Vitamins Blog

Being His Girlfriend: Sepuluh

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

29 votes, average: 1.00 out of 1 (29 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Maacihh yang udah baca dan votee. Means so muchhh. Xx

******************

Hujan masih saja awet di sepanjang perjalanan sejak Aji dan keempat temannya, termasuk Radit, mendarat dengan selamat di Kota Bandung. Aji menoleh kearah Radit yang duduk disebelahnya sedang bersiul senang. Keningnya mengernyit heran,

“Ngapa lo? seneng amat…” Tanya Aji dengan nada heran yang tidak ditutup-tutupi nya. Menoleh sebentar sebelum kemudian mengarahkan kembali kedua pupil matanya ke depan, memandangi kaca mobil yang tersiram air hujan dengan derasnya. Buih-buih air yang langsung menciptakan desiran embun seperti uap di kaca mobil yang di tumpangi klub sinematografi itu.

“Ya senenglah dia Ji, lo tau cewek Bandung kan cantik-cantik. Paham aja lah Radit kan buaya darat.” Celetuk Rizki dari bangku belakang.

Radit langsung menanggapi ucapan Rizki itu dengan wajah tanpa dosa andalannya. Cowok itu memiringkan tubuhnya sehingga membelakangi pintu tengah penumpang, lalu matanya menatap Aji dan juga Rizki secara bergantian. Nampak seperti akan berbicara serius,

“That’s right, dude!” Ucapnya sambil menjentikan jari, “Kapan lagi ketemu neng geulis. Siapa tau gue balik dari sini nggak jomblo lagi kan.” Kemudian Radit berbalik kearah semula. Kepalanya menyender disandaran jok dengan mata sesekali menatap kearah luar.

Aji mendengus, lalu berucap dengan nada prihatin, “I’ll send my deep condolences khusus buat cewek yang kena perangkap lo, bro.”

“Sialan!” Balas Radit dengan nada tertawa.

***

Sekitar empat puluh menit kemudian mobil HR-V yang di sewa mereka sebagai alat akomodasi selama berada di kota Bandung ini memasuki pelataran parkir tempat penginapan yang sebelumnya memang telah di pesan oleh Jidan sebelum mereka berangkat.

Cuaca masih dingin walaupun hujan sudah tidak lagi turun, hanya tinggal menyisakan bau khas tanah yang meruap karena air hujan. Awan mendung menghiasi langit-langit saat Aji dan Rizki menurunkan beberapa tas ransel mereka dari bagian belakang mobil.

Rizki menatap Aji yang sedang memakai ransel hitam milik cowok itu dengan tanpa ekspresi. Kemudian cowok itu bertanya,

“Kenapa lo kok kusut amat? Berantem sama Jennifer?” kata Rizki dengan nada bercanda.

Sebenarnya, Rizki masih sedikit terkejut ketika tau teman satu klub nya ini mulai berkencan dengan teman satu jurusannya. Cowok itu hanya tidak yakin kalau seorang Aji berpacaran dengan gadis yang bukan dalam lingkarannya. Jennifer cantik, tapi bukan tipe seorang player seperti Triaji Hanggara. Tapi, sekali lagi, Rizki tidak dalam kapasitas untuk mengetahui dan menjudge hubungan kedua orang itu.

Aji mengerutkan keningnya saat mendengar komentar cowok di depannya itu, “Gue baik-baik aja kok sama cewek gue.” ucap Aji.

Rizki manggut-manggut, kemudian cowok itu bergerak memakai ransel miliknya, dan kembali bersuara ketika mengingat suatu hal. Sebenarnya ini tidak penting, apalagi yang menyuruhnya adalah seorang yang juga sama tidak penting,namun ia tetap memberitahu Aji, “Nic pesen sama gue, buat jagain lo.” Ucapan Rizki langsung membuat kening Aji berkerut kembali, “Kata dia, mata lo kadang suka belanja. Jadi–” tidak sempat Rizki meneruskan perkataannya Aji keburu memotong,

“Jadi, lo nurut dan mau jagain gue nih, hm?” Aji memiringkan kepalanya.

Membuat Rizki menatap horror dan terkekeh, “Yakali, nggak lah. Gue malah setuju kalo lo belanja.”

Mendengar jawaban Rizki membuat Aji menaikan alisnya.

“Gue denger-denger dari temen gue disini, besok yang bakal penyambutan adalah duta-duta kampus, bro. You know kan mesti ngapain?” Ucap Rizki sambil menaik-turunkan alisnya. Menatap Aji dengan pandangan yang hanya bisa di baca oleh sesama kaum lelaki sejenis Aji dan teman-temannya saja.

Aji tertawa, lalu membalas ucapan cowok didepannya itu dengan nada santai, sebelum akhirnya menepuk punggung Rizki dan mengajak cowok itu berbaur bersama ketiga temannya yang lain untuk memasuki tempat penginapan mereka, Membuat Rizki mengernyit heran.

“Hm, kaya nya kali ini gue akan ngebiarin duta-duta itu dapetin nomor kalian aja deh.”

***

Jen menekan tombol yang berada di bagian samping ponselnya sehingga membuat layarnya menyala. Gadis itu kemudian membuka aplikasi Whatsapp nya.

Dua centang pada lima pesan terakhirnya belum juga berganti warna menjadi biru, membuat Jen mendengus, menatap kesal pada ponselnya dengan alasan yang berbeda untuk pertama kalinya semenjak statusnya telah berubah.

Dengan wajah cemberut, dihempaskannya ponsel yang memiliki slogans selfie expert itu ke bagian kasur sampingnya yang legang. Lalu, Jen memusatkan pandangannya kearah kucing berbulu lebat yang sedang sibuk menjilati bulu-bulu disekitar kaki kucing itu, kedua lengan tangan Jen bergerak menjadi menumpuk, lalu gadis itu menaruh dagu nya diatas tumpukan tangannya seraya berkata dengan nada kesal, “Bapak lo kemana sik!”

***

Kelima cowok itu masuk kedalam ruang penginapan yang telah dipesan Jidan dengan suara gerutuan milik Radit yang menjadi backsong mereka. Sebenarnya, tiga yang lainnya juga sudah menggerutu sejak tadi, namun Radit nyatanya belum juga puas menggerutu sehingga sampai saat ini–bahkan saat mereka sudah memasuki kamar– suara gerutuan itu masih saja terdengar. Apalagi saat melihat kedalam kamar dan hanya mendapati dua ranjang tidur berukuran medium disana,

“Jidaaat, lo bener-bener ya. Lo mau kita jadi pepes ikan heh?” Radit menatap Jidan yang bertanggung jawab atas penginapan mereka selama di Bandung.

Bukannya tersinggung atau malah mencoba menenangkan emosi temannya itu, Jidan malah memamerkan deretan giginya dengan ekspreai tidak bersalah, “Bro, kita tuh harus berhemat soalnya ini pake budget kas, bukan dari kampus.”

“Ya nggak pesan kamar satu doang kali,” gerutu Radit, kemudian ia mengikuti Aji berjalan ke samping salah satu ranjang dan meletakkan ranselnya disana.

“Tau nih si Jidan, untung aja dia pesan kamar yang gedean, nggak kebayang gue kalo dia malah pesen motel.” Timpal Zack.

Jidan yang berbalik menatap Zack dengan kesal, “Bawel banget sih udah kaya cewek aja deh,” ucapnya. Lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana sambil menimpali, “Sekali-kali kaya pepes nggak papa kali. Lagian ini kan cuma buat naro barang bawaan ama tempat tidur doang.”

Jidan benar.

“Diam kau, cireng goreng.” Ucap Rizki dengan bersungut. Cowok itu juga salah satu tim Radit, karena menolak dan sibuk menggerutu nomor dua setelah Radit. Namun, berbeda dengan Radit yang masih melanjutkan protesnya karena Jidan hanya memesan satu kamar yang berisi dua ranjang tidur, Rizki justru memilih berhenti saat melihat dalam ruangan itu.

Sebagai cowok yang terlahir di daerah dan terbiasa hidup di kost–meskipun kosan milik Rizki jauh dari kost-kostan pada umumnya yang mana lebih terlihat seperti hotel– Rizki cukup bisa menerima keadaan ruangan yang akan menjadi tempat mereka berteduh dan beristirahat dimalam hari. Rizki tak masalah, asalkan ditempatnya tidur terdapat AC.

Aji terkekeh pelan mendengar perkataan receh yang keluar dari mulut Rizki barusan, lalu tanpa sengaja mata melirik ponsel yang sedang di pegang oleh Jidan dan baru teringat kalau sejak naik pesawat dan bahkan sampai Aji berada di sini, sekarang, cowok itu belum mengecek-ngecek ponselnya.

Di rogohnya kantung celana Jeans yang dipakainya sampai tangannya menemukan benda persegi panjang itu lalu mengambilnya. Saat menekan tombol power ponselnya, Aji baru menyadari jika ponselnya masih dalam keadaan nonaktif sejak satu setengah jam yang lalu. Dengan cepat cowok itu menghidupkan ponselnya dan merek ponselnya langsung memenuhi layar yang tadinya hitam itu.

Tak lama kemudian, ponselnya bergetar dengan teratur. Menandakan bahwa cowok itu mendapatkan beberapa notification yang baru masuk.

Tanpa menunggu lebih lama, Aji langsung membuka aplikasi WhatsApp nya dan mendapati 12 pesan baru dari tiga pengirim yang berbeda.

3 dari Jennifer.
8 dari sang adik, Kifa.
1 dari nomor tak di kenal.

Aji, tanpa berfikir dua kali langsung membuka chat dari Jennifer dan langsung teringat kalau cowok itu lupa membalas–atau karena buru-buru akan take off– chat sebelumnya, yang mana padahal sudah di buka oleh Aji, dan malah langsung mematikan ponselnya.

Dengan gerakan cepat jemarinya yang bergerak diatas layar ponsel itu, lalu tangannya membawa ponsel bewarna silver nya mendekat ke telinga kanan cowok itu. Gerakan seperti hendak menghubungi seseorang.

Ranjang yang semula hanya di tiduri Radit langsung sedikit meringsek kala ranjang itu mendapati beban berat. Radit menoleh, dengan kedua tangan yang masih memegang ponselnya kearah vertikal dan suara permainan yang sedang digilai khayalak, Mobile Legend. Kemudian, cowok itu melirik melalui ekor matanya saat mendengar desahan frustasi dari sahabatnya itu di tambah dengan Aji yang melihat ponselnya dengan kerutan di dahi cowok itu. Membuat Radit tidwk tahan untuk tidak bertanya,

“Ada apa dengan muka lo itu, bro? Jarang-jarang nih gue liat raut itu di wajah lo.” Kekeh Radit, lalu kembali memusatkan pandangannya pada permainan di ponselnya.

“Kaya nya Jennifer ngambek karena gue cuma read doang chat dia.” ucap Aji, masih dengan dahi yang berkerut karena memikirkan kemungkinan ini lah yang paling tepat atas tidak di jawabnya panggilan teleponnya tadi.

“Selamat jadi jomblo lagi, bro.” Tangan Radit terulur dengan gaya akan menyalami. Yang langsung mendapat tatapan kesal dari Aji. “Sialan lo.”

“Bener deh, bro. Kelar idup lo.” Kali ini suara milik Rizki. Cowok itu yang sejak tadi sedang sibuk membalasi pesan dari sang kekasihnya, langsung bersuara ketika mendengar ucapan Aji.

Sedangkan, kedua teman mereka, Jack dan Jidan–selaku ketua tim dan bendahara dadakan–sedang berada di lobi penginapan untuk bertemu dengan salah satu panitia penyelenggara festival film dan photografi besok.

Para peserta lomba yang memang berasal dari luar kota, memang sengaja di anjurkan untuk memesan penginapan di hotel yang saat ini mereka tempati ini agar mempermudah dalam pemberian informasi terkait festival besok.

Aji menatap dengan tajam Rizki dengan pandangan bertanya, “Maksud lo?”

“Cewek-cewek jaman sekarang ini super drama, bro. Mungkin karena sering liat dedek Karin dan dedek Anya kali, ya.” Rizki memutar kepalanya, sehingga menghadap kearah Aji dan juga Radit.

“Betul.” Ucap Radit menyetujui.

“Lo mungkin lama nggak ada status, tapi…”

“Sialan, gue nggak ada pacar tapi ada gebetan ya!” Sergah Aji dengan cepat. Cowok itu sedikit kesal mendengar kata-kata ‘tidak ada status’ yang berarti kalau dia single dan lonely. Dan itu bukan Aji sekali.

Radit menyeringai lebar, “Beda kali, Ji. Kalo masih jadi gebetan tu cewek-cewek ibaratkan kucing anggora. Tapi, pas udah jadi pacar… beh macan aja lewat!” Ucap Rizki sambil membayangkan sikap pacarnya yang selalu ngambek dan cemburuan. Lalu kembali berujar, “Intinya, bro… cewek sekarang itu kalo kita lama bales aja mereka udah ngambek, apa lagi lo sempet ngeread tapi nggak ngebales chat.”

“Setuju deh sama kamu, Mas Rizki.” Radit bersuara dengan mata tetap terpaku pada layar ponsel.

Membuat Rizki menatap horor bercampur geli kearah temannya itu. Aji memutar bola matanya kemudian mengusap wajahnya pelan,

“Gue yakin Jen nggak se-drama itu.” Sahut Aji dengan suara pelan.

Rizki terkekeh, “Jennifer emang nggak drama kok… that’s why I like–” kata-kata Rizki langsung terhenti saat melihat tatapan tajam dari Aji yang ditunjukan kepadanya. Sejenak, ia mengangkat kedua alisnya kemudian seringaian muncul di bibirnya,

“Becanda, Ji, becanda. Tegang amat tu muka.” sambungnya sambil terkekeh.

***

1 Komentar

  1. haha gak tau aja aji klo ada yg dh suka ma si jen hihi