# 1
Waktunya Berpesta!
***
“Selamat pagi dunia,” sapanya yang bersuara merdu.
Aroma teh hijau yang baru selesai diseduh, menyebar dan menyelimuti udara ruang tamu di sebuah rumah kecil.
Wanita itu mengangkat cangkirnya dengan lembut, dan menyesap minumannya perlahan. Sambil menikmati tehnya, tak lupa ia membaca buku kesukaannya. Judul buku itu adalah ‘Kumpulan Puisi dari Para Profesional’, dan pada halaman awal buku tersebut menuliskan nama pemiliknya, Yang Hye Ri.
Sinar matahari pagi yang hangat menerobos masuk dengan bebas, melalui pintu teras yang dibuka Hye Ri barusan. Cicitan burung-burung kecil yang imut dari luar, terdengar jelas hingga ke dalam.
“Kalian lapar?” tanya Hye Ri sembari tersenyum ceria secerah mentari hangat, telah berdiri di luar teras, dan kepalanya menengadah ke atas atap. Terlihat sebuah sarang burung yang dibangun oleh para makhluk kecil itu di atas atap rumah, kira-kira semenjak seminggu yang lalu.
Kurasa mereka lapar, makanya mereka mencicit terus. Pikir Hye Ri, lalu melesat menuju dapur, dan membuka sebuah pintu lemari kecil. Diambilnya camilan yang masih utuh tak tersentuh oleh siapapun, menyobek bungkusnya, dan mengeluarkan dua buah kepingan biskuit.
Hye Ri yang perhatian dengan banyak hal, tahu kalau burung-burung itu tidak dapat langsung menelan sekeping biskuit utuh, makanya ia menghancurkan biskuit itu sampai menjadi butir-butiran kecil. Selesai menyediakan makanan bagi burung-burung yang bermukim di atas atap, Hye Ri menoleh ke arah jam yang terpasang di atas dinding ruang tamu.
“Pukul 7 pagi,” gumam Hye Ri sambil menatap jam. Masih banyak waktu yang tersisa, sebelum ia berangkat kuliah.
Dari sekian banyaknya orang yang tinggal di dalam rumah itu, hanya Hye Ri saja yang telah selesai mempersiapkan diri untuk memulai aktivitas di hari ini. Sedangkan yang lainnya…
**
Kringgg!!! Kringgg!!!
Sebuah tangan bergerak asal-asalan, mencari alat yang mengeluarkan bunyi alarm. Hampir sepuluh kali alarm itu berbunyi, tetapi tidak berhasil membangunkannya dari tidurnya yang nyenyak. Sampai pada daftar alarm terakhir, yang hanya berselisihkan lima menit dari panggilan alarm sebelumnya, berhasil membangunkan Jang Yoo Jin.
Setiap hari Yoo Jin sengaja menyetel alarm-nya agar berbunyi beberapa kali di menit yang berbeda, sebab ia tahu kalau dirinya payah soal bangun pagi. Misalkan ia tidak mampu bangun, bahkan setelah alarm terakhir berbunyi, maka Yoo Jin akan menyerahkan hidupnya pada nasib.
Yoo Jin berjalan menuruni tangga sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, menjadikan rambutnya semakin berantakan.
“Ah! Akhirnya kau bangun,” seru Hye Ri yang telah berencana ingin membangunkan Yoo Jin, apabila wanita itu belum bangun ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah delapan.
“Aku lapar,” gerutu Yoo Jin, dan tangan kanannya mengelus perutnya yang sejak bangun tadi bergemuruh.
“Biskuit?” tanya Hye Ri, menawarkan biskuit yang tadi ia ambil dari lemari dapur.
“Tidak. Aku maunya steak ayam,” jawab Yoo Jin terdengar ngawur, dan matanya masih setengah tertutup. Mana ada steak ayam di pagi hari? Dan siapa juga yang makan steak di pagi hari?
Tidak beberapa lama kemudian, seorang wanita ikut menuruni tangga dan menyenggol Yoo Jin yang menghalangi jalannya. “Ya! Minggir! Kalau mau bicara, jangan di tangga. Menghalangi jalan saja.”
“Wah!” jerit Yoo Jin terkejut, sedangkan tangannya otomatis memegang railing untuk menahan tubuhnya, agar tidak terguling di atas anak tangga.
Hye Ri sempat menutup matanya dengan jari-jarinya yang ramping, tidak bisa membayangkan jika Yoo Jin benaran jatuh di depan matanya.
“Kau tidak apa-apa?”
Tidak menjawab pertanyaan Hye Ri, Yoo Jin langsung menuruni anak tangga dengan cepat, dan melompati Chae Ho Rang dari belakang.
“Rasakan ini!” Yoo Jin memeluk erat tubuh Ho Rang seperti seekor koala yang sedang bergelantungan di atas batang pohon, membuat Ho Rang tidak dapat bergerak.
Ho Rang tidak mampu lagi menahan berat badan Yoo Jin, ditambah sakit kepala yang masih tersisa akibat pesta wine dan tambahan soju semalam, menyebabkan mereka berdua jatuh tersungkur di atas permukaan lantai.
Mulai lagi deh… mereka berkelahi.
“Kau mau membunuhku?!”
“Siapa suruh kau menghalangi jalan, bodoh!”
“Bodoh?! Bodoh katamu?!”
Keduanya saling menjambak rambut, dan bergulat dalam keadaan terbaring. Yoo Jin yang masih ngawur, serta Ho Rang dengan emosinya yang tidak stabil, berhasil menghancurkan pagi Hye Ri yang damai.
Mereka terlalu sering bertengkar seperti ini, membuat Hye Ri tidak tahu harus bagaimana lagi caranya untuk melerai mereka. Malahan jika ia ikut campur, ia bisa saja ikut terseret dalam perkelahian di antara kedua singa betina.
Mendengar keributan sampai ke dalam oasisnya. Seorang wanita terakhir akhirnya menunjukkan batang hidungnya. Dengan penampilannya yang tak kalah berantakan dibandingkan Yoo Jin, dan emosi tidak stabil persis seperti Ho Rang, berjalan kesal sambil menuruni tangga.
“Hei, kalian! Keluar dari rumahku! Bikin ribut saja!!!” Teriak master pemilik rumah itu, Im Seo Jin yang urakan, terpaksa memilih untuk turun tangan secara langsung. Dialah sang pemecah rekor, yang mampu menyelesaikan masalah Yoo Jin dan Ho Rang dalam waktu sangat singkat.
*
“Angka berapa ini?” tanya Seo Jin, dan jari kanannya membentuk simbol angka.
“Satu,” jawab Yoo Jin dan Ho Rang bersamaan.
“Bagus. Berikutnya.” Sekali lagi Seo Jin mengetes mereka, memastikan kalau keduanya telah sadar. Seo Jin-pun membentuk simbol ‘c’ dengan jarinya, dan bertanya, “Angka berapa ini?”
“Dia bercanda?” tanya Ho Rang pada Yoo Jin, dan keduanya melirik geli Seo Jin.
“Bibi, tampaknya kau yang mabuk,” ucap Yoo Jin, meledek adik ibunya, yang hanya terpaut sembilan tahun lebih tua dari umur Yoo Jin.
“Itukan huruf, bukan angka.” Ho Rang menambahkan, dan bersama Yoo Jin, mereka menertawai Seo Jin.
Masa bodoh dengan ejekan kedua juniornya, Seo Jin tidak terlalu mempermasalahkan tingkah laku mereka yang kurang sopan. “Bagus, kalau kalian tahu ini bukan angka. Sebab, tadi kupikir kalian berdua perlu diantar ke RSJ.”
Yoo Jin melototkan matanya, tak mengira bibi sedang bermain trik dengan mereka. Pantas saja, bibinya berhasil menjadi salah satu sutradara yang diperhitungkan di Korea.
“Lihatlah, Hye Ri telah bersiap. Ia tampak cantik, dan rapi. Kalian? Cih! Pagi-pagi sudah bertengkar! Mau kuusir sungguhan, hah?” kecam Seo Jin, membuat keduanya duduk mematung, tidak bisa berkata apa-apa.
“Maafkan kami.” Sekali lagi Yoo Jin dan Ho Rang menjawab secara bersamaan, lalu keduanya menundukkan kepala, memperlihatkan rasa penyesalan.
“Bagus, kalau kalian menyesal. Cepatlah bersiap, sebelum terlambat atau kuusir!” pinta Seo Jin, kemudian berdiri dan bersiap menaiki tangga, buat kembali ke oasisnya.
Sebelum sampai di atas, Seo Jin berhenti sejenak di tengah anak tangga, seraya berkata, “Oh, ya! Aku hampir lupa! Nanti malam, kita akan berpesta.”
“Dimana?”
“Tentu saja, di rumah kita tercinta ini!” jawab Seo Jin bersemangat, dan kedua tangannya direntang melebar ke samping.
**
Gedung-gedung pencakar langit bertaburan di atas permukaan tanah Seoul. Orang-orang sibuk berlalu-lalang, tidak peduli dengan orang di sekitarnya.
Di antara semua dewasa yang sibuk bekerja, dan tidak boleh santai dalam menjalani pekerjaan mereka. Di antara sebutan senior dan junior, yang membatasi keakraban mereka di dalam kantor. Semuanya terasa begitu kaku, namun tidak berlaku di sebuah perusahaan penerbitan mayor terkenal ‘LoRe’ atau kepanjangannya ‘Love Reading‘. Para staf di sana terlihat begitu santai, bahkan saat mendapat pekerjaan yang sulit-pun, mereka tetap menikmati prosesnya, termasuk… Yoo Jin, sedang asyik mengerjakan hal lain.
“Pasti ada sesuatu yang membahagiakan, makanya bibi membuat pesta di rumah,” gumam Yoo Jin sambil mengetik di atas keyboard-nya. Yoo Jin mengetik sebuah kalimat di bagian kolom pencarian yaitu, ‘Drama terhangat November 2017’ pada search engine.
Yoo Jin menebak-nebak, pasti drama yang bibinya sutradarai mencapai rating tinggi, makanya Seo Jin terlihat bahagia sewaktu menyatakan akan merayakan pesta nanti malam.
[Selamat! Drama keluarga ‘Jealousy Slap‘ berhasil menduduki peringkat pertama, sebagai drama dengan episode yang paling ditunggu setiap hari. Sutradara Im Seo Jin berhasil mempermainkan emosi penonton.]
Betul seperti dugaanku! Yoo Jin tersenyum bangga, mengingat sutradara yang dibahas dalam artikel itu adalah bibinya! Sekali lagi, bibinya!
“Benar! Bibiku benar-benar membanggakan!” kagum Yoo Jin, lalu memasukkan sebulat utuh choco pie ke dalam mulutnya yang terbuka lebar.
Sementara Yoo Jin melihat-lihat judul artikel berita yang lainnya, sepasang tangan mendarat di kedua sisinya, mengurung Yoo Jin di antaranya.
“Seo Jin eonni?” tanya pria yang jarak dagunya dekat dengan pucuk kepala Yoo Jin.
“Membanggakan bukan?” tanya Yoo Jin balik, tidak merasa gugup sedikitpun. Seharusnya ia merasa gugup, karena seorang pria tengah berpose seakan-akan ingin memeluknya dari belakang.
“Ya, tentu… ” jawab pria itu singkat. “Cukup untuk membuat kepalamu membesar, bukan?”
Yoo Jin mengalihkan pandangannya dari monitor komputer, dan melirik sinis sedikit ke atas. “Apa kau bilang?”
Bruk! Yoo Jin sengaja membenturkan kepalanya dengan dagu pria itu, sontak membuat pria itu menjauh dan meraung. “Ouch!”
“Sekarang dagumu yang membesar, Deo Seo Jun,” balas Yoo Jin sambil tertawa terbahak-bahak, menunjuk Seo Jun yang tengah menahan perih.
“Kau gila?!” seru Seo Jun, mengerakkan tangannya untuk menggosok dagunya.
Tanpa mereka sadari, sedari tadi semua pasang mata dalam ruangan itu mengarah pada mereka. Yoo Jin dan Seo Jun terlalu menarik perhatian, membuat rekan kerja mereka tertawa menyaksikan tingkah konyol mereka.
“Senior Deo, Yoo Jin-ssi, kalian pacaran saja!” teriak salah satu dari antara mereka, membuat Seo Jun langsung batuk kecil. Sudah terlalu sering mereka digoda dengan kalimat itu, tapi Seo Jun masih belum terbiasa dengan lelucon tersebut.
Bukan maksud Seo Jun mendekati Yoo Jin untuk tujuan seperti ‘itu’, dan pada kenyataannya ia sekedar ingin mengganggu Yoo Jin, tidak lebih.
“Pacaran? Lucu!” Yoo Jin menoleh singkat ke arah Seo Jun dan menyengir seperti seekor kuda, sebelum melanjutkan ucapannya. “Mana mungkin aku mau pacaran dengan pria milik orang lain.”
“Apa?! Kepala Deo sudah punya pacar?! Kapan?!” Mereka semua mendadak heboh. Para staf pria segera mengelilingi Seo Jun, melemparkannya berbagai pertanyaan dan ucapan selamat. Seo Jun yang selama ini mereka tahu adalah seorang pria ‘penggila kerja’, serta tak ada rasa cinta yang sanggup melekat di hatinya. Oleh karena itu, setelah mengetahui kabar pria itu telah berpacaran akibat mulut ember Yoo Jin, semua orang langsung dibuatnya geger.
Yoo Jin mengembalikan pandangannya ke monitor komputer. Tanpa senyuman, ia kembali melihat berita apa saja yang sedang hangat dalam minggu ini.
Mereka ribut sekali, orang pacaran-kan bukan gula yang perlu dikerumuni begitu. Gerutu Yoo Jin dalam hati. Setiap kali mengingat Seo Jun sudah memiliki pacar, hatinya terasa sedang diremas. Padahal, mereka dulu telah berjanji untuk tidak memiliki pacar hingga usia 28 tahun, dan menunggu setelah mereka sukses baru mencari pacar masing-masing. Nyatanya sekarang… Seo Jun pengkhianat!
“Yoo Jin-ssi, apa kau rela diselingkuhi senior Deo? Kalian-kan sudah 12 tahun bersama,” goda dari rekannya yang sama, untuk kedua kalinya. Semua rekan di kantor tahu jelas, hubungan Yoo Jin dan Seo Jun tidak lebih dari persahabatan, namun mereka tetap berlagak seperti orang bodoh yang pura-pura tidak tahu.
Yoo Jin tidak menghiraukan omongan rekannya itu, malah matanya lebih terpaku pada monitor, terutama saat sebuah artikel memasang foto yang memperlihatkan wujud wanita yang sangat kental dalam ingatannya. Artikel itu berjudul, “Pengusaha Garmen Sukses Dihajar Teman Wanitanya, Hingga Tidak Bisa Berkutik.”
“Bukannya itu… ” gumam Yoo Jin sedikit ragu, dan berusaha mengingat hal-hal kemarin yang dilaluinya.
Kemarin…
“Wah, nona besar kita cantik sekali,” seru Yoo Jin diiringi tepukan tangan dari Hye Ri.
“Benar-benar cantik!” tambah Hye Ri.
Seorang wanita telah menuruni tangga, sembari mengenakan gaun panjang seksi dengan belahan panjang yang memperlihatkan kakinya yang jenjang, dan rambutnya diikat cacing menyamping.
Ia tampak seperti putri Elsa dari Frozen Disney, tapi yang membedakan adalah warna gaunnya. Putri Elsa mengenakan gaun biru, sedangkan Ho Rang mengenakan gaun hitam.
Mata Yoo Jin melotot, serta mulutnya terbuka lebar.
“… gaun hitam Ho Rang eonni?!”
Ok, pesta malam nanti wajib untuk tidak dilewati! Titik.
**
Tiga per-empat penghuni rumah sudah berkumpul di depan meja makan, dan sisa menunggu satu orang terakhir sampai di rumah.
“Aku pulang!!” teriak Yoo Jin heboh saat memasuki rumah, berhasil mengejutkan tiga orang yang telah menunggu di ruang makan.
Yoo Jin membawa sekotak kue tart, sambil berlari kecil memasuki ruang makan. Ia meletakkan kue itu di tengah meja makan, dan meminta maaf atas keterlambatannya.
“Kue? Wah, keponakan yang selama ini tidak perhatian, tiba-tiba membeli kue?” cengir Seo Jin, diikuti kedua tangannya yang segera membuka kotak itu.
Yoo Jin juga membalas bibinya dengan cengiran, ditambah dua jarinya membentuk sebuah simbol hati. “Untuk bibi, apapun akan kulakukan! Saranghae!”
“Eonni, Yoo Jin pasti ada maunya, makanya dia mau menyogokmu,” kata Ho Rang kepada Seo Jin.
“I know it. Yoo Jin selalu ada maunya. Jangan pernah mengira kebaikannya tidak meminta imbalan,” ejek Seo Jin, membuat Yoo Jin memanyunkan bibir.
Hye Ri yang dari tadi diam saja, akhirnya membuka mulutnya yang mungil. “Eonni, selamat atas kesuksesan drama-mu. Tadi aku membaca artikel tentang eonni di internet, sambil menangis terharu. Aku bangga sekali serumah dengan sutradara ternama.”
“Gomawo, Hye Ri. Kau manis sekali,” balas Seo Jin, kemudian mengangkat gelas wine-nya ke udara. “Mari kita bersulang bersama atas keberhasilanku, sang sutradara TERNAMA!”
“Yey!!!” Tiga junior Seo Jin menyambut ajakannya dengan semangat, dan menempelkan bibir gelas wine mereka bersamaan di atas udara.
Dalam sekali tegukan, ke-empat orang itu meneguk habis wine mereka.
“Hiaaah! Nikmat sekali hidup ini,” lega Seo Jin, lalu menyandarkan punggungnya di kursi dengan santai. Setelah setahun lamanya mengerjakan drama ‘Jealousy Slap‘, akhirnya ia bisa tidur nyenyak dan bangun kesiangan di keesokan harinya.
Yoo Jin melirik mereka satu-persatu, dan tatapannya berakhir pada Ho Rang.
“Ho Rang eonni, kau tahu sesuatu yang sedang heboh hari ini?”
“Apa?” Ho Rang tidak mengerti maksud Yoo Jin.
Yoo Jin segera mengambil ponselnya, dan membuka artikel yang tadi siang ia baca, lalu menyalurkan ponselnya ke Ho Rang.
“Apa ini?” tanya Ho Rang yang belum mengerti. Ia hanya membaca sekilas judul artikel, dan jempolnya langsung mengeser ke atas hingga ke kolom komentar.
“Aduh, eonni membaca atau balapan liar ha?” Yoo Jin mulai dibuat gemas.
“Pengusaha garmen sukses dihajar teman wanitanya, hingga tidak bisa berkutik,” sebut Ho Rang yang membaca ulang apa yang terlihat di layar ponsel. “Terus?”
“Ah! Artikel itu!” Hye Ri tiba-tiba teringat tentang sesuatu yang hampir dia lupakan. Judul artikel yang sama, ia baca tadi siang. “Ho Rang eonni, fotomu muncul di dalam artikel itu!”
“Hah?” Ho Rang tampaknya masih belum menangkap, dan mengerti maksud kedua wanita yang lebih muda setahun darinya itu.
Yoo Jin tidak tahan lagi untuk menanyakan tepat ke pokok permasalahan pada Ho Rang, agar wanita itu cepat mengerti dengan maksudnya. Pantas saja, sejak dulu Ho Rang dikenal dengan sebutan ‘manusia berantena pendek’ alias telat informasi.
“Eonni, kau-kan yang memukul Bae Lee Joon kemarin?” tanya Yoo Jin langsung pada intinya. Pertanyaan itu membuat Ho Rang seketika mengingat kembali kejadian kemarin malam.
Pengusaha garmen? Wanita yang memukul hingga tak berkutik? Wow! Ini bisa jadi bahan untuk drama selanjutnya! Pikir Seo Jin yang ikut dibuat penasaran. “Mana, aku mau lihat!”
Seo Jin merebut ponsel Yoo Jin, mengamati foto itu dengan saksama. Tidak lama kemudian, sebuah senyuman licik terbentuk di wajah Seo Jin, membuat ketiga juniornya bergidik melihatnya.
“Wanita di foto ini Ho Rang, kan? Dari belakang sudah terlihat jelas, kalau itu adalah kau!” ungkap Seo Jin mengeluarkan pendapatnya bagaikan seorang detektif, tak lupa memberikan jempol untuk Ho Rang. “Rambutnya, tingginya, posturnya, kegilaannya. Ho Rang, kau mantap sekali. Bagaimana kalau orang itu menuntutmu?”
“Tuntut?” Mereka bertiga terkejut secara bersamaan.
Ho Rang memejamkan matanya, dan kata ‘tuntut’ terus bergema dalam kepalanya. Kenapa ia tidak memikirkan sejauh itu, sebelum melepas pukulan ke wajah pria menyebalkan itu?
Ho Rang mendengus kesal. Ok, masalah baru dalam perjalanan! Sial! Rasanya ingin kutinju semua tembok di dunia!
***
Untuk chapter selanjutnya : silakan lewat wattpad. Makaci≥﹏≤
Ke lapak sebelah