Sebenarnya ia malu untuk berbicara dengan laki-laki yang sedang mandi, tapi sesuai dengan apa yang dipinta oleh pemuda tadi ia mencari kamar mandi untuk menemui Arata. Satsuki kemudian menemukan sebuah ruangan yang nampak seperti kamar mandi. Ia dapat mendengar suara shower dari dalam ruangan. Disaat yang bersamaan ia merasa jantungnya berdetak kencang.
“Ini memalukan sekali…” Satsuki berbicara pada dirinya sendiri.
Satsuki membayangkan Arata yang sedang berada dibalik pintu dan wajahnya merona seketika.
“Permisi, Uchiha-san!”
Tidak ada jawaban.
“Sepertinya dia tidak mendengarku. Kalau begitu aku akan berbicara lebih keras lagi.” Satsuki menghela napas berat.
“Uchiha-san! Ada orang yang mencari anda, dan dia bilang, dia membelikan barang yang anda butuhkan.”
Masih tidak ada jawaban. Padahal Satsuki merasa sudah memanggil Arata cukup lantang. Satsuki kemudian mengetuk pintu di depannya dan memanggil nama Arata.
“Uchiha-san! Uchi—“
Baru saja ia akan berteriak lagi, pintu terbuka dari dalam dan Arata muncul dibalik pintu.
“Apa? Aku tidak mendengarmu!“
Satsuki mendadak kehilangan keseimbangan saat Arata yang baru saja keluar dari kamar mandi buru-buru membuka pintu dan menubruknya keras hingga Satsuki mulai terjatuh.
“Aaaa—“ Satsuki kehilangan keseimbangannya
“Hey awas!” Pekik Arata panik.
Satsuki terjatuh. Namun ketika terjatuh, ia merasa tidak menyentuh lantai melainkan pada suatu benda empuk di bawahnya.
‘T-tunggu! Empuk?!’ Mata Satsuki yang semula tertutup, perlahan terbuka. Dilihatnya Arata berada di bawahnya, dan tengah memeluknya. Satsuki dapat merasakkan jantung Arata yang berdetak kencang. Suhu tubuh Satsuki mendadak naik.
“Um—“ Satsuki perlahan mengalihkan pandangannya dari dada telanjang Arata ke wajahnya. Arata pun melihat ke arahnya. Tubuh mereka begitu dekat. Tubuh Arata masih basah karena habis mandi. Aroma pinewoods menguar dari tubuh Arata. Tanpa sadar, tangan Satsuki meraih dada bidang Arata dan memandanginya cukup lama. Arata sadar dadanya sedang diperhatikan tetapi ia tetap diam. Malu, Satsuki langsung bergerak menjauh dari Arata.
‘Apa yang sebenarnya kulakukan?!’ Saat itu juga Satsuki merasa wajahnya begitu panas.
***
Satsuki shock, wajahnya merah padam. Ia beringsut menjauhi Arata. Sementara Arata tertawa memerhatikan gadis di depannya itu.
“Aku tidak menyangka sifatmu seperti ini.”
“A-apa maksud anda?”
Satsuki menoleh perlahan ke arah Arata.
“Kau seperti wanita yang suka memerkosa laki-laki,” jawab Arata sembari tertawa dan memposisikan dirinya untuk berdiri kemudian membetulkan jeans yang dipakainya.
Satsuki tersentak, “a-anda salah paham! Saya sama sekali tidak bermaksud—“
“Benarkah? Bukannya kau tadi baru saja menjatuhkan dirimu kepadaku seakan-akan itu karena kecerobohanmu?”
“Tidak! Sungguh anda salah paham!” Satsuki menghela napas keras, “saya memanggil anda berkali-kali tapi anda tidak mendengar, jadi saya pikir anda tidak akan mendengar kecuali jika saya mengetuk pintunya. Dan sudah seperti yang saya katakan, anda membuka pintu dan—“
Belum selesai Satsuki menyelesaikan perkataannya Arata sudah memotongnya.
“Ya-ya baiklah. Anggap saja tadi itu tidak sengaja.” Pemuda Uchiha itu tersenyum sinis pada Satsuki.
“Itu memang tidak sengaja!” Timpal Satsuki.
Arata tidak mengindahkan perkataan Satsuki dan segera meraih handuk terdekat kemudian mulai mengeringkan rambutnya. Setelah itu Arata bergegas meraih jerseynya yang tergantung di atas pintu.
Tersadar akan situasi yang ada, Satsuki panik.
“M-maaf Uchiha-san! Silahkan berganti pakaian!” Satsuki berbalik membelakangi Arata dengan wajah semerah tomat.
Arata melirik Satsuki, “kau bisa lihat semuanya semaumu, nona reporter.” Goda Arata, “oh! Apakah kau mau mengambil foto sekarang?”
“T-tidak terimakasih! Sekali lagi saya minta maaf Uchiha-san karena terjatuh tadi.” Satsuki berbalik dan membungkuk dalam.
Arata mendengus, “Kau tak perlu minta maaf.”
Setelah selesai memakai jerseynya, Arata berjalan mendekati Satsuki kemudian menyentuhkan jemarinya ke pipi mulus gadis itu.
“Jadi, apa yang kau inginkan?”
Satsuki refleks menjauhkan dirinya dari Arata.
“A-ada yang ingin bertemu dengan anda. Dia bilang dia buru-buru dan ingin segera bertemu anda.”
Arata menautkan kedua alisnya, “oh yang kutitipkan barang itu ternyata. Katakan padanya aku akan segera ke sana.”
“Baiklah.” Satsuki mengangguk dan bergegas pergi dari sana. Dalam hati ia merasa bersalah karena sudah membuat orang yang mengantar barang pesanan Arata menunggu lama.
Sesampainya Satsuki di bagian depan bengkel, pemuda yang meunggunya tadi terlihat tidak sabar. Pemuda pirang itu kemudian menghela napas ketika melihat Satsuki muncul dari dalam ruangan.
“Apa yang kalian berdua lakukan di dalam? Bermesraan? Lama sekali! Aku sudah bilang padamu ‘kan kalau aku sedang terburu-buru.” Sahut pemuda pirang itu.
“Kami tidak—“ perkataan Satsuki lagi-lagi dipotong oleh Arata yang kini berdiri di belakangnya.
“Kami tidak bermesraan, Hiro.” Ujar Arata seraya berjalan ke samping Satsuki lalu merapikan helai ravennya yang basah, “aku justru hampir saja diperkosa.”
“APA?!” Satsuki terkaget dengan apa yang diucapkan Arata.
“Benarkah itu? Aku tidak menyangka penampilan sepolos ini begitu menipu.” Pemuda yang dipanggil Hiro itu meneliti penampilan Satsuki dari ujung rambut hingga kaki.
“Dia memang terlihat polos tapi sebenarnya dia lebih dari itu.” Arata tersenyum sinis ketika melirik Satsuki.
“T-tunggu! Apa yang barusan kau katakan?!” Gadis Sakuraba itu berbalik menghadap Arata, melupakan sikap formalnya sebagai reporter.
“Heh nona reporter, Ini Hiro. Boat racer pendatang baru.” Arata mengabaikan Satsuki yang kesal padanya dam malah memperkenalkan Hiro padanya kemudian berbicara pada juniornya itu.
Satsuki terbengong dengan perlakukan Arata yang begitu seenaknya.
“Uchiha-san..”
Ia yang bermaksud untuk menginterupsi percakapan kedua pemuda itu malah terdiam memerhatikan keduanya berbicara hal-hal yang tidak dimengertinya. Yang Satsuki lakukan saat itu hanya menyimak. Bingung harus melakukan apa, sebuah ide muncul di otaknya, ia mengambil kamera dan alat tulisnya kemudian kembali mendekat pada dua pembalap itu. Berhubung pengetahuannya mengenai boat racing masih kurang, ia mencatat apa yang diobrolkan dua pemuda itu semampunya terlebih Arata dan Hiro menggunakan beberapa istilah yang baru ditemuinya kemarin pada beberapa artikel olahraga di ruang referensi. Setelah sekian lama mendengar percakapan Arata dan Hiro, Satsuki menyerah dan memutuskan untuk mengambil foto. Ia menutup buku notenya kemudian meraih kameranya dan menatap dua pemuda di hadapannya. Didapatinya Hiro melihat dan tersenyum pada Satsuki kemudian berjalan ke arahnya. Satsuki terdiam, sejurus kemudian pemuda pirang itu sudah duduk di sampingnya.
“Eh nona reporter! Kapan kau bertemu Arata?” Tanya Hiro to the point.
“Beberapa hari lalu…” Jawab Satsuki ragu.
“Ah pas sekali! Memang benar ternyata apa kata orang mengenai cinta pada pandangan pertama! Aku sekarang baru tahu kalau itu memang benar ada.”
Gadis itu memicingkan kedua matanya, “apa yang sebenarnya kau bicarakan?”
‘“Huh? Bukankah kau pacarnya Arata?”
“Bukan!” Sergah Satsuki.
“Heh bodoh, dia nona Sakuraba, reporter dari Star Publishing. Dia datang kemari untuk wawancara.” Ucap Arata.
Hiro menelengkan kepalanya. Ia mendesah pelan dan kembali ke tempat duduknya semula. “Arata tinggal sangat terpencil. Jadi menurutku sebuah keajaiban orang sepertinya membawa perempuan kemari.”
“Kau terlalu berlebihan, Hiro.” Arata mengalihkan pandangannya dari rekan pirangnya itu.
“Tapi itu benar! Benar ‘kan, nona Sakuraba?” Tanya Hiro.
“Err—aku tidak terlalu tahu.” Satsuki memaksakan senyumnya untuk menghindari pertanyaan yang dilontarkan Hiro. Tapi sebenarnya Satsuki merasa sedikit senang karena akhirnya tahu sesuatu mengenai Arata.
Beberapa saat kemudian, Hiro pamit pergi ke luar ruangan untuk melakukan sesuatu. Satsuki melirik arloji di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan sore menjelang malam, sudah saatnya ia kembali ke kantornya. Manik aquamarinenya melihat ke jendela. Di luar sana terlihat gelap seperti akan terjadi badai terlebih gemerisik suara dedaunan di pohon yang dimainkan angin terdengar hingga kedalam ruangan. Satsuki terus mengamati keadaan di luar jendela. Beberapa saat kemudian, hujan turun begitu deras membuatnya ragu untuk kembali ke kantor. Arata melirik Satsuki yang berada di dekat jendela dan berjalan mendekatinya.
“Sepertinya akan terjadi badai,” suara baritone Arata membuyarkan lamunan Satsuki. Gadis Sakuraba itu menoleh ke sumber suara, “nyalakan saja tv dan cek mengenai ramalan cuaca.”
“Baiklah,” reporter muda itu mengangguk dan mendekat pada tv yang bertengger di dekat meja kerja Arata lalu menyalakannya.
Ramalan cuaca pada tv menujukkan akan terjadinya badai disertai angin puyuh di beberapa daerah, dan daerah mereka termasuk.
“Angin puyuh?” Satsuki panik. Ia harus bergegas pergi dari sana sebelum angin puyuh itu terjadi. Ia segera membereskan perlengkapannya, setelah selesai ia menghadap Arata.
“Permisi Uchiha-san, sepertinya saya harus segera kembali.”
Arata menautkan alisnya, “apa yang kau katakan?”
“Eh?” Satsuki menelengkan kepalanya, bingung.
“Tidak ada gunanya kau pergi. Transportasi umum sudah tidak beroperasi lagi sejak jam 4 sore tadi.” Ujar Arata sembari melirik jam dinding yang terparti di atas rak peralatan.
“Tidak mungkin… Apa yang harus saya lakukan?”
“Hanya ada satu cara. Kau akan bermalam di sini,” jawab Arata santai.
Karena jawaban Arata tadi, Satsuki menggelengkan kepalanya.
“Walaupun kau pergi sekarang, sering terjadi longsor di beberapa tempat menuju stasiun kereta. Dan itu cukup berbahaya.”
“Aku tidak akan berbuat macam-macam padamu, jadi tinggalah sampai badai reda,” Arata menjeda perkataannya sebelum melanjutkan, “kecuali jika kau ingin berbuat macam-macam padaku, itu lain cerita.”
“A-aku tidak akan berbuat macam-macam!” Kilah Satsuki yang lagi-lagi melupakan formalitas.
Melihat ekspresi Satsuki, Arata sontak tertawa.
“Aku akan sibuk karena ada beberapa pekerjaan yang harus kuselesaikan, jadi kau bisa pergi ke dalam dan kau dapat memakai dapur dan bersantai di sana sesukamu. Itu juga jika kau mau.” Arata menujuk sebuah pintu menuju sebuah ruangan berisikan beberapa sofa dan meja yang menyatu dengan dapur.
Satsuki menoleh ke direksi yang ditunjuk Arata.
“Oh, terimakasih.” Satsuki membungkuk sejenak dan beranjak pergi ke ruangan yang ditunjuk oleh Arata.
Sebelumnya ia merasa ragu untuk tidak menolak tawaran Arata tapi setelah berpikir, ia memang tidak bisa kembali ke kantornya karena badai di luar sana semakin menjadi. Satsuki mengeluarkan ponselnya dan mengontak chief editornya, mengatakan padanya bahwa ia tidak dapat kembali karena terjadi badai dan akan pulang tanpa kembali ke kantor terlebih dahulu. Bersyukur sang chief editor memaklumi dan mengijinkannya. Bermalam di tempat Arata membuatnya gelisah.
Ia berencana untuk mengganti pakaiannya dan membenarkan tatanan rambutnya yang sudah tak keruan. Beruntung ia sempat memasukkan kaos lengan panjang dan celana training dari lokernya di kantor, ia segera mengganti pakaiannya di kamar mandi lalu kembali ke ruangan semula.
Meskipun ia boleh memakai ruangan itu sesukanya, ia tetap merasa segan. Penasaran dengan apa yang sedang Arata lakukan, ia mencoba melihat melalui pintu yang terbuka sebagian—menampilkan Arata yang berkutat dengan pekerjaannya. Satsuki menghela napas, ia merasa bersalah karena tidak dapat membantu Arata. Saat itu juga ia menghampiri pemuda Uchiha itu dan bertaya padanya pelan-pelan.
“Umm, kau belum makan apapun kan?” Tanya Satsuki ragu. Arata menoleh ke arahnya, bingung.
Sadar bahwa di depannya itu adalah narasumbernya, Satsuki meminta maaf. “A-ah maaf saya tidak sopan berkata begitu pada an—“
“Aku tidak masalah kau tidak bersikap formal padaku. Karena begitu lebih baik.” Ucap Arata santai.
“A-ah baiklah.” Satsuki berdeham, “kalau begitu, jika kau menyimpan bahan makanan mungkin aku dapat membuatkan makan malam.”
“Oh terimakasih. Aku rasa ada beberapa bahan makanan di kulkas, kau bisa buat apapun semaumu.” Ujar Arata yang sejurus kemudian kembali berkutat dengan mesin dan properti speedboat.
“Baiklah.” Satsuki berjalan menuju dapur, dan ia bertekad menunjukkan kemampuannya untuk memasak sesuatu yang enak untuk Arata. Ia menggulung lengan bajunya sebatas siku kemudian membuka kulkas. Banyak bahan makanan tersedia di sana. Seulas senyum terkembang di bibirnya, karena dengan begitu ia dapat membuat sesuatu yang enak untuk Arata. Tak lupa memikirkan apa saja yang terkadung di dalam bahan-bahan tersebut untuk menjaga kesehatan Arata.
Setelah menimbang-nimbang ingin memasak apa, ia memutuskan untuk membuat hamburger dan spaghetti bolognese. Tidak butuh waktu lama Satsuki menyelesaikan masakannya, ia segera memanggil Arata dan membawa hasil masakannya ke ruangan berisi sofa yang sedari tadi ditempatinya. Arata terdiam saat melihat makanan yang dibuat Satsuki untuknya.
“Uchiha-san, kau tidak suka makanan ini?” Tanya Satsuki ragu.
“Tidak, aku suka semua ini tapi ini terlalu banyak kalori.”
“Apa?!” Satsuki terkaget.
“Jika aku terlalu berat, aku tidak dapat mengedalikan kecepatan dengan baik di atas speedboat.” Arata menghela napas, “aku selalu memerhatikan berat badanku.”
Satsuki terdiam. Ia benar-benar tidak tahu-menahu soal itu. Ia jadi khawatir, Arata tidak dapat menghabiskan makanan yang sudah dibuatnya.
“A-aku minta maaf.” Satsuki merasa sangat bersalah.
“Sudahlah, ayo makan!” Arata meraih garpunya dan mulai melahap makanan yang disediakan untuknya.
“Apa? Kau memakan itu semua?”
“Tentu tidak,” jawab Arata, “tapi tidak apa-apa jika sesekali memakan makanan seperti ini.”
Arata memasukkan spaghetti ke dalam mulutnya, “mm! Ini enak!” Ia melahap spaghetti itu lagi dan lagi, “lain kali buatlah sesuatu dengan kalori yang lebih sedikit.”
Satsuki terbengong memerhatikan Arata mengunyah makanannya.
“Ayolah, kau juga makan! Tidak enak jika makanannya sudah dingin.”
Satsuki melakukan apa yang Arata katakan dan mulai memakan jatah makan malamnya. Di sela-sela makan, ia teringat akan sesuatu. Lain kali? Apakah dia bilang untuk melakukan yang seperti ini lagi? Mengingat hal tersebut membuat pipi Satsuki bersemu merah. Dan sesi makan malam saat itu berlangsung hening.
Meskipun Arata berkata bahwa makanan yang telah Satsuki buat terlalu banyak kalori, ia menghabiskan semuanya tanpa menyisakkan apapun. Satsuki takjub melihat hal tersebut. Ia membereskan meja lalu beranjak ke dapur yang memang terhubung langsung dengan ruang santai untuk membasuh piring.
Selama di dapur, pikiran Satsuki melayang. Ia tidak berhenti memikirkan Arata dan hal-hal yang terjadi padanya selama beberapa hari ini. Ucapannya memang terkadang kasar dan moodnya cepat sekali berubah. Tapi aku rasa dia orang baik. Dia bahkan menyuruhku untuk bermalam karena badai dan angin puyuh itu.
Seusai mencuci piring, ia kembali ke ruangan itu dengan dua cangkir teh herbal hangat. Didapatinya Arata duduk di sofa seraya menonton video boat racing. Satsuki memerhatikan video yang sepertinya sudah lama itu.
Arata melirik Satsuki yang tengah berdiri memerhatikan video yang ditontonnya.
“Kemarilah! Video ini sangat menarik! Kau harus menontonnya!” Arata menggeser tubuhnya ke samping, memberi tempat untuk Satsuki duduk.
Satsuki ragu untuk duduk bersebelahan dengan pemuda itu tapi akhirnya dia duduk juga di pinggir sofa dan menyisakkan ruang di antara mereka.
Arata menoleh pada Satsuki yang mulai menonton video itu seusai meletakkan cangkir teh di atas meja.
“Kau tidak bisa melihat video ini dari sana. Kemarilah!”
“Apa—?“ Satsuki belum sempat berbicara lagi karena Arata sudah menariknya yang sedang berusaha duduk di agak jauh dari Arata duduk lalu membuatnya mendekat hingga tubuh mereka bersentuhan. Satsuki shock. Sementara itu Arata cuek dan tetap menonton video.
Saat itu juga Satsuki ingin pergi saja dari sana. Sedekat ini dengan Uchiha Arata? Yang benar saja!
modus ya arata hihihi