Efsan sumringah kala mendapat kabar dari kantor pusat mengenai kedatangan anggota penelitian tambahan mereka. Nadya, seorang arkeolog muda yang sebelumnya pernah ikut dalam penelitian mengenai keraton Kasepuhan, akan tiba sore nanti di basecamp mereka.
Sesampainya di basecamp, gadis bernama Nadya itu disambut baik oleh si tiga peneliti.
“Nama saya Nadya. Saya diberi mandat oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional untuk membantu penelitian yang akan dilakukan tim ini. Mohon kerjasamanya.” Gadis mungil itu tersenyum seraya menatap ketiga lainnya yang usai memperkenalkan diri lebih dulu.
…
Empat manusia itu kini tengah berkumpul mendengar cerita Nadya saat melakukan penelitian beberapa tahun silam.
“Sebenarnya mengenai cerita rakyat dan apa yang sudah dikatakan juru kunci itu ada beberapa yang keliru.” Ujar Nadya memulai percakapan.
Efsan menaikan sebelah alisnya, “keliru bagaimana ya?”
“Baiklah saya jelaskan berdasar apa yang sudah saya teliti sebelumnya dan apa yang sudah saya ketahui sebelumnya.” Nadya memerbaiki posisi duduknya, “sebelumnya, dari cerita rakyat yang anda semua ketahui itu, Banondari itu puteri keraton dan dibunuh saudarinya? Nyatanya bukan.”
Semua orang di ruangan itu terkejut. Efsan kembali ambil suara, “okay, Nadya. Jadi yang sebenarnya itu bagaimana?”
Gadis belia itu berdeham lalu menatap tiga orang di hadapannya terlebih dahulu sebelum melanjutkan perkataannya.
“Banondari itu sebenarnya sama sekali bukan puteri keraton, melainkan puteri seorang Empu atau pembuat keris dari sebuah desa terpencil di kaki gunung. Ia memang jatuh cinta pada Adipati Wukir Kamenda, yakni adipati yang telah dijodohkan dengan salah satu puteri mahkota keraton Kasepuhan.” Terang Nadya. Tiga manusia lainnya terkejut namun terus memerhatikan sang gadis yang tengah berbicara.“Cerita rakyat berkata kalau yang memiliki ilmu hitam itu puteri keraton kan? Sekali lagi itu semua keliru. Yang justru memiliki ilmu hitam itu adalah Banondari. Ia selalu mencoba mencelakakan puteri keraton tersebut namun ia tidak pernah bisa karena ia dilindungi oleh Sunan Gunung Jati.” “Bagaimana bisa kamu tahu?” Tanya Angga.
“Tentu saja saya tahu karena kejadian ini berlangsung saat kerajaan Cirebon menganut agama Islam yang disebarkan langsung oleh Sunan Gunung Jati.” Jawab Nadya.
“Jadi bagaimana bisa Banondari terbunuh dan arwahnya tersegel dalam kitab itu?” Satu-satunya pemuda di sana kembali bertanya.
“Asal mula mengapa ia terbunuh, karena ia mencoba mencelakakan dan membunuh puteri keraton berikut orang-orang yang terlibat dalam perjodohan itu namun tak bisa karena sekali lagi, mereka dilindungi Sunan Gunung Jati. Oleh karena itu, Banondari memutuskan untuk membunuh Sunan Gunung Jati. Baik Sunan maupun Banondari akhirnya berseteru dan kemudian terlibat dalam pertempuran. Saya sendiri kurang mengerti pertempuran macam apa. Namun akhirnya pertempuran tersebut membuat Banondari kalah telak.
“Banondari meregang nyawa, namun akhirnya bersumpah dan mengutuk keluarga keraton terutama puteri keraton bahwa suatu saat nanti ia akan kembali dan membalaskan dendam. Karena itu, Sunan menyegelnya dalam sebuah kitab; Rogo Sukmo.” Lanjut Nadya.
Tiga manusia di depan Nadya terpekur. Masih kaget dengan penuturan sang gadis.
“Nadya, kamu—“ Efsan menggantungkan kalimatnya.
“Iya ada apa mbak Efsan?”
“—tahu dari mana semua itu?”
Nadya tersenyum, “saya sudah bilang kan tadi, kalau itu semua hasil penelitian saya sebelumnya. Sebagai informasi, penelitian saya dan tim sebelumnya adalah mengenai sejarah keraton kasepuhan selama dibimbing oleh Sunan Gunung Jati hingga mencapai puncak kejayaan agama Islam di Cirebon. Karena itu selain mendapat info mengenai apa yang saya teliti, saya juga dapat info mengenai cerita rakyat yang ternyata ada hubungannya dengan penelitian kami sebelumnya.”
Efsan membeo dan mengangguk mengerti. Begitupun dua orang lainnya, kelihatan mengerti dengan semua yang sudah dijelaskan Nadya. Sementara itu, netra Nadya terpaku pada seseorang yang selama ini dicarinya.
Ada banyak hal yang ingin dia ketahui. Terutama mengenai apa yang dia miliki saat ini.
…
Hari sudah larut. Semua orang di basecamp itu sudah terlelap kecuali Eva yang belum juga terlelap di ruangannya. Ia masih penasaran dengan semua yang dituturkan Nadya sore tadi. Gadis itu menekuni tumpukan berkas di hadapannya. Ia terlalu serius hingga terkejut saat seseorang menepuk pundaknya.
“Mbak Eva.” Ucap seseorang di belakangnya.
Yang dipanggil menoleh ngeri, namun akhirnya menghela napas karena ia mendapati Nadya di belakangnya. Kedatangan Nadya yang tidak diduganya, dia bahkan tidak mendengar suara langkah kaki atau bahkan tidak mendengar suara derit pintu ruangannya terbuka. Atau justru ia terlalu focus dengan kegiatannya hingga tidak menyadari kedatangan Nadya.
“Nadya toh, kirain siapa. Ngagetin aja.”
“Dari tadi saya panggil mbak tapi nggak nyahut yaudah saya samperin deh.” Nadya terkekeh.
Eva menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, “ada apa toh, Nad?” Ujarnya to the point.
“Mbak Eva, sebenarnya saya menemukan ini pada saat eksplorasi bangunan keramat itu sebelumnya.” Nadya menyerahkan sebuah buku usang pada Eva.
Gadis bernetra kecokelatan itu sontak terbelalak saat menerima buku tersebut.
“Rogo Sukmo? Kenapa bisa kamu dapet ini?”
“Saya nemu buku itu begitu aja di bangunan itu, mbak.”
“Jangan-jangan yang peneliti lain bilang kalau kitab ini hilang saat bangunan itu runtuh karena kamu yang ambil?” Tuduh Eva.
“Mungkin?”
Eva menggelengkan kepalanya, “Nadya.. ini bukan buku biasa. Kenapa bisa kamu simpan dan kamu berikan pada saya?”
“Saya ingin mbak yang menerjemahkannya. Bukan orang lain. Karena itu buku ini sengaja saya simpan supaya bisa saya kasih langsung ke mbak.”
“Kenapa saya?”
“Saya percaya sama mbak, dan yakin sama kemampuan mbak yang sudah terkenal sangat ahli dalam menerjemahkan bermacam aksara kuno dibanding arkeolog lain. Karena itu saya mengajukan diri saya untuk ikut penelitian ini. Berhubung saya sudah bertemu mbak Eva, saya pikir mbak bisa menerjemahkannya.” Terang Nadya.
“Gue serius loh Nad.”
“Saya juga serius kok mbak.” Jawab Nadya.
Eva memijat pelipisnya, pening. Ia menarik napasnya sejenak sebelum mulai membuka buku itu. Halaman pertama, ia mendapati sebait aksara kuno yang berbunyi,
Ingkang keserat teng mriki ngendikakaken menawi;
Priyantun ingkang manggih ugi mbikakipun nduwe artos sampun nglukar itikaken
Priyantun ingkang maosipun nduwe artos sampun ngasta panjenenganipun wungu
Priyantun ingkang mastanikaken japinipun nduwe artos sampun ngasta panjenenganipun wungu,
Menawi panjenenganipun sampun wungu, mila itikaken salajengipun badhe kedadosan.
Gadis itu mengerutkan kening kala membaca aksara tersebut. Nadya yang duduk di sampingnya menelengkan kepalanya, “kenapa mbak? Isi tulisannya apa?” Pertanyaan Nadya membuat Eva menolehkan wajahnya pada gadis itu.
“Yang tertulis di sini menyatakan bahwa; orang yang menemukan dan membukanya berarti telah melepas segelnya, orang yang membacanya berarti telah membangkitkannya, orang yang menyebutkan mantranya berarti telah membebaskannya, jika dia telah bangkit dan terbebas, maka malapetaka akan terjadi.” Eva meneguk ludahnya.
“Terus mbak? Kalau yang ini?” Tanya Nadya sembari menunjuk dua baris kalimat di penghujung halaman.
Priyantun ingkang saged memokaken panjenenganipun namunga tedhak lajeng keraton Kasepuhan,
Ingkang dipunyektosaken badhe kenging kawonan ngantos sedayanipun dipunkendelaken.
“Orang yang dapat menemukannya hanyalah keturunan langsung keraton Kasepuhan, yang dinyatakan terkutuk hingga semuanya dihentikan.” Ucap Eva berbisik hingga nyaris tak terdengar oleh Nadya.
“Apa, mbak?”
“Ng-nggak.”
Nadya mengangguk, “tuh kan saya bilang juga apa. Mbak Eva bisa menerjemahkannya.”
Eva tersenyum kecut.
“Saya jadi tenang deh gak penasaran lagi sama isinya soalnya mbak Eva bisa terjemahin jadi saya tinggal tanya langsung ke mbak deh. Bukunya saya titip di mbak aja. Saya pamit istirahat dulu. Makasih ya mbak.” Ujar Nadya tersenyum sambil berlalu dan dibalas anggukan singkat oleh Eva.
Sepeninggal Nadya, arkeolog muda itu kembali menekuni buku tersebut. Hingga ia sampai pada satu halaman dengan aksara yang sama yang berarti,
Ada satu cara untuk mengembalikan kutukan Banondari.
Yaitu dengan benda pusaka milik Sunan Gunung Jati, berupa kalung berbatu biru, yang jika dilihat di bawah sinar matahari akan berubah warna menjadi merah dan jika dilihat di bawah sinar bulan akan berwarna putih menyilaukan.
Eva menautkan kedua alisnya. Dalam literatur manapun ia belum pernah menemukan adanya pusaka seperti itu.
“Kalung berbatu biru? Pusaka milik Sunan Gunung Jati?” Ia menggeleng, merasa benda seperti itu sepertinya mustahil ada di dunia ini, dan sempat berpikir itu hanya bualan saja. Namun hati kecilnya merasa yakin dan merasa bahwa benda itu memang ada dan berada di satu tempat entah di mana.
Karena sudah merasa cukup dibuat pening seharian tadi, ia kemudian memutuskan untuk beristirahat. Setelah membereskan meja kerjanya, ia pun beranjak ke ruang tidurnya. Dan tanpa ia sadari, sepasang mata terus memerhatikannya sedari tadi.
Meski telah merebahkan diri di atas tempat tidurnya, arkeolog muda itu masih belum juga dapat memejamkan matanya. Penasaran, sekali lagi ia membuka buku itu dan lagi-lagi membacanya.
“Orang yang menemukan dan membukanya berarti telah melepas segelnya? Orang yang dapat menemukannya hanyalah keturunan langsung keraton Kasepuhan, yang dinyatakan terkutuk hingga semuanya dihentikan?”
Ia mengerutkan kening. Jika memang benar Nadya yang menemukannya, bukankah sudah pasti dia akan membuka buku itu? Dan yang dapat menemukan buku itu hanyalah keturunan langsung keraton Kasepuhan. Maka dari itu—
“—berarti.. N-nadya keturunan langsung keraton kasepuhan dan dia sudah melepas segel Banondari?” Eva meneguk ludahnya sendiri.
Selanjutnya ia merasa tubuhnya bergetar karena ketakutan.
“Kalau dia ngasih buku ini langsung ke gue, dan gue yang baca, b-berarti …”
“Iya, kamu sudah membangkitkan aku.”
Eva terkaget saat mendengar bisikan seorang wanita entah dari mana itu. ia merasa bulu kuduknya meremang. Terlebih saat ia mendengar seseorang menyanyikan tembang dengan bahasa yang menurutnya tak asing lagi,
“Sup sup sinurup manjing waruga
Waruga jati jadi sempurna
Badanku siji tembus ing jati
Jati rogo sukmo sejati.”
“Rogo.. sukmo..?” Sayup-sayup ia mengatakan itu karena merasa kepalanya mendadak begitu berat hingga setelahnya ia tak sadarkan diri.
nadya misterius