir, tak percaya ia akan dilupakan semudah membalikkan telapak tangan.
Sengiran licik itu. Perlahan, Ho Rang mendapatkan sebuah petunjuk.
Ketika pria itu berniat menyebutkan namanya, “Namaku…”
Ho Rang langsung teringat siapa diri pria itu. “Kau!”
Refleks Ho Rang menyiram pria itu dengan wine-nya, dan menghajarnya secara membabi buta. “Manusia kurang ajar!”
Selama ini Ho Rang telah berusaha untuk belajar menjadi pribadi yang lebih kuat, walaupun hasilnya dia malah menjadi ‘gila dan nekat’.
Setelah sekian lama, yang telah ia nantikan akhirnya muncul! Sudah berkali-kali reuni diadakan, namun pria itu belum pernah datang sekalipun sebelumnya. Kini Ho Rang merasa puas, ia telah menyalurkan kekesalannya yang selama ini ia pendam.
Apa perlu kumatikan sekalian saja dia?
***
Wesss