Vitamins Blog

FLUORESCENCE – Part 1 | Dua Kutub Hati

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

21 votes, average: 1.00 out of 1 (21 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

______________________

Ekspresi manusia adalah misteri. Di balik senyum, tersimpan luka. Di balik tawa, tersimpan derita. Di balik ketenangan, tersimpan ribuan kerisauan

Fluorescence
______________________

Summer, New York, USA

Suasana pagi di kota Manhattan terlihat mulai padat. Jalan-jalan mulai dipenuhi berbagai transportasi darat. Tampaknya orang-orang mulai bergerak untuk mencari peruntungan di pagi hari yang cerah.

Gadis itu menunduk, menatap sepasang sepatu kumelnya yang tak pernah ia cuci selama hampir tiga minggu ini. Kotor, penuh lumpur, dan… bau!

“Idiot, apa yang kau lakukan di sini?” tanya sebuah suara yang di sahuti tawa oleh yang lain.

“Kau tidak tahu Ley, si idiot ini pasti sedang meratapi nilai matematikanya yang mengenaskan.” timpal seseorang yang semakin membuat orang-orang di sekitar mereka tergelak.

Livia masih mempertahankan posisinya.

“Bukan, dia mungkin sedang meratapi sepatu bututnya yang tak bermerek itu hahahaha.”

Kedua tangannya yang berada di balik kain rok seragamnya, mengepal kuat-kuat. Namun, ekspresinya masih tetap sama, datar dan terlampau lurus.

“Atau mungkin dia sedang mengisi otaknya dengan angin agar tak kosong hahahaha.”

Secara perlahan, gadis itu mendongak. Menatap satu persatu sosok yang mengatainya tanpa henti dengan raut tanpa ekspresi.

“Thomas Alva Edison penemu bola lampu. Memiliki hak paten terhadap 1093 penemuan penting di dunia.” ucapnya tenang, masih dengan menatap mereka saksama.

Ketiga gadis yang ada di hadapannya menahan tawa.

“Kau sedang apa, idiot? Menghapal mantra, eh?”

Livia menarik napas panjang.

“Penemu Electrographic Vote-Recorder, Pneumatic Stencil Pen, Magnetic Ore Separator, Alkaline Battery For Electric Cars, Beton Rumah, dan lain-lain. Ia menemukan banyak hal yang amat berguna bagi manusia di masa sekarang.”

Jeda sejenak. Ia sama sekali tak memedulikan gadis yang ada di hadapannya sudah tenggelam dalam tawanya. Menertawakan ucapan Livia yang tak ubahnya seperti dengungan lebah.

“Ia melakukan banyak hal untuk semua orang. Hidupnya memiliki kegunaan besar di hidup orang lain. Tapi…”

Livia mulai mengambil ancang-ancang.

“Ia tidak bermulut besar dan suka berkoar-koar apalagi menghina sepertimu.”

Selepas mengatakan itu, Livia beranjak pergi. Ia mengayunkan kakinya secara cepat, mengisi kesempatan yang tersedia selagi para gadis itu tengah melongo tak percaya.

Ia tersenyum tipis.

Mari berhitung.

One

Two

Th-

“ALEEVEA! KAU MENGATAIKU? SIALAN KAU IDIOT! HEI KEMBALI KAU KEMARI. AKAN KUJAMBAK SARANG HANTU DI KEPALAMU. KEMBALI KAU. KEMBALIIIIIIIII.”

“Meledak.”
Livia bergumam pelan, menyuarakan ekspektasinya yang baru saja terlampaui.

Suara-suara umpatan itu tak lagi terdengar ketika ia berbelok menuju sebuah ruangan. Dengan cepat, ia melangkah masuk ke dalamnya dan meletakkan tas ransel yang selalu ia bawa untuk menuntut ilmu di salah satu kursi lantas terdiam, seperti biasa. Menganggap segala hal di sekitarnya tak ubahnya angin lalu.

Lima menit

Tujuh menit

Sembilan menit

Sebelas menit

Waktu berjalan lambat, namun Livia memilih mempertahankan posisinya yang tak bergerak sedikitpun di tempat duduknya.

Ia masih terlalu sibuk menatap jari-jemari tangannya yang tampak kusam dan tak terawat dengan pandangan menerawang.

“Sampai kapan?” gumamnya pelan.

“Sampai kapan harus bertahan?”

_._._._._

To Be Continue

 

1 Komentar

  1. Lilith Tala vega menulis:

    :LARIDEMIHIDUP