“Ada apa, Sakura?” Mebuki menyentuh tangan Sakura.
Sakura tersentak kaget dan menjauhkan tangannya. Dia menatap ke sekeliling meja makan, ayah dan kakaknya memberikan tatapan tanya. “Ah, tidak ada bu. Hanya sedikit lelah saja.” Jawabnya.
Mebuki kembali meraih tangan Sakura. “Jangan terlalu memaksakan diri. Ibu tidak mau kau sakit.” Sakura menoleh pada Mebuki, hatinya sedikit menghangat mendengar perkataan ibunya. “Tayuya membutuhkanmu, Sakura.” Mebuki melanjutkan perkataannya. Sakura merasa dadanya dihantam sesuatu yang kasat mata.
Dia mengangguk kaku.
Mebuki melepaskan genggamannya. Dia mengisi piring Sakura dengan makanan. “Makanlah yang banyak, kau butuh nutrisi agar tetap sehat.”
Sakura tak merespon ibunya, dia memandang telapak tangannya yang tadi di genggam Mebuki, kini kosong.
***
Sakura memandang bangunan rumah sakit di depannya dengan pandangan lelah. Dia benci rumah sakit, tapi akhir-akhir ini dia sering sekali berkunjung ke sini.
Dan dia juga benci dengan proses terapinya. Dokter hanya sibuk bertanya dan membuatnya muak. Sakura merasa kepalanya sedikit pusing.
“Sakura?” Panggil seseorang.
Sakura menoleh. Dia melihat Neji berdiri tak jauh darinya dengan senyum tipis. “Neji-nii!” Sakura berlari menghampirinya. “Kenapa nii-chan ada di sini? Apakah nii-chan sakit?”
Neji menggeleng, tapi senyumnya tak menghilang. “Aku kemari untuk mengambil hasil tes kesehatan Fugaku-sama.” Dia mengerling ke arah rumah sakit dan Sakura secara bergantian. “Apa kau sakit? Wajahmu terlihat pucat.” Neji menatapnya khawatir.
Sakura mengibaskan tangannya. “Tidak. Aku hanya ada perlu sebentar di sini mengenai Tayuya-nee.”
Neji mengangguk, paham. Dia melihat sekilas jam di tangannya. “Sepertinya aku masih ada waktu. Bagaimana kalau kutraktir makan.” Neji menghela nafas. “Kau terlihat semakin kurus.”
“Aku hanya kelelahan, nii-chan.” Sakura segera merangkul lengan Neji, mengalihkan pembicaraan. “Dimana kita akan makan? Nii-chan harus mentraktirku makanan yang enak.” Kata Sakura semangat.
Neji tertawa kecil. Dia mengusap kepala Sakura. “Baiklah, baiklah.”
***
Neji tiba di kantor tepat saat jam makan siang. Dia terlambat lebih dari dua jam.
Bertemu dengan Sakura selalu membuatnya lupa waktu. Dia bahkan tak akan mengingat tentang pekerjaan jika bukan karena Sakura tadi mengingatkannya.
“Kau sangat terlambat, Neji.” Tegur Itachi. Wajahnya terlihat sangat kesal. Sebab dia harus mengerjakan pekerjaan milik Neji yang seharusnya ia berikan pada atasan. Sebenarnya siapa asisten di sini?
Neji mengangkat sebelah tangannya dan menggumamkan kata maaf, lalu dia duduk di kursinya.
Dia tak mempedulikan Itachi yang terus berbicara, dia masih memikirkan tentang wajah pucat Sakura. Dan gadis kecilnya itu terlihat tak semangat seperti biasa.
Bagi Neji, Sakura bukan hanya putri dari sahabat tuannya. Tapi Sakura adalah malaikat kecilnya. Saat orang lain memandang dirinya dan Hinata sebagai anak seorang pelayan, Sakura mengulurkan tangannya dan menerima mereka sebagai sahabat.
Perempuan itu, Neji merasa sangat ingin melindunginya.
“Itachi.” Panggil Neji. Putra sulung Fugaku itu menoleh. “Apa hubungan Sakura dan Sasuke baik-baik saja?”
“Mereka baik.” Jawab Itachi. “Ada apa?”
Neji mengabaikannya. “Apa Sakura sehat?”
“Sakura sehat, kemarin kata ibu dia berkunjung ke rumah. Ada apa?” Tanyanya lagi.
Neji menggeleng. “Tidak ada, hanya saja aku jarang melihatnya. Aku penasaran kapan Sakura dan Sasuke akan menikah?”
Itachi mendengus. “Jangan memikirkan orang lain. Pikirkan saja dirimu, perjaka tua.”
Neji menyeringai pada Itachi. “Seharusnya kalimat itu untukmu, Itachi tua.”
***
Sakura beberapa kali membuat pola, namun tak lama kemudian dia menghapusnya. Sesekali dia berhenti untuk berpikir dan mencari inspirasi.
Bekerja sebagai desainer pakaian yang mempunyai waktu kerja fleksibel, membuatnya bersyukur. Sakura bisa mengerjakannya kapanpun dan dimanapun. Tapi tempat favoritnya untuk mendesain adalah kafe tempatnya duduk saat ini.
Tidak seperti desainer lain yang lebih suka bekerja di tempat yang sepi dan tenang, Sakura senang bekerja di tempat-tempat yang ramai, membuat dia tak merasa sendiri.
Namun hari ini kafe tempat ia biasa bekerja sangat ramai. Mungkin karena weekend, semua orang menghabiskan waktu di luar.
“Boleh aku duduk di sini?” Sakura mendongak. Dia melihat seorang pria tampan, tangannya memegang baki pesanan.
Sakura tanpa sadar memperhatikan dengan seksama pria itu. Dia memiliki rambut cerah seperti matahari, dengan bola mata sewarna biru langit, dan kulitnya Tan kecokelatan. Perpaduan yang indah, pikir Sakura.
“Soalnya tempat yang lain sudah penuh.” Kata pria itu lagi, karena sejak tadi Sakura tak langsung meresponnya.
Sakura tersenyum kikuk, malu karena memperhatian pria itu. “Silahkan. Biar aku bereskan barang-barangku dulu.” Sakura merapikan kertas-kertas desain yang tercecer di atas meja.
Pria itu meletakkan nampannya di meja. “Seorang desainer?” Tanyanya. Ia menyerahkan selembar kertas pada Sakura.
“Ya. Desainer gaun pengantin.” Jawab Sakura. Dia menyimpan kertas-kertas itu ke dalam tas. “Anda bisa memesan jasaku nanti jika menikah.”
Pria itu tertawa, bahkan suara tawanya terdengar sexy. “Aku tidak menggunakan gaun pengantin, nona.” Katanya mencoba melucu.
Sakura mendengus geli. “Leluconmu sama sekali tidak lucu.”
Pria itu mengedikkan bahu. “Tapi kau tersenyum, dan itu cukup cantik.” Dia mengulurkan tangannya. “Naruto, Namikaze Naruto.”
Sakura menerima uluran tangan Naruto. “Haruno Sakura.”
“Sesuai dengan warna rambutmu.” Kata Naruto. Sakura mengangguk setuju. “Jadi, aku akan diam dan berusaha tidak mengganggumu.”
Sakura menggeleng kecil dan terkekeh pelan. “Tidak perlu. Aku senang ada seseorang yang menemaniku di sini. Terima kasih.”
“Kalau begitu makan malam.” Sakura menatapnya bingung. “Bayar aku dengan makan malam karena sudah menemanimu.” Naruto mengusap belakang kepalanya. Dia memberikan senyum lebar pada Sakura.
Sakura mengerutkan dahi. Dia kemudian mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan jari manisnya yang terpasang sebuah cincin. Dia tak ingin Naruto salah paham. “I was taken.”
“Oh.” Naruto sedikit terkejut. Dia menggaruk pipinya. “Kalau begitu makan malam, sebagai sahabat?” Tawarnya.
Sakura menimbang-nimbang sejenak. Lalu dia mengangguk. “Oke.” Jawabnya kemudian.
***
Suasana ruang makan keluarga Uchiha malam ini terbilang lebih meriah dari pada malam biasanya. Pasalnya pada makan malam kali ini, keluarga Haruno ikut bergabung bersama mereka.
Mikoto dan Mebuki terlibat obrolan seru tentang fashion dan urusan sosialita mereka. Para ayah membicarakan tentang keadaan ekonomi saat ini yang berdampak pada perusahaan mereka. Sedangkan little Uchiha dan Haruno masing-masing lebih memilih diam, menikmati makanan mereka.
“Sakura bisa mendesain sendiri gaun pengantinnya. Benarkan sayang?” Tanya Mikoto tiba-tiba, membuat semua orang menoleh pada Sakura, kecuali Sasuke yang memilih untuk menatap tajam makanannya.
“Ya bibi. Aku bisa mendesainnya sendiri. Tapi untuk pembuatannya, Ino bisa mengurusnya.” Jawab Sakura.
Setelah mendengar penjelasan Sakura, Mikoto melanjutkan perbincangannya dengan Mebuki.
Sakura melirik Sasuke yang sejak tadi terus diam. Terlihat jika bungsu Uchiha itu tidak menyukai situasi ini.
***
Hinata meringkuk sendirian di bangku taman belakang kediaman Uchiha. Meskipun udaranya dingin, ia tak berniat untuk masuk dan menghangatkan diri di dalam rumah.
Pertemuan keluarga Uchiha dan Haruno di dalam lah alasannya. Pertemuan itu pastilah membahas tentang pernikahan bungsu dari dua keluarga tersebut.
Hinata merasakan denyutan perih di dadanya. Rasa tidak mau kehilangan terasa begitu menyakitkan.
Sasuke adalah segalanya bagi dirinya. Selain kakaknya, dia hanya memiliki pria itu.
Sejak kecil ayah dan ibunya selalu sibuk bekerja mengurus segala keperluan keluarga Uchiha. Mereka tak menyediakan waktu untuknya ataupun untuk kakaknya. Bahkan sampai saat terakhir mereka, Hinata tak mengingat ia memiliki kenangan akan orang tuanya.
Lalu Sasuke muncul. Mengulurkan tangannya dan tersenyum padanya. Sasuke selalu ada untuknya, memberikan segalanya yang dia mau.
Tapi karena pertunangan bodoh ini, ia akan kehilangan Sasuke. Sasuke-nya.
Perasaan sakit itu tergantikan dengan rasa marah dan benci. Terlebih pada Haruno Sakura.
Dia mengepalkan tangannya.
“Kenapa kau di sini?” Sasuke berdiri di belakang gadis indigo itu, ia menyampirkan jas-nya ke pundak Hinata. Tapi Hinata tak menoleh sedikitpun, dia tetap memandang lurus ke depan.”Di sini dingin.” Sasuke mendudukan dirinya di samping Hinata.
“Kapan?” Tanya Hinata. Suaranya tercekat.
“Hn?” Sasuke mengernyitkan dahinya.
Hinta menghela nafas. “Pernikahanmu. Bukankah keluarga Haruno datang untuk membahas itu.”
“Jangan tanya.” Kata Sasuke tajam. Moodnya tiba-tiba berubah buruk saat mendengar tentang rencana pernikahannya.
Hinata menyipit tak suka mendengar nada bicara Sasuke. “Kenapa? Apa sekarang kau menantikannya? Menikah dengan Sakura?!”
Sasuke berdecak kesal. “Jangan bicara omong kosong.” Dia meraih tangan Hinata, tapi gadis itu berusaha melepaskannya. “Hanya kau yang ingin kunikahi.”
“Tapi kau akan menikahinya!”
“Aku tidak akan menikahi gadis sial itu.” Kata Sasuke dengan penekanan.
Sasuke menangkupkan kedua tangannya pada pipi Hinata. “Karena yang kucintai adalah kau. Mengerti?”
Hinata mengangguk.
Sasuke mendekatkan wajahnya pada wajah Hinata hingga bibir mereka bertemu.
***
Sakura berkeliling rumah mencari Sasuke. Orang tua mereka ingin menanyakan tentang konsep pernikahan nanti. Meskipun Sakura tau jika Sasuke hanya akan memandang benci padanya, tetap saja ia ingin mendengar pendapat pria itu.
Tapi sejak tadi ia tak menemukan pria emo itu di mana pun, bahkan di kamarnya.
Sakura berniat untuk kembali ke ruang keluarga. Namun sesuatu membuat langkahnya tertahan.
Sasuke dan Hinata berciuman.
Sakura merasa dirinya dihempas lepas begitu saja. Kepingan hatinya yang berusaha ia jaga dengan hati-hati, rusak seketika.
Ia ingin berbalik dan pergi dari sana. Tapi dia tak bisa. Ia bahkan tak bisa menggerakkan tubuhnya sedikitpun.
Air matanya menggenang, siap tumpah kapan pun. Tapi setidaknya Sakura bersyukur karena pandangannya memburam. Ia tak harus memandang sesuatu yang menyakitkannya.
Seketika tubuhnya terasa lemas. Sakura merasa ia bisa jatuh kapanpun.
Namun seseorang menarik lengannya hingga ia berbalik dan melingkarkan lengannya di tubuh Sakura. Sakura tak bisa melihatnya, tapi ia tau jika itu Neji. Kakak yang selalu memberinya pundak untuk bersandar.
Dan pertahannya pun runtuh. Ia menangis tanpa suara.
Neji menatap dua orang di depannya dengan pandangan yang tak terbaca. Ia semakin mempererat dekapannya.
Sementara Itachi yang berdiri di belakang Neji hanya terdiam dan menatap sendu pada Sakura yang berada di pelukan Neji.
Ah, Itachi merasa semuanya semakin rumit.
***
Berusaha menyisipkan sebanyak mungkin rasa sakit di cerita ini. Sakitnya terasa?
Silahkan menunggu babak selanjutnya. ??
sasuke kejam
He’em ???
Astaga ItaSaku :PATAHHATI
Sedikit bocoran, ngga ada couple ita-saku d sini ??