Hujan masih turun dengan derasnya. Gadis di sebelahnya masih sibuk memeras gaunnya yang basah akibat terciprat air di sayapnya. Setelah mencoba dan berulang kali gagal membuat gaunnya lebih kering, akhirnya gadis itu menyerah. Kekesalan masih nampak di wajahnya saat dia menoleh ke arah pria tersebut.
“Jadi, siapa namamu?” Pria itu henya melirik dengan alis terangkat. Merasa malas menjawab pertanyaan gadis itu tentang namanya. Melihat sikap acuk tak acuh pria di sampingnya, gadis itu pun memiliki inisiatif sendiri. “ Baiklah jika kau tidak mau menjawabnya. Aku akan memanggilmu dengan nama Pirang!” sahut gadis itu girang, melihat ke arah pria tersebut terutama rambutnya yang memang terlihat pirang di matanya.
“Nama apa itu, jelek sekali! Seleramu buruk untuk memilih nama.” Meski menggerutu karena nama yang diberikan gadis di sebelahnya, pria tersebut tidak mendebatnya lagi. Pria itu pasrah saja dengan nama itu asalkan dia tidak memberi nama aslinya pada gadis disebelahnya. “Kalau begitu aku akan memanggilmu coklat.”
“Hei! Tidak bisa begitu. Aku juga punya nam–” Sesaat gadis itu kembali terdiam saat pria di sampingnya meliriknya dengan alis terangkat, seakan menantang gadis tersebut melanjutkan protesannya. Gadis itu pun terdiam dengan dengusan kesal dan bibir mengerucut sebal. Sebuah pemandangan yang mampu membuat pria yang berjulukan Pirang tersebut tersenyum kecil.
Dan kejadian tersebut hanyalah awal mula dari kebersamaan mereka.
Setelah pemberian nama kepada masing-masing, gadis dan pria tersebut semakin dekat. Tiap hari gadis itu akan datang membawa makanan, lalu dilanjut dengan berbincang sebentar sampai akhirnya gadis itu kembali ke rumahnya. Sesekali mereka berjalan-jalan mengitari hutan dan mencari bahan makanan untuk gadis itu.
Kebersamaan mereka tentu membuat efek samping lain. Efek dari kebersamaan mereka membuat mereka merasa nyaman satu sama lain dan memiliki rasa suka hingga berakhir cinta. Keduanya pun memutuskan untuk hidup bersama di dalam kanopi yang telah di dibangun ulang menjadi hunian nyaman.
Seperti biasa, pria itu berjalan ke arah pohon apel, tempat favorit mereka. Dia menggelar alas dan meletakkan beberapa makanan di atasnya. Memandang ke atas pohon, dia akhirnya terbang kesana untuk mengambil beberapa apel yang sudah masak.
“Apa yang kau lakukan?” Pria itu tersentak kaget. Di belakangnya, gadis kesayangannya sedang berjalan seraya membawa beberapa camilan tambahan. Rasa gugup langsung mendera diri pria tersebut. Takut kalau gadis di depannya mengetahui jika dia terbang untuk mengambil apel di atas pohon.
“Hanya mengumpulkan beberapa apel yang asih bagus.” Gadis itu melihat apel di tangan pria di depannya, lalu melihat ke sekitar pohon dan tidak menemukan apel-apel lainnya. Meski terlihat aneh, dia mengabaikan fakta tersebut dan langsung memasang wajah ceria di wajahnya.
“Kelihatannya enak. Kupaskan satu untukku.” Pria itu mengangguk bersamaan helaan napas lega.
Seperti biasa, setelah memakan makanan mereka akan duduk di bawah pohon menikmati semilir angin yang berhembus. Pria itu akan menyender pada pohon dan mendekap erat gadis yang duduk di depannya. Sementara gadis itu bersandar pada dada pria di belakangnya dan menikmati kedua lengan pria tersebut yang memeluknya erat. Tentu saja dengan tambahan kedua sayap pria tersebut yang menyelimutinya.
Melihat sayap itu, gadis itu kembali teringat dengan percakapan mereka yang dulu. “Apakah sayapmu sudah pulih seperti dulu?”
Pria itu mencoba melihat ekspresi gadis di depannya tapi tidak bisa. Wajah gadisnya malah menatap cemas ke arah sayapnya yang membalut hangat keduanya. “Kenapa kau tanya begitu? Tak seperti biasanya?”
Gadis di dalam dekapannya terdiam. Gadsi itu enggan menjawab pertanyaan dari rpai di depannya. Meski begitu, dia memutuskan mengatakan hal yang menjadi kekhawatirannya. “Jika sayapmu sudah pulih, bukankah kau akan kembali pulang ke asalmu?”
Pria itu terpekur dengan pernyataan gadis itu. tak menyangka jika gadis itu begitu mengkhawatirkan kepergiannya kembali ke rumah. “Kau tidak mau aku pulang kembali ke rumah asalku?”
“Hanya saja, jika kau pergi aku akan sendirian lagi.” Gadis di dalam dekapannya tersebut memankan bulu-bulu di sayapnya. Seakan merajuk sekaligus merasa sendu dengan kemungkinan yang ada di pikirannya.
“Kalau begitu, kau hanya perlu memintaku untuk tetap tinggal.”
“Bolehkah?” tanya gadis it spontang menoleh ke belakang. Mendapati jika prianya menampilkan senyum hangat kepadanya.
“Tentu saja. kau segalanya bagiku sekarang.” Gadis itu kegirangan. Dengan spotan dia berbalik dan memeluk erat pria yang paling disayanginya itu. pria yang paling dicintainya.
Sedangkan pria tersebut balik memeluknya. Senyum terbit dari wajahnya yang bersinar cerah. Namun itu hanya sekejap. Senyum langsung luntur saat tau ada seseorang yang sudah menunggunya di balik pepohonan. Menunggu untuk bertemu dengannya.
***
Hari sudah mencapai tengah malam. Pria bersayap itu memberikan ciuman lembut di dahi gadis di dekapannya. Setelah memastikan bahwa gadisnya tidak kedinginan dan tidak terganggu dalam tidurnya, pria tersebut langsung ke luar rumah. Dirinya akan menyambut kawan lamanya yang sudah sedari tadi menunggu untuk dapat berbicara dengannya.
Pria bersayap itu segera keluar dari rumahnya. Menatap tajam pada satu titik di balik pepohonan. “Kau bisa keluar, Yama.”
Suara gesekan daun, dan langkah kaki terdengar oleh telinga pria itu. hingga kemudian bisa melihat sosok yang hampir serupa dengannya. Sosok laki-laki dengan rambut hitam dan sayap coklatnya. Wajah angkuhnya merupakan cerminan dari dirinya dulu sebelum bertemu dengan sosok yang tengah terlelap di dalam. “Wah, sudah lama sekali kita tidak bertemu bukan. Kenapa kau dingin sekali kepadaku?”
“Tidak usah berbasa-basi. Ada urusan apa hingga kau kemari?”
Senyum pongah langsung mengiasi wajah pria di depannya yang bernama Yama. “Seharusnya itu pertanyaanku. Kenapa kau masih disini. Kau sudah terlalu lama berada di tempak makhluk rendahan ini.”
Pria itu mengepalkan tangannya sebagai rasa kesalnya terhadap perkataan Yama. “Ini bukan urusanmu. Masih ada banyak urusan lain yang harus kau hadapi selain mengurusi keberadaanku di tempat ini.”
Yama terdiam. Senyum pongahnya langsung hilang begitu saja. “Ini tentu menjadi urusanku. Kau merupakan salah satu jenderal dari delapan pasukan suci. Dan sudah seharusnya kau kembali ke asalmu dan melakukan tanggung jawabmu dibandingkan berada disini.”
“Aku sedang terluka. Aku akan kembali saat sayapku sudah kembali pulih.”
Yama terkekeh mendengar alasan pria di depannya. “Terus saja berbohong sesukamu, aku juga tau jika sayapmu telah pulih. Dan aku juga tau jika alasanmu tetap berada disini karena gadis kecil yang ada di dalam, bukan.” Yama menikmati ekspresi pria di depannya yang kesal dan menahan amarahnya. “Yah, jika begitu aku tidak akan memaksamu untuk kembali. Lagipula aku akan sangat senang jika kau tidak kembali karena itu berarti pasukanmu akan menjadi milikki.”
Yama berbalik hendak pergi. Namun sebelum sayapnya membawanya untuk terbang, pria tersebut menoleh dan memberikan satu kalimat yang mampu membekukan pria berambut pirang di belakangnya. “Tapi tentu saja, Asta tidak akan tinggal diam.”
***
Pria dengan sayap hitam itu tentu tidak berpikir jika ancaman dari Yama akan secepat ini datang kepadanya. Tidak mengira jika sosok di depannya akan langsung mendatangainya setelah beberapa hari yang lalu dsiunggung oleh Yama. Ini bahkan terlalu cepat dari perkiraan yang dipikirkannya.
Sosok di depannya tiba-tiba muncul saat pria dan gadis itu kembali piknik di tempat favorit mereka. “Anakku.” Pria itu berdiri di depan gadis itu. menyembunyikannya dari sosok pemimpin tertingginya di balik sayapnya. “Bukankah ini sudha waktunya kau kembali ke tempatmu berada?”
Pria itu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak akan kembali ke tempatku.”
“Kenapa?” Pria itu tidak menjawab. Sosok bernama Asta tersebut langsung mengalihkan pandangannya ke arah belakang anak kesayangannya, pada sosok gadis mungil yang menatapnya penuh kekaguman dan ketakutan. Tangan kanan Asta langsung menunjuk gadis tersebut. “Apakah karena gadis itu?”
Di dalam pandangan Asta, anak kesayangannya sedikit terbelak terkejut meski pada akhirny bisa menyembunyikan keterkejutannya. Mendapat reaksi tersebut, Asta akhirnya menyimpulkan jawabannya sendiri. “Jadi begitu.”
Hentakan yang cukup keras dirasakan oleh tubuh gadis itu hingga akhirnya tubuhnya digenggeam oleh sosok bernama Asta tersebut. Gadis itu terbelak kaget begitu juga pria yang maish terpaku di tempatnya tersebut. Pria itu jelas tidak bisa melakukan apa-apa karena takut mengambil tindakan yang salah.
Gadis berambut coklat tersebut memandnag takut ke arah sosok yang mengenggam tubuhnya. Sosok ini terlihat sangan cantik dengan tubuh yang bersinar, rambut panjang berwarna putih dan mahkota serta gaun yang sangat cantik. Meskipun dia juga cukup ngeri melihat sosoknya yang berukuran raksasa serta bermata empat yang hanya berwarna putih tanpa ada pupil di sana. Dia jelas bukan manusia, dia merupakan pimpinan dari makhluk seperti prianya. Terlihat dari beberapa pasang sayapnya yang seakan siap untuk dikepakkan kapan saja.
“Kalau begitu, aku akan membunuhnya sehingga tidak ada alasan bagimu untuk tetap berada disini.” Perkataan tersebut sukses menghantam kesadaran pria itu. membuat pria dengan sayap hitam kelamnya memandnag geram kepada penguasanya yang dulu pernah dijunjungnya itu.
“Aku tidak akan membiarkannya!” Pria tersebut langsung mengepakkan sayapnya. Dengan secepat kilat dia menebas tangan Asta.
“Argggh.” Lengkingan Asta menyambut tebasan yang di berikan oleh anak kesayangannya. Meski tidak sepenuhnya bisa membuat tangan itu terputus tapi cukup melukai Asta hingga genggamannya renggang dan pria tersebut bisa merebut gadisnya.
Pria itu menurunkan gadis di dekapannya yang merasa lemas akibat berada di dalam genggaman Asta. Sedangkan Asta sendiri masih memengang tangannya yang lukanya sedikit mulai sedikit tertutyp sendiri. Darah yang mentes dari lukanya pun terjatuh dan mengenai pepophonan yang langsung meleleh seperti lilih terkena api.
“Anakku, berani-beraninya kau melukaiku.”
Pria itu memandnag sengit Asta. “Semua itu aku lakukan demi dirinya. Aku akan terus bersamnya, bahkan jika kau benar-benar membunuhnya, aku tidak akan segan untuk membunuh diriku sendiri agar dia tidak merasa kesepian.”
Asta memandang tidak mengerti ke arah anak kesayangannya. Meski begitu, dia harus mengakui jika anaknya sudah berkhianat kepadanya. Anak yang paling disayanginya. “Jadi kau memilih untuk terus bersamanya dibandingkan kembali ke asalmu.”
“Ya!”
“Baiklah kalau begitu, aku mengerti. Kau sudah berkhianat dengan kaummu, maka aku akan menghukummu sekaligus mengabulkan permintaanmu agar bisa bersama dengan makhluk hina itu.” Tangan kanan Asta terangkat sejajar bahunya. Tangannya dalam posisi mengenggeam. Dalam sekejap, terdapat angin yang berkumpul, kemudian api yang sangat besar langsung muncul di dalam genggaman Asta membentuk pedan yang sangat panjang.
Hentakan terasa di tubuh pria itu sebelum berakhir di dalam genggaman Asta. Pria itu tak berkutik saat pedang tajam di kanan Asta mendekat ke arah punggungnya. Dan saat itulah dia au apa yang dimaksudkan oleh Asta.
“AARGGGHHHHH!” Suara teriakan memekikan suara itu keluar dari mulut pria itu. Pedang api tersebut menusuk punggungnya. Pedang itu seakan menggali ke dalam punggungnya untuk mencari akar dari sayapnya. Dan disaat pedang itu mengoyak punggungnya semakin intens, pria itu bisa merasakan tulang belakangnya seakan ditarik secara paksa. Lalu diakhiri mati rasa yang mendera sayapnya. Saat dia melirik kebawah sana, tepat di atas tanah terdapat salah satu sayapnya yang sudah tergeletak dipenuhi oleh darahnya.
Semua kejadian itu tak luput dari mata gadis itu. sepenuh tenaga, dia mulai bangkit berdiri. Suara teriakan terdengar lagi, dan lagi-lagi pedang panjang berapi itu mengoyak ke dalam punggung pria yang dicintainya. Suara teriakan itu menimbulkan kepedihan di hati gadis tersebut. Tak ingin mendengar ataupun melihat prianya lebih tersakiti, gadis itu pun bermaksud membantu pria itu.
Gadis itu mengambil pedang milik pria itu yang tadi terlepas dari genggamannya. Gadis itu berlari mendekat ke arah Asta. Tangannya yang memgang pedang segera melemparnya sekuat tenaga ke arah Asta. Hal tak terduga adalah, pedang tersebut mampu menancap ke salah satu mata milik Asta. Asta pun berteiak pedih dengan kedua tangannya menutup matanya yang terluka, membuat pria di dalam genggamannya terjatuh bersamaan dengan sayap pria tersebut yang pada akhirnya terlepas, sedangkan pedang terselimuti api tersebut juga ikut jatuh menimbulkan suara dentuman yang cukup keras.
Gadis yang melihat prianya terkapar itupun segera berlari kearah pria itu. namun Asta tidak membiarkan begitu saja gadis di hadapannya merasa menang. Asta membiarkan matanya yang terluka. Tangannya yang diselimuti darah mulai terangkat, mengumpulkan angin yang ada di sekelilingnya dan membentuknya sedemikian rupa hingga membentu anak panah yang sangat tajam. Hanya dengan satu kali hentakan dari tangannya, anak panah yang terbuat langsung meluncur begitu cepat menembus dada gadis itu, menciptakan lubang menganag yang besar pada dadanya.
Pria yang sedari tadi terkapar akibat kehilangan sayapnya itu terbelak kaget melihat kejadian di depannya. Mulutnya tak mampu berteriak marah, tubuhnya mmebeku begitu saja. Namun saat dilihatnya tubuh gadis yang paling disayanginya itu jatuh terkapar di depannya, pria itu mengerahkan tanaganya yang terakhir untuk merangkak mendekat ke arah gadisnya. Tangannya yang terasa ngilu langsung menggoyangkan tubuh gadisnya tapi hasilnya sia-sia. Gadisnya sudah tiada.
Asta melihat dalam diam pemandangan di depannya. Hatinya sedikit terenyuh saat dilihatnya anak kesayangannya mengalami kesedihan mendalam yang terpancar dari tangisnya yang tidak pernah dilihatnya. Meski begitu, rasa sakit pada mata kanannya mengingatkannya jika kedua makhluk di depannya ini adalah musuhnya yang patut di beri hukuman karena menentang perintahnya.
“Ini hanyalah permulaan, anakku.” Suara dingin milik Asta mampu membuat pria itu menoleh tanpa melepaskan pegangan tangannya pada gadis miliknya yang hanya tersisa raganya. “Pengkhianatanmu dan ketidakpatuhan gadis itu harus dibayar dengan hal setimpal. Karena itulah aku telah mengutukmu untuk terus hidup abadi, tanpa sayapmu. Dan kau akan terus berada di lingkaran kutukan yang mana kau akan melihatnya kembali hidup dan mati di depan matamu. Itu adalah kutukan bagimu dan gadismu.”
***
“Itu, dongeng yang menyedihkan.”
Charta tersenyum sendu mendengar perkataan Uniqiue. Sosok putri di depannya mungkin akan lebih terkejut dengan lanjutan kisah itu. Tapi dia tidak akan menceritakannya. Tidak sekarang. “Percayalah Tuan Putri. Bahkan dongeng ini tidak lebih menyedihkan dibandingkan yang kau pikirkan.”
“Lalu bagaimana dengan pria itu. apa dia masih hidup sampai sekarang?” Unique jelas penasaran dengan kelanjutan dongeng Charta. Tanpa disadarinya bahwa dongeng itu membuatnya melupakan kesedihannya terhadap kematian orang tuanya.
“Saya tidak tau pasti. Saya hanya mendengar jika dia masih hidup sampai sekarang, melihat sosok gadisnya terlahir kembali kemudian mati, jatuh cinta lagi kemudian kehilangan lagi, sama seperti kutukan yang diberikan kepadanya.”
“Bukankah itu terlalu kejam?” Dan lagi Charta hanya bisa tersenyum sendu penuh misteri ke arah Unique.
“Tapi, bukankah dunia ini memang kejam?” Pertanyaan sederhana Charta di iyakan Unique dalam hati. Dan disudut hatinya yang terdalam, dia berdoa, mendoakan sosok pria di dongeng tersebut agar mendapatkan kebahagiannya kelak.
Semoga.
Dongeng